Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TINEA CRURIS

HALAMAN JUDUL

Oleh :
Kadek Dede Frisky Wiyanjana
1202006134

Pembimbing :
Dr. Ni Wayan Wendy Rinawati, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF/LAB ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “TINEA CRURIS” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang dilaksanakan tanggal 9-
14 Januari 2017 bertempat di RS Bali Mandara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalu
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku
Ketua SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana,
RSUP Sanglah, Denpasar,
2. dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK selaku Koordinator Pendidikan Dokter SMF
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar,
3. Dr. Ni Wayan Wendy Rinawati, Sp.KK, selaku Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin SMF/Bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Bali Mandara yang
senantiasa membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan
kasus ini,
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, Januari 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.............................................................................................3
2.3 Etiologi......................................................................................................4
2.4 Patogenesis................................................................................................4
2.5 Gejala Klinis...........................................................................................10
2.6 Klasifikasi...............................................................................................10
2.7 Diagnosis.................................................................................................13
2.8 Diagnosis Banding..................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................16
2.10 Prognosis.................................................................................................20
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................22
3.1 Identitas Pasien.......................................................................................22
3.2 Anamnesis...............................................................................................22
3.3 Pemeriksaan Fisik...................................................................................23
3.4 Diagnosis Banding..................................................................................25
3.5 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................25
3.6 Resume....................................................................................................26
3.7 Diagnosis Kerja.......................................................................................26
3.8 Penatalaksanaan......................................................................................26
3.9 Prognosis.................................................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................28
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Predileksi Tinea Kruris.......................................................................8


Gambar 2.2 Karakteristik Dermatofita...................................................................9
Gambar 2.3 Tampak lesi pada Tinea Kruris.........................................................12
Gambar 2.4 Hifa dan spora pada pemeriksaan KOH...........................................13
Gambar 2.5 Tampak lesi pada Eritrasma.............................................................14
Gambar 2.6 Tampak lesi kandidiasis intertrigenosa............................................15
Gambar 2.7 Predileksi Psoriasis dan gambaran lesinya.......................................16
Gambar 3.1 Lesi kulit pada abdomen kuadran kiri bawah pasien........................22
Gambar 3.2 Lesi kulit pada daerah inguinal dan pubis pasien.............................22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis. Jamur termasuk


tumbuh-tumbuhan yang tidak berklorofil, oleh karena itu harus hidup sebagai
saprofit atau parasit. Di dalam alam terdapat kira-kira 200.000 spesises jamur,
yang tidak semua bersifat pathogen. Dari jumlah tersebut, hanya ± 100 spesies
saja yang patogen bagi manusia1.
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema
marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin. yang termasuk
golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain1,2.
Indonesia termasuk daerah yang baik bagi pertumbuhan jamur karena
beriklim panas dan lembab. Dalam keadaan demikian ditambah higiene yang
kurang sempurna, infestasi jamur kulit cukup banyak. 1 Menurut Rippon infeksi
jamur dibagi menjadi tiga yaitu infeksi kulit superfisial (pitiriasis versikolor,
piedra dan tinea nigra), infeksi kutan (dermatofitosis, kandidiasis kutis dan
mukosa), dan infeksi subkutan (misetoma, basidiobolomikosis, sporotrikosis dan
kromoblastomikosis). Beberapa penulis yang lain menggabungkan infeksi
superficial dan infeksi kutan menjadi dermatomikosis superficial sehingga hanya
ada dua infeksi jamur meliputi dermatomikosis superfisialis dan mikosis
subkutis2.
Dermatofita tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di
negara berkembang. Di berbagai negara saat ini terjadi peningkatan bermakna
dermatofitosis. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20-25% populasi sehingga
menjadi bentuk infeksi yang tersering. Di Indonesia angka yang akurat mengenai
insidensi mikosis superfisialis belum ada. Insidensi di berbagai rumah sakit
pendidikan di Indonesia bervariasi dari yang terendah 2,93% (Semarang) hingga

