Anda di halaman 1dari 20

Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Membran sel darah merah atau eritrosit mengandung berbagai jenis protein dan
karbohidrat yang mampu merangsang pembentukan antibodi serta bereaksi dengan
antibodi tersebut. Lebih dari 300 bentuk dan jenis antigen telah diketahui dan
ditentukan klasifikasinya. Beberapa jenis telah diketahui peran biologisnya, namun
struktur, fungsi dan dasar imunogenitas sebagian besar antigen belum jelas diketahui.
Selama ini diketahui bahwa gen yang menentukan antigen eritrosit diturunkan
melalui hukum Mendel. Sebagian besar antigen itu menyatakan dirinya tanpa
menghiraukan adanya alel lain, sehingga sifatnya itu disebut kodominan.1,2,3

Sistem yang sering digunakan dalam imunohematologi adalah sistem ABO dan
Rhesus. Antigen utama pada sistem ABO disebut antigen A dan B, antibodi utamanya
adalah anti-A dan anti-B. Ada tidaknya antibodi dan spesifitas antibodi tidak
ditentukan secara genetik, tetapi antibodi dibentuk setelah pemaparan terhadap
antigen yang ada di lingkungan dan memiliki struktur serta spesifitas yang sama
dengan antigen eritrosit. Sedangkan pada sistem Rhesus, terdiri atas bermacam-
macam antigen, antara lain antigen D, C, E, c dan e. Antigen utama dalan sistem
Rhesus adalah antigen D yang paling mudah merangsang pembentukan antibodi.
Rhesus positif [Rh +] adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya
sedang Rhesus negatif [rh -] adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya. 1,2,3

Mekanisme inkompatibilitas eritrosit golongan ABO maupun Rhesus dalam sirkulasi


darah dapat terjadi melalui transfusi darah ataupun kehamilan. Sekitar 20% ibu
dengan [rh -] membentuk anti-D setelah mengandung janin [Rh +]. Antibodi
maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi
terhadap antigen eritrosit janin yang dapat melewati plasenta serta merusak eritrosit

Produced by MG ™ 2010 1
janin. Hal inilah yang dapat menyebabkan penyakit hemolisis pada janin dan bayi
baru lahir.2
Penyakit hemolisis pada bayi sering ditandai dengan gejala kuning (ikterus) sejak
lahir yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin indirek sebagai hasil dari
pemecahan eritrosit, dimana eritrosit janin dan bayi memiliki jenis Hb dan sifat
membran yang berbeda serta umur yang lebih singkat. Namun demikian gejala
ikterus pada bayi baru lahir dapat pula disebabkan berbagai hal lain, seperti ikterus
fisiologis, breastmilk jaundice, disfungsi plasenta, kelainan pembekuan darah, dan
sepsis.4,5

Sepsis pada bayi baru lahir merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic
Inflammatory Respons Syndrome – SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri,
virus, jamur ataupun parasit sesuai dengan konsensus dari American College of Chest
Physicians/Society of Critical Care Medicine (AC/CPSCCM). Sepsis neonatal dibagi
dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan lambat. Angka insiden di
negara yang sedang berkembang dibanding di negara maju masih cukup tinggi (1,8-
18:1,5/1000 kelahiran). Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan kesulitan
dalam menentukan diagnosis pasti, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk membantu konfirmasi diagnosis.6

Tujuan sajian kasus ini adalah untuk menampilkan sebuah kasus yang jarang
dijumpai serta untuk mendiskusikan diagnosis, tatalaksana dan prognosis
inkompatibilitas rhesus dengan sepsis neonatorum.

Produced by MG ™ 2010 2
KASUS
Seorang bayi laki-laki, F, berusia 0 hari, dengan nomor rekam medik 980633 lahir di
OK IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi (RSDM) pada tanggal 8 November 2009, pk.
22.35 WIB secara sectio cesaria. Saat lahir menangis kuat, gerak aktif dan tidak
sianosis. Umur kehamilan 41 minggu, berat badan lahir 2950 gram, panjang badan
lahir 47 cm sedangkan lingkar kepala 31 cm, lingkar dada 32 cm. Dari anamnesis
sebelum persalinan didapatkan ketuban pecah 39 jam sebelumnya, keruh dan berbau
serta tidak didapatkan demam > 38°C. Pada pemeriksaan golongan darah ibu
didapatkan hasil golongan darah [O,rh -] dan golongan darah ayah [A,Rh+].

Pasien mulai tampak kuning pada umur 1 hari setelah lahir, gejala kuning dimulai
dahi, kepala, leher berlanjut kulit dada perut, semakin bertambah pada lengan,
tungkai, telapak tangan dan kaki. Pasien menangis kuat, gerak aktif, dapat minum
kuat (ASB oleh karena ASI ibu belum keluar), toleransi minum baik, tidak demam,
BAK sudah keluar warna kuning jernih, mekonium keluar 2 jam setelah lahir.

