Anda di halaman 1dari 17

A.

Analisis dan Pembahasan


Menurut Hanum (2013), Jar Test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk
menentukan dosis optimal dari koagulan (biasanya tawas/alum) yang digunakan pada proses
pengolahan air. Sedangkan menurut Poland dan Pagano (2013), Jar Test adalah suatu
percobaan skala laboratorium untuk menentukan kondisi operasi optimum pada proses
pengolahan air dan air limbah. Metode ini dapat menentukan nilai pH, variasi dalam
penambahan dosis koagulan atau polimer, kecepatan putar, variasi jenis koagulan atau
polimer, pada skala laboratorium untuk memprediksi kebutuhan pengolahan air yang
sebenarnya. Metode Jar Test mensimulasikan proses koagulasi dan flokulasi untuk
menghilangkan padatan tersuspensi (suspended solid) dan zat-zar organik yang dapat
menyebabkan kekeruhan, bau dan rasa.
Pada metode Jar Test, terdapat dua tahap proses yaitu koagulasi dan flokulasi.
Flokulasi adalah proses dimana terjadi destabilisasi pada suspensi atau larutan. Fungsi
koagulasi di sini adalah untuk mengatasi faktor-faktor yang menstabilkan sistem (Bratby,
2006). Pada proses koagulasi, koagulan yang mengandung garam aluminium atau besi
ditambahkan ke dalam air sehingga terbentuk kompleks aluminium hidroksida atau besi
hidroksida yang bermuatan positif. Partikel bermuatan positif ini akan mengadsorpsi partikel
koloid bermuatan negatif seperti tanah liat dan partikel-partikel lain penyebab timbulnya
warna dan kekeruhan (Johnson et al, 2009). Sedangkan flokulasi adalah proses dimana
partikel-partikel hasil destabilisasi dirangsang untuk melakukan kontak dan bergabung satu
sama lain sehingga dihasilkan partikel yang lebih besar (Bratby, 2006). Flokulasi dilakukan
dengan pengadukan lambat menggunakan peralatan mekanis seperti pedal, propeler dan
turbin. Proses ini memungkinkan terjadinya aglomerasi partikel dengan cara membawa
partikel bersama-sama. Hasil terbaik dapat dicapai dengan cara menurunkan kecepatan
pengadukan secara gradual selama proses flokulasi berjalan (Cipollina et al, 2009).
Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai
dengan zat yang telarut (Kusnaedi, 2004). Koagulan merupakan bahan yang dapat
mempercepat terjadinya koagulasi (Alamsyah, 2002). Koagulan berfungsi untuk menetralkan
muatan listrik pada partikel-partikel halus sehingga dapat meningkatkan jarak efektif gaya
tarik-menarik London-Van Der Waals dan membentuk partikel-partikel yang lebih besar
(Prakoso, 2013). Jenis-jenis koagulan yang digunakan saat ini sangat beragam. Dari seluruh
jenis koagulan tersebut memiliki sifat, karakteristik dan cara kerja yang berbeda. Beberapa
jenis koagulan yang sering digunakan adalah Lime [CaO atau Ca(OH)2], Alum
[Al2(SO4)3.14H2O], Ferric Chloride (FeCl3), Ferro Sulfat (FeSO4.7H2O) dan Polyaluminium
Chloride (Sutiyono, 2006).
Flokulan adalah bahan yang bekerja dengan cara mengaglomerasi partikel-partikel
koloid sehingga terjadi proses sedimentasi yang cepat (Prakoso, 2013). Saat ini, flokulan
yang banyak digunakan adalah polyelectrolite. Berdasarkan sifatnya, polyelectrolite ini
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu non-ionik polimer (misalnya polyacrylamide), anionik
polimer (misalnya polyacrylic acid) dan kationik polimer (misalnya polyethylene-imine).
Dalam beberapa kasus, penggunaan polyelectrolite tanpa disertai dengan penggunaan
koagulan dapat bekerja dengan sangat efektif (Siregar, 2005).
Dalam memilih koagulan dan flokulan, terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan. Faktor-faktor tersebut antara lain (Sugiharto, 1987):
a. Sifat dan kualitas dari air limbah
b. Variasi dalam kualitas air limbah yang dapat berupa suhu dan pH
c. Kualitas output yang diinginkan setelah proses pengolahan
d. Sifat pengolahan setelah proses koagulasi-flokulasi
e. Derajat kemurnian dari reagen
Pemilihan koagulan dan koagulan pembantu merupakan suatu program lanjutan dari
percobaan dan evaluasi yang biasanya menggunakan Jar Test. Pengujian untuk memilih
koagulan biasanya dilakukan di laboratorium. Untuk melaksanakan pemilihan koagulan,
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap karakteristik air baku yang akan diolah yaitu (Anonim,
2013):
1. Suhu. Suhu rendah berpengaruh terhadap daya koagulasi/flokulasi sehingga untuk
mempertahankan hasil yang dapat diterima, koagulan yang dipakai harus lebih banyak.
2. pH. Nilai pH ekstrim, baik tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap
koagulasi/flokulasi. Masing-masing koagulan memiliki pH optimum yang berbeda-beda.
3. Alkalinitas. Alum sulfat dan ferri sulfat bereaksi dengan air membentuk senyawa
aluminium atau ferri hidroksida yang kemudian akan memulai proses koagulasi.
Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi yang kurang
baik. Pada kasus demikian, mungkin diperlukan penambahan alkali ke dalam air.
4. Kekeruhan. Makin rendah kekeruhan, pembentukkan flok yang baik makin sukar terjadi.
Operator harus menambah zat pemberat untuk membuat partikel-partikel menjadi lebih
sering bertumbukan.
5. Warna. Warna mengindikasikan senyawa organik, dimana zat organik ini bisa bereaksi
dengan koagulan sehingga mengganggu proses koagulasi.
Dalam praktikum ini, terdapat beberapa perlakuan yang memiliki fungsi tertentu.
Perlakuan-perlakuan tersebut adalah:
1. Pengukuran pH, untuk mengetahui pH limbah sehingga dapat ditentukan bahan apa yang
harus ditambahkan ke limbah, apakah NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N.
2. Titrasi yang dilakukan sebelum Jar Test, berfungsi untuk mengetahui volume NaOH 0,1
N atau HCl 0,1 N yang harus ditambahkan pada limbah
3. Penambahan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N, berfungsi untuk menetralkan limbah agar
koagulan dapat bekerja secara optimal
4. Pengadukan cepat, berfungsi untuk menghomogenkan campuran antara limbah dengan
NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N
5. Penambahan tawas (koagulan), berfungsi untuk membuat partikel koloid dalam limbah
menjadi tidak stabil sehingga partikel-partikel tersebut siap membentuk flok
6. Pengadukan lambat, berfungsi untuk membentuk flok
7. Sedimentasi, berfungsi untuk mengendapkan flok-flok yang terbentuk
8. Pengambilan sampel limbah yang dilakukan secara hati-hati, berfungsi agar flok-flok
yang telah mengendap tidak pecah kembali
9. Pengukuran kekeruhan dengan Spektrofotometer, berfungsi untuk mengetahui nilai TSS
limbah
Berdasarkan hasil praktikum, limbah yang ditambahkan dengan koagulan sebanyak
10 ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml berturut-turut memiliki TSS 628 mg/L, 554 mg/L, 460 mg/L
dan 392 mg/L. Sesuai dengan teori yang ada, semakin banyak koagulan yang ditambahkan,
maka nilai TSS limbah akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan semakin banyak koagulan
yang ditambahkan, maka akan semakin banyak partikel-partikel koloid dalam limbah yang
bisa membentuk flok dan mengendap. Dengan demikian, limbah menjadi lebih relatif lebih
jernih (memiliki nilai TSS lebih rendah).
Kandungan TSS memiliki hubungan yang erat dengan kekeruhan. Keberadaan
padatan tersuspensi akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam cairan
sehingga hubungan antara TSS dan kecerahan akan menunjukkan hubungan yang sebanding
(Blom, 1994). Dengan demikian, semakin tinggi TSS dalam suatu limbah, maka tingkat
kekeruhan limbah tersebut juga semakin tinggi.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
157A/KPTS/1998 tentang baku mutu limbah cair bagi usaha, nilai TSS limbah yang boleh
dibuang ke lingkungan maksimal adalah 100 mg/L. Dalam praktikum ini, perbandingan
volume koagulan dengan volume limbah adalah 10 : 600, 15 : 600, 20 : 600 dan 25 : 600.
Dengan perbandingan sedemikian, tidak ada satupun yang hasilnya memiliki nilai TSS di
bawah ambang batas yang diperbolehkan. Dengan demikian, penggunaan koagulan dengan
perbandingan tersebut pada proses koagulasi-flokulasi di dalam pengolahan limbah tahu tidak
akan menghasilkan limbah yang boleh dibuang ke lingkungan.
Karena nilai TSS limbah tahu masih di atas ambang batas yang diperbolehkan
(meskipun telah dilakukan proses koagulasi-flokulasi dengan penambahan koagulan dengan
perbandingan yang telah disebutkan sebelumnya), maka limbah tahu haruslah diolah terlebih
dahulu. Secara kebetulan, tempat produksi tahu milik Pak Joko berdekatan dengan tempat
produksi industri-industri tahu lain milik tetangganya. Atau dapat dikatakan, industri-industri
tahu tersebut membentuk sebuah kompleks. Dengan keadaan yang sedemikian, pembangunan
IPAL komunal cukup sesuai untuk menanggulangi masalah limbah yang ada. Setiap industri
tahu nantinya diwajibkan mengalirkan limbah cairnya ke IPAL komunal tersebut. Di sini,
limbah diolah secara bersama-sama dan biaya operasinya juga ditanggung bersama oleh
semua industri tahu yang terlibat agar tidak memberatkan secara eknomi. Menurut Said dan
Wahjono (1999), cara pengolahan limbah tahu yang cukup sederhana, murah dan efektif yaitu
dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara umum, proses
pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerob dan yang
ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob.
Analisis Jar Test banyak dipakai di industri, seperti misalnya di industri rambut palsu
PT. Indokares Sahabat yang terletak di Purbalingga. Sumber limbah cair dari industri rambut
palsu di Purbalingga terutama berasal dari pencucian bahan baku rambut asli maupun
sintesis. Hasil dari pengolahan limbah cair ini belum memenuhi standar untuk dibuang ke
badan air penerima. Analisis Jar Test digunakan oleh PT. Indokares Sahabat untuk
menentukan kinerja koagulan yang digunakan untuk mengendapkan padatan tersuspensi pada
limbah yang dihasilkannya. Pertama, sampel air limbah diambil dari IPAL perusahaan
tersebut. Uji laboratorium dilakukan secara koagulasi-flokulasi dengan alat Jar Test.
Berdasarkan hasil Jar Test dapat ditentukan kondisi optimal koagulan yang dilanjutkan pada
proses biologi aerob dengan metode lumpur aktif. Koagulan yang digunakan adalah Poly
Aluminium Chloride (PAC) dan Ferro Sulfat dengan konsentrasi 20%. Hasil dari Jar Test
menunjukkan bahwa penurunan COD yang paling besar adalah pada dosis PAC 20%
sejumlah 0,5 ml (untuk 500 ml air limbah) pada pH 6 dengan persentase penurunan COD
sebesar 78,29 % dan penurunan kekeruhan sebesar 95,79 %.

