Anda di halaman 1dari 16

[23/1 19.41] Ust.Fikri: *SIFAT ALLAH: APAKAH HANYA TUJUH ATAU HANYA DUA PULUH ?

📖 📖________✒

Di antara ilmu yang paling agung dan paling mulia adalah *_ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat
Allah Ta’ala (tauhid asmaa’ wa shifaat)._* Hal ini sebagaimana yang telah kami uraikan panjang lebar di
serial tulisan sebelumnya.

Masalah aqidah, termasuk dalam masalah tauhid asmaa’ wa shifaat, haruslah *diambil dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah* *_sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam._*

Akan tetapi, seiring dengan berpalingnya kaum muslimin dari agamanya, maka aqidah yang lurus, yaitu
aqidah ahlus sunnah, seolah menjadi aqidah yang aneh dan terasing di tengah-tengah umat Islam
sendiri.

Sebaliknya, aqidah yang tersebar dan lebih dikenal adalah aqidah yang menyimpang dari jalan dan
pemahaman sahabat Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam._

*Di antara contoh KESALAHAN* dalam masalah nama dan sifat Allah yang sudah tersebar luas di
kalangan kaum muslimin adalah *_keyakinan mereka bahwa Allah Ta’ala hanya memiliki tujuh atau dua
puluh sifat saja._*

