Anda di halaman 1dari 29

JURNAL 1

GASTRORETENTIVE DRUG DELIVERY SYSTEM

Pendahuluan : Pemberian oral adalah cara yang paling nyaman dan disukai dari setiap
pengiriman obat ke sirkulasi sistematis. Pemberian obat pelepasan terkontrol oral baru-baru
ini telah meningkatkan minat dalam bidang farmasi untuk mencapai keuntungan terapeutik
yang ditingkatkan, seperti kemudahan pemberian dosis, kepatuhan pasien dan fleksibilitas
dalam formulasi. Obat yang mudah diserap dari saluran gastrointestinal (GIT) dan memiliki
setengah pendek nyawa dihilangkan dengan cepat dari sirkulasi sistemik. Dosis obat yang
sering diperlukan untuk mencapai aktivitas terapi yang sesuai. Untuk menghindari
pembatasan ini, pengembangan formulasi pelepasan terkontrol oral yang berkelanjutan adalah
upaya untuk melepaskan obat secara perlahan ke dalam saluran pencernaan (GIT) dan
mempertahankan konsentrasi obat yang efektif dalam sirkulasi sistemik untuk waktu yang
lama. Setelah pemberian oral, pemberian obat seperti itu akan dipertahankan di dalam
lambung dan melepaskan obat dengan cara yang terkontrol, sehingga obat tersebut dapat
disuplai terus menerus ke tempat penyerapannya di saluran pencernaan (GIT) . Sistem
pengiriman obat ini menderita terutama dua kesulitan: waktu retensi lambung pendek (GRT)
dan waktu pengosongan lambung pendek (GET) yang tidak dapat diprediksi, yang dapat
mengakibatkan pelepasan obat yang tidak lengkap dari bentuk sediaan di zona penyerapan
(lambung atau bagian atas usus kecil) yang mengarah ke berkurangnya kemanjuran dosis
yang diberikan . Untuk memformulasikan bentuk sediaan rilis terkontrol yang diberikan
secara oral, diinginkan untuk mencapai waktu tinggal lambung yang lama dengan pemberian
obat. Retensi lambung yang lama meningkatkan ketersediaan hayati, meningkatkan durasi
pelepasan obat, mengurangi limbah obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut
dalam lingkungan pH tinggi.Juga waktu retensi lambung yang lama (GRT) dalam perut dapat
bermanfaat bagi aksi lokal di bagian atas usus kecil mis pengobatan tukak lambung, dll.

Faktor-faktor yang mengontrol retensi gastrik dari bentuk dosis : Anatomi dan fisiologi
lambung mengandung parameter yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan bentuk
sediaan gastroretentif. Untuk melewati katup pilorik ke usus kecil ukuran partikel harus
dalam kisaran 1 hingga 2 mm. Parameter paling penting yang mengontrol waktu retensi
lambung (GRT) dari bentuk sediaan oral meliputi: kepadatan, ukuran dan bentuk sediaan,
asupan makanan dan sifatnya, kandungan kalori dan frekuensi asupan, postur, jenis kelamin,
usia, jenis kelamin, tidur , indeks massa tubuh, aktivitas fisik dan keadaan orang yang sakit
(misalnya penyakit kronis, diabetes dll) dan pemberian obat dengan dampak pada waktu
transit gastrointestinal misalnya obat yang bertindak sebagai agen antikolinergik (misalnya
atropin, propantheline), opiat (misalnya kodein ) dan agen prokinetik (misalnya
metclopramide, cisapride.).Berat molekul dan lipofilisitas obat tergantung pada keadaan
ionisasi juga merupakan parameter penting.
Hasil dan pembahasan :

Kandidat obat potensial untuk sistem pengirim obat gastroretentif :

1)Obat-obatan yang aktif secara lokal di perut, mis. misroprostol, antasida, dll.
2) Obat yang memiliki jendela serapan sempit di saluran pencernaan (GIT) mis. L-DOPA,
asam para aminobenzoic, furosemide, riboflavin, dll.
3) Obat-obatan yang tidak stabil di lingkungan usus atau kolon mis. kaptopril, ranitidin HCl,
metronidazole.
4) Obat-obatan yang mengganggu mikroba kolon normal misalnya antibiotik terhadap
Helicobacter pylori.
5) Obat-obatan yang menunjukkan kelarutan rendah pada nilai pH tinggi mis. diazepam,
chlordiazepoxide, verapamil HCl.

Obat-obat yang tidak dapat ditanggungkan untuk system pengiriman gastroretentif :

1)Obat-obatan yang memiliki kelarutan asam yang sangat terbatas, mis. fenitoin, dll.
2) Obat-obatan yang mengalami ketidakstabilan di lingkungan lambung mis. erythromycin
dll.
3) Obat-obatan yang ditujukan untuk pelepasan selektif di usus besar mis. 5- asam salisilat
amino dan kortikosteroid dll.

Keunggulan sistem pengirim obat gastroretentif :

1)Ketersediaan hayati agen terapeutik dapat ditingkatkan secara signifikan terutama bagi
mereka yang dimetabolisme di GIT atas dengan pendekatan pemberian obat gastroretentif ini
dibandingkan dengan pemberian pengiriman obat non-gastroretentif. Ada beberapa faktor
yang berbeda terkait dengan penyerapan dan transit obat dalam saluran gastrointestinal (GIT)
yang bertindak bersamaan untuk mempengaruhi besarnya penyerapan obat [54] .
2) Untuk obat dengan waktu paruh yang relatif singkat, pelepasan berkelanjutan dapat
mengakibatkan flip - gagal farmakokinetik dan juga memungkinkan pengurangan frekuensi
dosis dengan peningkatan kepatuhan pasien.
3) Mereka juga memiliki keunggulan dibandingkan sistem konvensional mereka karena
dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan waktu retensi lambung (GRT) serta waktu
pengosongan lambung (GET). Karena sistem ini diharapkan tetap apung pada cairan lambung
tanpa mempengaruhi tingkat penggunaan intrinsik karena kepadatan curahnya lebih rendah
daripada cairan lambung.
4) Pemberian obat gastroretentif dapat menghasilkan pelepasan obat yang berkepanjangan
dan berkelanjutan dari bentuk sediaan yang memanfaatkan terapi lokal di lambung dan usus
kecil. Karena itu mereka berguna dalam pengobatan gangguan yang berhubungan dengan
lambung dan usus kecil.
5) Pengiriman obat dalam bentuk dosis gastroretentif yang terkontrol dan lambat memberikan
aksi lokal yang cukup di tempat yang sakit, sehingga meminimalkan atau menghilangkan
paparan sistemik obat-obatan. Pemberian obat spesifik situs ini mengurangi efek samping
yang tidak diinginkan.
6) Bentuk sediaan gastroretentif meminimalkan fluktuasi konsentrasi dan efek obat. Oleh
karena itu, efek samping tergantung konsentrasi yang berhubungan dengan konsentrasi
puncak dapat disajikan. Fitur ini sangat penting untuk obat dengan indeks terapeutik yang
sempit [55].
7) Pemberian obat gastroretentif dapat meminimalkan aktivitas kontra dari tubuh yang
mengarah pada efisiensi obat yang lebih tinggi.
8) Pengurangan fluktuasi konsentrasi obat memungkinkan untuk mendapatkan peningkatan
selektivitas dalam aktivasi reseptor.
9) Mode berkelanjutan pelepasan obat dari bentuk dosis Gastroretentive memungkinkan
perpanjangan waktu selama konsentrasi kritis dan dengan demikian meningkatkan efek
farmakologis dan meningkatkan hasil kimia.

Kesimpulan :

Berdasarkan literatur yang disurvei, dapat disimpulkan bahwa pemberian obat gastroretentif
menawarkan berbagai potensi keuntungan untuk obat dengan bioavailabilitas yang buruk
karena penyerapannya terbatas pada saluran pencernaan bagian atas (GIT) dan dapat
diberikan secara efisien sehingga memaksimalkan penyerapannya dan meningkatkan
ketersediaan hayati absolut. Karena kompleksitas parameter farmakokinetik dan
farmakodinamik, studi in vivo diperlukan untuk menetapkan bentuk dosis opsional untuk
obat tertentu

Daftar pustaka :

Streubel A, Siepmann J, Bodmeier R. Gastroretentive drug delivery system. Expert Opin


Drug Deliv 2006; 3(2): 217-33

Iannucelli V, Coppi G, Bernabei MT, Camerorni R. Air compertment multiple-unit system


for prolonged gastric residence. Part-I. Formulation study. Int J Pharm 1998; 174: 47-54.

Garg R, Gupta GD. Progress in controlled gastroretentive delivery systems. Trop. J Pharm
Res 2008; 7(3): 1055-66.