Riwayat kehamilan merupakan kehamilan yang pertama. Ibu kontrol teratur ke bidan
selama hamil, mendapat vitamin tambah darah, tidak pernah sakit selama hamil,
seperti demam, sering batuk pilek, sakit gigi ataupun gigi berlubang, tidak minum
obat-obatan, tidak minum minuman alkohol dan tidak mengalami keluhan selama
masa kehamilan.

Ayah pasien berusia 24 tahun, agama Islam, suku jawa, berpendidikan SMP, bekerja
sebagai wiraswasta (membuka warung) dengan penghasilan rata-rata Rp 1.000.000
perbulan.
Ibu pasien berusia 25 tahun, agama Islam, suku jawa, berpendidikan SMP sebagai ibu
rumah tangga. Ayah dan Ibu tidak ada hubungan keluarga. Dari pohon keluarga baik
dari keluarga ayah maupun dari keluarga ibu tidak didapatkan adanya penyakit atau
riwayat keluarga yang berhubungan dengan penyakitnya sekarang.
Produced by MG ™ 2010 3
I

II

24 th 25 th
III hari
By F, 0 hari

Pemeriksaan fisik 2 jam setelah kelahiran bayi tidak tampak sianosis, menangis kuat,
gerak aktif, tonus otot baik, tidak tampak ikterik. Laju nadi sama dengan laju jantung
140 kali permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 44 kali permenit
(teratur, kedalaman cukup), suhu 35,7°C (peraksilla). Berat badan lahir 2950 gram
berdasar kurva Lubchenco sesuai masa kehamilan. Lingkar kepala 33 cm (> +2 SD
Nellhaus). Ubun-ubun besar datar. Pada pemeriksaan kulit dahi tidak tampak ikterik.
Pemeriksaan pada kedua mata didapatkan pupil isokor dengan diameter 2 mm, refleks
cahaya positif, konjungtiva palpebra tidak pucat dan tidak sianosis, konjungtiva bulbi
tidak hiperemis, sklera tidak ikterik, tidak ditemukan napas cuping hidung. Mukosa
mulut dan daerah sekitar mulut tidak biru.

Pada pemeriksaan dinding dada tidak ditemukan adanya retraksi dinding dada. Iktus
cordis tidak tampak, tidak kuat angkat. Hasil pemeriksaan auskultasi jantung tidak
didapatkan bising, thrill(-), sedangkan pada pemeriksaan fisik paru dalam batas
normal, tidak ditemukan suara nafas tambahan. Pemeriksaan pada abdomen
didapatkan dinding perut sejajar dinding dada, tali pusat tidak layu, darm contour (-).
Pada auskultasi abdomen didapatkan bising usus normal, palpasi abdomen masih

Produced by MG ™ 2010 4
supel, hepar teraba 2 cm BACD dan lien tidak teraba. Pada perkusi didapatkan
timpani dan tidak didapatkan asites. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan penis,
skrotum (+/+) serta testis (+/+). Pemeriksaan pada keempat ekstremitas tidak
didapatkan akral dingin, tidak ada sianosis pada kuku, serta tidak didapatkan ikterik
ataupun pucat pada telapak tangan maupun kaki. Pada pemeriksaan skor Ballard
diperoleh skor 40 yang setara dengan umur kehamilan 40 minggu.

Diagnosis kerja saat itu adalah neonatus, laki-laki, cukup bulan, sesuai masa
kehamilan, lahir secara sectio cesaria dari ibu golongan darah [O, Rh negatif],
tersangka sepsis awitan dini unproven, hipotermi. Penderita dirawat di ruang bayi
risiko tinggi dan direncanakan pemeriksaan laboratorium darah, meliputi kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, jumlah lekosit, hitung jenis leukosit, jumlah
trombosit, kadar gula darah sewaktu, albumin, kultur darah, gambaran darah tepi
serta CRP. Direncanakan pula pemeriksaan urin dan feses. Penatalaksanaan penderita
saat itu adalah diberikan perawatan inkubator dengan suhu 32 – 34°C untuk
mengatasi hipotermi, diet ASI/ASB on demand, injeksi Ampisilin 150 mg/12 jam
intravena, injeksi Gentamisin 15 mg/24 jam intravena serta ekstra injeksi vitamin K 1
mg intramuskuler.

Pada pemantauan hari kedua perawatan (9 November 2009), umur 1 hari, pasien
mulai tampak kuning pada dahi, lehe sampai dada, pasien tidak demam, toleransi
minum baik (ASB), tidak ada residu lambung, tidak ada perdarahan spontan, gerak
aktif dan menangis kuat, tanda vital : laju nadi sama dengan laju jantung 150 kali
permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 48 kali permenit (teratur,
kedalaman cukup), suhu 37,1°C (peraksilla). BB pasien 2950 gram. Pemeriksaan fisik
didapatkan ikterik pada kulit dahi dan dada, pemeriksaan fisik lain masih relatif sama
dengan sebelumnya. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9 November 2010 di
RSDM Dr. Moewardi didapatkan kadar hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 35 %,
jumlah eritrosit 3,11.106 / µl, jumlah lekosit 9500/µl, hasil hitung jenis leukosit
Produced by MG ™ 2010 5
E1.8/B0.4/N75.9/L17.6/M4.4 jumlah trombosit 224.000/ µl, MCV 113,1 /um, MCH 34,0 pg,
MCHC 30,1 g/dl, kadar gula darah sewaktu (GDS) 105 mg/dl, golongan darah [A, Rh
positif], kadar albumin serum 4,0 g/dl, CRP 2,36 mg/l dan albumin 4,2 g/dl.
Diagnosis saat itu ditambah Ikterus neonatorum Kramer II, Anemia mikrositik
hipokromik e/c tersangka anemia hemolitik e/c Inkompatibilitas Rhesus DD ABO
serta riwayat hipotermi. Direncanakan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin,
retikulosit, bilirubin total, direk, indirek serta tes Coombs (direct Coombs test/ DAT).
Dilakukan pemantauan secara klinis gejala kuning pada pasien.

Pemantauan pada hari ketiga perawatan (10 November 2009), pasien berumur 2 hari,
BB 2950 gram, gejala kuning bertambah sampai pada dada, perut sampai melebihi
pusat, paha, lutut, tungkai atas, bawah, serta telapak tangan dan kaki. Pasien tampak
aktif, menangis kuat, minum kuat, toleransi minum baik dan tidak demam. Tanda
vital : laju nadi sama dengan laju jantung 158 kali permenit (isi dan tegangan cukup,
teratur), laju napas 50 kali permenit (teratur, kedalaman cukup), suhu 37,0°C
(peraksilla). BB pasien 2950 gram. Pada pemeriksaan mata didapatkan kedua sklera
tampak ikterik, konjungtiva palpebra tidak pucat, ekstremitas ikterik, telapak tangan
dan kaki tidak pucat, pemeriksaan fisik lain sama dengan sebelumnya. Hasil
pemeriksaan adalah kadar hemoglobin 9,6 g/dl, retikulosit 6%, bilirubin total 25,43
mg/dl, bilirubin direk 0,22 mg/dl, bilirubin indirek 25,21 mg/dl. Hasil gambaran
darah tepi yaitu eritrosit hipokromik, poikilositosis, mikrositik, burr cell (+),
schiztocyte (+), tear drop (+), polikromasi (+), eritroblas (+); lekosit jumlah dalam
batas normal, dominan netrofil sel muda (-), granula toksik (+), vakuolisasi (+);
trombosit jumlah dalam batas normal, giant trombosit (-), penyebaran merata;
kesimpulan anemia mikrositik hipokromik, suspek proses perdarahan DD hemolitik
bersamaan dengan infeksi, saran CRP. Diagnosis saat itu ditambahkan Ikterus
neonatorum Kramer V dengan hiperbilirubinemia high risk zone. Penatalaksanaan
saat itu dilakukan terapi sinar (light therapy) selama 12 jam intermitten, terapi lain

Produced by MG ™ 2010 6
tetap dilanjutkan, pemantauan klinis status hidrasi, balans cairan serta efek samping
terapi sinar.

Pemantauan pada hari kelima perawatan (12 November 2009), pasien umur 4 hari,
tampak lemah, gejala kuning belum berkurang, tidak tampak pucat dan sianosis,
gerak mulai kurang aktif, mulai malas minum, toleransi minum kurang baik, residu
(+) warna susu + 10 cc, tanda vital : laju nadi sama dengan laju jantung 152 kali
permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 46 kali permenit (teratur,
kedalaman cukup), suhu 37,2°C (peraksilla). BB pasien turun menjadi 2900 gram.
Pemeriksaan fisik masih relatif sama dengan sebelumnya. Penatalaksanaan saat itu
terapi sinar tetap dilanjutkan, terapi ditambahkan jalur parenteral dengan D1/4 S 465
cc + D40% 35 cc kecepatan 12 cc/jam, injeksi Fenobarbital 6 mg/12 jam intravena
serta transfusi plasma segar 60 cc/hari selama 3 hari. Hasil crossmatch (uji silang)
dari PMI menyatakan bahwa donor plasma darah yang sesuai untuk pasien adalah
darah dari golongan [A, Rh+].

Pada hari ketujuh perawatan (14 November 2010), pasien umur 6 hari, BB 2900
gram, gejala ikterik belum berkurang, gerak kurang aktif, toleransi minum belum
membaik, tidak sesak, pasien mulai demam. Tanda vital : laju nadi = laju jantung 158
x/mnt, laju napas 54x/mnt, suhu 37,8°C peraksiler. Pemeriksaan fisik abdomen
didapatkan dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, supel, teraba hepar 3 cm
dibawah arcus costa kanan dan teraba lien 1 schuffner. Hasil kultur darah saat itu
ditemukan kuman Staphylococcus haemoliticus. Hasil tes Coombs langsung (DAT)
adalah positif, yakni ditemukannya IgG anti-D dan anti-A pada sel darah merah bayi
dan serum bayi. Disarankan apabila akan memberikan darah kepada pasien, darah
yang akan diberikan adalah golongan [O, Rh+]. Diagnosis saat itu ditambahkan
Inkompatibilitas Rhesus dan ABO dan sepsis neonatorum awitan dini e/c
Staphylococcus haemoliticus. Penatalaksanaan saat itu terapi sinar tetap dilanjutkan,
antibiotik diganti sesuai kultur yakni Gentamisin diganti dengan Amikasin 45 mg/hr
Produced by MG ™ 2010 7
intravena, ditambahkan injeksi Metilprednisolon 45 mg/12 jam intravena selama 3
hari, serta motivasi untuk penambahan IVIG pada pasien, namun pasien menolak
dengan alasan biaya.