5
6

yang tertinggi 27,6% (Padang). Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan


kedua setelah Pityriasis versicolor1.
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp,
dan Epidermophyton spp. Ketiga genus jamur ini bersifat mencerna keratin atau
zat tanduk yang merupakan jaringan mati dalam epidermis ( Tinea korporis, Tinea
kruris, Tinea manus et pedis ), rambut ( Tinea kapitis ), kuku ( Tinea
unguinum ).3,4 Oleh karena satu spesies dermatofita dapat menyebabkan kelainan
yang berbeda-beda pada satu individu tergantung dari bagian tubuh yang dikenai,
dan sebaliknya berbagai jenis dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang
secara klinis sama apabila mengenai bagian tubuh yang sama, maka dari itu
klasifikasi dermatofitosis lebih didasarkan pada regio anatomis yang terkena dari
jamur penyebabnya, walaupun sebenarnya pendekatan kausatif lebih rasional. 3
Kali ini yang akan dibahas adalah mengenai Tinea Kruris.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita
pada daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya.3 Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya
Tinea kruris.

Gambar 2.1. Predileksi Tinea Kruris

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit
ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 4

2.2 EPIDEMIOLOGI
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea
kruris dan Tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi
dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang
menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi
dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi.
8

Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya


mengenai usia 18-25 tahun serta 50-65 tahun1,2.
Paling banyak mengenai daerah tropis karena tingkat kelembapannya yang
tinggi dan dapat memicu pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor
predisposisi penyakit ini. Higiene dan sanitasi yang tidak dijaga dengan baik juga
mempengaruhi pertumbuhan infeksi jamur dermofita. Untuk faktor keturunan
tidak ada hubungannya dengan penyakit ini.

2.3 ETIOLOGI
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita
adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi
imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton
floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh
microsporum gallinae. Berikut karakteristik dari dermatofita yang umum
menyebabkan tinea kruris secara morfologi koloni dan mikroskopis 4,5.

Gambar 2.2. Karakteristik Dermatofita


9

2.4 PATOGENESIS
Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,
perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan
oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit
sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran
infeksi dari bagian tubuh lain3,4.
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi
dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a) Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga
bersifat fungistatik4.
b) Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada
proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis4.
c) Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status
imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang
sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah
terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi
dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
10

untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan
barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang
bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh4 .

2.4.1 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI5


Faktor risiko adalah faktor yang dapat mempermudah timbulnya suatu penyakit.
Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu
1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur :
- Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan
keseimbangan antara jamur dan bakteri terganggu.
- Adanya penyakit diabetes mellitus, dan kehamilan menimbulkan suasana
yang menyuburkan jamur.
2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang
menurun :
- Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh
cairan yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki,
kencing pada pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat
liur di sudut mulut orang lanjut usia.
- Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan,
diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang
menyuburkan jamur.
Beberapa faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit
adalah:
a) Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,
zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula
satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-
bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang
rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha
bagian dalam.
b) Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
11

c) Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha,
sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.
d) Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih
rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
e) Faktor umur dan jenis kelamin.

2.5 GEJALA KLINIS


Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka ragam
ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas
eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di
tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering
disebut dengan central healing (gambar 2.3) . Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan7.

Gambar 2.3. Tampak lesi pada Tinea Kruris


12

Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang
menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas
terutama pada pasien imunodefisiensi6.

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit
berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada
bagian tengahnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang4.

2.6.1 ANAMNESIS
Dari anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan kemerahan
di daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu
berkeringat sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal
di derah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu tidur
sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder.3 Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada
tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian
dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini
dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang
beresiko terkena dermatophytosis5,7.

