Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi Gejala

A. Leukosituria
Wanita dengan usia di atas 40 tahun (terutama 55-57 tahun) merupakan wanita dalam
masa menopause. Pada masa menopause, kadar estrogen menurun drastis yang
menyebabkan atrofi pada vagina. Atrofi pada vagina menyebabkan menurunnya
bakteri Lactobacillus pada vagina yang berperan penting dalam menjaga kestabilan
pH vagina. Akibatnya, pH vagina menjadi meningkat sehingga rentan ditumbuhi
bakteri terutama E.coli. Tumbuhnya bakteri E.coli pada vagina dapat menyebabkan
peningkatan resiko terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). ISK memicu peningkatan
leukosit serum dan leukosituria. Pada lansia, ISK sering kali asimtomatis sehingga
pasien sering tidak menyadarinya. ISK dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan bakteri menginvasi ginjal dan merusak sel-sel pada ginjal sehingga
terjadi penurunan fungsi ginjal.
B. Hipertensi
Pada usia di atas 40 tahun mulai terjadi penuaan, penuaan ini akan memicu aktivasi
sel-sel endotel. Aktivasi sel endotel akan memicu pengeluaran faktor konstriksi
endotel (EDCF) seperti TXA2 dan PGH2 serta ROS yang menyebabkan terhambatnya
pengeluaran faktor relaksasi nitrit oxide. Pengeluaran TXA2 dan PGH2 serta
terhambatnya pengeluaran faktor relaksasi nitrit oxide menyebabkan endotel menjadi
vasokonstriksi dan meningkatkan resistensi perifer. Selain itu, ISK pada lansia sering
kali asimtomatis sehingga pasien sering tidak menyadarinya. ISK dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan bakteri menginvasi ginjal dan merusak sel-sel pada
ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Salah satu akibatnya adalah hambatan
ekskresi natrium oleh ginjal sehingga natrium plasma meningkat akibatnya cairan
plasma menjadi hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar ini akan menarik lebih banyak
cairan ke plasma darah sehingga terjadi peningkatan volume plasma. Akibatnya,
terjadi peningkatan resistensi perifer. Kedua mekanisme peningkatan resistensi perifer
ini berkontribusi dalam kondisi hipertensi. Selain itu, kondisi hipertensi juga semakin
memperburuk kondisi penurunan fungsi ginjal karena perfusi darah yang menurun ke
sel-sel ginjal.
C. Penurunan Hb
Pada usia di atas 40 tahun mulai terjadi penuaan, penuaan ini akan memicu aktivasi
sel-sel endotel. Aktivasi sel endotel akan memicu pengeluaran faktor konstriksi
endotel (EDCF) seperti TXA2 dan PGH2 serta ROS yang menyebabkan
terhambatnya pengeluaran faktor relaksasi nitrit oxide. Pengeluaran TXA2 dan PGH2
serta terhambatnya pengeluaran faktor relaksasi nitrit oxide menyebabkan endotel
menjadi vasokonstriksi dan meningkatkan resistensi perifer. Selain itu, ISK pada
lansia sering kali asimtomatis sehingga pasien sering tidak menyadarinya. ISK dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan bakteri menginvasi ginjal dan merusak
sel-sel pada ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Salah satu fungsi ginjal
adalah mengeluarkan hormon erythropoetin (EPO) yang berfungsi untuk memicu
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang. Apabila ginjal mengalami
gangguan maka produksi EPO juga menurun. Akibatnya terjadi penurunan
pembentukan sel darah merah sehingga Hb mengalami penurunan.
D. Peningkatan Kadar Ureum dan Kreatinin Serum
ISK pada lansia sering kali asimtomatis sehingga pasien sering tidak menyadarinya.
ISK dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan bakteri menginvasi ginjal
dan merusak sel-sel pada ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Salah satu
fungsi ginjal adalah melakukan sekresi terhadap ureum dan kreatinin. Kreatinin
merupakan zat sisa hasil metabolisme otot yang akan diekskresikan melalui ginjal,
sedangkan ureum merupakan zat sisa metabolisme protein yang seharusnya
diekskresi oleh ginjal. Penurunan fungsi ginjal menyebabkan gangguan ekskresi
kreatinin dan ureum, akibatnya kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
E. Hipoglikemia (Penurunan Kesadaran, Sakit Kepala, Palpitasi, Keringat Berlebih,
Mual)
ISK pada lansia sering kali asimtomatis sehingga pasien sering tidak menyadarinya.
ISK dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan bakteri menginvasi ginjal
dan merusak sel-sel pada ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Penurunan
fungsi ginjal salah satunya adalah gangguan ekskresi obat-obatan. Pada penderita DM
tipe 2, pasien mengonsumsi obat-obat anti-hiperglikemia oral seperti metformin dan
glimepiride yang berujuan untuk menurunkan glukosa darah. Saat ekskresi obat-obat
tersebut terganggu, maka metabolit aktif obat-obat tersebut terus beredar di sirkulasi
darah sehingga efek terapinya akan terus menerus terjadi melebihi masa kerja yang
diharapkan. Akibatnya, glukosa darah menurun melebihi kadar normal yang
diharapkan (hipoglikemia). Hipoglikemia menyebabkan sel-sel otak kekurangan
sumber energi utama untuk metabolisme akibatnya sel-sel otak mengalami gangguan
yang berakibat seperti sakit kepala hingga penurunan kesadaran. Selain itu,
hipoglikemia merupakan salah satu pemicu kondisi stres pada tubuh. Kondisi stres
akan mengaktivasi sistem syaraf simpatis. Efek aktivasi syaraf simpatis di jantung
akan meningkatkan kontraksi miokardium sehingga terjadi palpitasi. Efek aktivasi
syaraf simpatis pada kelenjar keringat kan memicu kelenjar keringat memproduksi
lebih banyak keringat. Efek aktivasi syaraf simpatis pada N. Vagus akan memicu
peningkatan produksi HCl pada lambung sehingga asam akan mengiritasi lambung
dan memicu rasa mual.
