Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hiperglikemia merupakan suatu kondisi pada saat kadar gula darah melebihi
batas normal dan merupakan awal mula diabetes. Kadar gula darah normal adalah 80
– 120 mg/dl (kondisi puasa), 100–180 mg/dl (setelah makan), dan 100–140 mg/dl pada
kondisi istirahat (DeFronzo, 2009). Hiperglikemia menyebabkan terjadinya autooksidasi
glukosa sehingga terbentuk radikal bebas, glikosilasi auto-oksidatif, dan meningkatnya
jalur poliol yang akan menurunkan status antioksidan tubuh. Radikal bebas adalah
senyawa yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga
elektron tersebut cenderung menarik elektron dari senyawa di sekitarnya. Stres
oksidatif merupakan kondisi tubuh yang terjadi jika jumlah radikal bebas melebihi
antioksidan dalam tubuh. Kelebihan radikal bebas dapat menyerang lipid pada
membran sel, gugus protein pada enzim, dan DNA, sehingga terjadi kerusakan atau
stress oksidatif. Pada penderita diabetes mellitus, stress oksidatif disebabkan
peningkatan produksi radikal bebas dan penurunan sistem pertahanan antioksidan
tubuh (DeFronzo, 2009).
Hiperglikemia menimbulkan stress oksidatif melalui jalur poliol, pembentukan
AGE (advanced glikogen end-products), dan autooksidasi glukosa. Peningkatan
autooksidasi glukosa meningkatkan rantai transpor elektron dalam mitokondria.
Akumulasi ROS akibat hiperglikemia dapat mendorong kondisi diabetik akibat disfungsi
sel β dalam menghasilkan insulin. ROS bersifat mutagenik terhadap gugus perlekatan
DNA gen penghasil insulin pada sel β yang mengalami toksisitas glukosa, di mana sel
terpapar glukosa dalam konsentrasi tinggi untuk waktu yang lama. Ketika sel β
pankreas mengalami degradasi, sekresi insulin dan fungsi biologisnya mengalami
kerusakan secara substansial, maka individu tersebut mengalami diabetes. Sedangkan
kondisi diabetes ini jika tidak diperbaiki akan memicu peningkatan stres oksidatif dan
disfungsi berbagai organ. Tubuh memiliki pertahanan antioksidan melalui enzim-enzim
endogen, yaitu superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), dan glutathion
peroksidase (GPx). Produksi radikal hidroksil, peroksida (H2O2), superoksida (O•), dan
berbagai respon inflamasi menyebabkan ketidakseimbangan antara radikal oksidan
dan enzim-enzim tersebut. Paparan radikal bebas yang tinggi akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara enzim antioksidan dengan radikal sehingga meningkatkan
stres oksidatif (Robertson, 2003).
Hiperglikemia adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa dalam plasma
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia kronis dapat menimbulkan kerusakan,
gangguan fungsi pada beberapa organ tubuh, khususnya mata, saraf, ginjal, dan
komplikasi lain akibat gangguan mikro dan makrovaskular. Diabetes melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia,
terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya (Gustaviani R.
2006). Pada umumnya ada 2 jenis diabetes yaitu diabetes tipe 1 (kerusakan sel beta
pankreas yang mutlak insulin) dan tipe 2 (kombinasi antara kurangnya sekresi produksi
insulin dan kurangnya kepekaan reseptor terhadap insulin) (Dipiro et.al., 2008).
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Jumlah penderita DM dunia sebanyak 366 juta jiwa di tahun 2011 meningkat menjadi
387 juta jiwa ditahun 2014 dan diperkirakan akan bertambah menjadi 529 juta jiwa di
tahun 2035 (IDF,2014). Penderita DM di dunia sebanyak 80% berasal dari negara
berkembang salah satunya adalah Indonesia (WHO 2013). Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi DM di Indonesia tahun 2018 terdapat 8,5 %.
Prevalensi diabetes melitus ini mengalami peningkatan jika dibanding hasil (Riskesdas
tahun 2013) yaitu sebesar 6,9 %. Sedangkan prevalensi DM di Kalimantan Selatan
berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 2013 sebesar 1,5 % dan mengalami
peningkatan pada tahun 2018 yaitu sebesar 1,8% (Kementrian Kesehatan RI, 2018).