BAB IV

KESIMPULAN

1. Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dan partikel-partikel yang tersuspensi


didalam air baku karena adanya pencampuran yang merata dengan senyawa kimiatertentu
(koagulan) melalui pengadukan cepat. Flokulasi adalah tahap pengadukan lambat yang
mengikuti unit pengaduk cepat dan proses ini bertujuan untuk mempercepat laju
tumbukan partikel, hal ini menyebabkan aglomerasi dari partikel koloid terdestabilisasi
secara elektrolitik kepada ukuran yang terendapkan dan tersaring.
2. Untuk mendapatkan koagulasi yang baik, maka koagulan dengan dosis yang optimal
harus dibubuhkan ke dalam air yang akan diolah dan dicampurkan secara merata. Dosis
optimal akan bervariasi tergantung pada sifat alamiah air baku serta jenis koagulan yang
digunakan. Penentuan dosis optimal dilakukan dengan percobaan laboratorium dengan
menggunakan metodeJarTest.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Meninjau Prose Koagulasi dan Flokulasi Dalam Suatu Instalasi Pengolahan
Air. Dalam http://smk3madiun.sch.id/2008/11/30/meninjau-proses-koagulasi-
flokulasi-dalam-suatu-instalasi-pengolahan-air/. Diakses pada tanggal 22 April 2012
pukul 02.55 WIB.
Alamsyah, Sujana. 2004. Merakit Sendiri Alat Penjernih Air Untuk Rumah Tangga.
Semarang: Esis.
Bratby, John. 2006. Coagulation and Flocculation in Water and Wastewater Treatment. IWA
Publishing. London.
Cipollina, Andrea, Giorgio Micale, Lucio Rizzuti. 2009. Seawater Desalination. Springer.
Verlag.
Hanum, Farida. 2013. Proses Pengolahan Air Sungai Untuk Keperluan Air Minum. Dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1845/1/kimia-farida.pdf. Diakses
tanggal 21 April 2013 pukul 20.27 WIB.
Johnson, Michael, Don D. Ratnayaka, Malcom J. Brandt. 2009. Twort’s Water Supply.
Elsevier Ltd. Burlington.
Kusnaedi. 2004. Mengolah Air Kotor Untuk Air Minum. Surabaya: Penebar Swadaya.
Poland, Jenny dan Todd Pagano. 2013. Jar Testing. Dalam
http://www.webapps.cee.vt.edu/ewr/environmental/teach/wtprimer/jartest/jartest.html.
Diakses tanggal 21 April 2013 pukul 20.34 WIB.
Prakoso, Pulung Adi. 2013. Pengaruh Koagulan dan Flokulan Terhadap Pengendapan
Dalam Thickener Untuk Pemanfaatan Tailing di PT. XYZ Unis Bisnis Pertambangan
Emas Bongkor. Dalam http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-pulungadip-34125. Diakses pada tanggal 22
April pukul 01.02 WIB.
Siregar, Sakti A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto. 1987. Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-Press.
Sutiyono. 2006. Pemanfaatan Bittern Sebagai Koagulan Pada Limbah Cair Industri Kertas.
Jurnal Teknik Kimia Vol. 1, No. 1, September 2006.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengadukan (Mixing)


Pengadukan adalah hal yang penting dalam pengolahan air. Dalam praktek,
pengadukan cepat membuat bahan kimia menyebar secara beraturan dan menyeluruh
sehingga menghasilkan hasil yang homogen. Lalu diikuti dengan pengadukan lambat
untuk flokulasi (penggumpalan partikel). Waktu yang diperlukan untuk pengadukan
cepat biasanya adalah 10 hingga 20 detik. Namun, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa waktu optimum untuk pengadukan cepat adalah beberapa menit (Lee, 1999).

2.2. Koagulasi
Proses koagulasi dapat menghilangkan kekeruhan dan warna yang dihasilkan
zat yang sebagian besar dalam bentuk partikel koloid (1-200 µm) seperti bakteri alga,
bahan organic dan inorganic dan partikel lempung (Lee, 1999). Partikel koloid tidak
dapat diendapkan secara gravitasi atau langsung karena dimensinya yang kecil dan
muatan listriknya yang sama sehingga stabilitas suspensi koloid sangat stabil (Masduqi
dan Slamet, 2002). Sebagian besar partikel koloid pada air limbah bermuatan negatif.
Mekanisme koagulasi secara kimia melibatkan penurunan potensi zeta (tegangan
permukaan) melalui proses netralisasi oleh muatan berlawanan, presipitasi koagulan dan
pertemuan antarpartikel. Destabilisasi partikel koloid disebabkan oleh gaya tarik Van
Der Waals dan gerak Brownian (difusi) (Lee, 1999).
Ada dua faktor penting dalam penambahan koagulan yaitu pH dan dosis. pH
yang digunakan saat koagulasi diatur dalam range optimal sehingga dibutuhkan bahan
penolong untuk menyesuaikan kondisi pH. Asam yang biasa digunakan untuk
menurunkan pH adalah asam sulfat dan untuk menaikkan pH adalah lime (kapur), abu
soda, atau NaOH (Davis dan Cornwell, 1991).