F. Peningkatan Frekuensi Nadi
Kondisi peningkatan resistensi perifer dan kontraksi jantung yang terjadi memicu
peningkatan beban jantung dalam memompa darah akibatnya sel-sel miokardium
berkompensasi dengan hipertrofi. Hipertrofi miokardium inilah yang menyebabkan
terjadi kardiomegali.
Farmakologi Metformin dan Glimepiride
A. Glimepiride
a) Indikasi
Diabetes Mellitus tipe 2
b) Kontraindikasi
Gangguan hati dan ginjal, hipersensitivitas terhadap obat golongan sulfonylurea
atau sulfonamide, DM tipe 1, KAD (dengan atau tanpa koma).
c) Interaksi dengan Metformin
Sinergis untuk menurunkan kadar glukosa darah.
d) Efek Samping :
i. Hipoglikemia
ii. Sakit kepala
iii. Mual
iv. Pusing
v. Kelemahan
vi. Peningkatan BB yang tidak jelas
e) Farmakokinetik
i. Absorbsi : diabsorbsi sepenuhnya oleh GI. Puncak konsentrasi plasma
dicapai dalm 2-3 jam. Bertahan selama 24 jam.
ii. Distribusi : Vd 8.8 L. Plasma protein binding >99,5%.
iii. Metabolisme : secara ekstensif di metabolisme di hepar oleh CYP2C9.
iv. Ekskresi : Utama melalui urine mencapai 60%, 80-90% dalam bentuk
metabolit M1 dan M2, sisanya melalui feses sekitar 40%, 70% dalam bentuk
metabolit M1 dan M2. Waktu paruh eliminasi mencapai 9 jam.
f) Farmakodinamik
Glimepiride menurunkan glukosa darah dengan menstimulasi pelepasan insulin
oleh sel B pankreas dan menurunkan produksi glukosa oleh hati
(glukoneogenesis). Glimepiride juga meningkatkan sensitivitas insulin pada
sel-sel perifer.
B. Metformin
a) Indikasi
Diabetes Mellitus tipe 2
b) Kontraindikasi
Gangguan ginjal, asidosis metabolik akut atau kronik, kondisi akut yang daoat
menyebabkan gangguan ginjal (dehidrasi, infeksi berat, syok), penyakit akut atau
kronik yang menyebabkan hipoksia, alkoholisme dan intoksikasi alkohol.
c) Interaksi dengan Glimepiride
Sinergis untuk menurunkan kadar glukosa darah.
d) Efek Samping
i. Kelemahan fisik/otot
ii. Diare
iii. Peningkatan produksi gas
iv. Infeksi TR bagian atas
v. Hipoglikemia
vi. Penurunan konsentrasi vitamin B12 serum
vii. Mual
viii. Muntah
ix. Nyeri dada
x. Menggigil
xi. Pusing
xii. Distensi abdomen
xiii. Heartburn
e) Farmakokinetik
i. Absorbsi : lambat, dan tidak sepenuhnya diserap GI. Makanan menurunkan
absorbsi metformin. Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak 2-3
jam atau 7 jam (range: 4-8 jam).
ii. Distribusi : BA 50-60%. Didistribusikan ke hati, ginjal, dan GI, dapat masuk
ke eritrosit. Dapat menembus plasenta dan masuk ke ASI. Vd 654 +- 358 L.
iii. Metabolisme : tidak dimetabolisme.
iv. Ekskresi : melalui urine mencapai 90%. Waktu paruh eliminasi 6,2 jam di
plasma dan mencapai 17,6 jam di sel darah.
f) Farmakodinamik
Metformin adalah obat antihiperglikemik dari golongan biguanide yang
meningkatkan toleransi glukosa dengan menurnkan gukosa darah baik basal
maupun post prandial. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatic dengan
menghambat glukoneogenesis dan glikogenolisis, memperlambat absorbsi
glukosa di usus, dan meningkatkan senstuvitas insulin dengan meningkatkan
ambilan dan penggunaan glukosa perifer.
Aturan dasar kombinasi obat adalah dengan mengombinasikan obat-obat dengan cara
kerja yang sinergis seperti metformin yang utamanya bekerja untuk meningkatkan
senstivitas inslin di hati dan menekan produksi glukosa hepatic dengan glimepiride
yang utamanya bekerja uuntuk menstimulasi sekresi insulin oleh sel B pankreas.
Kemudian kombinasi obat pada DM tipe 2 juga berdasarkan efektivitas obat dalam
mengontrol gul darah apabila 1 obat belum mampu mengontrol gila darah maka obat
perlu dikombinasikan dengan obat lainnya.
Daftar Pustaka
Tanto, C., dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
James, L.J. 2013. Harrison’s Endocrionology 3rd edition. Philadelphia: McGraw Hill
Education.
Saptiningsih, M. 2012. Determinan Infeksi Saluran Kemih Pasien Diabetes Melitus
Perempuan di RSB Bandung. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai