Dampak Negatif Energi Geothermal PDF
Dampak Negatif Energi Geothermal PDF
Yogyakarta,
November
2014
Draft
Kertas
Kerja
II
Front
Nahdliyin
untuk
Kedaulatan
Sumber
Daya
Alam
(FNKSDA)
Dokumen
ini
dibuat
sebagai
respons
terhadap
gerakan
warga
yang
menolak
energi
geothermal
di
Indonesia,
terutama
pasca
dialog
nasional
di
Cigugur,
Kuningan,
Jawa
Barat
pada
pertengahan
Oktober
2014.
Dalam
dialog
itu
hadir
berbagai
kelompok
warga
yang
mengkhawatirkan
dampak
geothermal,
seperti
tuan
rumah
warga
di
Lereng
Gunung
Ciremai,
warga
dari
Lereng
Gunung
Slamet,
warga
dari
Lereng
gunung
Salak,
warga
dari
Kamojang,
dan
warga
dari
Garut.
Diskusi
terfokus
memberikan
kepercayaan
kepada
FNKSDA
untuk
menyusun
kertas
kerja
dengan
tajuk
“Dampak
negatif
energi
geothermal”
yang
merupakan
bentuk
tertulis
dari
material
presentasi
penulis
dalam
Dialog
Nasional
tersebut.
Keterangan
Foto:
Titik
yang
sama
diambil
dalam
waktu
yang
berbeda.
Terlihat
danau
menjadi
lebih
luas
karena
adanya
amblesan
pada
tanah
(Sumber:
Allis,
2000).
1
Ringkasan
Tulisan
ini
menampilkan
tiga
dampak
negatif
sistem
energi
geotermal,
yaitu
fracking
dan
gempabumi
minor,
pencemaran
air,
serta
amblesan.
Fracking
adalah
singkatan
dari
hydraulic
fracturing,
yaitu
sebuah
cara
yang
dipakai
dalam
ekstrasi
energi
geothermal
dan
gas
untuk
memperbesar
permeabilitas
(kemampuan
melalukan
fluida)
batuan
dengan
tujuan
meningkatkan
nilai
keekonomisan
sebuah
lapangan
pembangkit
geothermal.
Namun,
fracking
dapat
menyebabkan
terjadinya
gempabumi
minor
karena
menurunkan
kohesivitas
(daya
ikat)
batuan.
Injeksi
fluida
ke
dalam
reservoir
(batuan
sarang)
menekan
reservoir
sehingga
mengalami
pergerakan
(slip)
karena
gaya
gesek
statis
(static
friction)
nya
terlampaui.
Terjadinya
slip
pada
batuan
adalah
salah
satu
kunci
terjadinya
gempabumi.
Gempabumi
yang
dipicu
oleh
fracking
umumnya
berada
di
bawah
magnitude
5
skala
Richter.
Kasus
Basel
di
Swiss
memperlihatkan
gempabumi
yang
terjadi
karena
proses
fracking
ini
memiliki
magnitude
3,4
skala
Richter
dan
cukup
untuk
membuat
plester
bangunan
retak-‐retak.
Sebagai
bentuk
pertanggungjawaban,
maka
perusahaan
geothermal
di
Basel
GeoPowerBasel,
melalui
skema
asuransi,
harus
membayar
ganti
rugi
kepada
warga
dengan
nilai
sekitar
7
juta
Dollar
AS,
dan
penutupan
lapangan
geothermal
ini.
Secara
umum,
ada
empat
mekanisme
pembentukan
gempabumi
mikro
yang
terjadi
karena
adanya
slip
dalam
sistem
energi
geothermal
yang
menggunakan
fracking,
yaitu:
1)kenaikan
tekanan
pori;
2)penurunan
suhu;
3)perubahan
volume
karena
injeksi
atau
produksi
dan;
dan
4)alterasi
kimia
pada
permukaan
rekahan.
Pencemaran
air
terjadi
karena
larutan
hidrothermal
mengandung
kontaminan
seperti
Arsenik,
Antimon,
dan
Boron.
Arsenik
(As)
adalah
penyebab
terjadinya
kanker
pada
manusia.