Rouge N, Allemann E, Gex-Fabry M, Balant L, Cole ET, Buri P, Doelker E. Comparative


pharmacokinetic study of a floating multiple-unit capsule, a high density multiple-unit
capsule and an immediate-release tablet containing 25 mg atenolol. Pharm Acta Helbetiae
1998; 73: 81-7.

Streubel A, Siepmann J, Bodmeier R. Multiple unit Gastroretentive drug delivery: a new


preparation method for low density microparticles. J Microencapsul 2003; 20: 329-47.
JURNAL 2

Scholar. Unand. Oeh A. ijel 2015. 26/112/019.16.00 WIB

Sistem pengantar obat yang tertahan dilambung

I. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu farmasi dalam bidang teknologi sediaan farmasi semakin
pesat. Penelitian terus dilakukan untuk mengembangkan formula dan bentuk
sediaan baru untuk dapat mengatasi keterbatasan absorbsi dan bioavaibilitas di
dalam tubuh.
Diltiazem merupakan golongan benzoatiazepin penghambat kanal kalsium
dan termasuk antiaritmia kelas IV. Diltiazem HCl diberikan secara oral untuk
pengobatan angina pektoris dan hipertensi. Pemerian serbuk hablur atau hablur
kecil putih; tidak berbau; melebur pada suhu 210oC disertai peruraian.
Kelarutannya mudah larut dalam kloroform, dalam metanol, dan dalam air;
agak sukar larut dalam etanol mutlak; tidak larut dalam eter (Depkes RI, 1995).
Tablet diltiazem HCl diabsorbsi baik di dalam lambung dan mengalami first
pass metabolism di hati. Diltiazem HCl memiliki waktu paruh yang pendek yakni
3-4 jam dan perlu dikonsumsi 3-4x sehari untuk tetap mempertahankan tekanan.

Darah normal dan mencegah serangan angina pektoris. Bioavailabilitas


diltiazem
HCl pada pemberian oral sekitar 40% dengan konsentrasi plasma yang bervariasi
antar individu (Sweetman, 2009). Ini karena diltiazem merupakan substrat enzim
CYP 3A4 dan P- glikoprotein (P- gp) yang keduanya terdapat pada usus halus.
Selain itu absorbsi diltiazem lebih efektif pada bagian atas saluran cerna (Rauge et
al., 1996).
Salah satu alternatif mengatasi keterbatasan absorbsi diltiazem tersebut
adalah dengan sistem penghantaran obat tertahan di lambung sehingga diltiazem
dapat diabsorbsi tanpa terpengaruh dengan keadaan enzim CYP 3A4 dan Pglikoprotein
(P- gp) pada usus halus (Rauge et al, 1996).

Suatu sediaan lepas lambat dirancang untuk melepaskan obat secara lambat
dan memberi suatu cadangan obat selama terus-menerus dalam waktu yang lama
(Shargel and Yu, 2005). Bentuk sediaan ini bertujuan untuk mencegah absorbsi
obat yang sangat cepat, yang dapat mengakibatkan konsentrasi puncak obat dalam
plasma sangat tinggi (Remington, 2006).

Sistem penghantaran obat tertahan di lambung merupakan sebuah sistem


yang dirancang agar sediaan dapat tertahan di lambung dalam waktu yang lama
dan melepaskan zat aktifnya (Deghan and Khan, 2009). Agar dapat tertahan di
lambung, suatu sediaan harus dapat menahan gerakan peristaltik, kontraksi
konstan, mekanisme penghalusan dan pengocokan dalam lambung. Sediaan
tersebut juga harus dapat melawan waktu pengosongan lambung sebelum melepas
obat (Arora et al., 2005). Jenis penghantaran obat tertahan di lambung antara lain
sistem mengapung (floating), sistem mengembang (swelling), sistem
pengendapan(sedimentation), dan sistem mukoadhesif (Rathod et al., 2010).
Mekanisme sistem penghantaran obat mengapung terjadi karena bulk density
sediaan lebih rendah dibandingkan dengan densitas cairan lambung (Arora et al.,
2005). Sistem ini menyebabkan sediaan dapat mengapung di dalam lambung pada
waktu tertentu, tanpa mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Bentuk
sediaan ini disebut juga dengan hydrodynamically balanced system (HBS)
(Khan et al., 2010). Obat dilepaskan secara terus menerus dari matriks hidofilik yang
mengembang. Bentuk ini diharapkan mengapung selama 3-4 jam dalam cairan
lambung tanpa dipengaruhi pengosongan lambung karena densitasnya lebih
rendah dari densitas cairan lambung (Moes, 2003). Ketika obat ini mengapung
obat dilepaskan secara perlahan (Choi et al., 2009). Sistem sediaan mengapung
diperlukan terutama untuk obat-obat yang diabsorbsidi lambung, tidak stabil pada
usus, dan memiliki kelarutan yang tinggi pada pH tertentu (Khan et al., 2010).
Untuk meningkatkan ketersediaan hayati diltiazem HCl yang mempunyai
waktu paruh yang pendek sehingga waktu bertahannya di lambung sebentar dan
diperlukan frekuensi pemberian yang sering yakni 3-4 kali sehari. Dengan alasan
ini, maka dibuat formulasi tablet lepas lambat diltiazem HCl dengan
menggunakan sistem mengapung.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Diltiazem Hidroklorida
Diltiazem hidroklorida memiliki bobot molekul 450,98 dan rumus molekul
C22H26N2O4S.HCl, serta memiliki nama kimia sebagai berikut (+)-5-
2{2(dimetilamino)etil}-cis-2,3-dihidro-3-hidroksi-2-(p-metoksifenil)1,5
benzotiazepin -4(5H) -onasetat (ester) monohidroksida. Diltiazem HCl berupa
serbuk hablur kecil putih, tidak berbau, melebur pada suhu 2100C disertai
peruraian, mudah larut dalam kloroform, methanol, air dan asam; agak sukar larut
dalam etanol mutlak dan tidak larut dalam eter (Depkes RI, 1995).

Gambar 1. Struktur diltiazem hidroklorida (Sweetman, 2009)

Tablet diltiazem mengandung diltiazem hidroklorida C22H26N2O4S.HCl,


tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada
etiket. Penyimpanan diltiazem HCl dalam wadah yang tertutup rapat dan tidak
tembus cahaya (Sweetman, 2009).

Pada pemberian oral, diltiazem diabsorbsi kira-kira 80-90 % dan berikatan


dengan protein plasma. Efek mulai tampak kurang dari 30 menit setelah
pemberian dan konsentrasi puncak dalam plasma tercapai setelah 2 jam dengan
dengan waktu paruh 4 jam. Biovaibilitas diltiazem HCl pada pemberian oral

sekitar 40% dengan konsentrasi plasma yang berbeda antar individu. Senyawa ini
dikeluarkan dalam bentuk metabolit melalui urin (35 %) dan feses (60 %)
(sweetman, 2009).

2.2. Sediaan Lepas Lambat


Beberapa bentuk sediaan dirancang untuk melepaskan obat secara cepat ke
dalam tubuh agar diserap seluruhnya, sebaliknya produk lain dirancang untuk
melepaskan obatnya secara perlahan-lahan supaya pelepasannya lebih lama dan
memperpanjang kerja obat (Ansel, 2011). Sediaan lepas lambat merupakan bentuk
sediaan yang berorientasi pada sistem penyampaian obat (Drug Delivery System),
Untuk memperoleh aksi obat yang diperlama (Prolonged Action) atau
diperlambat/ditahan (Sustained Realease).
Tujuan dari sediaan lepas lambat (Remington, 2006) :
1. Mengurangi frekuensi pemberian dosis dalam satu hari sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien
2. Pada pemberian obat secara parental, dapat mengurangi frekuensi injeksi
yang sering kali menyakitkan dan menyebabkan infeksi.
3. Mempertahankan kadar terapi obat untuk jangka waktu yang lebih lama.
4. Mencegah fluktuasi obat dalam darah.
5. Mengurangi efek samping yang tidak diinginkan akibat konsentrasi obat yang
terlalu tinggi di dalam darah.
6. Pada sediaan oral, dapat mengurangi iritasi mukosa pencernaan yang terjadi
` karena konsentrasi obat yang tinggi di dalam saluran pencernaan.

7. Mencapai aksi farmakologi yang konstan bahkan untuk obat-obat dengan


waktu paruh biologis yang pendek.
8. Mengurangi resiko terjadinya resistensi bakteri terhadap suatu obat

9. antibakteri.

Menurut USP XXXII tahun 2009 sediaan dengan pelepasan yang dimodifikasi
(modified release dosage form) dibedakan atas pelepasan yang diperpanjang
(extended release) dan lepas tunda (delayed release). Sediaan dengan pelepasan
yang diperpanjang adalah bentuk sediaan yang memungkinkan frekuensi
pemberiannya dapat dikurangi paling sedikit dua kali dibandingkan terhadap
pemberian bentuk sediaan konvensional. Sediaan lepas tunda adalah sediaan yang
melepaskan zat aktifnya pada waktu yang tertunda. Sediaan lepas tunda ditujukan
untuk mendapatkan efek lokal di usus atau untuk melindungi lambung dari efek
yang tidak diinginkan.
Sediaan pelepasan diperpanjang terdiri dari dua jenis, yaitu sustained release
(sustained action = prolong action) atau sediaan lepas lambat dan controlled
release (time release) atau pelepasan terkendali. Pelepasan terkendali adalah
sediaan yang dapat memberikan kendali terhadap pelepasan zat aktif dalam tubuh.
Sistem ini berusaha mengendalikan konsentrasi zat aktif dalam jaringan atau sel
target (Robinson, 1976).

Sediaan lepas lambat adalah bentuk sediaan yang diformulasi sedemikian


rupa agar pelepasan zat aktifnya lambat sehingga kemunculan dalam sirkulasi
sistemik diperlambat sehingga profil plasmanya mempunyai waktu yang lama
(Robinson, 1976). Pada prinsipnya pengembangan sediaan lepas lambat umumnya
digunakan untuk pengobatan yang bersifat kontinuitas (berkelanjutan) dan
merupakan suatu pengobatan yang efektif. Sediaan lepas lambat biasanya
digunakan untuk pengobatan penyakit yang pemberiannya dapat beberapa kali
dalam sehari (Ansel, 2011).

2. 3 Sistem Penghantaran Obat Tertahan di Lambung


Sistem penghantaran obat tertahan di lambung atau gastro retentive drug
delivery system (GRDDS) merupakan sebuah sistem yang dirancang agar sediaan
dapat tertahan di lambung dalam waktu yang lama dan melepaskan zat aktifnya
(Deghan and Khan, 2009). Agar dapat tertahan di lambung, suatu sediaan harus
dapat menahan gerakan peristaltik, kontraksi konstan, mekanisme penghalusan
dan pengocokan dalam lambung. Sediaan tersebut juga harus dapat melawan
waktu pengosongan lambung sebelum melepas obat (Arora et al., 2005).
Manfaat yang diperoleh dari GRDDS antara lain (Garg dan Gupta, 2008) :
1. Waktu tinggal obat di dalam saluran cerna menjadi lebih lama sehingga dapat
meningkatkan bioavailabilitas dan efek terapeutik obat.
2. Mempertahankan konsentrasi terapeutik obat agar tetap konstan dalam waktu
yang lebih lama sehingga mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah dan
efek sampingnya.

3. Menurunkan dosis obat.


Bentuk sediaan yang tertahan di lambung merupakan salah satu bentuk sediaan
yang mengaplikasikan prinsip penghantaran obat dengan pelepasan yang
terkendali dimana satu atau lebih bahan obat dilepaskan secara kontiniu menurut
pola tertentu pada organ sasaran yang spesifik, yaitu lambung.

Beberapa sistem yang telah dikembangkan untuk memperpanjang waktu


tinggal obat di lambung antara lain (Arora et al., 2005) :
1. Sistem penghantaran mukoadhesif (Mucoadhesive Drug Delivery System)
2. Sistem penghantaran dengan ukuran yang diperbesar (Swelling and Expanding
Drug Delivery System).
3. Sistem penghantaran dengan densitas yang dikendalikan, terdiri atas sediaan
yang dapat mengendap (Sedimentation Drug Delivery System).
4. Sistem penghantaran dengan mengapung (Floating Drug Delivery System) di
dalam cairan lambung.

2.4 Sistem Mengapung (Floating System)


Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1968,
merupakan suatu sistem dengan densitas yang kecil, memiliki kemampuan
mengembang kemudian mengapung dan tinggal di dalam lambung, obat
dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat ditentukan. Hasil yang diperoleh
adalah peningkatan GRT dan pengurangan fluktuasi konsentrasi obat di dalam
plasma (Chawla et al., 2003).

Sistem mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya


perlahanlahan
dari sediaan yang memiliki densitas yang rendah. FDDS memiliki densitas
bulk yang lebih rendah daripada cairan lambung. FDDS tetap mengapung di
dalam lambung tanpa mempengaruhi motilitas dan keadaan dari lambung.
Sehingga obat dapat dilepaskan pada kecepatan yang diinginkan dari suatu sistem.

Persyaratan utama agar sediaan dapat mengapung adalah bobot jenis sediaan
harus lebih kecil dari bobot jenis kandungan lambung (Hanum, 2011).
Formulasi bentuk sediaan ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut
(Hanum, 2011) :
1. Harus memiliki struktur yang cukup untuk membentuk sebuah penghalang gel
kohesif.
2. Harus menjaga berat jenis keseluruhan lebih rendah dari isi lambung (1,004-
1,010).
3. Harus larut perlahan sehingga sesuai sebagai reservoir obat.
Ada beberapa cara membuat sediaan dengan sistem mengapung yaitu :

1. Hydrodynamically Balance System (HBS)


Sistem ini dirancang untuk memperpanjang waktu tinggal sediaan dalam
saluran cerna, memaksimalkan pencapaian lokasi penyerapan obat dalam
keadaan terlarut dan meningkatkan penyerapan. Sediaan dibuat dengan
menginporasikan satu atau lebih hidrokoloid pembentuk gel dalam kadar
tinggi (20-75 % b/b) seperti etil selulosa, hidroksi propil metil selulosa dan
hidroksi propil selulosa ke dalam formulasi dan mengempa granul atau
memasukkan ke dalam kapsul. Sediaan harus memiliki struktur yang cukup
untuk membentuk barrier gel yang kohesif, mampu menjaga bobot jenis lebih
rendah dari bobot jenis kandungan lambung (1,004 – 1,010 g/ml) dan harus
dapat terlarut secara perlahan agar berfungsi sebagai reservoir obat.
Mekanisme pelepasan obat dari sistem penghantaran kesetimbangan

hidrodinamik dalam saluran cerna mengikuti proses pelepasan yang


dikendalikan oleh difusi matriks.

2. Pengunaan bahan berpori


Bahan berpori yang digunakan adalah granul kalsium silikat berpori.
Sistem dapat mengapung karena ada udara yang terdapat di dalam pori-pori
granul kalsium silikat kemudian granul disalut dengan polimer tertentu.
Sebagian zat aktif diserapkan ke dalam granul sebelum dilakukan penyalutan
dan sebagian lagi ditambahkan ke dalam penyalut. Kecepatan pelepasan dapat
diatur dengan mengatur komposisi dan kadar bahan penyalut. Contoh polimer
yang dapat digunakan sebagai penyalut adalah campuran hidroksi propil
selulosa (HPC) dan etilselulosa.
3. Sistem dengan lapisan effervescent
Pada sistem effervescent digunakan dua jenis pembawa yaitu bahan
pembentuk gel yaitu polimer yang dapat mengembang atau golongan
polisakarida dan bahan pembentuk gas yaitu asam sitrat, sodium bikarbonat,
dan asam tatrat. Ketika obat kontak dengan asam lambung, asam lambung
akan menembus polimer dan masuk ke dalam obat dan terjadi reaksi yang
menghasilkan gas CO2. Gas CO2 ini tidak dapat keluar karena tertahan lapisan
gel polimer hidrokoloid sehingga mengakibatkan sediaan dapat mengapung
dan tertahan di lambung. Lapisan gel polimer memiliki peran yang penting
dalam mempertahankan keterapungan untuk melepaskan obat secara
terkendali. Jumlah dan jenis bahan pembentuk gas memiliki efek yang besar
terhadap ukuran partikel, kemampuan mengapung, morfologi, struktur pori,
kecepatan pelepasan, dan kekuatan sediaan tersebut.
Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matriks
hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balanced system (HBS),
karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akibat matriknya
mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang dipermukaan luar. Bentukbentuk
ini diharapkan tetap dalam keadaan mengapung selama tiga atau empat
jam dalam lambung tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung karena
densitasnya lebih rendah dari kandungan gastrik. Hidrokoloid yang
direkomendasikan untuk formulasi bentuk floating adalah cellulose ether polymer,
khususnya hydroxypropyl methylcellulose (Moes, 2003)