DM merupakan salah satu penyakit yang timbul hampir tanpa adanya gejala
(silent killer) karena sering tidak disadari oleh sesorang yang telah menderita DM dan
saat diketahui DM sudah terjadi komplikasi yang cukup berat (Depkes, 2014). Menurut
WHO (2016) beberapa komplikasi berat yang dapat ditimbulkan penyakit DM, yakni
kerusakan pada ginjal, pembuluh darah, mata, syaraf dan peningkatan resiko gagal
jantung serta stroke, hipertensi, impotensi, gangguan fungsi hati, luka yang lama
sembuh dan membuat infeksi hingga harus diamputasi (Fatmawati, 2008). DM yang
terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan sistem tubuh terutama
syaraf dan pembuluh darah juga merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal.
Penyakit gagal ginjal yang disebabkan karena diabetes dikenal dengan istilah Diabetes
Nefropati yang merupakan penyebab terbesar gagal ginjal. Sepertiga dari penderita
diabetes akan menjadi Nefropati Diabetes (Puspitasari, 2010).
Seseorang dengan DM akan lebih sering mengalami penyakit ginjal (nefropati)
dibandingkan dengan yang tanpa DM (IDF, 2015). Sekitar 20-40% seseorang yang
menderita diabetes akan mengalami nefropati diabetik. Nefropati Diabetik (ND) atau
penyakit ginjal diabetik merupakan komplikasi DM pada ginjal yang disebabkan oleh
kerusakan kapiler ginjal akibat hiperglikemia. Pada kondisi DM, semua jenis sel ginjal
termasuk sel endotel, sel tubulointerstisial, sel-sel podosit dan mesangial dapat
mengalami kerusakan (Maezawa et al., 2015). Perjalanan klinis terjadinya nefropati
diabetik hingga ahirnya menjadi gagal ginjal kronik dikategorikan menjadi lima stadium
yang ditentukan berdasarkan besarnya laju filtrasi glomerulus atau eGFR. Pasien gagal
ginjal kronik yang telah memasuki stadium 5 memerlukan penanganan medis yang
khusus, seperti dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis merupakan terapi pengganti
ginjal berupa penyaringan darah dari sisa metabolisme berlebih dengan bantuan mesin
(Stump 2012). Meski fungsi metabolisme ginjal tidak sepenuhnya dapat tergantikan,
dialisis dapat membantu pasien gagal ginjal kronik stasdium 5 hidup lebih lama.
Terdapat dua metode dialisis, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis. Namun yang
paling umum digunakan adalah hemodialisis (Nelms et al. 2010).
Menurut Muscaritoli et al. (2009), penderita ginjal kronis dengan terapi
hemodialisis rentan mengalami malnutrisi, khususnya kurang energi protein (KEP).
Sebanyak 20% pasien dialisis dilaporkan mengalami kurang energi protein. KEP
didefinisikan sebagai efek samping dari penyakit gagal ginjal kronis yang ditandai
dengan status gizi pasien yang inadekuat, terutama energi dan protein pasien. Banyak
hal yang menjadi faktor resiko terjadinya KEP pada pasien gagal ginjal, beberapa
diantaranya adalah anorexia, respon inflamasi sistemik yang meningkatkan laju
metabolisme dan katabolisme protein, rendahnya asupan gizi, kehilangan zat gizi
selama proses dialisis, kelainan hormonal, serta konsumsi obatobatan. Hilangnya
protein selama proses dialisis juga dapat menjadi penyebab malnutrisi. Selama
menjalani HD, pasien kehilangan sejumlah 0.2-0.3 g/kg atau 68 g protein, asam amino,
dan peptida bersamaan dengan cairan dialisis (Gunes 2013). Total asam amino dan
albumin yang hilang selama dialisis juga dipengaruhi oleh jenis membran dialisis yang
digunakan (Amalia 2017).
Prisip pemberian diet adalah cukup energi yaitu 35 kcal/kg. Protein disesuaikan
dengan fungsi ginjal. Pada prinsipnya asupan protein moderat 0.8 gr/kg BB. Apabila
fungsi ginjal menurun lebih lanjut, dapat diberikan diet rendah protein 0.6 gr/kg BB. 3.