2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK


Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada sela paha merupakan lesi
berbatas tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut
atau menahun.5,11 Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan
meluas, dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan
perut bawah. Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak vasikel
kecil-kecil3,7.
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Keluhan sering
bertambah sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk dan timbul erosi dan infeksi
sekunder.5 Pada infeksi akut, ruam biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi
kronik, permukaannya kering dengan tepi papuler anular atau asiner3.
13

2.6.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk
mendiagnosis. Namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan Differential Diagnosis. Sebagai penunjang diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari kerokan bagian tepi lesi dengan
KOH dan kultur. Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood,
yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao 4.

a. Pemeriksaan dengan sediaan basah


Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel , pinggir gelas, atau selotip → taruh di obyek glass →
tetesi KOH 10-20 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan
→ lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium7.

Gambar 2.4 Hifa dan spora pada pemeriksaan KOH

b.Pemeriksaan kultur jamur


Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan
tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk
menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada
14

sediaan langsung. Metode dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di


Belanda pada tahun 2005 bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki
sensitivitas sebesar 74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan
sensitivitas kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut
sebesar 29,7% dengan spesifisitas 100%. Sangat penting bagi masing-masing
laboratorium untuk menggunakan media standar yakni tersedia beberapa varian
untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal
selama 4 minggu, dan dibuang bila tidak ada pertumbuhan4.
c.Punch biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya
dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan
tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur
akan tampak coklat atau hitam4 .
d.Pemeriksaan lampu wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata.

2.7 DIAGNOSIS BANDING

 Eritrasma
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha dan
ketiak. Effloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi
merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. batas lesi tegas, jarang disertai
infeksi, flouresensi merah bata yang khas dengan sinar wood. Pemeriksaan
dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral
red).5
15

Gambar 2.5. Tampak lesi pada Eritrasma


 Kandidiasis intertriginosa
Merupakan infeksi jamur dengan predileksi lipatan kulit terutama aksila,
gluteal, genitokrural, interdigiti, retroaurikuler, perianal, yang sebagian besar
disebabkan oleh spesies Candida terutama candida albican, C. glabrata,
C.tropicalis, C. krusei, C.dubliniensis, C.parapsilosis. Dari anamnesis
ditemukan bercak merah pada lipatan kulit, meluas, disertai bintik-bintik
merah kecil disekitarnya dengan keluhan sangat gatal dan rasa panas seperti
terbakar. Effloresensinya berupa bercak eritema, berbatas tegas, maserasi
disertai dengan lesi satelit vesikopustul3.

Gambar 2.6. Tampak lesi kandidiasis intertrigenosa yang mengenai


skrotum dan daerah inguinal

 Kandidosis vulvovaginal
Merupakan infeksi Candida spp. khususnya Candida albicans pada vagina dan
atau vulva. Ditandai dengan keputihan menggumpal seperti susu yang tidak
berbau dan disertai rasa gatal dan panas pada kemaluan dan daerah sekitarnya.
Pada dinding vagina ditemukan eritema dan edema disertai duh tubuh
berwarna putih (pseudomembran) menggumpal seperti susu basi atau
gumpalan keju. Dan pada vulva dan lipatan paha didapatkan maserasi,
pesudomembran, fisura dan lesi satelit papulopustuler3.

 Psoriasis
16

Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema batas tegas
dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai fenomena bercak
lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak merah bersisik tebal,
kumat-kumatan, kadang gatal, dapat disertai nyeri sendi, dan dapat dicetuskan
oleh adanya stres psikologis, kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak eritema
batas tegas ditutupi skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis pada
daerah predileksi ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral bagian bawah, pantat, dan genital3.

Gambar 2.7. Predileksi Psoriasis dan gambaran lesinya

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-
medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan mikroskopik
tidak dapat membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit
diyakini memberikan respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan
topikal yang ada8.
2.8.1 PENGOBATAN TOPIKAL
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna terhadap
kasus-kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita atau candida.
Keduanya merupakan derivat azol broad-spectrum bekerja menghambat
sintesis ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding sel jamur8.
17

- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk
salep, Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk
salep8.
2.8.2 PENGOBATAN SISTEMIK
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik. Beberapa
indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:
a) Infeksi kulit yang luas.
b) Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
c) Infeksi kulit kepala.
d) Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.
Medikamentosa sistemik pada tinea kruris, termasuk:
- Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg
per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif Griseofulvin berikatan dengan sel
prekursor keratin sehingga secara bertahap diganti dengan jaringan yang tidak
terinfeksi dan sangat resisten terhadap invasi jamur/dermatofita8.
- Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten terhadap
griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll. Itrakonazol
bersifat fungistik. Cara kerjanya adalah menghambat pertumbuhan sel jamur
dengan menghambat sintetis ergosterol yang tergantung sitokrom P450.
ergosterol ini merupakan komponen vital dari dinding sel jamur. Obat
antifungi ini telah banyak digunakan dan berdasarkan penelitian lebih efektif
dibandingkan griseofulvin. Itrakonazol dosis dewasa: 200 mg/hari, dosis anak-
anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan selama 1 minggu. 5,7 Dapat juga diberikan
Ketokonasol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari untuk
anak-anak lebih dari 2 tahun8.
18

2.8.3 NON-MEDIKAMENTOSA
Dalam penatalaksanaan secara non medikamentosa, sangatlah penting untuk
mengedukasi pasien mengenai kebersihan diri dan lingkungan untuk membantu
mengatasi penyakit dan pencegahannya. Berikut edukasi yang dapat diberikan
kepada pasien8.
a. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap
kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama-sama.
b. Memakai pakaian yang tipis, memakai pakaian yang berbahan cotton.
c. Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah
kelembaban daerah sela paha.
d. Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha
setelah mandi,
e. Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk
menurunkan berat badan,
f. Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk meminimalkan
kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha (autoinokulasi).
g. Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan daerah
sela paha, mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya Tinea
kruris4,8.

2.9 PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan sosial
budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan
kebersihan kulit juga berpengaruh pada prognosis4.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Salmin Bajry
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 62 Tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Denpasar, 03 April 1954
Alamat : Jalan Teuku Umar GG Cendrawasih No. 18
Pendidikan : Diploma III
Pekerjaan : Pensiunan Swasta
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
No Rekam Medik : 058478
Tanggal Pemeriksaan : 09 Januari 2017

3.2 ANAMNESIS
1) Keluhan Utama
Gatal di area selangkangan dan perut bawah
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita mengeluh gatal pada area selangkangan dan perut bawah sejak 3
minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di selangkangan
yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa gatal yang
ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila terkena
keringat atau cuaca panas. Setelah sekitar 4 hari kemudian, gatal juga
dirasakan di area perut bawah. Awalnya di perut bawah juga terdapat bercak
merah yang makin lama makin membesar. Ia mengatakan selain saat terkena
keringat, gatal juga semakin keras saat malam hari sehingga pasien mengaku
tidurnya sering terganggu karena rasa gatal. Gatal membaik apabila disiram
dengan air hangat. Keluhan rasa terbakar disangkal.

19
20

3) Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan sempat menggunakan obat oles tradisional merek
“BOKASI” yang dibelinya sendiri sejak 2 minggu yang lalu, awalnya sempat
menghentikan rasa gatal pasien, namun gatal tersebut muncul kembali walau
sudah dioles obat tersebut.
4) Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi terhadap obat ataupun bahan
makanan tertentu.
5) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyatakan sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat timbulnya
bercak merah gatal sebelumnya. Pasien mengatakan memiliki riwayat
penyakit diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu dan rutin kontrol ke dokter
untuk pengobatan sampai saat ini. Pasien tidak pernah menderita asma,
hipertensi, penyakit ginjal, hati dan jantung.
6) Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada dalam rumah atau keluarganya yang menderita
penyakit yang sama ataupun penyakit kulit lainnya. Riwayat keluarga
menderita asma, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun penyakit sistemik
lainnya disangkal oleh pasien.
7) Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan swasta dan kini tinggal sendiri di
rumahnya. Anak-anak pasien dan anggota keluarga yang lain tinggal berbeda
kota dengan pasien. Aktifitas yang kini dilakukan pasien adalah berkebun dan
memancing. Pasien menyangkal adanya kebiasaan merokok dan minum
alkohol. Pasien biasa mandi 2x sehari dengan air sumur dan berganti pakaian
1x sehari. Pasien memakai handuk sendiri dan tidak menggunakan secara
bersamaan.
21

