Anda di halaman 1dari 12

Leukemia Granulositik Kronik

Stela Angelia Dj Babua


180 D4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061
Fax: (021) 563-1731

Pendahuluan
Rasa penat atau lelah adalah keluhan yang sangat umum dan sekaligus dapat menjadi
manifestasi dari berbagai penyakit fisik yang berbeda. Akan tetapi, dapat juga berasal dari
stres social atau penyakit depresi. Secara khusus sangat penting untuk mencari setiap
petunjuk yang berhubungan dengan penyakit fisik organic atau psikiatrik.1
Leukemia adalah neoplasma yang berasal dari sel hematopoietic dari sumsum tulang
(SST) sebelum menyebar ke darah tepi, limpa, kelenjar limfe, dan akhirnya jaringan lain,
berbeda dengan limfoma yang berawal primer dari kelenjar limfe kemudian menyebar ke
darah dan SST. Klasifikasi leukemia secara umum berkaitan dengan asal sel (limfoid dan
myeloid), kecepatan perjalanan klinis (akut dan kronik), dan spesifik biologic, antigenik serta
molekularnya. Leukimia granulositik kronik (LGK) adalah suatu penyakit mieloproliferatif
yang ditandai dengan proliferasi seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi.2
Pembahasan

I. Anamnesis

Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan
pasien. Hasil anamnesis bersifat subjektif. Penjelasan perihal keluhan utama pasien dan
berapa lamanya. Anamnesis pada kasus lemas atau lelah kronis ini dapat dilakukan secara
autoanamnesis dengan pasien. Tanyakan pada pasien lelah seperti apa yang dimaksud,
kapan pertama kali terjadi, dan dugaan pemicu gejala. Apakah lelah sepanjang waktu,
sesak sehabis melakukan aktivitas berat yang menguras tenaga atau pikiran yang jenuh.
Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.1
Adakah gejala fisik lain yang mengarahkan diagnosis ke penyakit fisik organik,
seperti: demam, penurunan berat badan, cepat kenyah dan begah serta hilangnya nafsu makan
(anoreksia), pucat (anemis), keringat malam, nyeri perut spesifik termasuk onsetnya gejala.

1
Untuk menyingkirkan kemungkinan dugaan adanya gangguan sistem urogenital, tanyakan
apakah ada nyeri saat berkemih.1
Selanjutnya pertanyaan pelengkap lainnya seperti riwayat penyakit dahulu (RPD).
Apakah penyakitnya ini hilang timbul atau menetap dan pengobatan apa yang telah
dilakukan untuk mengurangi gejala-gejala tersebut. Adakah riwayat penyakit lain
(seperti TBC) atau masalah psikologis dalam hidupnya (untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit psikiatrik). Penting untuk ditanyakan pula riwayat keluarga, riwayat
merokok atau terpapar radiasi, dan kondisi social yang lengkap termasuk konsumsi
makanan sehari-hari.1,3
II. