Anda di halaman 1dari 3

NAMA : I Putu Gunung

NIM : 017.06.0001

Pandangan Tentang Pernikahan Berbeda Agama

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau


dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara
norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak
ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Tidak terlepas dari itu perkawinan juga di atur dalam undang-undang nomor 1 tahun
1974. Tidak terlepas dari itu pernikahan juga di atur dalam adat istiadat, dan agama
dari orang yang akan menikah. Pada umumnya pernikahan di lakukan di landasi
banyak hal salah satunya kesamaan agama kedua belah pihak. Tetapi banyak kasus di
masyarakat di temui pernikahan dengan agama yang berbeda. Pertanyaannya apakah
hal tersebut boleh di lakukan ? menjawab hal tersebut sebenarnya banyak sekali
pendapat-pendapat yang bermunculan, ada setuju dan ada pula yang tidak setuju.
Pada kesempatan ini saya akan mengemukakkan pendapat saya mengenai hal
tersebut.

Pendapat saya mengenai pernikahan berbeda agama atau keyakinan ini


tergantung kita lihat dari sudut pandang yang mana, apakah itu segi undang-undang,
adat istiadat dan agama. Menurut undang-undang sudah di sebutkan dengan jelas
dalam undang-undang republik indonesia No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal
2 ayat 1 disebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya atau kepercayaan yang dianutnya dalam rumusan ini
diketahui bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaan hal ini senada di terangkan beberapa pasal dalam intruksi presiden
republik indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam sebagai
berikut: pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”, Pasal 40: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan


seorang pria yang tidak beragama Islam”, Pasal 61: “ Tidak sekufu tidak dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan
agama atau ikhtilaf al-dien”. Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal
tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia
harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan
masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran
terhadap konstitusi.

Maka sudah jelas sekai bahwa pernikahan beda tersebut di larang oleh
undang-undang, tetapi beda halnya jika salah satu telah berpindah agama mengkuti
salah satu agama suami atau istri yang di peluknya. Hal yang tercantum di undang-
undang sejalan dengan pendapat saya bahwa pernikahan antara dua insan yang
berbeda agama atau keyakinan sebaiknya tidak di laksanakan dikarenakan banyak hal
salah satunya adalah adaptasi dan penyesuaian di masyarakat. Seumpamanya seorang
perempuan yang beragama islam menikah dengan laki-laki beragama hindu maka
perempuan ini haru beradaptasi dengan agama dan adat istiadat yang di miliki oleh
laki-laki tersebut yaitu dengan berpindah agama melalui proses sudi wardani dan
penyucian diri. Memang adaptasi ini bisa di lakukan tetapi kadang seseorang yang
dari lahir memeluk agama hindu belum tentu bisa memahami dan mengetahui betul
tentang agama hindu ini. Begitu juga pendapat saya berlaku seumpamanya seorang
laki-laki beragama hindu harus pindah agama karena istrinya berbeda agama. Pada
ajaran agama hindu kita memiliki 3 hutang yang telah di bawa dari lahir yang di sebut
Tri Rna. Tri Rna terdiri dari Dewa Rena, Pitra Rna dan Rsi Rna, ke tiga hutang ini
harus di bayar dengan jalan dan caranya sendiri. Ketika seorang yang dulunya
memeluk agama hindu kemudian harus pindah ke agama lain maka seseorang
tersebut sudah di pastikan tidak akan bisa membayar hutang yeng dia bawa semenjak
dari lahir tersebut.

Jika menurut adat istiadat di keluarga saya yang sudah di jalani turun temurun
seseorang harus menikah jika itu baik di lihat dari pertemuan nama, pertemuan
otonan, dan kesamaan kawitan yang di miliki. Jika salah satu tidak terpenuhi atau
semuanya tidak terpenuhi maka bisa di bilang pernikahan tersebut akan mendapat
restu yang penuh bahkan tidak mendapatkan restu sama sekali. Hal tersebut terjadi
karena di percayai bahwa pernikahan akan berjalan bahagia jika ke 3 aspek tersebut
terpenuhi. Bayangkan saja sekarang jika kita menikah dengan orang yang beda agama
yang sudah pasti, jika di lihat dari nama, otonan dan kawitan sudah pasti tidak akan
cocok. Maka dari itu saya tidak setuju sekali dengan yang namanya pernikahan
berbeda agama.

Anda mungkin juga menyukai