Pada nefropati diabetik dengan terapi pengganti hemodialisis asupan protein
dianjurkan 1.2 gr/kg BB dengan energi 35 kcal/kg BB, sedangkan pada CAPD
kebutuhan protein lebih tinggi lagi yaitu 1.3 - 1.5 gr/kg BB dengan energi 35 kcal/kgBB.
Cairan CAPD diperhitungkan sebagai sumber energi, sehingga asupan KH dari
makanan dan minuman disesuaikan (Kresnawan dan Darmarini 2004). Asupan
makanan pasien ginjal yang menjalani hemodialisis perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi. Konsumsi makanan tinggi protein dianjurkan untuk menggantikan
asam amino dan albumin yang hilang selama proses hemodialysis. Oleh karena itu,
perlu adanya olahan makanan berupa cemilan yang sehat bagi penderita penyakit
diabetes melitus dengan komplikasi nefropatik diabet stadium V berupa nugget yang
dapat diolah dengan tambahan bahan yang kaya akan kandungan yang baik dan tinggi
protein untuk tubuh seperti penambahan ikan haruan.
Nugget merupakan salah satu bentuk produk makanan beku siap saji, yaitu
produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked),
kemudian dibekukan. Produk beku siap saji ini hanya memerlukan waktu
penggorengan selama 1 menit pada suhu 150ºC ( Ginting, 2015 ). Bahan pengikat
yang biasa digunaakan dlam pembuatan nugget adalah tepung terigu akan tetapi
tepung terigu tinggi indeks glikemik salah satu alternatif bahan pengisi nugget yang
rendah indeks glikemik yaitu tepung beras siam unus karena mengandung seraat
pangan tinggi akan menurunkan respon glikemik dan indeks glikemik. Penyembuhan
beberapa penyakit metabolik yang salah satunya diabetes melitus tersebut, sudah
banyak menggunakan bahan-bahan alami sebagai antioksiadan. Baik yang verasal dari
ekstrak nabati maupun hewani (Ningrum dan Abdulgani, 2014). Ikan yang khas di
daerah Kalimantan selatan adalah ikan haruan, ikan haruan atau gabus merupakan
ikan karnivora air tawar yang banyak ditemukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia
(Listyanto & Andriyanto 2009). Ikan ini mampu mengambil oksigen langsung dari udara
“air breathing fish” dan bertahan lama pada kondisi konsentrasi oksigen terlarut yang
rendah di air (Gam et al. 2006).
Ikan ini banyak dikonsumsi karena kandungan proteinnya yang tinggi, khususnya
albumin (Chasanah et al. 2015). Selain itu, protein yang terdapat pada haruan juga
mengandung 8 asam amino essensial, meliputi Histidin, Arginin, Metionin, Valin,
Phenylalanin, Isoleusin, leusin dan lisin (Firlianty et al. 2013). Ikan haruan yang bersifat
predator (memangsa ikan-ikan lain yang lebih kecil dari ukuran badannya), dan ikan
asli perairan Indonesia. Penyebaran ikan haruan di Indonesia hampir merata di seluruh
Indonesia dari Sabang sampai Merauke (Asfar dkk, 2014). Tingkat konsumsi ikan
haruan di Kalimantan Selatan tergolong tinggi yaitu 43,3 kg per kapita per tahun
(Cahyana 2013). Menurut Data Dias Kelautan dan Perikanan provinsi Kalimatan
Selatan tahun 2017 sekitar 2.049,9 ton, yang terdiri dari budidaya kolam sebesar 956,8
ton, keramba sebesar 837,9 ton, sawah 226,7 ton dan lainnya 28,5 ton. Ikan haruan
sangat kaya akan albumin. Ikan ini merupakan sumber albumin bagi penderita
hipoalbumin (rendah albumin) dan luka, baik luka pasca operasi maupun luka bakar
(Yanti, 2012). ikan haruan mengandung protein sebesar 7,6 gr/dL dan albumin sebesar
5,6 g/dl serta kandungan asam amino essensial yang cukup lengkap. Albumin
melimpah akan gugus sulfhidril (SH) yang berfungsi sebagai pengikat radikal sehingga
berperan dalam proses pembersihan dan penangkapan Reactive Oxygen Species
(ROS) (Santoso, 2009). Selain itu albumin juga bersinergi dengan mineral Zn yang
sangat dibutuhkan untuk perkembangan sel maupun pembentukan jarin gan sel baru
seperti akibat luka dan penyembuhan luka akibat operasi. Zn membantu sekresi dan
metabolisme insulin, serta melindungi efek kerusakan pankreas. Zn juga berfungsi
sebagai antioksidan yang melindungi sel-sel, mempercepat proses penyembuhan luka,
mengatur ekspresi dalam limfosit dan protein, memperbaiki nafsu makan dan stabilisasi
berat badan (Gibson, 2005). Sedangkan kalsium diyakini dapat meningkatkan
sensitivitas, respon dan sekresi insulin (Wilcox, dan Gisel, 2005).