Disolusi
Disolusi merupakan proses melarutnya zat padat dalam medium pelarut
yang akan dipengaruhi oleh zat padat tersebut dan medium pelarutnya. Disolusi
dilakukan untuk meramalkan ketersediaan biologis obat di dalam tubuh. Prinsip
disolusi adalah menentukan jumlah bahan obat yang terlarut dalam selang waktu
tertentu (Abdou, 1989; Banakar, 1992).
Bila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, ada dua
kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan yaitu kelarutan
bahan berkhasiat dari sediaan padat dan kecepatan disolusi. Obat yang larut dalam
air akan melarut dengan cepat, kemudian akan berdifusi secara pasif ataupun
dengan transpor aktif yang merupakan penentu kecepatan absorbsi obat melalui
saluran cerna. Obat yang kelarutannya kecil, kecepatan disolusi merupakan
penentu absorbsi obat melalui saluran cerna (Abdou, 1989).
Dalam menentukan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat
berbagai macam proses yaitu karakteristik fisika sediaan, proses pembasahan
sediaan, kemampuan penetrasi medium disolusi ke dalam sediaan, proses
pengembangan, proses desintegrasi, deagregasi sediaan, dan lain-lain (Sinko,
2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi (Abdou, 1989)
a. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi, jika
pengadukan cepat maka lapisan difusi kecil sehingga kecepatan disolusi
bertambah.
b. Viskositas medium
Viskositas medium yang besar akan memberikan koefisien difusi yang kecil
sehingga laju disolusi menurun.
c. pH medium
sLaju disolusi senyawa yang bersifat asam lemah akan meningkat dengan
naiknya pH medium dan laju disolusi basa lemah turun dengan meningkatnya
pH. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium
tidak mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percovaan invitro
sangat penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di
sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju
disolusi.

d. Suhu medium
Kelarutan obat sangat tergantung pada suhu medium sehingga pengontrolan
suhu proses disolusi sangat penting. Biasanya suhu 37 ± 0,50C dipertahankan
selama proses disolusi sediaan padat dan supositoria. Jika suhu naik maka
viskositas akan menurun sehingga koefisien difusi akan naik dan laju disolusi
akan semakin meningkat.

e. Tegangan permukaan antara bahan obat dengan medium disolusi


Penambahan surfaktan pada senyawa hidrofob akan menaikkan kecepatan
disolusi. Hal ini disebabkan karena surfaktan dapat menurunkan tegangan
permukaan antara senyawa tersebut dengan medium sehingga disolusi
meningkat dan akibatnya laju disolusi menjadi lebih besar.
f. Metode yang digunakan
Metode laju disolusi yang berbeda akan menghasilkan laju disolusi yang
berbeda pula. Metode yang sering digunakan adalah metode keranjang
(basket) dan metode dayung (paddle).
Alat uji disolusi yang banyak dipakai dewasa ini adalah yang tertera dalam
Farmakope Amerika Serikat (USP) edisi XXXII tahun 2009. Ada dua jenis
metoda uji disolusi, yaitu:
1. Metoda Basket (Metoda 1)
Metoda Basket pertama kali diperkenalkan oleh Pernarowski, kemudian
dimodifikasi menjadi metoda resmi dalam USP XVIII dan NF XIII.
Kerugiannya ada beberapa hal seperti kecenderungan zat-zat menyumbat kasa
basket, kecepatan aliran berkurang bila partikel mengapung dalam pelarut
sehingga akan mengganggu hasil uji disolusi. Peralatan berupa wadah kaca

atau bahan lain yang inert dan transparan, bagian bawah bundar, tinggi 160-
175 mm, diameter 98-100 mm, bervolume 1000 ml dilengkapi tutup,
dicelupkan ke dalam penangas air, keranjang logam berbentuk selinder, motor
penggerak yang memutar keranjang dengan kecepatan yang dapat diatur.
Tablet atau kapsul yang di uji dimasukkan ke dalam keranjang.
2. Metoda Dayung (metoda II)
Metoda ini dapat menanggulangi beberapa kerugian dari metoda basket, tetapi
membutuhkan ketelitian yang tinggi dalam hal geometri pendayungnya.
Peralatan pada metoda ini sama dengan metoda basket, kecuali keranjang
diganti dengan pengaduk yang berbentuk pendayung, dan cara pelaksanaannya
sama dengan metoda basket.

III. PELAKSANAAN PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama lima belas bulan dari bulan Desember 2013
sampai dengan bulan Maret 2015 di Laboratorium Teknologi Farmasi Sediaan
Padat, Laboratorium Analisa Fisikokimia Fakultas Farmasi Universitas Andalas,
dan PT. Nusantara Beta Farma, Padang.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat
Timbangan digital, mesin cetak tablet, spektrofotometri UV-Vis (UV-1061
Shimadzu), alat uji disolusi (Pharma Test PT-DT7), lemari pengering, pengukur
kekerasan tablet (Monsanto-Stokes), Infrared Moiture Balance, tap volumeter
(Bulk Density Tester), pH meter, corong Hirch, pengukuran kerapuhan tablet
(Roche Friabilator), jangka sorong, kertas grafik, oven, pipet ukur, lumpang dan
stamper, stopwatch, alat-alat gelas standar laboratorium lainnya.
3.2.1 Bahan
Diltiazem HCl (Kimia Farma), HPMC HP 55 (Sanbe Farma), HPMC K4M,
Ac-di-sol (Kimia Farma), Avicel PH 102 (Kimia Farma), Aquades, HCl 0,1 N,
Mg stearat,dan Talkum.
3.3. Prosedur Penelitan
3.3.1. Pemeriksaan Bahan Baku
Pemeriksaan bahan baku dengan cara yang sesuai dengan Farmakope
Indonesia edisi III, IV dan Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition
meliputi pemeriksaan organoleptis (bentuk, warna, bau) kelarutan dan identifikasi
(panjang gelombang serapan maksimum diltiazem HCl di dalam aquades).
3.3.2. Formula Tablet
Tabel 1. Formula tablet lepas lambat diltiazem HCl

Komposisi Formula 1 Formula 2 Formual 3 Formula 4


diltiazemHCl(mg) 60 60 60 60
HPMC K4M(%) 20 70 - -
HPMC HP 102 (mg) - - 20 70
Avicel PH102 (mg) 275 25 275 25
Ac-di-sol (%) 10 10 10 10
Talk(%) 2 2 2 2
Mg stearate (%) 1 1 1 1
Bobot tablet 500 500 500 500
Jumlah tablet 100 100 100 100
Tabel 1. Formula tablet lepas lambat diltiazem HCl

3.3.3. Pembuatan Tablet


Tablet dibuat menggunakan metode granulasi basah dengan cara
memvariasikan HPMC K4M dan Ac-di-sol atau HPMC HP 55 dan Ac-di-sol.
Konsentrasi HPMC K4M atau HPMC HP 55 yang digunakan adalah 20% dan
70% serta Ac-di-sol sebesar 10%. Avicel ditambahkan ke dalam tablet berfungsi
sebagai penggenap bobot dengan jumlah 25 mg – 275 mg. Sementara talk dan Mg
Stearat ditambahkan sebagai fase luar dengan jumlah berturut-turut sebesar 2%
dan 1%.
Diltiazem HCl, HPMC K4M atau HPMC HP55, Ac-di-sol, dan Avicel PH
102 dicampur menggunakan pencampur turbula selama 15 menit kemudian
digranulasi menggunakan aquades hingga terbentuk masa granul yang baik.
Massa lembab di ayak menggunakan ayakan 12 mesh, lalu dikeringkan dalam
oven 60oC. Granul yang telah kering dilewatkan melalui ayakan 14 mesh
kemudian kedalamnya ditambahkan talk dan dicampur dalam pencampur turbula
selama 5 menit. Mg Stearat ditambahkan terakhir dan dicampurkan selama 2 menit di
turbula pencampur. Massa cetak yang diperoleh kemudian dikempa
menjadi tablet.
3.3.4. Evaluasi Granul
1. Pengujian Kadar Air Granul (Ben, 2008)
Persyaratan kadar air granul yang baik adalah 3-5 %. Granul ditimbang
sebanyak 5 gram pada piring timbangan Digital Infrared Moisture Balance.
Setelah ditutup, suhu akan naik sampai 1050C. Kandungan air granul dapat
dilihat secara langsung pada alat dan juga berat granul kering dapat ditimbang
langsung di alat tersebut. Lakukan ulangan sebanyak tiga kali. Jika berat
kering ditimbang sudah tidak berubah, maka dapat dihitung kandungan air
dengan persamaan :

Kadar air = W1 - W2 X 100%


W1

Keterangan : W1 = berat serbuk awal (mg)


W2 = berat serbuk kering (mg)

2. Kecepatan Aliran (Ben, 2008)


Suatu granul dikatakan baik apabila memiliki kecepatan alir > 10 g/s.
Ditimbang sejumlah massa cetak, lalu dimasukkan ke dalam corong yang
bagian bawahnya ditutup terlebih dahul u. Ratakan massa cetakkan, kemudian
lepaskan tutup corong. Dicatat waktu yang dibutuhkan untuk melewatkan
massa cetak sampai habis di dalam corong. Kecepatan alir dihitung dengan
persamaan :
Kecepatan alir = berat serbuk g
waktu detik

3. Sudut longsor (Ben, 2008)


sudut longsor 250 – 300 untuk kriteria sifat alir sangat baik serta 310 - 350
untuk kriteria sifat alir yang baik. Diukur tinggi dan diameter tumpukan yang
terbentuk pada percobaan kecepatan alir. Sudut istirahat dapat dihitung
dengan persamaan :

4. Bobot Jenis Granul (Ben, 2008)


Bobot Jenis Nyata
Timbang sejumlah massa cetak (W) dan masukan ke dalam gelas
ukur 100 mL, dicatat volume granul (V). Bobot jenis nyata dihitung
dengan persamaan ;

W mg
BJ nyata =
V(ml)

3.3.5. Evaluasi Tablet


1. Keseragaman Ukuran Tablet (Depkes RI, 1979)
Pengukuran dilakukan terhadap 10 tablet dengan menggunakan alat
mikrometer atau jangka sorong. Cari rata-rata dan standar deviasinya, kecuali
dinyatakan lain, diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1
tebal tablet .

2. Keseragaman Bobot Tablet (Depkes RI, 1979)


Ditimbang 20 tablet, dihitung berat rata-rata tablet kemudian ditimbang satu
persatu tablet dimana tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya pada kolom A dan tidak boleh ada satu
tabletpun yang bobotnya menyimpang dari kolom B seperti tertera pada Farmakope
Indonesia edisi IV.

Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-


ratadalam %
A B
25 mg atau kurang 15% 30%
26mg-125mg 75% 20%
151mg-500mg 7,5% 15%
Lebih dari 300 mg 5% 10%

Tabel 2. Persyaratan penyimpangan bobot rata-rata

3. Kekerasan Tablet (Ben, 2008)


Sebanyak 10 tablet yang diambil secara acak, diperiksa kekerasannya dengan
menggunakan alat penguji kekerasan tablet (Stokes-Monsato). Putar alat sampai
tablet pecah, catat skala yang ditunjukkan pada saat tablet pecah. Persyaratan
kekerasan tablet yang baik adalah 4-8 kg/cm2.
4. Uji Penetapan Kadar ( Faizatun et al., 2007)
Uji penetapan kadar diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
200-400 nm. Dengan membuat dua macam larutan yakni larutan uji dan larutan
baku yang diukur serapan maksimumnya. Larutan uji : sejumlah 20 tablet
diltiazem HCl ditimbang dan digerus homogen. Ditimbang sejumlah serbuk yang
setara dengan 30 mg diltiazem HCl dilarutkan di dalam air suling sampai volume
100 ml. Larutan kemudian disaring, sebanyak 2 ml filtrat diencerkan dengan air
suling sampai volume 50 ml.

Larutan baku: sejumlah lebih kurang 30 mg baku pembanding diltiazem HCl


yang ditimbang saksama dilarutkan di dalam air suling sampai volume 100 ml.
Sejumlah 2 ml larutan diencerkan dengan air suling hingga volume 50 ml. Larutan
uji dan larutan baku diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dan
air digunakan sebagai blangko.
5. Uji Floating (Geroglanals et al., 1993)
Uji Floating dilakukan dengan penentuan daya mengapung (D) tablet dalam
mediumnya dengan cara memasukkan tablet ke dalam beker gelas yang telah diisi
dengan medium HCl 0,1 N. Penentuan daya mengapung (D) tablet dihitung dengan
mengukur volume tablet pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Lalu
dihitung dengan persamaan :
D = (BJ medium x V) – W

Dimana : V = Volume tablet (ml)


W = Bobot tablet (g)
BJ medium = Berat jenis medium (g/ml)

BJ tablet dihitung pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dengan persamaan :

W
BJ tablet=
V

Dimana : W = bobot tablet (g)


V = volume tablet ( ml)

6. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum dan Kurva Kalibrasi


a. Penentuan panjang gelombang maksimum diltiazem HCl dalam aquades
dengan spektrofotometer UV 200 – 400 nm ( Faizatun et al., 2007)
Penentuan dilakukan dengan melarutkan diltiazem HCl dalam labu
ukur sebanyak 30 mg dan ditambahkan aquades sampai 100 ml. lalu
diencerkan dengan memipet 2 ml dan dicukupkan menjadi 50 ml. lalu
diukur panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV 200 –
400 nm.

b. Pembuatan kurva kalibrasi dalam aquades ( Faizatun et al., 2007)


Dibuat satu seri konsentrasi larutan diltiazem HCl dengan cara:
ditimbang saksama 25 mg bahan baku diltiazem HCl, dilarutkan di dalam
250 ml air suling. Dipipet masing-masing 2, 3, 4, 5,dan 6 ml larutan,
dincerkan dengan air suling sampai 50 ml, maka akan diperoleh larutan

dengan konsentrasi 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, dan 12 ppm. Serapan


dari masing-masing larutan diukur pada panjang gelombang maksimum.
7. Uji Disolusi
Uji disolusi tablet diltiazem HCl dilakukan berdasarkan USP XXXII untuk
diltiazem hydroclorida extended release capsule menggunakan alat dengan
metoda dayung (tipe 2) dengan kecepatan 100 putaran per menit. Uji disolusi
dilakukan menggunakan medium air sebanyak 900,0 ml selama 8 jam pada suhu
37,0 ± 0,5 0C. Zat aktif yang terlepas tidak lebih dari 60%. Pemipetan dilakukan
pada menit ke 5, 10, 30, 60, 120, 240, dan 480 sebanyak 5 ml dan pada setiap
pemipetan larutan diganti dengan medium yang jumlah dan suhunya sama pada
saat pemipetan. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yang telah
ditentukan dan jumlah yang lepas dihitung menggunakan persamaan regresi linier
dari kurva kalibrasi.
JURNAL 3

JUDUL : Formulasi dan Evaluasi Granul Gastroretentive Mukoadhesif


Amoksisilin

PENDAHULUAN: Amoksisilin(α-aminohidroksil penisilin) merupakan antibiotik semi


sintetik golongan β-Lactam yang efektif untuk pengobatan infeksi bakteri khususnya untuk
infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter pylori berada dalam lapisan mukus lambung dan
permukaan sel epitel (Pandit, 2010). Dalam jangka waktu yang lama kolonisasi bakteri
Helicobacter pylori dapat menyebabkan bukan hanya penyakit-penyakit seperti dispepsia,
gastritis, tukak usus atau lambung, tetapi juga kanker lambung dan limfoma MALT
(Lakshmi, 2012).

Amoksisilin dalam bentuk sediaan konvensional memiliki waktu tinggal yang singkat di
lambung sehingga konsentrasinya lebih rendah di dalam ambung. Waktu tinggal yang
diperpanjang dari bahan antimikroba merupakan hal yang diinginkan untuk memberikan
pemberantasan yang lebih efektif terhadap Helicobacter pylori (Pandit, 2010). Untuk
mengatasi masalah tersebut dan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat, sistem
penghantaran obat yang diperlambat dengan waktu tinggal yang diperpanjang di dalam
lambung dapat digunakan. Bentuk sediaan gastroretentive (GRDFs) dirancang untuk
dipertahankan di lambung untuk waktu yang diperpanjang dan untuk melepaskan zat
aktifnya, sehingga memungkinkan obat dipertahankan dan diperpanjang pada bagian atas
saluran pencernaan (Lakshmi, 2012).

Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS) merupakan sediaan lepas lambat. Salah satu
bentuk Gastroretentive Drug Delivery System adalah sistem mukoadhesif, sediaan dapat
terikat padapermukaan sel epitel lambung atau mukosa dan menyebabkan waktu tinggal obat
lebih lama di tempat absorbsi (Irawan, 2011).Sediaan mukoadhesif dapat dibuat
menggunakan polimer alam, semi sintesis maupun sintesis.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan formulasi sediaan granul gastroretentive


mukoadhesif dari amoksisilin dengan tujuan mendapatkan formula granul gastroretentive
mukoadhesif amoksisilin yang lebih efektif memberantas Helicobacter pylori. Amoksisilin
diformulasikan menjadi granul gastroretentive mukoadhesif dengan menggunakan metode
granulasi basah, karena metode granulasi basah telah dilaporkan lebih efisien untuk formulasi
sediaan lepas lambat dibandingkan dengan metode granulasi kering (Lakshmi, 2012). Selain
itu, pada formulasi granul gastroretentive mukoadhesif ini dibuat dengan menggunakan
beberapa polimer seperti Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC), Metil Selulosa (MC) dan
Etil Selulosa (EC). Bahan-bahan polimer ini merupakan bahan-bahan yang tidak toksik dan
tidak mengiritasi (Rowe dkk, 2009). Penggunaan polimer-polimer ini dimaksudkan untuk
melihat daya mukoadhesif pada lambung dari beberapa polimer dengan berbagai konsentrasi.