2.3. Flokulasi
Dalam rangka menggumpalkan partikel-partikel koloid, maka gaya tolak
menolak elektrostatik antar partikel harus dikurangi sehingga menghasilkan kontak antar
partikel yang mengalami destabilisasi. Kontak antar partikel ini dihasilkan dari proses
flokulasi atau pengadukan lambat. Flokulasi dilakukan guna membantu partikel koloid
membentuk gumpalan yang besar atau biasanya disebut flok. Tujuan flokulasi adalah
membawa partikel-partikel koloid melakukan interaksi (kontak) sehingga mereka
bertubrukan, bersatu dan tumbuh menjadi satu ukuran partikel yang siap mengendap
(Davis dan Cornwell, 1991).
Dalam proses flokulasi, kecepatan penggumpalan flok ditentukan oleh
banyaknya tubrukan antar partikel yag terjadi serta keefektifan benturan tersebut. Dalam
hal ini, tubrukan antar partikel terjadi melalui tiga cara, yakni :
a. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas) yang dikenal sebagai
gerak Brownian. Flokulasi yang terjadi oleh adanya gerak Brownian ini disebut
flokulasi perikinetik.
b. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan fluida karena proses pengadukan
lambat ini disebut flokulasi ortokinetik
c. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari masing-masing partikel
(Lee, 1999).
2.4. Ortofosfat
Ortofosfat (salah satu bentuknya adalah PO43-) adalah bentuk fosfor yang
sering dijumpai pada air bersih atau air limbah. Ortofosfat memiliki peran penting dalam
pertumbuhan alga dan organisme lainnya. Salah satu masalah lingkungan yang
berbahaya adalah algal bloom yang terjadi pada air permukaan sehingga diperlukan
pengendalian jumlah fosfat yang masuk ke air permukaan. Fosfat bisa diukur dengan
metode kolorimetri. Metode ini melibatkan filtrasi dan pencampuran beberapa macam
reagent untuk menghasilkan warna yaitu ammonium molybdate yang akan membentuk
warna kuning dengan fosfat. Apabila warna biru terjadi itu karena ion Fe 3+ masuk ke
dalam larutan tersebut, tetapi hal itu tidak mengganggu proses pembacaan fosfat pada
kolorimeter (Sawyer et al, 1994).

2.5. Kekeruhan
Kekeruhan dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi dan koloid
seperti lempung, lumpur zat organik, plankton, dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan
merupakan sifat optis pada larutan yaitu hamburan dan adsorbsi cahaya yang melaluinya.
Tidak dapat dihubungkan langsung antara kekeruhan dengan kadar suatu zat suspensi
karena setiap zat memiliki ukuran dan bentuk butir yang berbeda-beda (APHA AWWA,
1998).

2.6. Jar test


Pada metode jar test, koagulan dibubuhkan ke sampel air limbah untuk
pengadukan di laboratorium yang gunanya adalah mensimulasi kondisi pengadukan
sebenarnya. Jar test memberikan keefektifitasan pada intensitas pengadukan dan waktu
pengadukan sehingga mempengaruhi ukuran flok dan densitas. Jar Test juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi selang waktu pemberian koagulan dan rasio pengenceran
untuk koagulan. Hal yang biasa dilakukan pada jar test adalah menguji beberapa variasi
dosis koagulan kemudian ditambahkan koagulan dengan dosis yang sesuai sebelum
dilakukan pengadukan cepat dengan kecepatan tertentu dan waktu tertentu (Lee, 1999).
Pengaduk yang biasa digunakan pada jartest adalah pengaduk dengan jenis paddle
impeller dengan dua atau empat blade dengan lebar blade antara 1/6 hingga 1/10 dari
diameter.

Secara umum pengadukan cepat kemudian pengadukan lambat yang dilakukan


pada gradien kecepatan berkisar antara 100 hingga 1000 per detik selama 5 hingga 60
detik. Sedangkan pengadukan lambat secara umum dilakukan pada gradien kecepatan
kurang dari 100 per detik selama 10 hingga 60 menit (Masduqi dan Slamet, 2002).
Rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai G :