Kedua puluh sifat tersebut juga telah dihafal oleh banyak kaum muslimin sehingga sering pula kita
dengarkan melalui masjid-masjid di antara adzan dan iqomah.

```Pemahaman seperti ini sebetulnya berasal dari para tokoh yang menisbatkan diri kepada Madzhab
Asy’ariyyah.```
*Mengenal ‘Aqidah (Madzhab) Asy’ariyyah*

*Madzhab Asy’ariyyah* adalah madzhab yang dinisbatkan kepada *_Abul Hasan Al-Asy’ari
rahimahullahu Ta’ala_* (wafat tahun 324 H). Pada *_fase awal_* (fase pertama) kehidupan beliau,
beliau tenggelam dalam *aqidah Mu’tazilah.*

Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala, madzhab Mu’tazilah ini hanya *MENETAPKAN nama untuk
Allah Ta’ala, namun MENOLAK sifat-sifat Allah Ta’ala seluruhnya.* Dengan kata lain, bagi kaum
Mu’tazilah, nama Allah Ta’ala hanyalah sekedar nama, namun tidak menunjukkan sifat yang mulia.

Beliau tenggelam dalam madzhab Mu’tazilah karena pengaruh didikan ayah tirinya selama 40 tahun,
yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i, seorang tokoh besar Mu’tazilah ketika itu yang berdomisili di kota Bashrah (Irak).

Sayangnya, setelah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah, beliau justru terjerumus dalam madzhab
Kullabiyah, yaitu madzhab yang dinisbatkan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad
bin Kullab Al-Bashri (wafat tahun 240 H). Namun, Allah Ta’ala ternyata menghendaki kebaikan (hidayah)
untuk beliau.

Sehingga pada akhir-akhir kehidupannya, beliau menyatakan bertaubat dari pemikirannya tersebut
(Kullabiyah) dan *_kembali mengikuti aqidah ahlus sunnah,_* yaitu aqidah yang dipegang oleh Imam
Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dan para imam ahli hadis yang lainnya. *_[Al-
Asyaa’iroh fil Mizaani Ahlis Sunnah karya Faishal bin Qazar Al-Jaasim, penerbit Al-Mabarrat Al-Khairiyyah
li ‘Uluumi Al-Qur’an was Sunnah Kuwait cetakan ke dua tahun 1431, hal. 755-762]_*

Dalam salah satu kitab terakhir karya beliau, yaitu *kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah,* sangat
jelas pernyataan dari beliau bahwa *_beliau bertaubat dari madzhab Mu’tazilah dan Kullabiyah dan
rujuk (kembali) ke ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah._* Beliau rahimahullahu Ta’ala dengan sangat jelas
dan tegas berkata,

‫ وما روى‬،‫ وسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم‬،‫ التمسك بكتاب ربنا عز وجل‬،‫ وديانتنا التي ندين بها‬،‫قولنا الذي نقول به‬
– ‫ وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل‬،‫ ونحن بذلك معتصمون‬،‫ وأئمة المحدثين‬5‫عن الصحابة والتابعين‬
،‫ والرئيس الكامل‬،‫ خالف قوله مخالفون؛ ألنه اإلمام الفاضل‬5‫ ولما‬،‫نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون‬
… ‫ وشك الشاكين‬،‫ وزيع الزائغين‬،‫ وقمع به بدع المبتدعين‬،‫ وأوضح به المنهاج‬،‫ ودفع به الضالل‬،‫الذي أبان الله به الحق‬
Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah_ *_berpegang teguh dengan “_
Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, (juga berpegang teguh dengan) apa yang
diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip
tersebut. (Kami juga berpegang teguh) dengan (aqidah) Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal._* _Semoga Allah Ta’ala mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau, melimpahkan
pahala bagi beliau. Kami juga menyelisihi orang-orang yang menyelisihi aqidah beliau. Karena beliau
adalah imam yang fadhil (memiliki keutamaan) dan pemimpn yang sempurna. Melalui diri beliau, Allah
Ta’ala membuat terang (jalan) kebenaran dan menolak kesesatan, menjelaskan manhaj, memberantas
bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah, (serta memberantas) penyimpangan yang dilakukan oleh orang-
_” … orang yang menyimpang dan keraguan orang-orang yang ragu

Kembalinya beliau ke aqidah ahlus sunnah juga ditegaskan di dua kitab beliau lainnya, yaitu *Maqaalat
Islamiyyin wa Ikhtilaafil Musholliin* *_[Dicetak dengan tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,
penerbit Maktabah Al-‘Ashriyyah, Beirut, tahun 1411.]_*

Dan kitab *Risaalah ila Ahli Tsaghr* *_[Dicetak dengan tahqiq ‘Abdullah Syakir Muhammad Al-Junaidi,
penerbit Maktabah Al-‘Ulum wal Hikam, Madinah KSA, tahun 1422.]_*

Salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’i, yaitu Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa di antara sebab
kembalinya Abul Hasan Al-‘Asy’ari ke dalam aqidah ahlus sunnah adalah pertemuan beliau dengan
Zakaria As-Saaji (wafat tahun 307 H), yaitu ulama ahli hadits yang tinggal di kota Bashrah dan beraqidah
ahlus sunnah. *Al-Asyaa’iroh fil Mizaani Ahlis Sunnah, hal. 765.]*

Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menyebutkan biografi Zakaria As-Saaji,

َ َ َ ‫خذ َ عَن‬
َ َ ‫ أ‬.‫ث‬ َ ‫وكَان م‬
‫عدَّة‬
ِ ‫ن فِي‬
ِ ‫س‬ َ ‫ وَاعتمد عَلَيْهَا أبُو ال‬،‫الصفَات‬
َ ‫ح‬ ِّ ‫سلَف فِي‬
َّ ‫مقَالَة ال‬
َ ّ‫ن األشْ عَرِي‬
ِ ‫س‬
َ ‫ح‬
َ ‫ أبُو ال‬:‫ه‬
ُ ْ ِ ْ ‫حدِي‬
َ ‫مةِ ال‬
َّ ِ‫ن أئ‬
ْ ِ َ َ
.‫تآل ِيف‬
Beliau adalah imam ahli hadits. Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil pendapat ulama salaf (ahlus sunnah) “_
darinya dalam masalah terkait sifat-sifat (Allah). Abul Hasan Al-Asy’ari juga berpegang dengannya (As-
Saaji) dalam beberapa karya tulis beliau.”_ *[Siyaar A’laam An-Nubalaa’, 14/198 (cet. Muassasah Ar-
*Risaalah tahun 1405, Maktabah Asy-Syamilah).]

Dan telah kita maklumi bersama, bagaimanakah aqidah ahlus sunnah dalam masalah nama dan sifat
Allah. Ahlus sunnah menetapkan seluruh nama dan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah *sesuai dengan dzahirnya, tanpa tahrif (takwil), ta’thil, takyif, dan tasybih.*

- Ahlus sunnah meyakini dan menetapkan sifat _as-sam’u (mendengar)_ bagi Allah, sesuai keagungan
dan kebesaran Allah, *_tidak serupa dengan makhluk-Nya._*

- Ahlus sunnah juga menetapkan sifat dua tangan _(yadain) yang hakiki_ *_(bukan majas yang ditakwil
menjadi nikmat atau kekuatan),_* sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan makhluk-Nya.
Dan demikian seterusnya.

Namun sangat disayangkan, bahwa *aqidah yang tersebar sampai saat ini* adalah*```‘aqidah beliau
pada fase kedua,``` *_yaitu fase Kullabiyah._* Dan dalam beberapa masalah, justru mirip dengan
*_aqidah Mu’tazilah._*

Namun mereka menyangka bahwa aqidah mereka saat ini (yang hakikatnya adalah ‘aqidah Kullabiyah,
namun mereka sebut dengan ‘aqidah Asy’ariyyah) masih mengikuti ‘aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari.
Padahal beliau sendiri telah bertaubat dari ‘aqidah Kullabiyah dan kembali jalan ahlus sunnah,
sebagaimana yang telah beliau tegaskan sendiri dalam tiga kitab tersebut.

Oleh karena itu, kaum (golongan) Asy’ariyyah (Asyaa’irah) pada hakikatnya *bukanlah pengikut sejati*
dari Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana yang akan kami bahas di seri-seri selanjutnya dari
tulisan ini.

Contohnya, aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan hanya tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.
*[Bersambung]*

***

📚 Sumber: Muslim.or.id

🖊 Penulis: M. Saifudin Hakim

_______________✒

💎 Oleh: Mutiara Risalah Islam

[23/1 19.41] Ust.Fikri: *SIFAT ALLAH: APAKAH HANYA TUJUH ATAU HANYA DUA PULUH?*

*(BAG.2)*

📖 📖________✒

*Aqidah (sebagian) Ulama Asy’ariyyah yang Menetapkan Hanya Tujuh Sifat Bagi Allah dengan Dalil Akal
(Logika)*

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh ulama (tokoh) Asy’ariyyah generasi (thabaqat) belakangan
(muta’akhirin), seperti Abul Ma’ali Al-Juwaini, adalah sifat _(1) qudrah; (2) al-‘ilmu; (3) iradah; (4)
hayyun; (5) sama’; (6) bashar; dan (7) kalam._ *[yarh Risaalah At-Tadmuriyyah li Syaikhil Islaam Ibnu
Taimiyyah, oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Ghofish.]* Dalam bentuk file ceramah dan manuskrip di sini:

http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=lecview&sid=1119&read=1&lg=656

Dalam aqidah Asy’ariyyah yang dipegang oleh Abul Ma’ali Al-Juwaini, Allah Ta’ala hanya disifati dengan
tujuh sifat tersebut saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
‫لكن األشاعرة ال يثبتون إال هذه الصفات السبع فقط؛ ألنهم يرون أن هذه الصفات السبع دل عليها العقل فأثبتوها لداللة‬
‫ وأما ما سواها فإن العقل ال يدل عليها فيجب أن تأول‬،‫العقل عليها‬

akan tetapi kelompok Asy’ariyyah,_ *_tidaklah mereka menetapkan sifat (Allah) kecuali tujuh sifat … “_
ini saja._* _Karena mereka berpendapat bahwa ketujuh sifat ini ditunjukkan oleh akal mereka. Maka
mereka menetapkannya berdasarkan dalil akal. Adapun sifat-sifat lainnya, maka tidak ditunjukkan oleh
akal mereka, sehingga harus ditakwil.”_ *[Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, penerbit Madaarul Wathan KSA, cetakan ke dua tahun
*1434, hal. 200 ]

Jadi, tujuh sifat ini pun tidak ditetapkan oleh Asy’ariyyah berdasarkan dalil syar’i, yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Namun, mereka tetapkan dan mereka yakini berdasarkan *_dalil akal (logika)._*

_Bagaimana akal dan logika mereka bisa sampai menetapkan tujuh sifat tersebut?_

Beginilah alur berpikirnya:

Adanya makhluk menunjukkan adanya _qudrah (kekuasaan)_ Allah. Adanya sesuatu yang baru
(makhluk) menunjukkan kekuasaan dari dzat yang menjadikan makhluk tersebut, yaitu Allah.

Teraturnya makhluk di alam semesta ini menunjukkan Allah memiliki sifat _‘ilmu._ Karena jika bodoh,
tentu tidak bisa mengatur. Lalu, adanya keunikan dan kekhususan masing-masing makhluk menunjukkan
bahwa Allah memiliki kehendak _(iradah)._

Ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada langit, ada hewan dengan berbagai jenisnya, semua ini
menunjukkan adanya _iradah._ Allah menghendaki untuk menciptakan langit, maka jadilah langit, dan
seterusnya.
Tiga sifat ini _(qudrah, ilmu, dan iradah)_ tidak mungkin ada kecuali pada dzat yang hidup _(hayyun)._
Sehingga mereka pun menetapkan sifat yang ke empat ini.

Jika sifat _hayyun_ telah ditetapkan, maka bisa jadi dzat tersebut memiliki _pendengaran (sama’);
penglihatan (bashar); dan berbicara (kalam)_ atau kebalikan dari tiga hal tersebut (tuli, buta dan bisu).

Tiga sifat tersebut (tuli, buta dan bisu) adalah sifat tercela (aib) sehingga tidak mungkin Allah ditetapkan
dengan ketiga sifat aib tersebut. Sehingga yang kita tetapkan adalah *sifat sebaliknya,* *_yaitu Allah
memiliki sifat sama’, bashar dan kalam_* *[Idem., hal. 201]*

Setelah mereka menetapkan tujuh sifat ini, mereka pun menolak untuk menetapkan sifat lainnya,
seperti sifat _mahabbah (mencintai), ridho (meridhai), ghadhab (murka),_ karena tidak ditunjukkan oleh
akal mereka. *[Idem., hal. 200.]*

Sifat-sifat tersebut harus ditolak (atau dalam bahasa mereka: ditakwil) semuanya, sesuai dengan
*_“petunjuk akal”_* mereka.

Tujuh sifat ini ditambah satu lagi oleh golongan *Maturidiyyah,* *_pengikut Abul Manshur Muhammad
Al-Maturidi_* (wafat tahun 333 H) sehingga menjadi delapan sifat. Sifat ke delapan tersebut adalah sifat
_at-takwiin (membentuk atau pembentukan)._ *[https://dorar.net/firq/438]*

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh Asy’ariyyah tersebut dinamakan dengan ‫(_ صفات المعاني‬shifaat ma’ani)_.
Kemudian dari tujuh sifat tersebut, dibentuklah tujuh sifat lainnya, yaitu ‫(_ صفات معنوية‬shifat
ma’nawiyyah)_ , yaitu sifat-sifat yang kembali ke tujuh shifaat _ma’ani_ .

Ketujuh sifat ma’nawiyyah tersebut adalah:

.‫ متكلما‬،‫ بصيرا‬5،‫ سميعا‬،‫ حيا‬،‫ عالما‬،‫ مريدا‬،‫ قادرا‬5‫وكونه تعالى‬


Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu “_
_”.Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman

Sehingga jumlah totalnya menjadi dua puluh sifat. Namun, dua puluh sifat ini intinya kembali ke tujuh
sifat di awal, yaitu _shifat ma’ani._ Inilah sejarah singkat dua puluh sifat wajib bagi Allah, yang banyak
tersebar di tengah-tengah kaum muslimin saat ini. *[https://dorar.net/]*

Kedua puluh sifat ini adalah _“sifat wajib”_ *bagi Allah berdasarkan akal pula.* Menurut akal mereka,
tidaklah tergambar kalau kedua puluh sifat ini tidak ada, sehingga harus (wajib) ditetapkan untuk Allah
Ta’ala.

Silakan dilihat pembahasan menarik di sini:

http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=124813

*Kesimpulannya,* ```tokoh-tokoh yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah, mereka hanya menetapkan


sifat Allah hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah).```

```[BERSAMBUNG]```

📚 Sumber: Muslim.or.id

🖊 Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

_______________✒

💎 Oleh: Mutiara Risalah Islam

[23/1 19.41] Ust.Fikri: *SIFAT ALLAH: APAKAH HANYA TUJUH ATAU HANYA DUA PULUH?*

*(BAG:3)*

📖 📖________✒
*Sanggahan Ahlus Sunnah kepada Kelompok yang Membatasi Sifat Allah dengan Jumlah Tertentu*

▪ *Sanggahan pertama:* *_Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sifat Allah dengan
jumlah tertentu._*

Kalau seseorang mau mempelajari aqidah yang benar, bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan
jelas dan tampak baginya bahwa nama dan sifat Allah Ta’ala *tidaklah dibatasi dengan bilangan
tertentu.*

Hal ini karena Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang Allah Ta’ala simpan dalam ilmu
ghaib-Nya, yang tidak diketahui oleh seorang pun dari para malaikat atau nabi yang diutus.

Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,

ْ َ َ ‫ك أَو أَنزلْته فى كتاب‬ َ ‫ك أَو عَلَّمت‬ 5َ ُ ‫سأَل‬ َ


ِ ْ ‫ت بِهِ فِى عِلْم ِ الْغَي‬
‫ب‬ َ ‫ثَر‬
ْ ‫ستَأ‬
ْ ‫ك أوِ ا‬ ِ َِ ِ ُ َ َ ْ ْ َ ِ‫ن خَلْق‬ ِ ً ‫حدا‬
ْ ‫م‬ َ ‫هأ‬
ُ َ ْ ْ َ ‫س‬ َ ْ‫ت بِهِ نَف‬
َ ْ ‫مي‬
َّ ‫س‬ َ َ ‫سم ٍ هُوَ ل‬
َ ‫ك‬ ِّ ُ ‫ك بِك‬
ْ ‫لا‬ ْ ‫أ‬
5َ َ ‫عِنْد‬
‫ك‬

Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau ”_
jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau
turunkan dalam kitab-Mu_ *_atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.”_* _[HR. Ahmad
_no. 3712. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 3528]

Nama-nama yang Allah Ta’ala sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Nya, maka tidak mungkin dapat
dihitung dan diketahui oleh makhluk-Nya.

Oleh karena itu, di akhirat kelak *Allah Ta’ala akan membukakan kepada Rasulullah untuk memuji-Nya
dengan sifat-sifat yang belum pernah diajarkan di dunia.*
Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,

َ
َ ‫ه عَلَى أ‬
‫حد ٍ قَبْل ِى‬ ُ ‫ح‬ ْ َ ‫ن الثَّنَاءِ ع َلَيْهِ شَ يْئًا ل‬
ْ َ ‫م يَفْت‬ ِ ‫س‬
ْ ‫ح‬
ُ َ‫مدِهِ و‬
ِ ‫حا‬
َ ‫م‬
َ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِ ‫ى‬ َ ُ َّ ‫ح الل‬
َّ ‫ه ع َل‬ َّ ُ‫ث‬
ُ َ ‫م يَفْت‬

Maka Allah mengilhamkan kepadaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya yang tidak ”_
diajarkan kepada seorang pun sebelumku.”_ *[HR. Bukhari no. 4712. Hadits ini adalah potongan dari
*sebuah hadits yang sangat panjang.]

Sampai-sampai Rasulullah sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah Ta’ala.

Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,

‫ما أَثْنَيْت ع َلَى نَفْسك‬ َ


َ ْ ‫صي ث َنَاء عَلَيْك أن‬
َ َ ‫تك‬
ُ
ْ ‫اَل أ‬
ِ ‫ح‬

Aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji terhadap diri-Mu.”_ *[(HR. ”_
*Muslim no. 1118)]

*.Sanggahan ke dua: Allah memiliki banyak nama yang sekaligus mengandung sifat * ▪

Kalaulah kita mau membuka lembaran Al-Qur’an dan membolak-balik kitab hadits, maka kita akan
menemukan puluhan nama-nama Allah Ta’ala. Padahal, *setiap nama Allah Ta’ala juga menunjukkan
kepada sifat-Nya yang mulia.*

Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama *_As-Samii’_*, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
memiliki sifat *_mendengar (as-sam’u)._*
Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama *_Al-‘Aliim,_* hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki
*_ilmu (al-‘ilmu)._*

Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lain.

Berbeda dengan nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad _shallallahu ‘alaihi wa
sallam_), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat.

Ada seseorang yang bernama _“Shalih”,_ namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan
namanya.

*Berarti, jumlah sifat Allah Ta’ala mengikuti jumlah nama Allah Ta’ala.* Hal ini belum termasuk dengan
sifat-sifat yang disebutkan secara khusus oleh Allah Ta’ala maupun Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa
sallam._