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Temperatur aksila : 36,5 oC

Status General
Kepala : normocephali, rambut warna hitam tidak beruban
Mata : anemi -/-, icterus -/-, reflex pupil +/+, isokor
THT : sekter (-) tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
Thorak : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pul : ves +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : edema (-/-), hangat (+/+), kemerahan (-/-)

Status Dermatologi
Lokasi : Abdomen kuadran kiri bawah
Efloresensi : makula eritema, soliter, dengan batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, berukuran 3 cm x 2 cm,
distribusi unilateral. terdapat central healing.
Diatasnya terdapat Skuama putih, halus pada
beberapa bagian.
22

Lokasi : Inguinal dan Pubis.


Efloresensi : Makula eritema, multipel, batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, ukuran bervariasi dari 1
cm x 2 cm hingga 4 cm x 5 cm, Berkonfluen
berbentuk geografika berukuran bervariasi 3 cm x
4 cm sampai 6 cm x 8 cm, distribusi bilateral,
terdapat central healing. Diatasnya terdapat
Skuama putih, halus pada beberapa bagian.

Gambar 3.1. Lesi kulit pada abdomen kuadran kiri bawah pasien

Gambar 3.2. Lesi kulit pada daerah inguinal dan pubis pasien
23

Stigmata Atopi : pitiriasis alba (-)


Mukosa : hiperemis (-)
Rambut : rambut rontok (-), warna hitam
Kuku : pitting nail (-), rapuh (-)
Fungsi kelenjar keringat : Tidak dikerjakan
Kelenjar limfe : tidak ada pembesaran
Saraf : penebalan saraf (-), parastesi (-)

3.4 DIAGNOSIS BANDING


1. Tinea kruris
2. Kandidiasis intertriginosa
3. Eritrasma
4. Psoriasis

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


- KOH 10% di lipatan paha dan abdomen bawah dengan hasil tampak
elemen jamur seperti hifa dan spora.
- Lampu Wood
- Kultur jamur

3.6 RESUME
Pasien laki-laki, 62 tahun, beragama Islam, pekerjaan pensiunan swasta, tamat
diploma iii, menikah. Penderita mengeluh gatal pada area selangkangan dan perut
bawah sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di
selangkangan yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa
gatal yang ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila
terkena keringat atau cuaca panas. Setelah 3 hari kemudian, gatal juga dirasakan
di area perut bawah. Pemeriksaan fisik pasien:
- Status present : dalam batas normal
- Status general : dalam batas normal
24

- Status dermatologis :
Lokasi : Abdomen kuadran kiri bawah
Efloresensi : makula eritema, soliter, dengan batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, berukuran 3 cm x 2 cm,
distribusi unilateral. terdapat central healing.
Diatasnya terdapat Skuama putih, halus pada
beberapa bagian.
Lokasi : Inguinal dan Pubis.
Efloresensi : Makula eritema, multipel, batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, ukuran bervariasi dari 1
cm x 2 cm hingga 4 cm x 5 cm, Berkonfluen
berbentuk geografika berukuran bervariasi 3 cm x
4 cm sampai 6 cm x 8 cm, distribusi bilateral,
terdapat central healing. Diatasnya terdapat
Skuama putih, halus pada beberapa bagian.