Ikan haruan dibutuhkan pasien penyakit ginjal untuk mengganti protein yang
hilang pada saat dialisis dan mencegah katabolisme protein, sehingga dapat
mempertahankan kadar serum kretainin dalam batas normal, mengatasi
hipoalbuminemia, dan meningkatkan imunitas (Sulistyowati, et al., 2008). Pendapat lain
menyebutkan bahwa pada ikan haruan juga mengandung 6,2% albumin dan
0,001741% zinc. Kandungan albumin pada ikan haruan diperlukan penderita penyakit
ginjal karena sering mengalami keadaan hipoalbumin, sedangkan kandungan zinc
pada ikan haruan digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada penderita
penyakit ginjal (Palupi, et al., 2015).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Pengaruh pemberian Nugget Ikan Haruan (Channa Striata ) Pada Struktur Histologi
Jaringan Ginjal Tikus Putih (Rattus Novergicus Strain Wistar) Penderita Diabetes
Militus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana struktur histologi jaringan ginjal tikus DM yang diinduksi dengan MLD-
STZ ?
2. Apakan pengaruh pemberian nugget ikan haruan dapat memperbaiki struktur
histologi ginjal tikus DM ?
3. Hasil induksi MLD-STZ.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk bebuktikan pengaruh pemberian nugget ikan
haruan jaringan ginjal tikus hasil induksi MLD-STZ.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Membuktikan pengaruh pemberian nugget ikan haruan terhadap penurunan kadar
glukosa darah tikus hasil induksi MLD-STZ.
2. Membuktikan pengaruh pemberian nugget ikan haruan terhadap struktur histologi
ginjal tikus yang diinduksi MLD-STZ.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai bahan pengetahuan khususnya bagi penulis tentang Pengaruh pemberian
Asupan Nugget Ikan Haruan (Channa Striata ) Pada Struktur Histologi Jaringan Ginjal
Tikus Putih (Rattus Novergicus Strain Wistar) Penderita Diabetes Militus.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Meningkatkan dan mengembangkan keanekaragaman produk olahan khususnya
produk berbahan dasar ikan haruan.
2. Sebagai masukan kepada instansi kesehatan untuk mengembangkan produk
berbahan dasar ikan haruan sebagai makanan selingan bagi penderita diabetes
Melitus.
1.5. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran tentang ” Pengaruh pemberian Nugget Ikan


Haruan (Channa Striata ) Pada Struktur Histologi Jaringan Ginjal Mencit ( Mus
musculus) Penderita Diabetes Militus” belum pernah dilakukan, namun terdapat
penelitian yang hampir sama antara lain:

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Nama penulis/ Judul Persamaan Perbedaan


Penelitian
1. Gambaran Histologi Pankreas 1. Melihat gambaran 1. Hewan uji:tikus
Tikus Putih (Rattus norveficus) histologi jaringan putih
Hiperglikemia setelah pankreas setelah 2. Produk : nugget
Pemberian Biskuit Ikan Patin diberikan produk ikan
(Pangasius Hypopthalmus). 2. Metode penelitian:
Eksperimental
3. Analisis data: Uji
Anova
4. 24 ekor sampel dibagi
dengan 6 kali
perlakuan
2. Pengaruh pemberian ekstrak 1.hewan coba :mencit 1. Produk : nugget
ikan gabus (channa striata) 2.Metode penelitian: 2. melihat
pada struktur Histologi hati Eksperimental gambaran
mencit (Mus Musculus) 3.Analisis data: Uji Anova histologi hati
Hiperglikemik

Anda mungkin juga menyukai