Pemantauan hari kedelapan perawatan (15 November 2009), pasien umur 7 hari,
keadaan umum tampak lemah, pasien tampak pucat, ikterik masih didapatkan,
toleransi minum belum membaik, masih didapatkan demam, tampak sesak. Tanda
vital : laju nadi = laju jantung 157 x/mnt, laju napas 68x/mnt, suhu 38,1°C peraksiler,
SiO2 100%. Pemeriksaan fisik mata tampak sklera ikterik, konjungtiva pucat, telapak
tangan dan kaki pucat, dada, perut dan ekstremitas ikterik. Tidak didapatkan napas
cuping hidung dan tidak didapatkan retraksi dinding dada. Pada pemeriksaan
auskultasi jantung didapatkan bising sistolik derajat 2/VI di semua katup,
penjalaran(-). Pemeriksaan abdomen : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
supel, teraba hepar 3 cm dibawah arcus costa kanan dan lien 1 schuffner. Hasil
pemeriksaan hemoglobin saat itu 3,8 g/dl, hematokrit 11,8 %, jumlah lekosit
10.700/µl, hasil jumlah trombosit 132.000/ µl, jumlah eritrosit 1,08.10 6 / µl.
Diagnosis ditambahkan Anemia Heart Disease. Penatalaksanaan ditampahkan
transfusi PRC sampai kadar hemoglobin 14 g/dl. Hasil croosmatch dari PMI
menyatakan bahwa donor yang sesuai untuk transfusi komponen darah pasien adalah
golongan darah [O, rh-]. Transfusi plasma segar tetap dilanjutkan, kemudian transfusi
FFP (fresh frozen plasma) 10 cc/kgBB selama 3 hari, dengan donor golongan darah
[A, Rh+]. Diberikan Oksigen nasal 2L/mnt, diet ASI/ASB per NGT 8x20-25 cc
dinaikkan bertahap.Terapi sinar tetap dilanjutkan.

Pada hari kesepuluh perawatan (17 November 2009), pasien umur 9 hari, keadaan
umum pasien membaik, ikterik berkurang dari sebelumnya, tidak tampak pucat,
toleransi minum membaik, tidak demam, tidak tampak sesak. Tanda vital : laju nadi =
laju jantung 148 x/mnt, laju napas 58x/mnt, suhu 37,3°C peraksiler. Pemeriksaan
fisik tidak didapatkan konjungtiva pucat dan ektremitas pucat. Pemeriksaan jantung
Produced by MG ™ 2010 8
tidak didapatkan bising jantung. Hasil laboratorium kadar hemoglobin (post transfusi)
14 g/dl, kadar bilirubin total 0,58 mg/dl, bilirubin direk 0,07 mg/dl, bilirubin indirek
0,51 mg/dl, albumin 3,6 g/dl. Pada penatalaksanaan terapi oksigen, terapi sinar,
injeksi antibiotik dan Fenobarbital dihentikan. Pasien dipindahkan dari inkubator dan
dipantau perbaikan secra klinis.

Pada perawatan hari keduabelas (19 Nvember 2009), pasien umur 11 hari, keadaan
umum pasien semakin membaik, tidak tampak ikterik, tidak pucat, toleransi minum
membaik, tidak demam. Tanda vital stabil : laju nadi = laju jantung 150 x/mnt, laju
napas 48x/mnt, suhu 36,9°C peraksiler. Pemeriksaan fisik mata tidak ada sklera
ikterik dan konjungtiva pucat, ekstremitas pucat dan ikterik tidak didapatkan. Pada
pemeriksaan abdomen tidak teraba lien, perabaan hepar masih relatif sama dengan
sebelumnya. Pasien diperbolehkan pulang dan diminta kontrol 1 minggu kemudian.

Pada usia 20 hari, pasien kontrol ke poliklinik perinatologi RS Dr.Moewardi


Surakarta. Keadaan umum membaik, gerak aktif, minum kuat, tidak tampak pucat
dan ikterik. Pemeriksaan fisik tanda vital stabil. Pemeriksaan abdomen tidak
didapatkan perabaan lien, hepar teraba 2 cm dibawah arcus costa kanan. Diberikan
edukasi kepada orangtua dan keluarga, terutama mengenai kehamilan berikutnya.