Ia
berkontribusi
terhadap
tingginya
penyakit
kulit
dan
kanker
di
lokasi
pemukiman
yang
tepapar
terhadap
kandungan
As
yang
tinggi
dalam
air
minum.
Antimon
(Sb)
memiliki
tingkat
beracun
yang
memperlihatkan
karakter
yang
sama
dengan
As.
Boron
(B)
dalam
konsentrasi
tinggi
dapat
menyebabkan
permasalahan
pada
kesehatan
manusia
seperti
menurunnya
tingkat
kesuburan.
As,
Sb,
dan
B,
adalah
material
yang
terdapat
secara
alamiah,
namun
proses
ekstraksi
panas
dalam
produksi
energi
di
pembangkit
geothermal,
menyebabkan
ia
termobilisasi
dan
mengkontaminasi
perairan.
Kasus
kontaminasi
ini
terjadi
di
Lapangan
Geothermal
Balcova,
Turki.
Ambelasan
karena
sistem
energi
geothermal
terjadi
karena
adanya
ekstraksi
panas
(dalam
bentuk
gas)
pada
kedalaman
yang
relatif
dangkal
dari
sumur
ekstraksi
geotermal.
Kasus
amblesan
seperti
ini
terjadi
di
lapangan
geothermal
Wairakei,
Selandia
Baru.
Ekstraksi
telah
menyebabkan
menurunnya
tekanan
di
dalam
formasi
batuan
sekitar
25
bar.
Amblesan
yang
terjadi
yang
telah
mencapai
antara
14±0,5
m
pada
1997,
dan
diperkirakan
masih
akan
terus
berlangsung
dengan
kecepatan
200
mm/tahun
dengan
prediksi
akan
mencapai
20±2
m
pada
2050.
2
Fracking
dan
gempa
minor
Kasus
yang
terjadi
di
Basel,
Swiss,
adalah
contoh
bagaimana
gempabumi
minor
dipicu
oleh
aktivitas
hydraulic
fracturing
di
lapangan
panas
bumi.
Penduduk
Basel
memiliki
trauma
kolektif
yang
buruk
terhadap
gempa
bumi
karena
pada
1356
kota
ini
hampir
seluruhnya
hancur
digoyang
oleh
gempa
bumi
dengan
kekuatan
6,5
skala
Richter.
Pada
2006
yang
lalu,
tampaknya
pengalaman
gempa
bumi
di
masa
lalu
ini
terproyeksikan
kembali
ke
dalam
kesadaran
masyarakat
Basel.
Warga
kota
merasa
sangat
khawatir
dengan
adanya
beberapa
aktivitas
seismik
yang
menyebabkan
bangunan
mereka
rerak-‐retak.
Polisi
dan
pemadam
kebakaran
menerima
ratusan
telfon
dari
penduduk
yang
mengkhawatirkan
keadaan.
Peristiwa
adanya
aktivitas
seismik
ini
dipicu
oleh
aktivitas
pada
sebuah
proyek
geothermal
yang
mengekstraksi
panas
dari
suatu
kedalaman
tertentu
di
perut
bumi
dan
kemudian
menyalurkannya
menjadi
energi.
Untuk
mengetahui
bagaimana
terjadinya
gempa
bumi
karena
adanya
sistem
energi
panas
bumi,
maka
langkah
pertama
tentu
saja
adalah
memahami
bagaimana
sistem
kerja
ekstraksi
panas
dari
dalam
Bumi
pada
sistem
geothermal.
Sumur
produksi
berfungsi
mengalirkan
gas/fluida
panas
dari
dalam
Bumi
ke
permukaan.
Di
permukaan,
panas
tersebut
berfungsi
menggerakkan
turbin
yang
menghasilkan
energi.
Di
sisi
lain,
karena
diambil
terus-‐menerus,
tentu
saja
fluida
dalam
batuan
suatu
ketika
akan
habis.
Untuk
mengantisipasinya
maka
dibuatlah
sumur
injeksi.
Melalui
sumur
injeksi,
fluida
dialirkan
ke
dalam
perut
Bumi,
bersentuhan
dengan
batuan
panas,
mengalami
kenaikan
suhu,
dan
kemudian
dialirkan
kembali
ke
permukaan
melalui
sumur
produksi,
biasanya
dalam
bentuk
uap.