3.7 DIAGNOSIS KERJA


Tinea Kruris

3.8 PENATALAKSANAAN
1) Medikamentosa
1. Topikal : Miconazol cream 2% + asam salisat 3% dioleskan sebanyak 2
kali sehari selama 2 minggu

2. Sistemik : Mebhydrolin tablet 2 x 50 mg/hari jika gatal

2) Non- Medikamentosa
KIE :
- menghindari pakaian yang panas (karet, nylon), disarankan untuk
memakai pakaian yang menyerap keringat
- menghindari berkeringat yang berlebihan
- meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan
- memperbaiki status gizi dalam makanan
25

- memperbaiki ventilasi rumah


- kontrol setelah 2 minggu

3.9 PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Dubius ad Bonam
Ad Kosmetikam : Dubius ad Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Tinea kruris ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang dari gejala klinis yang dikeluhkan oleh pasien. Dari
anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan kemerahan di
daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu berkeringat
sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal di derah lipat
paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk
kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder.
Dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien laki-laki, berusia 62 tahun
dengan keluhan utama pasien mengeluh gatal pada area selangkangan dan perut
bawah sejak 3 minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di
selangkangan yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa
gatal yang ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila
terkena keringat atau cuaca panas. Berdasarkan epidemiologi untuk tinea kruris,
Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya
mengenai usia 18-25 tahun serta 50-65 tahun.
Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat penyakit
diabetes mellitus hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang memicu penyakit
tinea kruris pada pasien ini. Dari anamnesis pada pasien didapatkan keluhan yang
timbul secara tiba-tiba tanpa ada penyakit penyerta lain dan tidak ada berinteraksi
dengan lingkungan yang memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Namun,
pasien memiliki kebiasaan berkebun dan tinggal sendiri tanpa ada pendamping
yang membantu Hal ini berhubungan dengan penyebab Tinea kruris disebabkan
oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah golongan jamur yang
menyebabkan dermatofitosis. Jamur tersebut bisa terdapat pada lingkungan seperti
tanah, aktifitas berkebun yang sering dijalani pasien dapat menjadi sumber infeksi
dari jamur itu sendiri. Ditambah pasien sudah tua dan tinggal sendiri, hal ini bisa
berdampak pada kebersihan dari pasien itu sendiri maupun lingkungan rumah
pasien.

26
27

Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan pada penderita tinea kruris


Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka ragam
ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas
eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di
tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering
disebut dengan central healing.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa status present dan status general
pasien dalam keadaan normal dan tidak memiliki riwayat alergi namun memiliki
riwayat diabetes mellitus. Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan
bahwa pada daerah inguinal, pubis, dan abdomen bawah. Makula dan Plak
eritema, multipel, bentuk geografika, berbatas tegas, tepi lesi aktif, sebagian
konfluen polisiklik, ukuran bervariasi dari 1 cm x 2 cm hingga 4 cm x 4 cm,
distribusi bilateral , terdapat central healing. Hasil ini sesuai dengan gambaran
klinis tinea kruris pada kepustakaan yaitu adanya makula atau plak eritema
dengan khas adanya tepi yang aktif berupa papul atau vesikel dengan central
healing. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas sangat menunjang diagnosis
ke arah tinea kruris.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis
banding . Kandidiasis intertriginosa, Eritrasma, Psoriasis. Di dalam mendiagnosis
tinea kruris kadang kita dibingungkan dengan kandidiasis intertriginosa karena
memiliki predileksi yang sama-sama terjadi didaerah lipatan paha dan memiliki
bentuk klinis yang mirip yaitu bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan
eritematosus. Yang menyebabkan pada penderita tidak dapat didiagnosis
kandidiasis intertriginosa, karena dari status dermatologinya kita tidak
mendapatkan adanya lesi satelit, sedangkan untuk dapat mendiagnosis kandidiasis
intertriginosa paling tidak kita menemukan adanya lesi satelit. Dimana lesi satelit
tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau
bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer. Dan untuk menyingkirkan diagnosis
eritrasma maka diperluka pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood.
28