*Oleh karena itu,* ```darimana kita mengatakan bahwa sifat Allah Ta’ala hanya TUJUH atau DUA PULUH?
```

Sebagian di antara kita mungkin menghapal al-asmaaul husnaa yang berjumlah sembilan puluh
sembilan. Meskipun hal ini tidak berarti menunjukkan pembatasan nama Allah hanya sejumlah itu,
sebagaimana yang telah kami jelaskan di tulisan lainnya.

*[https://muslim.or.id/35255-besarnya-pahala-menghitung-nama-nama-allah-taala.html]*

Kalau sifat Allah hanya dua puluh, berarti ada 79 nama Allah yang tidak mengandung sifat (99 dikurangi
20).

Kalau kita menetapkan hanya dua puluh sifat, berarti Allah tidak memiliki sifat *_al-‘izzah (kekuatan)._*
Berarti nama Allah Ta’ala *_Al-‘Aziiz_* adalah sekedar nama, namun tidak mengandung sifat, karena
sifat _al-‘izzah_* tidak terdapat dalam dua puluh sifat tersebut.

*_Lalu, apa bedanya aqidah ini dengan aqidah Mu’tazilah yang hanya menetapkan nama tanpa sifat?_*
▪ *Sanggahan ke tiga: Membatasi jumlah sifat Allah secara tidak langsung mencela Allah Ta’ala.*

Bahkan kalau kita cermati dan mau berfikir sejenak, pembatasan sifat Allah Ta’ala hanya dua puluh saja,
secara tidak langsung berarti mencela Allah Ta’ala.

Karena Allah Ta’ala itu sangat mulia dan sangat sempurna, dan kesempurnaan itu menjadi berkurang
dan bahkan hilang jika Allah Ta’ala *hanya disifati dengan dua puluh sifat saja.*

Permisalan yang mudah adalah jika kita katakan kepada seseorang (anggaplah namanya A),

_”Engkau itu orangnya dermawan dan suka pemaaf.”_

Lalu kita katakan kepada orang lain (anggaplah namanya B),

_”Engkau itu orangnya baik hati, suka menolong, penyabar, suka memaafkan kesalahan orang lain,
pengertian, tidak egois, pintar, suka berhemat, rendah hati, ramah, selalu sehat, … “._

Maka pertanyaannya, _”Siapakah yang lebih baik dan sempurna?”_ Maka tentu kita semua sepakat
bahwa yang lebih baik dan lebih sempurna adalah orang B.

Demikian pula halnya dengan Allah Ta’ala. Sehingga salah satu metode yang digunakan Allah Ta’ala
untuk menunjukkan kesempurnaan-Nya adalah dengan merinci dan memperbanyak penyebutan untuk
menetapkan sifat-sifatNya yang mulia.

Karena semakin banyak dan rinci sifat-sifat yang Allah Ta’ala sebutkan, maka akan semakin tampaklah
kebesaran, keagungan, dan kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi. *[ Lihat Syarh Al-Qowa’idul
Mutsla hal. 134-135, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, cetakan pertama,
penerbit Daarul Atsar tahun 1423.]*
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫م‬ُ ‫ساَل‬
َّ ‫وس ال‬ ُ ُّ ‫ك الْقُد‬ُ ِ ‫مل‬ َ ْ ‫ه إِاَّل هُوَ ال‬
َ َ ‫ه الَّذِي اَل إِل‬
ُ َّ ‫) هُوَ الل‬22( ‫م‬ ُ ‫الرحِي‬
َّ ‫ن‬ ُ ‫م‬
َ ‫ح‬
ْ ‫الر‬َّ َ‫ هُو‬5ِ‫بوَالشَّ هَادَة‬ ِ ْ ‫م الْغَي‬ ُ ِ ‫ه إِاَّل هُوَ ع َال‬َ َ ‫ه الَّذِي اَل إِل‬ ُ َّ ‫هُوَ الل‬
َ
‫سنَى‬ْ ‫ح‬ ُ ْ ‫ماءُ ال‬ ْ ‫ه اأْل‬
َ ‫س‬ ُ َ ‫صوِّ ُر ل‬َ ‫م‬ُ ْ ‫ه الْخَالِقُ الْبَارِئُ ال‬ ُ َّ ‫) هُوَ الل‬23( ‫ن‬
َ ‫ما يُشْ رِكُو‬َّ َ‫ن اللَّهِ ع‬
َ ‫حا‬َ ْ ‫سب‬ ُ ‫متَكَب ِّ ُر‬ُ ْ ‫ار ال‬ُ َّ ‫جب‬َ ْ ‫ن الْعَزِي ُز ال‬ ُ ‫م‬ ُ ْ ‫ن ال‬
ِ ْ ‫مهَي‬ ُ ‫م‬ ِ ْ ‫مؤ‬ ُ ْ ‫ال‬
)24( ‫م‬ ْ ْ َ ‫أْل‬ َ
ُ ‫حكِي‬َ ‫ض وَهُوَ العَزِي ُز ال‬ ِ ‫ات وَا ْر‬ ِ َ‫ماو‬ َ ‫س‬َّ ‫ما فِي ال‬ َ ‫ه‬ُ ‫حل‬ ُ ِّ ‫سب‬َ ُ‫ي‬

Dia-lah Allah yang tiada sesembahan (yang benar) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang “_
nyata. Dia-lah Yang Maha pemurah lagi Maha penyayang. Dia-lah Allah, Yang tiada sesembahan (yang
benar) selain Dia, Raja, Yang Maha suci, Yang Maha sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang
Maha memelihara, Yang Maha perkasa, Yang Maha kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang
Membentuk rupa, Yang Mempunyai asmaaul husna (nama-nama yang indah). Bertasbih kepada-Nya apa
yang di langit dan bumi. Dan Dia-lah Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”_ *(QS. Al-Hasyr [59]: 22-
*24)

Dalam ayat ini, sangat tampak bagi kita penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala yang sangat
terperinci dalam satu ayat saja. Karena sekali lagi, semakin banyak dan rinci penyebutan sifat-sifat Allah
Ta’ala, maka akan semakin tampaklah kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi.