DISKUSI
Penyakit kuning atau ikterus merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi
baru lahir, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus
sedang mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan
5
suatu penyakit. Sebagian besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi
toksik dari bilirubin, maka semua bayi baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi
kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat. Ikterus fisiologis muncul pada hari
kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi kernikterus, biasanya hilang
dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl. Ikterus pada neonatus perlu
Produced by MG ™ 2010 9
dievaluasi lebih lanjut bila : (1) timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan, (2)
kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat yakni > 5mg/dl/hari, (3) BST > 12 mg/dl,
(4) ikterus menetap sampai > 2 minggu, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dl
(Maisel S, 2006). Hiperbilirubinemia neonatal diartikan sebagai kadar bilirubin serum
total (BST) ≥ 5 mg/dl. Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi akut dari toksisitas
bilirubin yang terlihat pada minggu-minggu pertama kehidupan.7

Di Indonesia terdapat dua etiologi terbanyak penyakit hemolitik yang menyebabkan


ikterus pada bayi, yakni inkompatibilitas ABO dan defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-
dehidrogenase (G6PD). Inkompatibilitas Rhesus merupakan kasus yang jarang terjadi
di Indonesia dikarenakan golongan darah sebagian besar orang Indonesia adalah
Rhesus positif.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan
darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal
isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap
antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah antibodi
maternal melalui plasenta yang merusak eritrosit janin.4,5

Pelacakan adanya proses hemolisis ditandai dengan adanya anemia, kadar


hemoglobin kurang dari normal (sesuai umur), peningkatan retikulosit, dimana pada
bayi cukup bulan jumlah normal retikulosit 4-5%, bayi kurang bulan 6-10%. Pada
gambaran darah tepi didapatkan eritrosit mikrositik hipokromik, mikrosferosit,
polikromasia, normoblas dan adanya eritrosit berinti.8 Pada kasus ini bayi lahir dari
ibu golongan darah [O, rh-] dan ayah [A,Rh+], pasien tampak kuning mulai pada hari
pertama dan semakin lama semakin meluas hingga Kramer V pada usia 2 hari. Pada
pemeriksaan fisik tampak ikterik pada kedua sklera mata, dahi, leher, dada, abdomen,
hingga keempat ekstremitas serta telapak tangan dan kaki. Pada palpasi abdomen
didapatkan adanya hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
Produced by MG ™ 2010 10
penurunan kadar hemoglobin yang nyata dari 10,6 menjadi 9,6 sampai 3,8 g/dl,
retikulosit 6%, BST 25,43 mg/dl dengan dominasi bilirubin indirek 25,21 mg/dl.
Selain itu pada pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan eritrosit hipokromik,
poikilositosis, mikrositik, schiztocyte (+), polikromasi (+), eritroblas (+). Hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang mendukung diagnosis anemia hemolitik. Dengan
berdasarkan data golongan darah ibu [O, rh-], maka selanjutnya dilakukan pelacakan
diagnosis kearah inkompatibilitas Rhesus, dengan diagnosis banding inkompatibilitas
ABO.

Penegakan diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu


dengan tes Coombs. Ada 2 metode tes Coombs yang sering digunakan, yakni metode
langsung dan tak langsung. Metode langsung yakni eritrosit yang akan diperiksa
dicuci lebih dahulu kemudian dicampur dengan serum Coombs, yaitu serum hewan
yang mengandung anti zat spesifik terhadap human globulin. Terjadinya aglutinasi
pada tes ini membuktikan adanya antizat yang melapisi eritrosit. Metode tak
langsung, merupakan tes untuk menunjukkan adanya antibodi dalam serum yang
diperiksa, dalam hal ini bayi. Tes ini bergantung pada kemampuan anti IgG (Coombs)
serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan uji
ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung
mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, kemudian dilakukan pencucian.
Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran
eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit, kemudian
serum Coombs ditambahkan. Adanya aglutinasi menunjukkan bahwa serum yang
diperiksa berisi antizat yang melapisi eritrosit.1,9

Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya
endapnya (sedimentation coefficient) 7 detik, bersifat termo stabil dan dapat
ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air
liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi
Produced by MG ™ 2010 11
janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis. Pada wanita Rhesus negatif
yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar
8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai
akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan
antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan
berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi
pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama
kehamilan, terutama trimester ketiga.2,3

Pada pasien ini didapatkan hasil tes Coombs langsung (DAT/direct antiglobulin test)
adalah positif, yakni ditemukannya IgG anti-D dan anti-A pada sel darah merah bayi
dan serum bayi. Hasil ini menyatakan adanya aglutinasi yang terjadi antara anti-D
yang terdapat pada serum ibu dengan antigen-D yang terdapat pada eritrosit bayi,
dengan ditemukannya IgG anti-D yang terbukti melapisi eritrosit janin, serta adanya
aglutinasi antara antigen-A pada bayi dengan IgG anti-A serum ibu, hal inilah yang
menyebabkan aglutinasi dan hemolisis pada eritrosit bayi. Jumlah darah fetus yang
diperlukan untuk menyebabkan inkompatibilitas rhesus bervariasi. Setelah
tersensitisasi, diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk antibodi rhesus yang dibentuk
ibu masuk kedalam sirkulasi fetus.

Terjadinya hemolisis akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh antibodi anti-A


dan anti-B yang masuk dalam sirkulasi fetus bereaksi dengan antigen-A atau antigen-
B pada permukaan eritrosit. Pada ibu yang memiliki darah tipe A atau B secara alami
terdapat anti-A atau anti-B dalam bentuk molekul IgM, sehingga tidak dapat
melewati plasenta, namun pada ibu dengan golongan darah O mempunyai antibodi
terutama terdiri dari molekul IgG. Dengan alasan inilah maka inkompatibilitas ABO
biasanya terbatas pada ibu golongan darah O dengan fetus golongan darah A atau B.
Adanya IgG anti-A atau anti-B pada ibu tipe O dapat menjelaskan proses hemolisis
yang disebabkan inkompatibilitas ABO, yang sering terjadi pada kehamilan pertama
Produced by MG ™ 2010 12
tanpa diperlukan sensitisasi terlebih dahulu. Inkompatibilitas ABO jauh lebih ringan
daripada inkompatibilitas rhesus, hasil DAT seringkali negatif dan gejala
hiperbilirubinemia tidak berat.2,10 Tidak adanya peningkatan kadar IgG pada ibu dapat
digunakan untuk meyingkirkan diagnosis inkompatibilitas ABO 8, namun pada kasus
ini, kadar IgG ibu tidak diperiksa.

Penatalaksanaan untuk hiperbilirubinemia oleh karena proses hemolitik sesuai dengan


yang direkomendasikan oleh Subcommitte on Hyperbilirubinemia, American
Academy of Pediatrics untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu yakni fototerapi
sesuai dengan kadar BST menurut usia bayi. Pada kasus ini diberikan fototerapi
intermitten 12 jam selama 6 hari, total adalah 72 jam penyinaran. Beberapa studi
meneliti tentang perbandingan fototerapi intermiten dan intensif dalam menurunkan
kadar bilirubin, bila kadar bilirubin mencapai zona transfusi tukar, maka fototerapi
harus diberikan secara kontinyu sampai tejadi penurunan BST yang diharapkan.
Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan fototerapi, namun
fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada dibawah nilai cut off point
dari setiap kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit mulai pertama setelah
lahir, maka fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST turun sampai dibawah 13-14
mg/dl. Pada pasien ini, fototerapi dihentikan berdasarkan pengamatan secara klinis,
berkurangnya gejala ikterik dan kondisi pasien yang mulai membaik, serta
pemeriksaan kadar BST yang normal yaitu < 5 mg/dl. 7,10

Pemberian transfusi komponen PRC golongan darah [O, rh-] pada pasien ini yakni
untuk mengantisipasi terjadinya destruksi eritrosit yang berlebihan yang lebih berat,
untuk menjaga homeostasis dalam darah dimana tidak terdapat antigen A,B ataupun
D pada komponen darah donor, sehingga dapat diberikan pada pasien. Pemberian
transfusi plasma segar dan FFP golongan darah [A,Rh+] pada kasus ini adalah
sebagai sumber albumin untuk pengikat bilirubin indirek. Penatalaksanaan untuk
inkompatibilitas Rhesus maupun ABO memerlukan pemberian IVIG (intravenous
Produced by MG ™ 2010 13
immunoglobulin) bersamaan dengan fototerapi untuk mengatasi terjadinya reaksi
11,12
antigen antibodi yang berlebihan dalam darah bayi , namun pada kasus ini, IVIG
tidak diberikan oleh karena alasan biaya.

Sepsis awitan dini ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan bayi baru lahir
(umur dibawah 3 hari), infeksi terjadi secara vertikal dari ibu ke bayi selama
persalinan atau kelahiran. Tabel dibawah ini menunjukkan faktor risiko sepsis awitan
dini.
Tabel 1. pengelompokan faktor risiko sepsis.

Risiko mayor Risiko minor


1. Ketuban pecah > 24 jam 1. Ketuban pecah > 12jam
2. Ibu demam; saat intrapartum > 38ºC 2. Ibu demam; saat intrapartum suhu
3. Korioamnionitis >37,5ºC
4. Denyut jantung janin yang 3. Nilai APGAR rendah (menit ke1<5,
menetap>160x/menit menit ke 5<7)
5. Ketuban berbau 4. Bayi berat lahir sangat rendah
(BBLSR),<1500 gram
5. Usia kehamilan < 37 minggu
6. Kehamilan ganda
7. Keputihan pada ibu
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih
(ISK)/ tersngka ISK yang tidak
diobati.
Sepsis awitan lambat terjadi disebabkan kuman berasal dari sekitar bayi setelah hari
ketiga lahir. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif,
bayi kurang bulan yang mengalami perawatan lama, nutrisi parenteral yang
berkepanjangan, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga
medis yang merawat bayi.