DAFTAR PUSTAKA

Antov, Mirjana., Sciban, Marina B. dan Nada J. Petrovic. 2009. Proteins from Common Bean
(Phaseolus Vulgaris) Seed as a Natural Coagulant for Potential Application in Water
Turbidity. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B6V24-
4XTP2ND-6-
3&_cdi=5692&_user=10&_pii=S0960852409015247&_origin=search&_coverDate=
04/30/2010&_sk=998989992&view=c&wchp=dGLzVlb-
zSkzS&md5=a197a5f58231f0a5e6bafd75f03dbed8&ie=/sdarticle.pdf
APHA AWWA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater 20 th
Edition. Washington : American Public Health Assosiation.
Beltran-Heredia, J.,Sanchez-Martin, J. dan MC. Comez-Mufloz. 2010. New Coagulant
Agents from Tannin Extract : Preliminary Optimisation Studies.
http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B6TFJ-50GWNF7-
2-
J&_cdi=5228&_user=8945190&_pii=S138589471000611X&_origin=search&_zone
=rslt_list_item&_coverDate=09/01/2010&_sk=998379996&wchp=dGLzVzb-
zSkWA&md5=4510f4e0ec6e55eec7f7909070de28df&ie=/sdarticle.pdf-new coag\
Benefield, L.D., Joseph F.J dan Barron L.W.1982. Proccess Proses Chemistry for Water and
Wastewater. New Jersey : Prentice-Hall., Inc.
Davis, M.L. and D.A Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering 2nd ed. Mc
Graw-Hill. New York.
Flores, EM. 2002. Samanea Saman (Jacq.) Merr.
http://www.rngr.net/publications/ttsm/species/PDF.2004-03-16.2148/at_download/file
Gonzales, Griselda., et al. 2006. Use of Exudated Gum Produced by Samanea Saman in The
Potabilization of The Water.
http://revistas.luz.edu.ve/index.php/rtz/article/viewFile/1497/1454
Khasanah, Uswatun. 2008. Efektifitas Biji Kelor (Moringa oleifera) sebagai Koagulan Fosfat
dalam Limbah Cair Rumah Sakit (Studi Kasus di Dr. Saiful Anwar Malang)
http://lib.uin-malang.ac.id/abstract/03530023.pdf
Lee, C.C. 1999. Handbook of Environmental Engineering Calculations. USA : McGraw-Hill.
Masduqi, Ali. Dan Agus Slamet. 2002. Satuan Operasi. Surabaya : Jurusan teknik
Lingkungan FTSP ITS.
Rambe, Ahmad Mulia. 2009. Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Koagulan
Alternatif Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tekstil.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4415/1/09E00720.pdf
Reynold, D.Tom dan Paul A. Richards. 1995. Unit Operations and Proccess in environmental
Engineering Second Edition. Boston : PWS Publishing.
Sawyer, Clair N., McCaroty , Perry L dan Gene F. Parkin. 1994. Chemistry for
Environmental Engineering Fourth Edition. USA : McGraw Hill Book., Co.
Schulz, Christoper dan Daniel Okin A. 1984. Surface Water Treatment for Communities in
Developing Countries. New York : John Wileys & Sons.
Sciban, Marina.B., Klasnja, Mile T. dan Jelena Lj. Stojimirovic. 2005. Investigation Of
Coagulation Activity Of Natural Coagulants From Seeds Of Different Leguminose
Species. http://www.doiserbia.nb.rs/img/doi/1450-7188/2010/1450-
71881041141S.pdf
Solis, E. Gaitan, et al. 2001. Microsatellite Repeats In Common Bean (Phaseolus vulgaris)
Isolation, Characterization, And Cross-Species Amplification In Phaseolus Sp.
https://www.crops.org/publications/cs/articles/42/6/2128
Staples, George. 2006. Samanea Saman. http://www.agroforestry.net/tti/Samanea-raintree.pdf
Sutherland, et al. 1994. Moringa Oleifera as a Natural Coagulant.
http://www.terramarebeheer.nl/tudelft/Moringa%20oleifera%20as%20a%20natural
%20coagulant.pdf
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Air bersih merupakan suatu kebutuhan yang sangat vital dalam menunjang sebagian
besar aktivitas manusia. Tanpa air bersih, tidak akan ada kehidupan dimuka bumi ini karena
dalam tubuh manusia itu sendiri terdiri atas 65% air. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, air
bersih juga diperlukan untuk irigasi, tempat wisata, industri dan lain sebagainya.
Di daerah pegunungan dan pedesaan, air minum dapat diperoleh dari sumber air atau
air tanah yang dapat langsung digunakan sebagai air minum tanpa perlu pengolahan terlebih
dahulu. Akan tetapi didaerah perkotaan, dimana air tanah telah tercemar dan ketersediaannya
terbatas maka diperlukan tambahan sumber air sebagai air baku. Dan sebagai alternatif lain,
digunakan air permukaan berupa air sungai sebagai sumber air yang baru. Namun disadari
bahwa kondisi air dari sungai mengalami penurunan kualitas yang cukup besar, apalagi di
daerah hilir. Air sungai yang mengalir di hilir menerima beban buangan domestik dari
penduduk di sepanjang sungai serta beban dari effluen industri yang tersebar dipinggir
sungai. Beban buangan tersebut dapat melebihi kapasitas alami sungai untuk melakukan self
purification, akibatnya sungai tercemar dan kualitasnya turun. Oleh sebab itu air baku
tersebut memerlukan suatu pengolahan yang memadai agar dapat memenuhi standar kualitas
air minum.
Dewasa ini, kebutuhan air bersih meningkat tajam seiring dengan pertumbuhan
jumlah penduduk yang cukup pesat. Semakin tinggi jumlah penduduk, maka semakin tinggi
pula kebutuhan air bersih.
Besarnya kebutuhan air bersih mendasari perencanaan instalasi pengolahan air
minum. Selain itu, faktor yang mendasari adalah sumber air baku untuk air bersih. Pada
dasarnya, di alam tidak terdapat sumber air yang benar–benar murni dalam artian sesuai
dengan syarat kesehatan. Sehingga diperlukan pengolahan agar air tersebut layak untuk
dikonsumsi.
Pengolahan air minum memerlukan tempat untuk berlangsungnya proses pengolahan
yaitu bangunan pengolahan air minum. Bangunan ini harus direncanakan dengan baik agar
didapatkan hasil pengolahan yang diinginkan.
diinginkan. Perencanaan unit pengolahan air minum ini
meliputi intake,
intake, koagulasi – flokulasi,
flokulasi, sedimentasi,
sedimentasi, filtrasi,
filtrasi, desinfeksi,
desinfeksi, reservoir.
reservoir.
1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memahami lebih dalam mengenai proses
kimia pada unit produksi dalam sistem penyediaan air minum, yaitu koagulasi dan flokulasi.
Selain itu juga untuk mengetahui seberapa efektif koagulasi dan flokulasi pada unit produksi
dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi.
flokulasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Untuk penghilangan zat-zat berbahaya dari air salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang terjadi
secara berurutan untuk mentidakstabilkan partikel tersuspensi, menyebabkan tumbukan
partikel dan tumbuh menjadi flok.
Tahap awal dimulai dengan proses koagulasi, koagulasi melibatkan netralisasi dari
muatan partikel dengan penambahan elektrolit. Dalam hal ini bahan yang ditambahkan
biasanya disebut sebagai koagulan atau dengan jalan mengubah pH yang dapat menghasilkan
agregat/kumpulan partikel yang dapat dipisahkan. Hal ini dapat terjadi karena elektrolit atau
konsentrasi ion yang ditambahkan cukup untuk mengurangi tekanan elektrostatis di antara
kedua partikel. Agregat yang terbentuk akan saling menempel dan menyebabkan
terbentuknya partikel yang lebih besar yang dinamakan mikroflok, dimana mikroflok ini
tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Pengadukan cepat untuk mendispersikan koagulan
dalam larutan dan mendorong terjadinya tumbukan partikel sangat diperlukan untuk
memperoleh proses koagulasi yang bagus. Biasanya proses koagulasi ini membutuhkan
waktu sekitar 1-3 menit.
Tahap selanjutnya dari proses koagulasi adalah proses flokulasi. Flokulasi disebabkan
oleh adanya penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut sebagai flokulan (Rath &
Singh, 1997). Mikroflok yang terbentuk pada saat proses koagulasi sebagai akibat penetralan
muatan, akan saling bertumbukan dengan adanya pengadukan lambat. Tumbukan tersebut
akan menyebabkan mikroflok berikatan dan menghasilkan flok yang lebih besar.
Pertumbuhan ukuran flok akan terus berlanjut dengan penambahan flokulan atau polimer
dengan bobot molekul tinggi. Polimer tersebut menyebabkan terbentuknya jembatan,
mengikat flok, memperkuat ikatannya serta menambah berat flok sehingga meningkatkan
rate pengendapan flok. Waktu yang dibutuhkan untuk proses flokulasi berkisar antara 15-20
menit hingga 1 jam.
Flokulan dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu flokulan organik dan
anorganik. Di antara flokulan-flokulan anorganik, garam-garam dari berbagai logam seperti
aluminium telah banyak digunakan . Flokulan organik dapat dibagi lagi ke dalam dua jenis,
yaitu sintetik dan alami. Flokulan organik sintetik pada umumnya merupakan polimer linear
yang larut air seperti polyacrylamide, poly(acrylic acid), poly(diallyl dimethil ammonium
chloride) (DADMAC), poly(styrenic sulfonic acid), dan sebagainya. Sejak pengenalan
flokulan polimer sintetik pada tahun 1950, sekarang ini telah banyak dikembangkan flokulan-
flokulan sintetik lainnya secara komersil. Pencarian flokulan yang lebih baik terus berlanjut
dan digunakan untuk aplikasi yang lebih spesifik dalam industri.
Flokulan organik alami seperti pati, selulosa, alginic acid, guar gum adalah polimer
alami yang sangat sering digunakan sebagai flokulan. Polimer alam terutama polisakarida
bersifat biodegradable, murah, shear stable, dan mudah diperoleh karena diperoleh dari
bahan alam yang dapat diperbaharui. Sifat biodegradable pada polimer alami menjadi
kelebihan sekaligus kekurangannya, yaitu dapat mengurangi umur penyimpanan sehingga
menurunkan efisiensi karena menurunnya berat molekul (Singh, dkk, 2000). Starch
merupakan salah satu polisakarida yang banyak dihasilkan di Indonesia. Terapan di luar
industri pangan dari material ini adalah untuk penjernih air yang dapat diterapkan untuk
pengolahan air dan air limbah.