Adapun jenis evaluasi yang akan dilakukan pada sediaan granul gastroretentive mukoadhesif
ini adalah uji wash off. Di mana uji wash off bertujuan untuk melihat kemampuan granul
melekat pada mukosa lambung selama 2 jam.
PELAKSANAAN PENELITIAN:

 Pembuatan Formula Granul


Granul dibuat menggunakan metode granulasi basah. Untuk setiap formula,
ditimbang bahan-bahan untuk pembuatan setiap 700 mg granul dengan dosis
Amoksisilin 250 mg. Amoksisilin dicampur dengan hidroksi propil metil selulosa, dan
laktosa. Digerus hingga homogen, ditambahkan pelarut campur alkohol 96% dan
aquadest (1:1) hingga terbentuk massa yang dapat dikepal. Massa yang diperoleh
diayak menggunakan ayakan no. 10. Dikeringkan dalam oven pada suhu 60o selama 4
jam. Granul kering diayak lagi menggunakan ayakan no. 16. Granul yang diperoleh
dilakukan evaluasi.Dilakukan hal yang sama dengan menggunakan polimer metil
selulosa dan etil selulosa.

 Evaluasi Granul Gastrorententive Mukoadesif Amoksisilin


Evaluasi granul meliputi uji disolusi, uji kadar air, penentuan panjang gelombang
maksimum, dan uji wash off.

HASIL DAN DISKUSI: Granul gastroretentive mukoadhesif amoksisilin dibuat dalam


sepuluh formula. Formula IA, IB, IC dibuat menggunakan hidroksi propil metil selulosa
(HPMC) sebagai polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 40%, 50% dan 60% secara
berturut-turut. Formula IIA, IIB, IIC dibuat menggunakan Metil Selulosa (MC) sebagai
polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 40%, 50% dan 60% secara berturut-turut. Formula
IIIA, IIIB, IIIC dibuat menggunakan Etil Selulosa (EC) sebagai polimer mukoadhesif dengan
konsentrasi 40%, 50% dan 60% secara berturut-turut. Formula IV dibuat tanpa menggunakan
polimer mukoadhesif, di mana formula IV merupakan formula yang dijadikan sebagai
pembanding. Seluruh formula dibuat dengan metode granulasi basah. Granul dibuat dengan
metode granulasi basah karena lebih mudah dan dapat menghasilkan granul yang lebih
kompak. Granul yang dihasilkan dari seluruh formulasi berwarna kuning.

Dari hasil uji kadar air diperoleh persentase kadar air dari kesepuluh formula granul
mukoadhesif yakni antara 3,00%-9,55%. Dari sepuluh formula, hanya formula IV yang
memenuhi persyaratan uji kadar air, yakni tidak lebih dari 3%. Kadar air terendah dimiliki
oleh granul FIV, sedangkan kadar air tertinggi dimiliki oleh granul FIIC. Dimana kadar air
yang kecil menandakan formula tersebut cenderung akan lebih stabil dalam penyimpanan.
Sedangkan kadar air yang besar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme.

Tinggi rendahnya kadar air dipengaruhi oleh lama pengeringan. Lama pengeringan
dipengaruhi oleh kebasahan granul saat dikeringkan. Pada penelitian ini granul dikeringkan
dalam oven selama 4 jam pada suhu 60oC. Selain itu, kondisi alat pengering (oven) yang
sering dibuka juga mempengaruhi hasil.

Uji daya mukoadhesif granul dilakukan dengan metode uji wash off, di mana uji wash
off inidilakukan untuk melihat kemampuan granul melekat pada mukosa selama 2 jam. Uji
tersebut dilakukan dengan menggunakan jaringan mukosa lambung dan HCl 0,1 N sebagai
medium karena granul yang dibuat ditujukan sebagai sediaan mukoadhesif di lambung.

Dari hasil uji wash off, tidak ada satupun formula yang melekat pada mukosa
lambung sampai 2 jam, hanya ada beberapa formula yang melekat sampai 90 menit.
Perlekatan tertinggi sampai pada menit 90 dimiliki oleh Formula IB yakni 20%, kemudian
Formula IC 7,5%, Formula IA 5% dan Formula IIB dan Formula IIC 2,5%. Seluruh formula
yang dibuat dengan menggunakan polimer mukoadhesif memiliki perlekatan yang lebih baik
dibanding dengan formula yang dibuat tanpa menggunakan polimer mukoadhesif. Ini
menunjukkan bahwa hidroksi propel metil selulosa (HPMC), metil selulosa (MC) dan etil
selulosa (EC) merupakan bahan polimer yang memiliki daya mukoadhesif.

Formula granul yang dibuat dengan menggunakan HPMC sebagai polimer memiliki
daya mukoadhesif yang lebih baik dibanding dengan formula granul yang dibuat dengan
menggunakan metil selulosa dan etil selulosa sebagai polimer. Hal itu disebabkan HPMC
memiliki kecepatan hidrasi yang lebih terkontrol sehingga hidrasi yang berlebihan dan
pembentukan mucilago licin yang dapat dengan formula yang dibuat tanpa menggunakan
polimer mukoadhesif. Ini menunjukkan bahwa hidroksi propel metil selulosa (HPMC), metil
selulosa (MC) dan etil selulosa (EC) merupakan bahan polimer yang memiliki daya
mukoadhesif.

Formula granul yang dibuat dengan menggunakan HPMC sebagai polimer memiliki
daya mukoadhesif yang lebih baik dibanding dengan formula granul yang dibuat dengan
menggunakan metil selulosa dan etil selulosa sebagai polimer.

Hal itu disebabkan HPMC memiliki kecepatan hidrasi yang lebih terkontrol sehingga
hidrasi yang berlebihan dan pembentukan mucilago licin yang dapat membuat granul mudah
lepas dari mukosa dapat dicegah (Majithya, et al, 2008).

Uji disolusi dilakukan untuk semua formula mengunakan alat disolusi tipe 2 (tipe
dayung) dengan kecepatan 50 rpm. Medium yang digunakan adalah larutan HCl 0,1 N,
karena uji in vitro yang dilakukan disesuaikan dengan pH di mana obat tersebut diharapkan
terlepas dengan suhu medium yang dipertahankan pada 37 ± 0,5o C, disesuaikan dengan suhu
tubuh manusia.

Untuk menghitung jumlah amoksisilin yang terdisolusi, dibuat kurva baku amoksisilin
dalam medium disolusi yang digunakan. Larutan amoksisilin yang dibuat dalam medium
disolusi memberikan nilai panjang gelombang maksimum yakni 272 nm. Persamaan kurva
baku yang diperoleh yakni y = 0,0032x - 0,0039 dengan nilai r = 0,998.

Hasil uji disolusi memperlihatkan bahwa dari kesepuluh formula yang dibuat hanya
ada tiga formula yang menunjukkan pelepasan obat secara lambat (yakni FIA, FIB dan FIC),
sementara tujuh formula lainnya (yakni FIIA, FIIB, FIIC, FIIIA, FIIIB, FIIIC dan FIV) tidak
memperlihatkan pelepasan obat secara lambat karena pada menit 15 obat yang terlepas
berkisar antara 92% - 105%, di mana pada kisaran konsentrasi tersebut obat hampir terlepas
semua atau bahkan sudah terlepas semua.
Tiga formula yang menunjukkan pelepasan obat secara lambat (yakni FIA, FIB dan
FIC), merupakan formula yang dibuat dengan menggunakan HPMC 40%, 50% dan 60%
secara berturut-turut. Formula IA melepaskan obat sebanyak 66,02 % pada menit 15 dan
110,40% pada 3 jam atau 180 menit. Formula IB melepaskan obat sebanyak 55,77 % pada
menit 15 dan 104,01% pada 3 jam atau 180 menit. Formula IC melepaskan obat sebanyak
58,65 % pada menit 15 dan 108,14% pada 3 jam atau 180 menit. Formula IB merupakan
formula yang paling lambat melepaskan obat dibanding formula IC dan formula IA.

KESIMPULAN: Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan daya mukoadhesif melalui uji wash off, tidak ada formula granul yang
melekat sampai 2 jam, hanya formula IA, IB, IC dan IIC yang masih melekat sampai pada
menit 90.