Diagnosis pasti sepsis yaitu dengan ditemukannya bakteri pada hasil biakan darah,
akan tetapi pemeriksaan ini membutuhkan waktu sekitar 3-5 hari. Hasil biakan darah
ini dipengaruhi oleh pemberian antibiotika, jumlah sampel darah serta dapat
terkontaminasi kuman nosokomial. Karena itu beberapa ahli membuat formulasi
untuk dapat mendiagnosis terjadinya sepsis secara dini.6

Produced by MG ™ 2010 14
Menurut Haque, FIRS (fetal inflamatory response syndrome) ditegakkan apabila
terdapat 2 atau lebih keadaan sebagai berikut :
1. laju nafas > 60x/m dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi O2
2. suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37,5C)
3. capillary refill time > 3 detik
4. hitung lekosit <4000x109/L atau >34000x109 /L
5. CRP >10 mg/dl
6. IL-6 atau IL-8>70 pg/ml
7. 16 S rRNA gene PCR: positif.
Sepsis ditegakkan apabila didapatkan satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan
gambaran klinis infeksi seperti trelihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2 : Gambaran klinis sepsis neonatal
Variabel klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit
Laju nafas >60kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L)
Intoleransi minum
Variabel hemodinamik
Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)
Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia kurang dari 6 bulan)
Variabel perfusi jaringan
Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 detik
Variabel inflamasi
Leukositosis (>34000x109)
Leukopenia (<5000x109)
Produced by MG ™ 2010 15
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/ total neutrofil (I/T ratio)>0.2
Trombositopenia <100000x109/L
C reaktive protein > 10 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal
Procalsitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari normal
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber: Haque, 2005


Penegakan diagnosis sepsis pada pasien ini didasarkan pada adanya riwayat ketuban
pecah dini > 24 jam, berwarna keruh dan berbau. Pada pemeriksaan klinis tidak khas,
yakni aadanya keadaan umum lemah, intoleransi minum, dan suhu tubuh yang tidak
stabil pada waktu kurang dari 72 jam, dan pada hasil biakan darah tumbuh
Staphylococcus haemoliticus, maka diagnosis pasien ini adalah sepsis neonatorum
awitan dini e/c Staphylococcus haemoliticus. Penatalaksanaan sepsis yakni dengan
pemberian antibiotik yang sensitif sesuai dengan biakan kultur selama 7-10 hari
sesuai dengan perbaikan klinis penderita.

Prognosis pada pasien ini adalah baik, karena ikterus mengalami perbaikan ditandai
dengan penurunan kadar BST, bilirubin direk serta indirek dalam batas normal dalam
waktu kurang dari 2 minggu. Dan saat usia 20 hari pasien kontrol ke poliklinik,
kondisi pasien membaik, tidak ada gejala ikerik. Untuk pemantauan jangka panjang
perlu dimonitoring mengenai kadar bilirubin darah secara berkala untuk mengetahui
proses hemolitik yang terjadi di kemudian hari, serta skrining pendengaran,
perkembangan fungsi kognitif sebagai akibat dari terjadinya hiperbilirubinemia.
Edukasi perlu diberikan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita,
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi berulang dengan
gejala yang lebih berat pada kehamilan selanjutnya.

Produced by MG ™ 2010 16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kresno, Gandasoebrata R, Boedina S. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil


Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta. EGC. h:203-7.

2. Salem L. 2006. Rh incompatibility. www. Neonatology.org.

3. Wagle S. 2002. Hemolytic disease of the newborn. www. Neonatology.org.

4. Maisels J. neonatal jaundice. 2006. Pediatr Rev; 27:443-54.

5. Schwoebel A, Gennaro S. 2006. Neonatal hyperbilirubinemia. J Perinat


Neonat Nurs; 20:103-7.

6. Aminullah A. 2009. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim S, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyuting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1.
Jakarta: IDAI:178-87.

7. Waldron PE, Cashore WJ. 2005. Hemolytic disease of the fetus and newborn.
Dalam: Alarcon PD, Werner E, penyunting Neonatal Hematology.
Cambridge:Cambridge University Press. h:91-119.

8. Gomella TL.2004. Blood Abnormalities. Dalam Cunningham MD, Eyal FG,


Zenk KE, editor. Neonatology; management, procedures, on call problem,
diseases, and progres. Edisi 15. Lange medical books.h:332-40; 344-48.

9. Giancarlo ML, dkk. 2008. The role of the direct antiglobulin


test in pre-transfusion investigations and the approach to
selecting blood for transfusion in autoimmune haemolytic
anaemia: results of a regional survey. Blood Transfus; 6:156-62.

10. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. 2005. Neonatal hyperbilirubinemia.


Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting Acery’s Diseases
of The Newborn. Philadelphia:Elsevier Saunders.h:1226-32.

11. Giroux AG, Moore TR. 1997. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA,
Martin RJ. Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant, I, 6 th
ed. St. Louis: Mosby Year Book.h:300-11.

12. Gottstein R, Cooki RWI. 2003. Systematic review of intravenous


immunoglobulin in haemolytic disease of the newborn. Arch Dis Child Fetal
Neonatal; 88:6-10.

13. Haque K. 2006. Management of bacterial infection in newborn. J Arab


Neonatal Forum; 3:41-5.