2.1 KOAGULASI
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid
halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat untuk mendispersikan
bahan kimia secara merata. Dalam suatu suspensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil)
dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang
diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan sekitar. Pada
dasarnya koloid terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat mudah larut dalam air
(soluble) dan koloid hidrofobik yang bersifat sukar larut dalam air (insoluble). Bila koagulan
ditambahkan ke dalam air, reaksi yang terjadi antara lain:
* Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik di mana gaya
van der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil
bergabung serta membentuk flok;
* Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup reaktif pada
koloid;
* Penangkapan partikel koloid negatif oleh flok-flok hidroksida yang mengendap.
Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah
sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila digunakan dosis koagulan yang terlalu
besar akan mengakibatkan restabilisasi koloid. Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi
koloid berada pada titik dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan
proses recycle sejumlah settled sludge sebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan.
Tindakan ini sudah umum dilakukan pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas
pengolahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air.
Koagulan yang paling banyak digunakan dalam praktek di lapangan adalah
alumunium sulfat [Al2(SO4)3], karena mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan jenis koagulan lain. Sedangkan kapur untuk pengontrol pH air yang
paling lazim dipakai adalah kapur tohor (CaCO3). Agar proses pencampuran koagulan
berlangsung efektif dibutuhkan derajat pengadukan > 500/detik, nilai ini disebut dengan
gradien kecepatan (G).
Untuk mencapai derajat pengadukan yang memadai, berbagai cara pengadukan dapat
dilakukan, diantaranya:
1. Pengadukan Mekanis
Dapat dilakukan menggunakan turbine impeller, propeller, atau paddle
impeller.