Diagnosis psoriasis dapat disangkal karena pada lesi tidak terdapat skuama perak
mengkilat yang menutupi plak eritema, fenomena tetesan lilin ataupun auspitz
sign.
Terdapat banyak variasi pengobatan tinea, tergantung dari lokasi lesi,
luasnya lesi, dan beratnya penyakit, lamanya menderita penyakit dan usia
penderita. Pada pengobatan antimikotik awal sebaiknya diberikan obat topikal,
tetapi bila hasil tidak memuaskan dan lesi ada di lebih dari 3 bagian tubuh baru
dipertimbangkan pengobatan sistemik. Pada pasien ini merupakan geriatri,dimana
menjadisalah satu pertimbangan untuk belum memberikan pengobatan sistemik
antimikotik untuk menghindari polifarmasi dan efek samping pada pasien ini.
Pada pasien diberikan obat topikal berupa Miconazol cream 2% dan
campuran asam salisat 3% dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu.
Pada teori yang telah dikemukakan bahwa obat topikal yang diberikan bisa
dengan kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk
salep (Salep Whitfield) atau kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum
dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10) atau derivat azol : mikonazol 2%,
klotrimasol 1% dll. Pasien juga diberikan Mebhydrolin tablet 2 x 50 mg untuk
mengatasi rasa gatal yang dirasakan. Mebhydrolin tersebut merupakan obat
golongan antihistamin, khususnya antagonis reseptor histamine H1.
Selain pengobatan, KIE kepada pasien dan keluarga juga sangat penting.
Pasien disarankan agar menghindari penggunaan pakaian yang tidak menyerap
keringat dan untuk merawat kebersihan diri dengan baik. Pasien juga dianjurkan
untuk mengurangi aktifitas berkebun dan memancing karena pada aktivitas outdor
yang panas dapat memicu keringat berlebih dan tanah dapat menjadi sumber
infeksi jamur. Penderita juga diberitahu tentang penyakitnya, faktor-faktor yang
memperberat, dan diberi penjelasan bahwa penyakit ini dapat menular melalui
kontak dengan manusia, hewan peliharaan atau dengan lingkungan sekitar.
Prognosis dari tinea kruris bergantung pada bentuk klinis, penyebab
spesies dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial budaya dan status
imunologisnya. Tapi pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.
BAB V
KESIMPULAN

Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering ditemukan pada kulit


lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Penegakan diagnosis
ditegakkan berdaraskan gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang
meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik / bulat berbatas tegas,
efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. Terdapatnya hifa pada sediaan
mikroskopis dengan pemeriksaan potasium hidroksida (KOH). Pemeriksaan
metode kuktur jamur dapat dilakukan namun membutuhkan waktu yang lama.
Penatalaksanaan infeksi dermatofita dapat diobati dengan medikamentosa agen
antifungal topikal ataupun sistemik, non medikamentosa seperti menggunakan
pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau
berkeringat, dan membersihkan pakaian secara teratur.

29
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto, Eko, Suyoso, Sunarso. 2005. Artikel Deramtomikosis di Instalasi


Rawat Inap Medik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo-
Surabaya.
2. Barankin, B. dan Freiman, A., 2006. Derm Notes: Clinical Dermatology
Pocket Guide. China: FA Davis Company, p.169-70.
3. Wolff K, dan Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, 8th ed, New York: Mc Graw Hill. p.336-9.
4. Sterry, W., Paus, R., dan Burgdorf, W., 2006. Thieme Clinical Companions:
Dermatology. Jerman: Georg Thieme Verlag KG, p.375-377.
5. William D,Timothy G, Dirk M, George C. 2006. Andrews' diseases of the skin
: clinical dermatology. 10th ed, New York: Mc Graw Hill.
6. Djuanda, Adhi. Dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
7. Wiederkehr M. Tinea Cruris. Available at: www.emedicine.com
/DERM/topic42.htm. Akses: 11 Januari 2017.
8. Panduan praktek klinis SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah.2016.

Anda mungkin juga menyukai