BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Meninjau Prose Koagulasi dan Flokulasi Dalam Suatu Instalasi Pengolahan
Air. Dalam http://smk3madiun.sch.id/2008/11/30/meninjau-proses-koagulasi-
flokulasi-dalam-suatu-instalasi-pengolahan-air/. Diakses pada tanggal 22 April 2012
pukul 02.55 WIB.
Alamsyah, Sujana. 2004. Merakit Sendiri Alat Penjernih Air Untuk Rumah Tangga.
Semarang: Esis.
Bratby, John. 2006. Coagulation and Flocculation in Water and Wastewater Treatment. IWA
Publishing. London.
Cipollina, Andrea, Giorgio Micale, Lucio Rizzuti. 2009. Seawater Desalination. Springer.
Verlag.
Hanum, Farida. 2013. Proses Pengolahan Air Sungai Untuk Keperluan Air Minum. Dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1845/1/kimia-farida.pdf. Diakses
tanggal 21 April 2013 pukul 20.27 WIB.
Johnson, Michael, Don D. Ratnayaka, Malcom J. Brandt. 2009. Twort’s Water Supply.
Elsevier Ltd. Burlington.
Kusnaedi. 2004. Mengolah Air Kotor Untuk Air Minum. Surabaya: Penebar Swadaya.
Poland, Jenny dan Todd Pagano. 2013. Jar Testing. Dalam
http://www.webapps.cee.vt.edu/ewr/environmental/teach/wtprimer/jartest/jartest.html.
Diakses tanggal 21 April 2013 pukul 20.34 WIB.
Prakoso, Pulung Adi. 2013. Pengaruh Koagulan dan Flokulan Terhadap Pengendapan
Dalam Thickener Untuk Pemanfaatan Tailing di PT. XYZ Unis Bisnis Pertambangan
Emas Bongkor. Dalam http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-pulungadip-34125. Diakses pada tanggal 22
April pukul 01.02 WIB.
Siregar, Sakti A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto. 1987. Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-Press.
Sutiyono. 2006. Pemanfaatan Bittern Sebagai Koagulan Pada Limbah Cair Industri Kertas.
Jurnal Teknik Kimia Vol. 1, No. 1, September 2006.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Koagulasi
Proses koagulasi dapat menghilangkan kekeruhan dan warna yang dihasilkan
zat yang sebagian besar dalam bentuk partikel koloid (1-200 µm) seperti bakteri alga,
bahan organic dan inorganic dan partikel lempung (Lee, 1999). Partikel koloid tidak
dapat diendapkan secara gravitasi atau langsung karena dimensinya yang kecil dan
muatan listriknya yang sama sehingga stabilitas suspensi koloid sangat stabil (Masduqi
dan Slamet, 2002). Sebagian besar partikel koloid pada air limbah bermuatan negatif.
Mekanisme koagulasi secara kimia melibatkan penurunan potensi zeta (tegangan
permukaan) melalui proses netralisasi oleh muatan berlawanan, presipitasi koagulan dan
pertemuan antarpartikel. Destabilisasi partikel koloid disebabkan oleh gaya tarik Van
Der Waals dan gerak Brownian (difusi) (Lee, 1999).
Ada dua faktor penting dalam penambahan koagulan yaitu pH dan dosis. pH
yang digunakan saat koagulasi diatur dalam range optimal sehingga dibutuhkan bahan
penolong untuk menyesuaikan kondisi pH. Asam yang biasa digunakan untuk
menurunkan pH adalah asam sulfat dan untuk menaikkan pH adalah lime (kapur), abu
soda, atau NaOH (Davis dan Cornwell, 1991).
2.3. Flokulasi
Dalam rangka menggumpalkan partikel-partikel koloid, maka gaya tolak
menolak elektrostatik antar partikel harus dikurangi sehingga menghasilkan kontak antar
partikel yang mengalami destabilisasi. Kontak antar partikel ini dihasilkan dari proses
flokulasi atau pengadukan lambat. Flokulasi dilakukan guna membantu partikel koloid
membentuk gumpalan yang besar atau biasanya disebut flok. Tujuan flokulasi adalah
membawa partikel-partikel koloid melakukan interaksi (kontak) sehingga mereka
bertubrukan, bersatu dan tumbuh menjadi satu ukuran partikel yang siap mengendap
(Davis dan Cornwell, 1991).
Dalam proses flokulasi, kecepatan penggumpalan flok ditentukan oleh
banyaknya tubrukan antar partikel yag terjadi serta keefektifan benturan tersebut. Dalam
hal ini, tubrukan antar partikel terjadi melalui tiga cara, yakni :
a. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas) yang dikenal sebagai
gerak Brownian. Flokulasi yang terjadi oleh adanya gerak Brownian ini disebut
flokulasi perikinetik.
b. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan fluida karena proses pengadukan
lambat ini disebut flokulasi ortokinetik
c. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari masing-masing partikel
(Lee, 1999).
2.4. Ortofosfat
Ortofosfat (salah satu bentuknya adalah PO43-) adalah bentuk fosfor yang
sering dijumpai pada air bersih atau air limbah. Ortofosfat memiliki peran penting dalam
pertumbuhan alga dan organisme lainnya. Salah satu masalah lingkungan yang
berbahaya adalah algal bloom yang terjadi pada air permukaan sehingga diperlukan
pengendalian jumlah fosfat yang masuk ke air permukaan. Fosfat bisa diukur dengan
metode kolorimetri. Metode ini melibatkan filtrasi dan pencampuran beberapa macam
reagent untuk menghasilkan warna yaitu ammonium molybdate yang akan membentuk
warna kuning dengan fosfat. Apabila warna biru terjadi itu karena ion Fe 3+ masuk ke
dalam larutan tersebut, tetapi hal itu tidak mengganggu proses pembacaan fosfat pada
kolorimeter (Sawyer et al, 1994).
2.5. Kekeruhan
Kekeruhan dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi dan koloid
seperti lempung, lumpur zat organik, plankton, dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan
merupakan sifat optis pada larutan yaitu hamburan dan adsorbsi cahaya yang melaluinya.
Tidak dapat dihubungkan langsung antara kekeruhan dengan kadar suatu zat suspensi
karena setiap zat memiliki ukuran dan bentuk butir yang berbeda-beda (APHA AWWA,
1998).
DAFTAR PUSTAKA
Antov, Mirjana., Sciban, Marina B. dan Nada J. Petrovic. 2009. Proteins from Common Bean
(Phaseolus Vulgaris) Seed as a Natural Coagulant for Potential Application in Water
Turbidity. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B6V24-
4XTP2ND-6-
3&_cdi=5692&_user=10&_pii=S0960852409015247&_origin=search&_coverDate=
04/30/2010&_sk=998989992&view=c&wchp=dGLzVlb-
zSkzS&md5=a197a5f58231f0a5e6bafd75f03dbed8&ie=/sdarticle.pdf
APHA AWWA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater 20 th
Edition. Washington : American Public Health Assosiation.
Beltran-Heredia, J.,Sanchez-Martin, J. dan MC. Comez-Mufloz. 2010. New Coagulant
Agents from Tannin Extract : Preliminary Optimisation Studies.
http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B6TFJ-50GWNF7-
2-
J&_cdi=5228&_user=8945190&_pii=S138589471000611X&_origin=search&_zone
=rslt_list_item&_coverDate=09/01/2010&_sk=998379996&wchp=dGLzVzb-
zSkWA&md5=4510f4e0ec6e55eec7f7909070de28df&ie=/sdarticle.pdf-new coag\
Benefield, L.D., Joseph F.J dan Barron L.W.1982. Proccess Proses Chemistry for Water and
Wastewater. New Jersey : Prentice-Hall., Inc.
Davis, M.L. and D.A Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering 2nd ed. Mc
Graw-Hill. New York.
