Oleh :
Eso Solihin
150220120005
PENDAHULUAN
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sejalan dengan peningkatan
kebutuhan pangan, mengingat bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan
pokok yang dibutuhkan oleh manuusia, maka dari itu diperlukan sebuah usaha
dalam meningkatkan produksi pangan. Usaha tersebut dapat berupa intensifikasi
maupun ekstensifikasi dan juga tidak hanya terbatas pada pangan utama yaitu
padi, melainkan perlu adanya penganekaragaman atau diversifikasi pangan
dengan mengembangkan pangan alternatif seperti sorgum (Sorgum bicolor, L).
Di dunia sorgum merupakan tanaman pangan penting dan merupakan tanaman
pangan yang menduduki urutan ke lima setelah gandum, padi, jagung, dan barley
(Sleper dan Poehlman, 2006).
Sorgum merupakan tanaman serealia yang mudah dibudidayakan dan
mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Prosfek penggunaan
tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, minuman, makanan
ternak, dan kepentingan industri. Kandungan zat gizi dari sorgum tidak kalah
dengan beras. Bahkan sorgum mengandung protein (8-12%) lebih tinggi
dibandingkan dengan beras (6-10%), dan kandungan lemaknya (2-6%) lebih
tinggi dibandingkan dengan beras (0,5-1,5%). Menurut Rukmana dan Oesman
(2005) Dalam setiap 100 gram sorgum, terkandung 73,0 g karbohidrat serta nutrisi
lainnya, seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B1 dan air.
Selain memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat, tanaman sorgum,
mempunyai keistimewaan lebih yaitu toleran terhadap kekeringan, tanaman
sorghum memiliki adaptasi yang luas dan genangan serta dapat tumbuh di lahan
yang kurang subur (Roesmarkam et al, 1993). Ultisol merupakan tanah yang
relatif kurang subur memiliki sifat fisik jelek dan sifat kimia miskin. Luas
penyebaran Ultisol di Indonesia mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari
total luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2004).
Jika dilihat dari luasnya memang tanah ini sangat cocok untuk
dikembangkan menjadi pertanian yang lebih produktif. Namun permasalahanya
terletak pada kesuburan tanahnya yang kurang. Beberapa kendala yang umum
pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-rata < 4,50, kejenuhan
Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan
kandungan bahan organik rendah (Prasetyo, 2006).
Pemberian pupuk fosfat merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan P untuk tanaman (Fitriatin, 2009). Tetapi setelah aplikasi, ternyata
sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam
bentuk tidak terlarut. Apabila petani terus meningkatkan taraf dosis pupuk P di
tanah masam seperti Ultisol, maka akan terjadi defisiensi unsur hara P karena
fiksasi P oleh unsur Al dan Fe. Hal ini lah yang membuat penambahan pupuk P
kurang efesien bagi tanaman sehingga mengakibatkan pemupukan yang berlebih.
Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dapat diatasi dengan
memanfaatkan agen hayati salah satunya adalah Bakteri pelarut fosfat (BPF).
Bakteri pelarut fosfat merupakan kelompok mikroba yang mengubah fosfat tidak
larut dalam tanah menjadi bentuk yang dapat larut dengan jalan mensekresikan
asam organik seperti asam format, asetat, propinoat, laktat, glikolat, fumarat, dan
suksinat (Subba Rao, 1982). Bakteri tersebut menghasilkan vitamin dan
fitohormon yang dapat memperbaiki pertumbuhan akar tanaman dan
meningkatkan serapan hara (Glick, 1995).
Asam-asam organik yang disekresi oleh bakteri pelarut fosfat biasanya
akan diikuti oleh penurunan pH, sehingga akan mengakibatkan pelarutan P yang
terikat oleh Ca. Penurunan pH juga disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat
pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri
Thiobacillusdan Nitrosomonas (Alexander, 1978).
Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk
menguji pengaruh mikroba pelarut fosfat antara lain : gandum, bit gula, kubis,
tomat jagung, kentang, kedelai, kentang, dan tebu. Menurut Fitriatin (2009) Isolat
campuran bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas sp. dan Penicillium sp.) mampu
meningkatkan konsentrasi hasil panen tanaman padi gogo pada tanah ultisol
hingga 29,03 %.
Sleper, D.A., and Poehlman, J.M. 2006. Breeding Field Crops. Fifth Edition. Van
Nonstroand Reinhaid. New York.
Roesmarkam, S., Sutoro dan Subandi. 1993. Sorghum: kegunaan, pola, dan
teknik budidaya. hlm. 1176 -1185. Pros. Simp. Penelitian Tanaman
Pangan III, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di
Indonesia. hlm. 21−66. Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Prasetyo B.H. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering
Di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Balai Penelitian Tanah.
Fitriatin B. N, A. Yuniarti, O. Mulyani, F. S. Fauziah dan M. D. Tiara. 2009.
Pengaruh Mikroorganisme Pelarut Fosfat Dan PupukP terhadap P
Tersedia Aktivitas Fosfatase, Populasi Mikroorganisme Pelarut Fosfat,
Konsentrasi P Tanaman dan Hasil Padi Gogo (Oryza sativa. L.) pada
Ultisols. Jurnal Agrikultura. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Rukmana, R., dan Y.Y. Oesman. 2005. Usaha Tani Sorgum. Penerbit Kanisius.
Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. 2nd Ed. Willey Eastern
Limited. New Delhi.
Glick, B.R. 1995. The Enhancememnt of Plan Growth by Free Living Bacteria.
Canadian J Microbiol.
Rao, N.S.S. 2007. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press.
Jakarta