DISUSUN OLEH :
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Konsep Kehidupan Umat
Beragama Perspektif Aswaja NU “. Penulis sangat berharap makalah ini memberikan
manfaat didalam perkuliahan Program Studi Manajemen Universitas Wahid Hasyim
Semarang.
Makalah ini disusun sedemikian rupa agar mudah dibaca dan dimengerti serta
makalah ini di kutip dari berbagai sumber yang membahas mengenai KeAswajaan. Pada
kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama yang lebih di kenal dengan sebutan NU, didirikan di
Surabaya oleh sekelompok ulama pesantren pada tanggal 31 Januari 1926, yang di
pimpin oleh KH. Hasyim Asy’ary. Nahdlatul ulama berkiprah di pentas Nasional
sebagai organisasi sosial keagamaan. (Faisal Ismail, 2004: 28). Sejarah berdirinya
Organisasi Nahdlatul ulama adalah perluasan dari suatu komite Hijaz yang bertujuan
untuk mengimbangi Komite Khalifat secara berangsur-angsur jatuh ke tangan
golongan pembaharu dan berseru kepada Ibnu Saud penguasa baru Arab, agar
kebiasaan beragama secara tradisi dapat di teruskan. Dengan kata lain berdirinya
Nahdlatul ulama adalah sebagai protes para ulama tradisional yang menghendaki
praktek-praktek seperti membangun atau berdoa di kuburan, pembacaan-
pembacaan dalail al-khairat , ajaran mazhab hendaknya di lanjutkan. (Taqiyuddin,
2008: 253).
Selain itu sebagai sebuah organisasi keagamaan, Nahdlatul ulama memiliki
karakteristik paham dan praktik keagamaan yang mendasari seluruh perilaku dan
denyut gerakan-gerakannya. Ia mendasarkan paham keagamaannya kepada Al-
quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Dalam memahami Islam dari sumbernya, Nahdlatul
ulama mengikuti paham Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunnisme) dengan menggunakan
metode pendekatan yaitu paham Abu Hasan al-Asy’ary dan Abu Mansur al-Maturudi
dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali, dalam bidang fiqh pemikiran hukum Islam dan mengikuti ajaran-
ajaran Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bidang tasawuf. Keterikatan
Nahdlatul ulama kepada salah satu mazhab merupakan salah satu ciri khas Nahdlatul
ulama sebagai salah satu organisasi Islam tradisional Indonesia. (Faisal Ismail, 2004:
28-29).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Konsep Kehidupan Umat Beragama Perspektif Aswaja
NU[Tawasut,Tasamuh,Taazun dan Taadul}.
2. Bagaimana watak dan prinsip umat beragama prespektif aswaja NU Konsep
Kehidupan Umat Beragama Perspektif Aswaja NU[Tawasut,Tasamuh,Taazun dan
Taadul}
C. TUJUAN
1. Mengetahui Konsep Kehidupan Umat Beragama Perspektif Aswaja
NU[Tawasut,Tasamuh,Taazun dan Taadul}
2. Menanamkan dan mengamalkan watak dan prinsip aswaja NU sebagai
mahasiswa dilingkungan masyarakat,kampus maupun ditempat lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang
membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth,
ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat
berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan
menjadi “
wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-
Qur’an,
“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan
pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW)
menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata َو َس ًطاdalam firman Allah di atas dengan
adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena
perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi
dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang
menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
ْ َك َم ْغلُولَ ًة إِلَى ُع ُنق َِك َواَل َت ْبس
ُط َها ُك َّل ْال َبسْ طِ َف َت ْق ُع َد َملُومًا َمحْ سُورً ا َ َواَل َتجْ َع ْل َيد
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
3) Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis.
Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak
menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal
yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus
menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah
pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap
berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini
adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah
dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak kehidupan dalam aswaja tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah,
syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama
sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara
lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan
juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti
ijma’ dan qiyas.
2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak
memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan
mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul
madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji
dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara
qauli. Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah,
syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut:
(a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu
madzhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad
bin Idris as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
(b). Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam
Abu Manshur al-Maturidi.
(c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab
Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf
nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah
bil husna.
4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah
(realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan
Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi
negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati
mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap
mereka apalagi menuduh mereka kafir.
6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum
(terjaga dari kesalahan dan dosa).
7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah
kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-
ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam
masalah ijtihadiyyah tersebut.
10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan
tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di
samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka.
tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu
diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya: Pertama, at-tawassuth atau sikap
tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari
firman Allah SWT: Ada
ُ
ًون الرَّ سُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدا ِ ك َج َع ْل َنا ُك ْم أم ًَّة َو َسطا ً لِّ َت ُكو ُنو ْا ُش َهدَاء َعلَى ال َّن
َ اس َو َي ُك َ ِ>< َو َك َذل
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia
umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan
perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143). Kedua at-tawazun atau seimbang dalam
segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran
rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang
nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25) Ketiga, al-i'tidal atau tegak
lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
َ ش َهدَاء ِب ْالقِسْ طِ َوالَ َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنآنُ َق ْو ٍم َعلَى أَالَّ َتعْ ِدلُو ْا اعْ ِدلُو ْا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َوى َوا َّتقُو ْا هّللا
ُ ِ ِين هّلِل َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َ ِين آ َم ُنو ْا ُكو ُنو ْا َقوَّ ام
َ ُإِنَّ هّللا َ َخ ِبي ٌر ِب َما َتعْ َمل
ون
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak
membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat
adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8) Selain
ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau
toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip
hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang
berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha:
44) Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS
agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373
M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan
Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih,
lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat
diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206). Dalam tataran
praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat
terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
Akidah.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as
(sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang
multi-interpretatif (zhanni).
Tashawwuf/ Akhlak
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara
penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan
sikap dermawan (antara kikir dan boros).
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur
pengikatnya masing-masing.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan
kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak
bertentangan dengan ajaran agama.
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan
norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari
manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih
relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidah
Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak
masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan
dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai satu doktrin (ajaran) Ahlussunnah Waljamaah sudah ada jauh sebelum dia tumbuh
sebagai aliran dan gerakan, bahkan istilah Ahlussunnah Waljamaah itu sudah dipakai sejak
zaman Rosulullah dan para sahabat. Sebab hakikat Ahlussunnah Waljamaah sebenarnya
adalah Islam itu sendiri.
Saran
Sebagai umat Islam kita harus waspada terhadap sesuatu yang bisa memecah belah umat
Islam sendiri, sehingga apabila umat Islam terpecah belah musuh-musuh Islam dapat
menyerang Islam dengan mudah. Dan juga terhadap kaum kafir yang selalu berusaha untuk
menghancurkan umat Islam yang selalu meluncurkan propagandanya tersebut.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan inspirasi
sehingga ada yang meneruskan karya ini karah yang lebih baik, lebih detail, dan lebih akurat
dari yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
http://pemikiranaswaja.blogspot.com/p/pemikiran-aswaja
Mursyid, Imam, Ke-NU-an Ahlussunnah Waljamaah kelas XI, Semarang: Pimpinan Wilayah
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Tengah, 2011
Taufiq, Imam, dik, Materi Dasar Nahdlatul Ulama (Ahlussunnah Waljamaah), Semarang: PW
LP Ma’arif NU Jawa Tengah, 2002.