2. Pengadukan Pneumatis
Sistem ini menggunakan penginjeksian udara dengan kompresor pada bagian
bawah bak koagulasi. Gradien kecepatan diperoleh dengan pengaturan flow rate udara
yang diinjeksikan.
3. Pengadukan hidrolis
Pengadukan cepat menggunakan sistem hidrolis dilakukan dengan berbagai
cara, diantaranya melalui terjunan air, aliran air dalam pipa, dan aliran dalam saluran.
Nilai gradien kecepatan dihitung berdasarkan persamaan sebelumnya. Sementara
besar headloss masing-masing tipe pengadukan hidrolis berbeda-beda tergantung pada
sistem hidrolis yang dipakai. Untuk pengadukan secara hidrolis, besar nilai headloss
yang digunakan sangat mempengaruhi efektifitas pengadukan. Nilai headloss
ditentukan menurut tipe pengadukan yang digunakan, yaitu terjunan air, aliran dalam
pipa, atau aliran dalam saluran (baffle).
a. Terjunan hidrolis
Metode pengadukan terjunan air merupakan metode pengadukan
hidrolis yang simple dalam operasional. Besar headloss selama pengadukan
dipengaruhi oleh tinggi jarak terjunan yang dirancang. Metode ini tidak
membutuhkan peralatan yang bergerak dan semua peralatan yang digunakan
berupa peralatan diam/statis.
b. Aliran dalam pipa
Salah satu metoda pengadukan cepat yang paling ekonomis dan simple
adalah pengadukan melalui aliran dalam pipa. Metoda ini sangat banyak
digunakan pada instalasi-instalasi berukuran kecil dengan tujuan menghemat
biaya operasional dan pemeliharaan alat. Efektivitas pengadukan dipengaruhi oleh
debit, jenis dan diameter pipa, dan panjang pipa pengaduk yang digunakan.
c. Aliran dalam saluran (baffle)
Bentuk aliran dalam saluran baffle ada dua macam, yang paling umum
digunakan yaitu pola aliran mendatar (round end baffle channel) dan pola aliran
vertikal (over and under baffle).

Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan koloid padatan


tersuspensi termasuk bakteri dan virus, dengan suatu koagulan. sehingga akan terbentuk flok-
flok halus yang dapat diendapkan. Pengadukan cepat (flash mixing) merupakan bagian
integral dari proses Koagulasi. Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan
menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah.
Pengadukan cepat yang efektif sangat penting ketika menggunakan koagulan logam
seperti alum dan ferric chloride, karena proses hidrolisnya terjadi dalam hitungan detik dan
selanjutnya terjadi adsorpsi partikel koloid. Waktu yang dibutukan untuk zat kimia lain
seperti polimer (polyelectrolites), chlorine, zat kimia alkali, ozone, dan potassium
permanganat, tidak optimal karena tidak mengalami reaksi hidrolisis.
Jenis koagulan yang sering dipakai adalah :
a. Alumunium Sulfat (Alum)
Alumunium sulfat [Al2(SO4)3.18H2O] adalah salah satu koagulan yang umum
digunakan karena harganya murah dan mudah didapat. Alkalinitas yang ada di dalam air
bereaksi dengan alumunium sulfat (alum) menghasilkan alumunium hidroksida sesuai dengan
persamaan:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(HCO3)2 → 3 CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 6 CO2 + 14 H2O
Bila air tidak mangandung alkalinitas untuk bereaksi dengan alum, maka alkalinitas perlu
ditambah. Biasanya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida (Ca(OH)2) dengan reaksi:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(OH)2 → 3 CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 14 H2O
Alkalinitas bisa juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan natrium
karbonat. Nilai pH optimum untuk alum sekitar 4,5-8,0.
b. Ferrous Sulfate (FeSO4)
Ferrous Sulfate membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar
menghasilkan reaksi yang cepat. Senyawa Ca(OH)2 dan NaOH biasanya ditambahkan untuk
meningkatkan pH sampai titik tertentu dimana ion Fe2+ diendapkan sebagai Fe(OH)3.
Reaksinya adalah:
2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + ½ O2 → 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O
Agar reaksi diatas terjadi, pH harus dinaikkan hingga 7.0 sampai 9,5. Selain itu, ferrous
sulfate digunakan dengan mereaksikannya dengan klorin dengan reaksi:
3FeSO4.7H2O + 1,5Cl2 → Fe2(SO4)3 + FeCl3 + 21H2O
Reaksi ini terjadi pada pH rendah sekitar 4,0.
c. Ferric Sulfate dan Ferric Chloride
Reaksi sederhana ferric sulfate dengan alkalinitas bikarbonat alam membentuk ferric
hydroxide dengan reaksi:
Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Sedangkan reaksi ferric chloride dengan alkalinitas bikarbonat alami yaitu:
2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Apabila alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, Ca(OH)2 ditambahkan untuk membentuk
hidroksida. Reaksinya adalah:
2FeCl3 + 3Ca(OH)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaCl2
Operasional dan Pemeliharaan bak koagulasi seperti:
* Pemeriksaan kualitas air baku di laboratorium instalasi sangat diperlukan untuk
menentukan dosis koagulan yang tepat, pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya
mengukur kekeruhan air (turbidity) dan derajat keasaman (pH) air baku. Dosis
koagulan ditentukan berdasarkan percobaan jar-test, sedangkan pH air baku
ditentukan dengan komparator pH;
* Pengontrolan debit koagulan yang masuk ke splitter box dilakukan setiap jam oleh
operator instalasi;
* Pemeriksaan clogging pada saluran/pipa feeding dan pompa pembubuh larutan
koagulan dilakukan setiap harinya oleh operator instalasi, dan pemeriksaan clogging
pada orifice diffuser.

