Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat

Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi

Di RSUD RA Kartini Jepara

Disusun oleh:

Rizki Fauzia

30101507547

Pembimbing:

dr. Sri Kiswati, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI

RSUD RA KARTINI JEPARA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2019
Lesi Intrakranial Akut
Cedera Otak Fokal dan Difus

lesi intrakranial akut diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

Cedera otak fokal meliputi:

1. Perdarahan Epidural atau epidural haematoma (EDH)

EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula

interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan

kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit

neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain

yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut

Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut

(mulai saat kejadian - 3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

dipermukaan korteks serebri.

3. Perdarahan intra serebral atau intracerebral haematoma (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang

terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh

benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya

akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh

darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah

kortikal dan subkortikal.

4. Perdarahan subarahnoid traumatika atau subarachnoid hemorrhage (SAH)

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik

arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subarahnoid.

Cedera otak difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak

setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya

akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya

parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme

luas pembuluh darah dikarenakan adanya SAH traumatika yang menyebabkan

terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema

otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai

cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala

difus dikelompokkan menjadi

1. Cedera akson difus ( diffuse axonal injury )

Cedera akson difus adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang

menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),

maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan

serabut yang menghubungkan inti- inti permukaan kedua hemisfer (komisura)

mengalami kerusakan.

2. Kontusio serebri

Kontusio serebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena

efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab

kontusio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut

menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang

terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

3. Edema serebri

Edema serebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada

edema serebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih

disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan

hipovolemik.

4. Iskemia serebri

Iskemia serebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau

berhenti. Kejadian iskemia serebri berlangsung lama (kronik progresif) dan

disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.


Fraktur Maksilofasial

1. Anatomi Maksilofasial

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di

mana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface.

Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas

dimana fraktur Le Fort II dan III terjadi.Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah

yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah

2. Trauma maksilofasial

Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk

struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang

zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula

3. Fraktur Maksilofasial

 Fraktur Zigomatikomaksila

Fraktur ZMC Zygomaticomaxillary complex menunjukkan kerusakan tulang pada empat

dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid,

dan zygomaticotemporal.

 Fraktur Nasal

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan

penopang septal yang utuh

4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis

tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum

5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling
dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan

 Fraktur Le Fort

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada

tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu

1. Le Fort I

Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng

horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid

processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat

bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan

epistaksis dapat timbul.

2. Le Fort II

Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang

nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk

sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura

zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.

3. Le Fort III

Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya

yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal

sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding

lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang

melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan

pterygomaxillary.
Klasifikasi Le Fort

 Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang

bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah,

otot, serta persarafan.

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint

(TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi.

Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka

pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,

ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula

diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angulus,

ramus, kondilar, dan subkondilar


Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Lesi Intrakranial Akut dan Fraktur

Maksilofasial

1. X-ray skull AP/ Lat, water’s view

Kriteria untuk dilakukan X-ray adalah

- Kecurigaan cedera dengan mekanisme trauma yang tidak jelas

- Adanya benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal

- Kecurigaan terjadi trauma penetrasi 4.Pasien sempat pingsan atau muntah

- Kecurigaan terjadi fraktur compound atau adanya jejas yang jelas pada kepala

2. Computed Tomography Scanner (CT scan) Kepala

CT scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan gambar dari isi

intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh jaringan yang

diperiksa. Alat CT scan menghasilkan sejumlah gambar crosssectional dari otak dan

gambar tiga dimensi dari kranium dan pembuluh darah dapat dihasilkan apabila

diperlukan.

Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT scan kepala yaitu

1.Trauma kepala

2.Stroke

3.Nyeri kepala

4.Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial

5.Kejang

6.Kecurigaan terhadap adanya hidrosefalus

7.Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial

8.Penyakit vaskular intrakranial


khusus pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT

scan segera yaitu:

1. GCS kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi gawat darurat


2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di instalasi

gawat darurat

3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan

4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial

5. Kejang post trauma

6. Defisit neurologis fokal

7. Lebih dari satu episode muntah

8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian

Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala beberapa indikasi perlu

dipertimbangkan untuk melakukan CT scan kepala. Indikasi-indikasi tersebut antara lain

nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan intoksikasi alkohol.

Berdasarkan hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi

Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu

dibedakan menjadi enam kategori,pembagiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Category Definition
Diffuse Injury I (no visible No visible intra-cranial pathology seen on CT Scan
pathology)
Diffuse Injury II Cisterns are present with midline shift < 5 mm and or
lesion densities present
No high or mixed density lesion > 25 ml, may include
bone fragments and foreign bodies
Diffuse Injury III Cisterns compressed or absent with midline shift 0-5 mm
No high or mixed density lesion > 25 ml
Diffuse Injury IV Midline shift > 5 mm
No high or mixed density lesion > 25 ml
Evacuated mass lesion Any lesion surgically evacuated
Non-Evacuated High or mixed density > 25 ml, not surgically evacuated
mass lesion
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari
gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH

maupun SAH.

Anda mungkin juga menyukai