Oleh
Eso Solihin
150220120005
PENDAHULUAN
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama di Indonesia,
yang permintaannya setiap tahun mengalami peningkatan. Sekitar 500.000 ha
lahan produktif beralih fungsi ke sektor non-pertanian, seperti pemukiman,
industri hingga jalan (Prasetyo, 2003). Berkurangnya lahan pertanian serta
semakin meningkatnya populasi penduduk tersebut menyebabkan pembukaan
areal lahan baru untuk budidaya padi perlu ditingkatkan (Handayani, 2001).
Terjadinya penurunan areal sawah akibat alih fungsi lahan yang berubah
menjadi areal perumahan maupun pabrik industri, serta peruntukan air irigasi padi
sawah yang semakin terbatas, menyebabkan perlunya mengembangkan padi gogo
untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Produktivitas padi gogo di Indonesia
masih rendah dibandingkan dengan budidaya padi sawah yaitu 2,95 ton ha-1
(Cakra dkk., 2004), sedangkan padi sawah 5,68 t ha-1 (BPS, 2005).
Padi gogo memerlukan pengelolaan yang intensif untuk menunjang hasil
panen yang optimal. Produktivitas padi gogo sangat dipengaruhi media tanam dan
cara pemupukan. Budidaya padi gogo secara umum dilakukan di lahan kering,
sedangkan lahan kering di Indonesia didominasi oleh jenis tanah marjinal seperti
Ultisol. Tanah ini merupakan tanah yang relatif kurang subur memiliki sifat fisik
jelek dan sifat kimia miskin. Luas penyebaran Ultisol di Indonesia mencapai
45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al.
2004).
Jika dilihat dari luasnya memang tanah ini sangat cocok untuk
dikembangkan menjadi pertanian yang lebih produktif. Namun permasalahanya
terletak pada kesuburan tanahnya yang kurang. Beberapa kendala yang umum
pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-rata < 4,50, kejenuhan
Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan
kandungan bahan organik rendah (Prasetyo, 2006).
Pemberian pupuk fosfat merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan P untuk tanaman (Fitriatin, 2009). Tetapi setelah aplikasi, ternyata
sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam
bentuk tidak terlarut. Apabila petani terus meningkatkan taraf dosis pupuk P di
tanah masam seperti Ultisol, maka akan terjadi defisiensi unsur hara P karena
fiksasi P oleh unsur Al dan Fe. Hal ini lah yang membuat penambahan pupuk P
kurang efesien bagi tanama sehingga mengakibatkan pemupukan yang berlebih.
Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dapat diatasi dengan
memanfaatkan agen hayati salah satunya adalah Bakteri pelarut fosfat (BPF).
Bakteri pelarut fosfat merupakan kelompok mikroba yang mengubah fosfat tidak
larut dalam tanah menjadi bentuk yang dapat larut dengan jalan mensekresikan
asam organik seperti asam format, asetat, propinoat, laktat, glikolat, fumarat, dan
suksinat (Subba Rao, 1982). Bakteri tersebut menghasilkan vitamin dan
fitohormon yang dapat memperbaiki pertumbuhan akar tanaman dan
meningkatkan serapan hara (Glick, 1995).
Asam-asam organik yang disekresi oleh bakteri pelarut fosfat biasanya
akan diikuti oleh penurunan pH, sehingga akan mengakibatkan pelarutan P yang
terikat oleh Ca. Penurunan pH juga disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat
pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri
hiobacillusdan Nitrosomonas (Alexander, 1978).
Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk
menguji pengaruh mikroba pelarut fosfat antara lain : gandum, bit gula, kubis,
tomat jagung, kentang, kedelai, kentang, dan tebu. Menurut Fitriatin dan
Simarmata (2005), pengaruh pemberian MPF (Pseudomonas pichetii atau P.
cepasia) meningkatkan bobot kering tanaman padi gogo masing-masing sebesar
19,5% dan 40,9. Sedangkan Penggunaan MPF pada lahan kering dan sawah dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan P sebesar 50 % - 60 % dari dosis rekomendasi
(Balittanah, 2008).
Keterangan: Nilai rata-rata yangdiikuti dengan huruf yang sama tidak nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada 5%.
Keterangan: Nilai rata-rata yangdiikuti dengan huruf yang sama tidak nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada 5%.
KESIMPULAN
Pemberian Mikroba pelarut fosfat Pseudomonas sp. dengan Penicillium
sp. dapat meningkatkan kandungan P tersedia tanah dan Pemberian 75 kg P 2O5 ha-
1
secara mandiri berpotensi meningkatkan P tersedia lebih besar dibandingkan 100
kg P2O5 ha-1 meskipun tidak signifikan.
Pemberian inokulan campuran Pseudomonas sp. dengan Penicillium sp.
memiliki potensi yang paling tinggi dalam meningkatkan hasil tanaman padi gogo
dan Aplikasi pupuk P dengan dosis 75 kg P 2O5 ha-1 dapat meningkatkan hasil
lebih besar dibanding dosis pemupukan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. 2nd Ed. Willey Eastern
Limited. New Delhi.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Cakra, P., Sudarto A., Arif S.A. 2004. Kajian Budidaya Tanaman Padi Pada
Lahan Marjinal di Bawah Jambu Mete di Lombok Barat NTB. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, Lombok Barat.
Glick, B.R. 1995. The Enhancememnt of Plan Growth by Free Living Bacteria.
Canadian J Microbiol.
Joy, B. 2000. Adsorpsi-desorpsi dan Serapan Fosfat, Hasil Kedelai Serta Beberapa
Sifat Kimia Tanah Sebagai Pengaruh Amelioran dan Pupuk Fosfat Pada
Tanah Typic Kanhapludults dan Typic Eutrudepts. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran., Bandung.
Prasetyo, YT. 2003. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Prasetyo B.H. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering
Di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Balai Penelitian Tanah.
Rukmana, R., dan Y.Y. Oesman. 2005. Usaha Tani Sorgum. Penerbit Kanisius.
Santosa, E. 2007. Mikroba Pelarut Fosfat. Metode Analisis Biologi Tanah. Balai
Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Hal. 55-56.