Uap
inilah
yang
dipakai
memutar
turbin
untuk
menghasilkan
energi.
Uap
air
yang
telah
dingin
berubah
menjadi
fluida
dan
kembali
disuntikkan
ke
dalam
perut
Bumi
melalui
sumur
injeksi.
Begitu
seterusnya
berputar.
Itu
sebabnya
mengapa
energi
panas
bumi
disebut
energi
yang
renewable
(terbarukan).
Tidak
sulit
bagi
para
engineer
ketika
berhadapan
dengan
sistem
panas
bumi
alami
dan
mengeksraksinya
dari
perut
Bumi.
Masalah
bermula
ketika
cadangan
sistem
panas
bumi
yang
ada
tidak
mencukupi
untuk
diproduksi
dengan
skala
komersial.
Untuk
memproduksi
energi
geothermal
dalam
skala
komersial,
tentu
saja
kuantitas
menjadi
penting.
Kuantitas
pada
energi
geothermal
ini
tergantung
pada
setidaknya
dua
hal.
Pertama,
fluida
yang
cukup
dalam
siklus
injeksi-‐
produksi.
Dan
kedua,
tentu
saja
kemampuan
batuan
yang
panas
di
dalam
Bumi
untuk
melalukan
fluida
(permeability).
Dalam
beberapa
kasus
proyek
energi
panas
bumi
ini
ada
kebutuhan
untuk
meningkatkan
kapasitas
alami
sebuah
sistem
geothermal
(Enhanced
Geothermal
System/EGS).
Hal
ini
dapat
dilakukan
dengan
cara
meningkatkan
permeabilitas
batuan
dan
volume
fluida
yang
berada
dalam
siklus.
Teknologi
EGS
pada
dasarnya
dikembangkan
untuk
menjawab
kekurangan
kapasitas
sebuah
sistem
geothermal
alami.
Atau
dengan
kata
lain,
membuat
sebuah
sistem
geothermal
yang
tidak
ekonomis
menjadi
ekonomis
dengan
meningkatkan
kapasitas
sistem
bawah
tanah
sebuah
sistem
energi
panas
bumi
melalui
rekayasa
sebuah
kondisi
bawah
permukaan
menjadi
sistem
energi
geothermal
komersial.
Peningkatan
kapasitas
sistem
geothermal
alami
secara
teknis
dapat
dilakukan
dengan
pusparagam
cara.
Kalau
berhadapan
dengan
reservoir
(batuan
sarang
3
tempat
fluida
di
bawah
tanah)
yang
panas
tetapi
memiliki
permeabilitas
yang
rendah,
maka
para
engineer
merekayasa
teknik
yang
disebut
hydraulic
fracturing.
Teknik
ini
berguna
untuk
membuat
rekahan
pada
reservoir
dengan
tujuan
akhir
meningkatkan
permeabilitas
batuan
sarang.
Ini
hanyalah
salah
satu
teknik
yang
sering
dipakai
untuk
meningkatkan
permeabilitas.
Kajian
kritis
menyebut
hydraulic
fracturing
dengan
sebutan
“fracking”.
Fracking
bukan
hanya
digunakan
dalam
proses
injeksi
pada
sistem
geothermal,
tetapi
juga
dalam
proses
ekstraksi
gas
dari
batuan
sarangnya
(Franco
et
al.
2013).
Permasalahannya,
fracking
berarti
penurunan
kohesivitas
(daya
ikat)
pada
batuan.
Bayangkan
saja
sebuah
batuan
yang
keras
dan
kompak
kemudian
ditkan
agar
timbul
rekahan.
Tentu
saja
kekuatan
si
batu
akan
berkurang.
Dalam
kasus
sistem
geothermal,
pertambahan
fluida
dalam
reservoir
menyebabkan
kenaikan
tekanan
yang
lebih
jauh
akan
membuat
reservoir
terfasilitasi
untuk
mengalami
pergerakan
(slip)
karena
gaya
gesek
statis
(static
friction)-‐nya
terlampaui.
Terjadinya
slip
pada
batuan
adalah
salah
satu
kunci
terjadinya
gempabumi.
Pada
pirinsipnya
gempabumi
hampir
selalu
berasosiasi
dengan
patahan
yang
aktif
bergerak
(slip)
dan
melepaskan
energi
pada
kulit
bumi.
Faktual,
bagi
orang
yang
melakukan
studi
tentang
patahan,
maka
rasanya
tidak
ada
satu
titik
pun
di
permukaan
Bumi
kita
ini
yang
tidak
ada
patahan
di
bawahnya.
Hanya
saja
yang
menjadi
pembeda
adalah
dimensi
dan
aktivitas
patahan
terkait:
seberapa
panjang,
seberapa
lebar,
serta
seberapa
aktif
(sering,
jauh,
dan
dekat)
pergerakannya.
Dalam
konteks
EGS,
apabila
terjadi
slip,
maka
ia
akan
menyebabkan
gempa
bumi
meskipun
dalam
skala
yang
kecil
(microearthquake),
di
bawah
4
atau
5
skala
Richter.
Selain
kasus
Basel
pada
2006,
ada
beberapa
kasus
lain
yang
sudah
terkenal
di
dalam
jagad
pergeologian
untuk
kasus
gempa
bumi
mikro
yang
dipicu
oleh
EGS
ini.
Yaitu
di
lapangan
Geyser
Amerika
Serikat,
Cooper
Basin
di
Asutralia,
dan
di
Soultz-‐sous-‐Foréts,
Perancis.
Magintude
gempa
bumi
mikro
yang
terjadi
secara
berurutan
berada
pada
kisaran
angka
3.4,
4.6,
3.7,
dan
2.9
pada
skala
Richter.
Ada
4
mekanisme
pembentukan
gempabumi
mikro
yang
terjadi
karena
adanya
slip
dalam
EGS,
yaitu:
1)kenaikan
tekanan
pori;
2)penurunan
suhu;
3)perubahan
volume
karena
injeksi
atau
produksi
dan;
dan
4)alterasi
kimia
pada
permukaan
rekahan.
Kenaikan
tekanan
pori
batuan
terjadi
karena
adanya
injeksi
fluida
ke
dalam
reservoir
(batuan
sarang).
Penurunan
suhu
dapat
memicu
aktivitas
seismik
karena
interaksi
fluida
yang
diinjekasikan
dengan
reservoir
batuan
panas.
Hal
ini
dapat
dipahami
karena
terjadinya
kontraksi
pada
permukaan
rekahan
di
reservoir.
Dalam
sistem
injeksi,
yang
disuntikkan
adalah
fluida
yang
lebih
dingin
karena
semua
sistem
dalam
energi
panas
bumi
tujuan
utamanya
adalah
mengekstraksi
panas
dari
perut
Bumi,
maka
tidak
mungkin
disuntikkan
fluida
yang
lebih
panas
dari
resevoir.
Perubahan
volume
dalam
kasus
ini
menyebabkan
gempa
bumi
karena
adanya
ekstraksi
fluida
dari—atau
diinjeksikan
ke
dalam—reservoir.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
reservoir
mengalami
regangan
atau
kompaksi.
Atau
dalam
kalimat
lain,
proses
ini
mengubah
kondisi
tegangan
lokal
yang
ada.
Dan
terakhir,
alterasi
kimia
akibat
injeksi
fluida
dari
luar
ke
dalam
reservoir
dapat
menyababkan
4
terjadinya
reaksi
geokimia
pada
permukaan
rekahan,
dan
lebih
jaun
menyebabkan
terjadinya
slip
seismik.
Kondisi-‐kondisi
mikro
ini
dapat
berkembang
cepat
menjadi
makro
apabila
proyek
EGS
ini
berada
di
daerah
yang
memiliki
patahan
dengan
intensitas
tinggi.
Sebagai
catatan,
proyek
geothermal
banyak
berada
pada
region
Bumi
yang
memiliki
intensitas
patahan
yang
tinggi.
Dalam
kasus
Basel,
proyek
Deep
Heat
Mining
dimulai
pada
1996
oleh
GeoPower
Basel
(GPB).
Basel
adalah
salah
satu
pusat
industri
kimia
dan
parmasi
di
Eropa.
Aglomerasi
kota
ini
memiliki
populasi
sekitar
700.000
jiwa.
Pada
2006,
sumur
injeksi
untuk
keperluan
geothermal
di
Basel
dibor
dengan
kedalaman
mencapai
5
km.
Aktivitas
fracking
dalam
sistem
geothermal
Basel
ini
memicu
gempabumi
lokal
antara
2,7-‐3,4
skala
Richter.
Aktivitas
ini
kemudian
ditutup
karena
warga
memprotes
karena
plester
bangunan
rumah
mereka
mengalami
retak-‐retak.
GPB
sendiri,
melalui
skema
asuransi,
pada
akhirnya
harus
membayar
sebanyak
7
juta
Dollar
AS
terhadap
kerugian
yang
timbul
karena
gempa
minor
akibat
aktivitas
fracking
mereka
(Kraft
et
al.
2009).
Dalam
kasus
di
Indonesia,
perlu
dilakukan
penelitian
yang
sistematis
untuk
mengetahui
apakah
aktivitas
pengeboran
geothermal
menyebabkan
terjadinya
gempa
bumi.
Namun,
narasi
yang
muncul
dari
kalangan
warga
menunjukkan
bahwa
hal
ini
sudah
menjadi
kekhawatiran.
Dalam
sebuah
acara
dialog
nasional
2
hari
(15-‐16
Oktober
2014)
di
lereng
Gunung
Ciremai,
Kuningan,
Jawa
Barat,
hal
ini
terungkap.
Dialog
ini
adalah
forum
warga
yang
tinggal
di
lokasi
di
sekitar
area
industri
geothermal.
Selain
warga
tuan
rumah
dari
Cigugur,
dalam
kesempatan
ini
juga
ada
perwakilan
dari
Lereng
Gunung
Sumbing
di
Jawa
tengah,
warga
dari
Kamojang,
dan
warga
dari
lereng
Gunung
Salak,
Bogor.
Perwakilan
warga
lereng
Gunung
Salak
menyatakan
bahwa
di
daerah
mereka
sudah
terjadi
beberapa
kali
gempa
bumi.
Warga
merasa
gempa
bumi
itu
terjadi
karena
aktivitas
geothermal,
namun
mereka
tidak
bisa
menjelaskan
hubungannya.
Pencemaran
air
Sistem
energi
geothermal
juga
berdampak
negatif
terhadap
kualitas
air.
Pencemaran
ini
dapat
menimpa
air
tanah
dan
kemudian
bisa
lebih
lanjut
juga
menimpa
air
permukaan.
Salah
satu
contoh
untuk
ini
adalah
kasus
dari
Balcova,
Turki
(Aksoy
et
al.
2009).
Tukri
adalah
salah
satu
area
di
Bumi
kita
yang
secara
seismik
sangat
aktif.
Evolusi
geologi
dan
tektoniknya
didominasi
oleh
pemekaran
dan
penutupan
Samudra.
Kondisi
tektonik
aktif
dan
perbatasan
lempeng-‐lempeng
Bumi
ini
di
Turki
ditandai
dengan
munculnya
berbagai
fenomena
vulkanik.
Total
ada
sekitar
1000
mata
air
panas
di
Turki.
Di
bidang
energi,
Turki
adalah
salah
satu
negara
pengimpor
bahan
bakar.
Produksi
dalam
negerinya
tidak
mencukupi
untuk
menutupi
kebutuhan
dalam
negerinya.
Pada
2000,
Turki
memproduksi
27,67
juta
ton
oil
equivalen
(Mtoe)
di
dalam
negeri
dan
mengkonsumsi
79,46
Mtoe.
Pada
2020,
diperkirakan
Turki
akan
memproduksi
85
Mtoe
dan
mengkonsumsi
318
Mtoe.
Energi
geothermal
adalah
salah
satu
sumber
energi
penting
bagi
Turki.
Negara
ini
menduduki
peringkat
ke-‐7
di
seluruh
dunia
sebagai
negara
yang
memiliki
potensi
energi
geothermal
terbesar.
Secara
total
ada
992
Mega
Watt
5
thermal/MWt)
energy
geothermal
yang
sudah
berproduksi
di
Turki
(Baba
and
Armannsson
2006).
Lapangan
Geothermal
Bacova
(LGB)
adalah
salah
satunya,
terletak
di
bagian
barat
Turki.
Kontaminan
di
LGB
adalah
Arsenic,
Antimon,
dan
Boron.
Arsenik
(As)
sudah
lama
dikenal
sebagai
penyebab
terjadinya
kanker
pada
manusia.
Ia
berkontribusi
terhadap
tingginya
penyakit
kulit
dan
kanker
di
lokasi
pemukiman
yang
tepapar
terhadap
kandungan
As
yang
tinggi
dalam
air
minum.
Standar
World
Health
Organization
(WHO)
terhadap
kandungan
As
dalam
air
minum
adalah
0,05
mg/L
hingga
0,01
mg/L.
Nilai
ini
sudah
diadopsi
di
berbagai
negara.
Meskipun,
standar
ini
masih
dipertanyakan
karena
dianggap
masih
terlalu
tinggi.
Di
Amerika
Serikat
misalnya,
disimpulkan
bahwa
kadar
As
di
dalam
air
minum
haruslah
di
bawah
0,01
mg/L
(Webster
and
Nordstrom
2003).
Sementara
di
Indonesia,
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
907
Tahun
2002
tentang
Pengawasan
Kualitas
Air
Minum
menentukan
bahwa
maksimum
kandungan
As
dalam
air
minum
adalah
0,01
mg/L
(Menkes
2002).
Antimon
(Sb)
adalah
elemen
langka
yang
terbentuk
dalam
alterasi
batuan
karena
proses
hidrotermal.
Antimon
memiliki
tingkat
beracun
yang
memperlihatkan
karakter
yang
sama
dengan
As.
Badan
Perlindungan
Lingkungan
Amerika
(EPA)
memutuskan
kadar
maksimum
Antimon
dalam
air
minum
adalah
6
μg/L.
Di
Turki
standarnya
adalah
5
μg/L
(Aksoy
et
al.
2009).
Sementara
di
Indonesia,
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
907
Tahun
2002
tentang
Pengawasan
Kualitas
Air
Minum
menentukan
bahwa
maksimum
kandungan
Antimon
dalam
air
minum
adalah
0,001
mg/L
(Menkes
2002).
Boron
(B)
adalah
kontaminan
lain
yang
hadir
dalam
cairan
geothermal.
Konsentrasi
Boron
yang
tinggi
dapat
menyebabkan
permasalahan
pada
kesehatan
manusia
(Aksoy
et
al.
2009),
salah
satunya
adalah
menurunnya
tingkat
kesuburan
(US
Environmental
Protection
Agency
2004,
86).
Di
Indonesia,
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
907
Tahun
2002
tentang
Pengawasan
Kualitas
Air
Minum
menentukan
bahwa
maksimum
kandungan
Boron
dalam
air
minum
adalah
0,1
mg/L
(Menkes
2002).
Baik
As,
Sb,
dan
B,
ketiganya
adalah
material
yang
terdapat
secara
alamiah.
Namun,
proses
ekstraksi
panas
dalam
produksi
energi
di
pembangkit
geothermal
menyebabkan
ia
termobilisasi
dan
mengkontaminasi
perairan.
Gambar
di
bawah,
bersama
dengan
penjelasan
dalam
teks,
memperlihatkan
secara
skematik
bagaimana
proses
kontaminasi
air
tanah
dan
air
permukaan
terjadi.
6
Figure
1:
Skema
kontaminasi
air
tanah
dan
permukaan
di
LGB,
Turki
(Sumber:
Aksoy
et
al.
2009).
7
Figure
2:
Lokasi
pengambilan
sample
air
di
LGB
(Sumber:
Aksoy
et
al.
2009).
Table
1:
Ambang
batas
3
kontamina
untuk
air
minum
di
Turki
(Sumber:
Aksoy
et
al.
2009).
Ambang
batas
di
Turki
[2005]
Elemen
Unit
[μg/L
]
As 10
Sb 5
B
1000
Table
2:
Hasil
uji
kontaminan
di
22
titik
di
LGB
(Diolah
dari:
Aksoy
et
al.
2009).
Warna
merah
adalah
titik
yang
melebihi
ambang
batas.
8
BC-‐8
1,9
0,06
2117
BC-‐9
16,3
4,68
3179
BC-‐10
1,1
0,13
70
BC-‐11
26,5
25,59
49
BC-‐12
5,1
0,66
494
BC-‐13
1,1
0,09
1220
BC-‐14
1,8
0,12
580
BC-‐15
1,7
0,59
2988
BC-‐16
2,2
0,79
4149
BC-‐17
3,2
1,32
4505
BC-‐18
170,1
1,48
8463
BC-‐19
11,5
5,82
4349
BC-‐20
10,8
2,54
1416
BC-‐21
17,9
0,44
5168
BC-‐22
12,9
3
<20
Dari
table
1
dan
2
terlihat
bahwa
kontaminasi
yang
melewati
ambang
batas
di
LGB
terjadi
di
tujuh
titik
untuk
As;
satu
titik
untuk
Sb;
dan
15
titik
untuk
Boron.
Amblesan
Pembangkit
listrik
Wairakei,
Selandia
Baru,
dibangun
pada
1958
dan
sejak
itu
memproduksi
150±MWe
(Megawatt
electric).
Massa
air
panas
yang
diekstrak
dari
batuan
terus
meningkat
hingga
mencapai
maksimumnya
sebanyak
2300
kg/detik
di
tahun
1965.
Namun
pada
1970
ekstraksi
tinggal
hanya
1700
±
200
kg/detik.
Sampai
pada
1990-‐an,
injeksi
fluida
ke
dalam
batuan
tidaklah
susbtansial.
Ekstraksi
ini
telah
menyebabkan
menurunnya
tekanan
di
dalam
formasi
batuan
sekitar
25
bar.
Sumur-‐sumur
memproduksi
panas
umumnya
dari
kedalaman
500-‐1000
m
di
bawah
permukaan
(Allis
2000;
dan
Bromley
et
al.
2010).
Amblesan
yang
terjadi
yang
telah
mencapai
antara
14±0,5
m
pada
1997
menjadi
amblesan
terbesar
yang
pernah
ada
di
sektor
industri
ekstraksi
di
dunia.
Amblesan
lain
yang
cukup
dikenal
adalah
amblesan
Wilmington
karena
ektraksi
minyak
dan
gas,
amblesan
Lembah
San
Joaquin
di
California
karena
ekstraksi
air
tanah,
dan
amblesan
di
Mexico
City
juga
karena
ekstraksi
air
tanah.
Dalam
kasus
Wairakei,
amblesan
masih
terus
berlangsung
dengan
kecepatan
200
mm/tahun
dan
diperkirakan
akan
mencapai
20±2
m
pada
2050
(Allis
2000).
Penyebab
paling
masuk
akal
dari
amblesan
ini
adalah
adanya
ekstraksi
fluida
dari
sumur
ekstraksi
geothermal.
Teori
konsolidasi
sederhana
Terzhagi
memperlihatkan
bahwa
tekanan
pori
yang
menurun
dengan
tekanan
efektif
yang
naik
adalah
proporsional
dengan
kompresibilitas
dan
ketebalan
lapisan
yang
mengkompaksi
(Allis
2000).
Artinya,
dengan
beban
yang
tetap
sementara
tekanan
di
dalam
pori
menurun,
maka
amblesan
akan
terjadi.
9
Tentang
Penulis
Bosman
Batubara
adalah
alumnus
Jurusan
Teknik
Geologi
UGM
(2005)
dan
Interuniversity
Programme
in
Water
Resources
Engineering,
KU
Leuven
dan
VU
Brussel,
Belgia
(2012)
dengan
predikat
cum-‐laude.
Pernah
bekerja
sebagai
exploration
geologist
di
PT
KPC.
Terlibat
advokasi
akar
rumput
beberapa
kasus
agraria,
seperti
Lumpur
Lapindo
di
Porong,
konflik
tambang
emas
PT
Sorikmas
Mining
di
Mandailing
Natal,
dan
konflik
lahan
petani
versus
TNI
AD
di
Urutsewu,
Kebumen.
Sejauh
ini
sudah
terlibat
dalam
menulis
beberapa
buku:
(1)
Zuber,
M.
2010.
Titanic
Made
by
Lapindo
(diterjemahkan
dari
Bahasa
Indonesia
ke
Bahasa
Inggris
oleh
B.
Batubara
dan
S.
Masykur).
Lafadl
Initiatives
dan
Taiwan
Foundation
for
Democracy.
Yogyakarta.
Indonesia;
(2)
Prasetia,
H.
dan
Batubara,
B.
(editor
dan
kontributor),
2010.
Bencana
Industri:
Relasi
Negara,
Perusahaan
dan
Masyarakat
Sipil,
Desantara
Foundation,
Depok;
(3)
Batubara,
B.
dan
Utomo,
P.W.,
2012.
Kronik
Lumpur
Lapindo:
Skandal
Bencana
Industri
Pengeboran
Migas
di
Sidoarjo,
INSIST
PRESS,
Yogyakarta;
(4)
kontributor
dalam
Novenanto,
A.
(editor)
2013.
Membingkai
Lapindo:
Pendekatan
Konstruksi
Sosial
Atas
Kasus
Lapindo
(Sebuah
Bunga
Rampai).
Kanisius
dan
MediaLink.
Indonesia;
(5)
Batubara,
B.,
(akan
terbit).
Mengusir
PT
Sorikmas
Mining.
Komunitas
Kembang
Merak;
dan
(6)
Batubara,
B.
(editor,
akan
terbit).
Komitmen
Sosial
Seni
dan
Sastra
dalam
Menegakkan
Kedaulatan
Tanah
Petani
Urutsewu,
Kebumen,
Jawa
Tengah.
Selain
itu,
beberapa
tulisannya
dimuat
dalam
publikasi
nasional
dan
internasional.
E-‐mail:
bosman.batubara@gmail.com
10
Acuan
Pustaka
Aksoy,
N.,
Simsek,
C.,
and
Gunduz,
O.,
2009.
Groundwater
contamination
mechanism
in
a
geothermal
field:
A
case
study
of
Balcova,
Turkey.
Journal
of
Contaminant
Hydrology,
103,
pp.
13-‐28.
Doi:
10.1016/j.jconthyd.2008.08.006.
Allis,
R.G.,
2000.
Review
of
subsidence
at
Wairakei
field,
New
Zealand.
Geothermics,
29,
455-‐478.
Baba,
A.,
and
Armannsson,
H.,
2006.
Enviromental
impact
of
the
utilization
of
geothermal
areas.
Energy
sources,
Part
B,
1,
267-‐278.
Doi:
10.1080/15567240500397943.
Bromley,
C.,
Currie,
S.,
Ramsay,
G.,
Rosenberg,
M.,
Pender,
M.,
O’Sullivan,
M.,
Lynne,
B.,
Lee,
S.,
Brockbank,
K.,
Glynn-‐Morris,
T.,
Mannington,
W.,
and
Garvey,
J.,
2010.
Tauhara
stage
II
geothermal
project:
Subsidence
report.
GNS
Science
Consultancy
Report
2010/151.
Franco,
J.,
Martinez,
A.M.R.,
and
Feodoroff,
T.,
2013.
Old
story,
new
threat:
Fracking
and
global
land
grab.
Fracking
research
team,
TNI
Agrarian
justice
programme.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
907
Tahun
2002
tentang
Pengawasan
Kualitas
Air
Minum.
Kraft,
T.,
Mai,
P.M.,
wiemer,
S.,
Deicmann,
N.,
Ripperger,
J.,
Kästli,
P.,
Bachmann,
C.,
Fäch,
D.,
Wössner,
J.,
and
Giardini,
D.,
2009.
Enhanced
geothermal
systems:
Mitigating
risk
in
urban
area.
Eos,
90(32),
273-‐280.
US
Environmental
Protection
Agency,
2004.
Toxical
review
of
Boron
and
compounds.
CASE
No.
7440-‐42-‐8.
Webster.,
J.,
G.
and
Nordstrom,
D.K.,
2003.
Geothermal
Arsenic,
dalam
Welch
A.,
H.
and
Stollenwerk,
K.G.
(editors),
2003.
Arsenic
in
groundwater.
Kluwera
Academic
Publisher,
Boston,
p.:
101-‐125.
11