2.2 FLOKULASI
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses
penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel yang
telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan
membentuk flok yang ukurannya makin lama makin besar serta mudah mengendap. Gradien
kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradien terlalu
besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai
gradien terlalu rendah/tidak memadai maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan
terjadi dan flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan. Untuk itu nilai gradien
kecepatan proses flokulasi dianjurkan berkisar antara 90/detik hingga 30/detik. Untuk
mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga
kompartemen, dimana pada kompertemen pertama terjadi proses pendewasaan flok, pada
kompartemen kedua terjadi proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi
pemadatan flok.

Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan metoda
yang sama dengan pengadukan cepat pada proses koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai
gradien kecepatan di mana pada proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding
gradien kecepatan koagulasi.

Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses koagulasi yaitu:
 Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari pengolahan fisik.
 Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah industri.
 Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif.
 Sebagai pretreatment untuk proses pembentukan secondary effluent dalam filtrasi.

Operasional dan Pemeliharaan bak flokulasi seperti:


* Penyisihan schum yang mengapung pada bak flokulasi dilakukan setiap hari secara
manual menggunakan alat sederhana (jala), biasanya dilakukan pada pagi hari;
* Pengontrolan ukuran flok yang terbentuk melalui pengamatan visual;
* Pemeriksaan kemungkinan tumbuhnya algae pada dinding tangki dan baffle;
* Pengontrolan kecepatan mixer jika pengadukan dilakukan menggunakan mechanical
mixer. Pengoperasian mixer membutuhkan perawatan yang lebih besar dari
penggunaan flokulator baffle.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Proses koagulasi dan flokulasi adalah suatu proses pemisahan partikel-partikel halus
penyebab kekeruhan dari dalam air. Proses koagulasi dan flokulasi berlangsung dalam
dua tahap, yaitu proses pengadukan cepat dan lambat. Pengadukan cepat dimaksudkan
untuk meratakan campuran antara koagulan dengan air baku, sehingga diperoleh suatu
kondisi campuran yang homogen. Pengadukan lambat bertujuan mendapatkan
partikel-partikel flokulen yang lebih besar dan lebih berat, sehingga dapat
mempercepat proses pengendapan.
2. Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid
halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat (rapid mixing)
untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Waktu operasinya antara 30 – 90
detik. Rapid mixing:
 Hidrolis : terjunan atau hidrolik jump
 Mekanis : menggunakan batang pengaduk
3. Pada proses koagulasi dilakukan pembubuhan bahan kimia yang disebut koagulan,
misalnya tawas. Koagulan adalah zat kimia yang dapat menggumpalkan partikel-
partikel koloid dalam proses koagulasi.
4. Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi, dimana mikroflok hasil
koagulasi mulai menggumpalkan partikel menjadi flok-flok yang besar (makroflok)
dan dapat diendapkan. Terjadi pembentukan dan pembesaran flok. Pada flokulasi
dilakukan pengadukan lambat (slow mixing). Waktu operasinya antara 15 – 30 menit.
Slow mixing:
 Pneumatis
 Mekanis
 Hidrolis
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi adalah: pH,
kecepatan pengadukan, gradient kecepatan, waktu pengadukan, suhu, komposisi kimia
air baku, dan konsentrasi koagulan.

DAFTAR PUSTAKA

Dian, R. 2007. Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi Untuk Pengolahan Air


Limbah Industri Jamu. UNDIP. Semarang

Standar Nasional Indonesia, 2008. SNI 6774. BSN. Jakarta.

Sudarmo, U. 2004. Kimia SMA Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Hal 198


http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2007/fitriani%20ratnasari%20dewi
%20(044642)/KOAGULASIjadi.html.
Diakses tanggal 22 Maret 2011.

Suprihanto, N. 2004. Kajian Unit Pengolahan Menggunakan Media Berbutir


dengan Parameter Kekeruhan, TSS, Senyawa Organik dan pH. ITB. Bandung

Anda mungkin juga menyukai