Flores, EM. 2002. Samanea Saman (Jacq.) Merr.
http://www.rngr.net/publications/ttsm/species/PDF.2004-03-16.2148/at_download/file
Gonzales, Griselda., et al. 2006. Use of Exudated Gum Produced by Samanea Saman in The
Potabilization of The Water.
http://revistas.luz.edu.ve/index.php/rtz/article/viewFile/1497/1454
Khasanah, Uswatun. 2008. Efektifitas Biji Kelor (Moringa oleifera) sebagai Koagulan Fosfat
dalam Limbah Cair Rumah Sakit (Studi Kasus di Dr. Saiful Anwar Malang)
http://lib.uin-malang.ac.id/abstract/03530023.pdf
Lee, C.C. 1999. Handbook of Environmental Engineering Calculations. USA : McGraw-Hill.
Masduqi, Ali. Dan Agus Slamet. 2002. Satuan Operasi. Surabaya : Jurusan teknik
Lingkungan FTSP ITS.
Rambe, Ahmad Mulia. 2009. Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Koagulan
Alternatif Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tekstil.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4415/1/09E00720.pdf
Reynold, D.Tom dan Paul A. Richards. 1995. Unit Operations and Proccess in environmental
Engineering Second Edition. Boston : PWS Publishing.
Sawyer, Clair N., McCaroty , Perry L dan Gene F. Parkin. 1994. Chemistry for
Environmental Engineering Fourth Edition. USA : McGraw Hill Book., Co.
Schulz, Christoper dan Daniel Okin A. 1984. Surface Water Treatment for Communities in
Developing Countries. New York : John Wileys & Sons.
Sciban, Marina.B., Klasnja, Mile T. dan Jelena Lj. Stojimirovic. 2005. Investigation Of
Coagulation Activity Of Natural Coagulants From Seeds Of Different Leguminose
Species. http://www.doiserbia.nb.rs/img/doi/1450-7188/2010/1450-
71881041141S.pdf
Solis, E. Gaitan, et al. 2001. Microsatellite Repeats In Common Bean (Phaseolus vulgaris)
Isolation, Characterization, And Cross-Species Amplification In Phaseolus Sp.
https://www.crops.org/publications/cs/articles/42/6/2128
Staples, George. 2006. Samanea Saman. http://www.agroforestry.net/tti/Samanea-raintree.pdf
Sutherland, et al. 1994. Moringa Oleifera as a Natural Coagulant.
http://www.terramarebeheer.nl/tudelft/Moringa%20oleifera%20as%20a%20natural
%20coagulant.pdf
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk penghilangan zat-zat berbahaya dari air salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang terjadi
secara berurutan untuk mentidakstabilkan partikel tersuspensi, menyebabkan tumbukan
partikel dan tumbuh menjadi flok.
Tahap awal dimulai dengan proses koagulasi, koagulasi melibatkan netralisasi dari
muatan partikel dengan penambahan elektrolit. Dalam hal ini bahan yang ditambahkan
biasanya disebut sebagai koagulan atau dengan jalan mengubah pH yang dapat menghasilkan
agregat/kumpulan partikel yang dapat dipisahkan. Hal ini dapat terjadi karena elektrolit atau
konsentrasi ion yang ditambahkan cukup untuk mengurangi tekanan elektrostatis di antara
kedua partikel. Agregat yang terbentuk akan saling menempel dan menyebabkan
terbentuknya partikel yang lebih besar yang dinamakan mikroflok, dimana mikroflok ini
tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Pengadukan cepat untuk mendispersikan koagulan
dalam larutan dan mendorong terjadinya tumbukan partikel sangat diperlukan untuk
memperoleh proses koagulasi yang bagus. Biasanya proses koagulasi ini membutuhkan
waktu sekitar 1-3 menit.
Tahap selanjutnya dari proses koagulasi adalah proses flokulasi. Flokulasi disebabkan
oleh adanya penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut sebagai flokulan (Rath &
Singh, 1997). Mikroflok yang terbentuk pada saat proses koagulasi sebagai akibat penetralan
muatan, akan saling bertumbukan dengan adanya pengadukan lambat. Tumbukan tersebut
akan menyebabkan mikroflok berikatan dan menghasilkan flok yang lebih besar.