2. Formula IB dibuat dengan HPMC 50% sebagai polimer merupakan formula dengan daya
mukoadhesif yang paling baik dibanding formula yang lain.

3. Berdasarkan hasil uji disolusi, hanya formula IA, IB dan IC yang menunjukkan pelepasan
obat yang lambat.

4. Formula yang paling lambat dalam melepaskan obat adalah formula IB dengan HPMC
50% sebagai polimer, di mana obat terlepas sebanyak 55,76 % dalam 15 menit dan 104,01%
pada 3 jam atau 180 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Irawan, E.D, dan Farhana. Optimasi Chitosan dan Natrium Karboksimetilselulosa sebagai
Sistem Mucoadhesive pada Tablet Teofilin. Majalah Farmasi Indonesia: Fakultas Farmasi
Universitas Jember. 2001

Laksmhi. M.S. et al. Formulation and Evaluation of Gastroretentive Mucoadhesive Granules


of Amoxicillin Trihydrate AgainstH.pylori. Journal of Pharmacy Research,5(6),3692- 3705.
2012

Majithya, R.J, et al, Enhancement of Mucoadhesion by Blending Anionic, Kationic and


Nonionic Polymers. 2008

Pandit, Vinay, et al. Gastroretentive Drug Delivery System of Amoxicillin: Formulation and
In Vitro Evaluation. Dept. of Pharmaceutics, Al- Ameen College of Pharmacy, Bengalooru:
India. 2010

Rowe, RC, dkk. Handbook of Pharmaceutical Excipient.Fifth edition. Pharmaceutical Press.


London.2006
JURNAL 4

Sistem Pengiriman Obat Gastroretentif


Satinderkakar, Ramandeep Singh dan Shallusandhan *
Himachal lembaga Farmasi, Paonta Sahib, India

I. PENDAHULUAN
Pemberian oral adalah metode yang paling nyaman dari pemberian obat dan
berhubungan dengan kepatuhan pasien lebih baik dibandingkan dengan mode lainnya
(Hofman A et al; 2004). Sekitar 50% dari sistem pengiriman obat yang tersedia di pasar
adalah sistem pemberian obat oral. Suatu penyerapan oral obat sering terbatas karena
singkat waktu retensi lambung (GRT), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk isi perut
memasuki usus kecil (Shargel dan Andrew, 1999).
Obat-obatan yang mudah diserap dari GIT dan memiliki paruh pendek
dieliminasi cepat dari sirkulasi darah, sehingga mereka memerlukan dosis yang
berulang. Untuk menghindari kelemahan ini, formulasi pelepasan berkelanjutan yang
dikendalikan telah dikembangkan dalam upaya untuk melepaskan obat secara perlahan
ke dalam GIT dan menjaga konsentrasi obat yang efektif dalam serum untuk jangka
waktu yang lama (Ma et al., 2008).
Ketika obat diformulasikan dengan polimer gel membentuk seperti derivatif
semisintetik dari selulosa, akan mengembang dalam cairan lambung dengan bulk
density kurang dari satu dan mengapung dalam cairan lambung, dan memperpanjang
GRT (Patel et al., 2006). Selain itu, karena setiap dosis terdiri dari banyak sub-unit,
risiko dosis dumping berkurang (Gadadet al., 2009). Waktu pengosongan adalah aset
berharga untuk bentuk sediaan, yang berada di perut untuk jangka waktu yang panjang
daripada dosis konvensional dengan merancang obat yang pelepasannya terkendali
untuk penyerapan yang lebih baik dan meningkatkan bio-avabilitas.Bentuk sediaan
meningkatkan bio-ketersediaan, memiliki masalah stabilitas pembubaran dan / atau di
kecil Distribusi seragam bentuk-bentuk beberapa dosis satuan sepanjang GIT bisa
mengakibatkan penyerapan obat lebih direproduksi dan mengurangi risiko iritasi lokal;
ini menjadikan pelepasan obat dikontrol dan menyebabkan gastro dapat menyimpan
microspheres, meningkatkan bio-avabilitas , memiliki masalah stabilitas pembubaran
dan / atau di kecil
cairan usus, menjadi lokal efektif dalam perut, diserap hanya di perut dan / atau bagian
atas dari usus (Sharma dan Pawar, 2006).
Pengosongan lambung dari bentuk sediaan adalah proses yang sangat variabel
dan kemampuannya untuk memperpanjang dan mengontrol waktu pengosongan adalah
aset berharga untuk bentuk sediaan, yang berada di perut untuk jangka waktu yang
panjang daripada dosis konvensional kesulitan forms. Distribusi seragam bentuk-bentuk
beberapa dosis satuan sepanjang GIT bisa mengakibatkan penyerapan obat lebih
direproduksi dan mengurangi risiko iritasi lokal; ini melahirkan pengiriman obat
dikontrol lisan dan menyebabkan pengembangan gastro dpt menyimpan
microspheres.This mengambang mengambang bentuk sediaan meningkatkan bio-
ketersediaan, memiliki masalah stabilitas pembubaran dan atau dalam cairan usus
kecil, yang secara lokal efektif dalam perut, yang diserap hanya di perut dan atau
bagian atas dari usus (Sharma dan Pawar, 2006).

II. TINJAUAN PUSTAKA


LAMBUNG
perut terletak di bagian kiri atas perut tepat di bawah diafragma (Tortora dan
Grabwoski, 2000).
Parameter Kisaran pH
Perut 1-3
Usus halus 5-7,5
Usus besar 7,9-8
Dubur 7,5-8

lambung memiliki empat fungsi utama regions. utama fundus dan tubuh
penyimpanan, sedangkan dari cardia adalah mencampur atau grinding. Lambung
berfungsi untuk menyimpan makanan, mencerna makanan dan memberikan makanan
ke usus kecil dan selanjutnya diolah oleh usus kecil.

Peraturan sekresi lambung dan motilitas

Kedua mekanisme saraf dan hormon mengontrol sekresi asam lambung dan
kontraksi otot polos di dinding lambung. Acara di sekresi lambung terjadi dalam tiga
fase tumpang tindih; fase cephalic, fase lambung dan fase usus.

PENGOSONGAN LAMBUNG
1. Tahap I (fase basal) berlangsung 40-60 menit dengan kontraksi langka.
2. Tahap II (fase preburst) berlangsung selama 40 sampai 60 menit dengan potensial
aksi intermiten dan kontraksi. Sebagai fase berlangsung intensitas dan frekuensi
juga meningkatkan secara bertahap.
3. Tahap III (meledak fase) berlangsung selama 4 sampai 6 menit. Ini termasuk
kontraksi intens dan teratur untuk waktu yang singkat. Hal ini karena gelombang
ini bahwa semua bahan tercerna adalah menyapu keluar dari perut ke usus kecil.
Hal ini juga dikenal sebagai gelombang pembantu rumah tangga.
4. Tahap IV berlangsung selama 0-5 menit dan terjadi antara fase III dan I dari 2
siklus berturut-turut.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGOSONGAN LAMBUNG


1. Volume makanan: yang lebih besar sebagian besar makanan, semakin lama
akan waktu pengosongan lambung.
2. Komposisi makanan: lemak mempromosikan sekresi empedu, yang memiliki
efek penghambatan pada waktu pengosongan lambung.
3. Keadaan fisik makanan dan bentuk: Bahan kental mengosongkan lambat dari
bahan kurang kental.
4. Emosi: Stres dan kecemasan mem[pengaruhimotilitas lambung dimana depresi
akan mmpercepat pengsosongan lambung
5. Ritme sirkadian: irama jantung yang meningkat pada siang hari dan kurang
pada malam juga mempengaruhi waktu retensi lambung.
6. Ukuran bentuk sediaan: lebih besar kandungan energi dari makanan
(karbohidrat dan kadar lemak yang tinggi), lama durasi pengosongkan.
7. Kepadatan bentuk sediaan oral: Kepadatan cairan lambung dilaporkan 1.2g /
cm 3. Kepadatan bentuk sediaan harus kurang dari ini untuk daya apung 1.2g /
cm 3. Kepadatan bentuk sediaan harus kurang dari ini untuk daya apung 1.2g /
cm 3. Kepadatan bentuk sediaan harus kurang dari ini untuk daya apung
sehingga masih dipertahankan dalam perut untuk jangka waktu yang lama.
8. negara yang terserang penyakit: keadaan perut juga mempengaruhi lingkungan
untuk bentuk sediaan seperti dalam kasus bisul, perut kembung dan kejang
(Brahmankarand Jaiswal, 2006).
9. Terapi obat: Ini juga memainkan peran penting dalam lambung pengosongan
misalnya obat prokinetik seperti cisapride dan Mosapride meningkatkan waktu
pengosongan lambung sedangkan imipramine dan atropin itu tidak
mempercepat pengosongannya.
10. Umur: Kenaikan usia menurun motilitas lambung ada dengan meningkatkan
waktu pengosongan lambung.
11. Postur: pengosongan lambung sambil berdiri dan dengan berbaring di sisi
kanan sejak kelengkungan normal perut menyediakan jalur menurun yang
akan mempercepat pengosongan lambung.