Oleh karena itu, merupakan sebuah celaan kepada Allah Ta’ala apabila kita berbuat lancang dengan
hanya menetapkan tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

*Kalau sifat Allah hanya tujuh atau dua puluh*, ```berarti apakah semua sifat yang Allah tetapkan dalam
satu ayat tersebut saja, semuanya harus kita TOLAK?```

Oleh karena itu, kelompok Asy’ariyyah secara tidak langsung “mengatur-atur” Allah. Bahwa makhluk
yang berhak menentukan bagi Allah, Allah hanya boleh memiliki dua puluh sifat saja, tidak boleh
memiliki sifat yang lainnya.
Bukankah ini tindakan yang tidak memiliki adab kepada Allah? Membatasi sifat Allah, padahal Allah
memiliki sifat yang tidak terbatas, karena kesempurnaan Allah luar biasa, mencapai puncak
kesempurnaan-Nya.

*Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah
Ta’ala, lalu ada di antara umatnya (yaitu tokoh-tokoh Asy’ariyyah) yang mampu menghitungnya menjadi
dua puluh sifat saja (???).*

▪ *Sanggahan ke empat: Jika (hanya) akal yang digunakan sebagai sumber penetapan aqidah (sifat Allah
Ta’ala), lalu akal siapakah yang menjadi patokan?*

Masalah ini sangat jelas. Jika akal digunakan sebagai sandaran (sumber) dalam menetapkan sifat Allah
Ta’ala, maka pertanyaan berikutnya, _akal siapakah yang layak untuk digunakan sebagai patokan
kebenaran?_

Hal ini akan menyebabkan kontradiksi antar kelompok “pemuja akal” yang tidak akan ada ujungnya,
bahkan antar ulama Asy’ariyyah sendiri.

Madzhab Jahmiyyah, hasil olah pikir akal mereka adalah: _Allah tidak memiliki nama dan sifat._
Madzhab Mu’tazilah, hasil olah pikir akal dan logika mereka adalah: _Allah memiliki nama, namun nama
Allah tidak mengandung sifat._

Begitu pula para tokoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyyah, hasil olah pikir akal
mereka ternyata beragam.

Imam madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari (sebelum bertaubat), dan tokoh mutaqoddimin (generasi awal)
dari kalangan Asy’ariyyah, seperti *Al-Qadhi Abu Bakr bin Ath-Thayyib Al-Baqillani, Ibnu Faurak,* dan
tokoh-tokoh selain mereka, mereka juga menetapkan sifat dzatiyyah khabariyyah (yaitu sifat yang hanya
bisa ditetapkan melalui dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, semacam sifat *_al-wajhu [wajah] dan al-yadain
[dua tangan]) secara hakiki [bukan majaz]),_* selain tujuh sifat tersebut.

Pada akhirnya, datanglah tokoh Asy’ariyyah generasi belakangan (muta’akhirin) yang kondisinya lebih
parah dari generasi sebelumnya,
karena mereka hanya menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah Ta’ala, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dan
tokoh-tokoh yang sejaman dengannya. Berbeda lagi dengan Maturidiyyah yang hanya menetapkan
delapan sifat bagi Allah. *Syarh Risaalah At-Tadmuriyyah li Syaikhil Islaam Ibnu Taimiyyah, oleh Syaikh
Dr. Yusuf Al-Ghofish.]*

Dalam bentuk file ceramah dan manuskrip di sini: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?


page=lecview&sid=1119&read=1&lg=656

Lalu, dari semua perbedaan itu, manakah yang benar? Padahal mereka semua mengklaim bahwa sifat-
sifat tersebut ditetapkan dengan akal. Akan tetapi faktanya, “produk akal” mereka ternyata berbeda-
beda.

Ketika tokoh-tokoh Asy’ariyyah sendiri berbeda-beda dalam hal (metode) penetapan sifat Allah Ta’ala,
sesuai inovasi akal mereka, maka ini adalah bukti nyata bahwa aqidah mereka semuanya tidaklah
dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, alias tidak berasal dari Allah Ta’ala.

*Bukti tersebut adalah adanya* ```perselisihan yang sangat banyak, bahkan di antara tokoh-tokoh
mereka sendiri yang menyebut dirinya bermadzhab Asy’ariyyah```.

Maka benarlah firman Allah Ta’ala,

ً َ ‫جدُوا فِيهِ اخْتِاَل فًا ك‬


‫ثِيرا‬ َ َ‫ن عِنْد ِ غَيْرِ اللَّهِ لَو‬
ْ ‫م‬ َ ‫ن وَلَوْ كَا‬
ِ ‫ن‬ 5َ ‫أَفَاَل يَتَدَب َّ ُرو‬
َ ‫ن الْق ُْرآ‬

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi “_
*Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”_ *(QS. An-Nisa’ [4]: 82)

```]BERSAMBUNG[```
Sumber: Muslim.or.id 📚

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim 🖊

✒_______________

Oleh: Mutiara Risalah Islam 💎

Anda mungkin juga menyukai