17
EVIDENCE BASED CASE REPORT

METODE DIAGNOSTIK INKOMPATIBILITAS RHESUS DAN ABO

Formulasi pertanyaan klinis :


Apakah uji Coombs merupakan metode diagnostik yang cukup sensitif dan spesifik
dalam mendiagnosis penyakit inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada bayi baru lahir
dengan gejala ikterik?

Metode penelusuran bukti


Penelusuran dilakukan melalui situs tripdatabase (http:www.tripdatabase.org/),
pubmed (http:www.pubmed.org/), dan google (http:www.tripdatabase.org/) dengan
menggunakan kata kunci : Coombs test, incompatibility, neonatal jaundice. Dari
ketiga kata kunci tersebut hanya diperoleh 2 artikel yang relevan.

Hasil penelusuran jurnal:


Herschel M et al.2 Herschel et al.1
Desain Potong lintang Potong lintang
Tempat Natus Medical Inc, San Carlos, General Care Nursery, Chicago, USA
CA, Chicago
Waktu 15 minggu (tidak disebutkan)
Subjek Bayi sukup bulan, lahir dari ibu Bayi cukup bulan, klinis ikterik pada usia
golongan darah O, klinis ikterik < 24 jam, tersangka hemolisis
pada usia < 24 jam
Besar sampel 680 pasien 660 pasien
Pemeriksaan - DAT (direct antiglobulin test) - DAT , darah rutin, apusan darah tepi,
- Kadar bilirubin total dalam retikulosit, pengukuran BST, pengukuran
serum konsentrasi CO pada akhir volume tidal
(ETCOc)
Hasil - Tidak ada perbedaan yang - DAT spesifik (dengan spesifitas =
bermakna antara rerata kadar 98,5%) namun kurang sensitif
bilirubin serum total (BST) (sensitivitas = 38,5%) untuk mendeteksi
dengan DAT (-) pada proses hemolisis pada BBL 5
inkompatibilitas ABO - PPV (positive predictive value)
dibandingkan dengan DAT (-) DAT : 9/17 = 52,9%
pada compatibilitas ABO ETCOc : 17/26 = 65,4%

18
- Terdapat perbedaan namun tidak NPV (positive predictive value)
bermakna antara rerata kadar DAT : 430/482 = 89,2%
BST pada DAT (+) pada ETCOc : 429/473 = 90,7%
inkompatibilitas ABO dengan Namun hasil ini tidak bermakna secara
DAT (-). statistik
Kesimpulan - Hasil DAT (-) yang didapatkan Pengukuran kadar CO pada pernapasan
pada bayi baru lahir (BBL) bayi lebih sensitif sebagai prediktor
dengan klinis ikterik belum ikterik akibat proses hemolisis, meskipun
tentu dapat menyingkirkan secara statistik tidak bermakna. 3,4
inkompatibilitas ABO 5

Pembahasan
Metode uji Coombs langsung atau DAT (direct Coombs positive) untuk mendiagdosis
penyakit hemolisis pada bayi baru lahir, khususnya yang disebabkan oleh adanya
inkompatibilitas Rhesus maupun ABO, merupakan metode yang cukup sensitif dan
spesifik, meskipun masih ada metode lain yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
penyakit ini, seperti pengukuran kadar CO pada pernapasan bayi sebagai prediktor
untuk penyakit hemolisis, namun cost effectiveness-nya sangat tinggi. Hasil negatif
dari DAT belum tentu menyingkirkan bahwa tidak terjadi proses inkompatibilitas.

Kesimpulan
Penegakan diagnosis untuk ikterus pada bayi baru lahir dengan kecurigaan kearah
adanya proses hemolitik dengan menggunakan metode DAT (Coombs tes langsung)
masih sering dilakukan, meskipun kurang sensitif bila dibandingkan dengan
pemeriksaan lain seperti kadar CO dalam pernapasan, namun masih memiliki
spesifitas yang cukup tinggi untuk identifikasi terjadinya proses hemolisis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Herschel M, dkk. 2002. Evaluation of the Direct Antiglobulin (Coombs’) Test


for Identifying Newborns at Risk for Hemolysis as Determined by End-Tidal
Carbon Monoxide Concentration (ETCOc); and Comparison of the Coombs’

19
Test With ETCOc for Detecting Significant Jaundice. Journal of Perinatology;
22:341-47.

2. Herschel M, dkk.2001. Isoimmunization Is Unlikely to Be the Cause of


Hemolysis in ABO-Incompatible but Direct Antiglobulin Test-Negative
Neonates. Pediatrics;110:127-30.

3. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn.


In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, editors.
Williams Hematology. 6th ed. New York: McGraw -Hill 2001;33( 2 ):p. 665–
75.

4. Stevenson DK, Vreman HJ. Carbon monoxide and bilirubin production in


neonates. Pediatrics 1997;100:252–9.

5. Alvarez A, Rives S, Montoto S, Sanz C, Pereira A. Relative sensitivity of


direct antiglobulin test, antibody’s elution and flow cytometry in the serologic
diagnosis of immune hemolytic transfusion reactions. Haematologica
2000;85:186–8.

20

Anda mungkin juga menyukai