Pertumbuhan ukuran flok akan terus berlanjut dengan penambahan flokulan atau polimer
dengan bobot molekul tinggi. Polimer tersebut menyebabkan terbentuknya jembatan,
mengikat flok, memperkuat ikatannya serta menambah berat flok sehingga meningkatkan
rate pengendapan flok. Waktu yang dibutuhkan untuk proses flokulasi berkisar antara 15-20
menit hingga 1 jam.
Flokulan dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu flokulan organik dan
anorganik. Di antara flokulan-flokulan anorganik, garam-garam dari berbagai logam seperti
aluminium telah banyak digunakan . Flokulan organik dapat dibagi lagi ke dalam dua jenis,
yaitu sintetik dan alami. Flokulan organik sintetik pada umumnya merupakan polimer linear
yang larut air seperti polyacrylamide, poly(acrylic acid), poly(diallyl dimethil ammonium
chloride) (DADMAC), poly(styrenic sulfonic acid), dan sebagainya. Sejak pengenalan
flokulan polimer sintetik pada tahun 1950, sekarang ini telah banyak dikembangkan flokulan-
flokulan sintetik lainnya secara komersil. Pencarian flokulan yang lebih baik terus berlanjut
dan digunakan untuk aplikasi yang lebih spesifik dalam industri.
Flokulan organik alami seperti pati, selulosa, alginic acid, guar gum adalah polimer
alami yang sangat sering digunakan sebagai flokulan. Polimer alam terutama polisakarida
bersifat biodegradable, murah, shear stable, dan mudah diperoleh karena diperoleh dari
bahan alam yang dapat diperbaharui. Sifat biodegradable pada polimer alami menjadi
kelebihan sekaligus kekurangannya, yaitu dapat mengurangi umur penyimpanan sehingga
menurunkan efisiensi karena menurunnya berat molekul (Singh, dkk, 2000). Starch
merupakan salah satu polisakarida yang banyak dihasilkan di Indonesia. Terapan di luar
industri pangan dari material ini adalah untuk penjernih air yang dapat diterapkan untuk
pengolahan air dan air limbah.
2.1 KOAGULASI
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid
halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat untuk mendispersikan
bahan kimia secara merata. Dalam suatu suspensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil)
dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang
diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan sekitar. Pada
dasarnya koloid terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat mudah larut dalam air
(soluble) dan koloid hidrofobik yang bersifat sukar larut dalam air (insoluble). Bila koagulan
ditambahkan ke dalam air, reaksi yang terjadi antara lain:
* Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik di mana gaya
van der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil
bergabung serta membentuk flok;
* Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup reaktif pada
koloid;
* Penangkapan partikel koloid negatif oleh flok-flok hidroksida yang mengendap.
Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah
sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila digunakan dosis koagulan yang terlalu
besar akan mengakibatkan restabilisasi koloid. Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi
koloid berada pada titik dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan
proses recycle sejumlah settled sludge sebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan.
Tindakan ini sudah umum dilakukan pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas
pengolahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air.
Koagulan yang paling banyak digunakan dalam praktek di lapangan adalah
alumunium sulfat [Al2(SO4)3], karena mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan jenis koagulan lain. Sedangkan kapur untuk pengontrol pH air yang
paling lazim dipakai adalah kapur tohor (CaCO3). Agar proses pencampuran koagulan
berlangsung efektif dibutuhkan derajat pengadukan > 500/detik, nilai ini disebut dengan
gradien kecepatan (G).
Untuk mencapai derajat pengadukan yang memadai, berbagai cara pengadukan dapat
dilakukan, diantaranya:
1. Pengadukan Mekanis
Dapat dilakukan menggunakan turbine impeller, propeller, atau paddle
impeller.
2. Pengadukan Pneumatis
Sistem ini menggunakan penginjeksian udara dengan kompresor pada bagian
bawah bak koagulasi. Gradien kecepatan diperoleh dengan pengaturan flow rate udara
yang diinjeksikan.
3. Pengadukan hidrolis
Pengadukan cepat menggunakan sistem hidrolis dilakukan dengan berbagai
cara, diantaranya melalui terjunan air, aliran air dalam pipa, dan aliran dalam saluran.
Nilai gradien kecepatan dihitung berdasarkan persamaan sebelumnya. Sementara
besar headloss masing-masing tipe pengadukan hidrolis berbeda-beda tergantung pada
sistem hidrolis yang dipakai. Untuk pengadukan secara hidrolis, besar nilai headloss
yang digunakan sangat mempengaruhi efektifitas pengadukan. Nilai headloss
ditentukan menurut tipe pengadukan yang digunakan, yaitu terjunan air, aliran dalam
pipa, atau aliran dalam saluran (baffle).
a. Terjunan hidrolis
Metode pengadukan terjunan air merupakan metode pengadukan
hidrolis yang simple dalam operasional. Besar headloss selama pengadukan
dipengaruhi oleh tinggi jarak terjunan yang dirancang. Metode ini tidak
membutuhkan peralatan yang bergerak dan semua peralatan yang digunakan
berupa peralatan diam/statis.
b. Aliran dalam pipa
Salah satu metoda pengadukan cepat yang paling ekonomis dan simple
adalah pengadukan melalui aliran dalam pipa. Metoda ini sangat banyak
digunakan pada instalasi-instalasi berukuran kecil dengan tujuan menghemat
biaya operasional dan pemeliharaan alat. Efektivitas pengadukan dipengaruhi oleh
debit, jenis dan diameter pipa, dan panjang pipa pengaduk yang digunakan.
c. Aliran dalam saluran (baffle)
Bentuk aliran dalam saluran baffle ada dua macam, yang paling umum
digunakan yaitu pola aliran mendatar (round end baffle channel) dan pola aliran
vertikal (over and under baffle).
2.2 FLOKULASI
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses
penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel yang
telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan
membentuk flok yang ukurannya makin lama makin besar serta mudah mengendap. Gradien
kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradien terlalu
besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai
gradien terlalu rendah/tidak memadai maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan
terjadi dan flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan. Untuk itu nilai gradien
kecepatan proses flokulasi dianjurkan berkisar antara 90/detik hingga 30/detik. Untuk
mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga
kompartemen, dimana pada kompertemen pertama terjadi proses pendewasaan flok, pada
kompartemen kedua terjadi proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi
pemadatan flok.
Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan metoda
yang sama dengan pengadukan cepat pada proses koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai
gradien kecepatan di mana pada proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding
gradien kecepatan koagulasi.
Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses koagulasi yaitu:
Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari pengolahan fisik.
Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah industri.
Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif.
Sebagai pretreatment untuk proses pembentukan secondary effluent dalam filtrasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Proses koagulasi dan flokulasi adalah suatu proses pemisahan partikel-partikel halus
penyebab kekeruhan dari dalam air. Proses koagulasi dan flokulasi berlangsung dalam
dua tahap, yaitu proses pengadukan cepat dan lambat. Pengadukan cepat dimaksudkan
untuk meratakan campuran antara koagulan dengan air baku, sehingga diperoleh suatu
kondisi campuran yang homogen. Pengadukan lambat bertujuan mendapatkan
partikel-partikel flokulen yang lebih besar dan lebih berat, sehingga dapat
mempercepat proses pengendapan.
2. Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid
halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat (rapid mixing)
untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Waktu operasinya antara 30 – 90
detik. Rapid mixing:
Hidrolis : terjunan atau hidrolik jump
Mekanis : menggunakan batang pengaduk
3. Pada proses koagulasi dilakukan pembubuhan bahan kimia yang disebut koagulan,
misalnya tawas. Koagulan adalah zat kimia yang dapat menggumpalkan partikel-
partikel koloid dalam proses koagulasi.
4. Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi, dimana mikroflok hasil
koagulasi mulai menggumpalkan partikel menjadi flok-flok yang besar (makroflok)
dan dapat diendapkan. Terjadi pembentukan dan pembesaran flok. Pada flokulasi
dilakukan pengadukan lambat (slow mixing). Waktu operasinya antara 15 – 30 menit.
Slow mixing:
Pneumatis
Mekanis
Hidrolis
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi adalah: pH,
kecepatan pengadukan, gradient kecepatan, waktu pengadukan, suhu, komposisi kimia
air baku, dan konsentrasi koagulan.
DAFTAR PUSTAKA