KRITERIA PEMILIHAN CALON OBAT UNTUK GRDDS


Sistem pengiriman obat kuat gastro cocok untuk jenis berikut terapi obat:
1. Obat mereka adalah lokal aktif dalam misalnya perut misroprostol, antasida dll
2. Obat-obatan yang memiliki jendela penyerapan sempit di gastrointestinal sistem
(GIT) misalnya, LDOPA, paraaminobenzoic asam, furosemide, riboflavin dll
3. Obat yang tidak stabil dalam lingkungan usus atau kolon misalnya captopril,
ranitidine HCl, metronidazol.
4. Obat-obatan yang mengganggu kolon mikroba yang normal misalnya antibiotik
melawan Helicobacter pylori.
5. Obat-obatan yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH tinggi misalnya
diazepam, chlordiazepoxide, verapamil HCl (Nayak et al., 2010).

KEUNTUNGAN DARI GRDDS


1. Peningkatan bio-ketersediaan.
2. frekuensi Mengurangi dosis.
3. Target terapi untuk penyakit lokal di GIT atas.
4. kepatuhan pasien.
5. Peningkatan efektivitas terapi (Singh dan Kim, 2000).
Gastro-dpt menyimpan sistem pengiriman obat (GRDDS) sangat
meningkatkan farmakoterapi dari perut melalui pelepasan obat lokal yang mengarah
ke konsentrasi obat tinggi pada mukosa lambung (pemberantasan helicobacter pylori
dari jaringan sub mukosa lambung), sehingga memungkinkan untuk perut mengobati
dan ulkus duodenum , gastritis, dan esofagitis, mengurangi risiko kanker lambung,
dikendalikan formulasi rilis antasida. GRDDS dapat digunakan sebagai pembawa
untuk obat yang diserap dari jendela penyerapan dalam perut. Misalnya berbagai
antibiotik,ntivirus dan antijamur agen dll (Sulfonamid, kuinolon, penisilin,
sefalosporin, aminoglikosida dan tetrasiklin, dll) diambil hanya dari situs yang sangat
spesifik dari mukosa GI.

KEKURANGAN DARI GRDDS


Ada situasi tertentu di mana retensi lambung tidak diinginkan. Aspirin dan
non-steroid anti-inflamasi diketahui menyebabkan lesi lambung dan slow release
obat-obatan seperti di perut yang tidak diinginkan. Dengan demikian obat yang dapat
mengiritasi lapisan lambung atau tidak stabil dalam lingkungan asam yang tidak boleh
dirumuskan dalam sistem dpt menyimpan gastro. Selanjutnya, obat lain seperti
isosorbidedinitrate yang diserap sama dengan baik di seluruh GIT tidak akan cocok
untuk dipasang ke dalam sistem retensi lambung (Deshpandeet al., 1997). Juga
GRDD memiliki beberapa keterbatasan seperti:
1. Kebutuhan tingkat tinggi cairan di perut untuk sistem pengiriman ke float dan
bekerja secara efisien.
2. Membutuhkan kehadiran makanan untuk menunda pengosongan lambung.
3. Obat-obatan, yang mengalami metabolisme lulus pertama yang signifikan, mungkin
tidak menjadi kandidat diinginkan untuk mengambang sistem pengiriman obat sejak
pengosongan lambung yang lambat.
Satinderkakar dan Shallusandhan 409
4. dapat menyebabkan mengubah bioavailabilitas sistemik.
5. Obat memiliki kelarutan atau stabilitas masalah dalam lingkungan lambung yang
sangat asam atau yang iritasi mukosa lambung tidak dapat dirumuskan sebagai
GRDDS.

PENDEKATAN RETENSI LAMBUNG


Sejumlah pendekatan telah digunakan untuk meningkatkan GRT dari bentuk
sediaan dalam perut dengan menggunakan berbagai konsep. Ini Termasuk.
1. System lepas lambat
2. Penghantaran obat secara spesifik
3. System meningkatkan penyerapan
4. System penyalutan
5. System pengembangan obat
6. Bio atau mukoadesif system
7. Sistem peningkatan berat jenis
8. System effervescent
9. System resisntensi penukaran ion
10. System pengaturan osmotic

PRODUK GRDDS

Prinsip sistem keseimbangan hidrodinamis

Bilayer tablet
Sebuah tablet bilayer dapat disiapkan mengandung satu lapisan segera-release
dan satu berkelanjutan-release lapisan. Setelah dosis awal yang disampaikan oleh
pelepasan lapisan segera, rilis lapisan berkelanjutan menyerap cairan lambung dan
membentuk penghalang gel koloid di permukaannya. Ini menghasilkan bulk density
kurang dari cairan lambung dan sisa-sisa apung dalam perut untuk jangka waktu
(Altaf et al., 2008) Bilayer tablet ditunjukkan pada Gambar 6.

Intragastrik mengambang sistem pengiriman obat gastro intestinal

Sebuah sistem pengiriman obat gastrointestinal (Gids) dapat dibuat untuk mengapung
di perut dengan memasukkan ruang pengapungan, yang mungkin menjadi vakum atau
diisi dengan gas berbahaya (Rahman et al., 2006) .Sebuah waduk obat dirumuskan
dalam mikro yang kompartemen dengan lubang di bagian atas dan dinding bawah.
Dinding perifer dari kompartemen waduk obat benar-benar disegel untuk mencegah
kontak langsung dari permukaan mukosa lambung dengan obat larut. Dalam perut
ruang pengapungan menyebabkan Gids untuk mengapung dalam cairan lambung.
Cairan masuk melalui lubang, melarutkan obat, dan carry dan zat terlarut obat dari
sistem pengiriman obat untuk transportasi dikendalikan untuk usus untuk penyerapan
(Bolourtchian et al., 2008).

Keuntungan mikro berongga


1. Improvespatientcompliance dengan mengurangi dosis frekuensi.
2. Bioavailabilitas Meningkatkan meskipun pertama efek pass karena fluktuasi
konsentrasi plasmadrug dihindari, konsentrasi obat plasma diinginkan ismaintained
oleh pelepasan obat terus menerus.
3. waktu retensi lambung meningkat karena daya apung.
4. penyerapan ditingkatkan obat yang melarutkan hanya dalam perut
5. rilis obat secara terkontrol untuk periode berkepanjangan.
6. pemberian obat spesifik lokasi untuk perut dapat dicapai (Basavaiah dan Prameela,
2004).
7. Unggul satu unit floating dosis bentuk sebagai mikrosfer seperti rilis druguniformly
dan tidak ada risiko dosis dumping.
8. Menghindari iritasi lambung, karena efek pelepasan berkelanjutan.

9. Lebih baik efek terapi obat paruh pendek dapat dicapai (Reymond et al., 1986).

Metode penyusunan mikro berongga

mikro berongga disusun oleh pelarut difusi dan penguapan metode untuk
menciptakan inti berongga. Polimer dilarutkan dalam pelarut organik dan obat ini baik
dilarutkan atau didispersikan dalam larutan polimer. Larutan yang mengandung obat
tersebut kemudian emulsi ke dalam fase berair yang mengandung polivinil alkohol
untuk minyak bentuk dalam emulsi air. Setelah pembentukan emulsi yang stabil,
pelarut organik diuapkan baik dengan meningkatkan suhu di bawah tekanan atau
dengan pengadukan terus menerus. Penghapusan mengarah pelarut curah hujan
polimer di o / w antarmuka tetesan, membentuk rongga dan dengan demikian
membuat mereka berongga untuk memberikan sifat mengambang (Basavaraj et al.,
2008).

KESIMPULAN

Tujuan dari setiap sistem pengiriman obat adalah untuk memberikan sejumlah
terapi obat ke situs yang tepat dalam tubuh dan juga untuk mencapai dan
mempertahankan konsentrasi plasma yang diinginkan dari obat untuk jangka waktu
tertentu. Namun, rilis lengkap dari obat, lebih pendek waktu tinggal dari bentuk sediaan
di lead GIT atas ke bawah lisan bio-ketersediaan. keterbatasan seperti bentuk sediaan
konvensional harus membuka jalan ke era sistem pengiriman obat dikontrol dan novel.

Anda mungkin juga menyukai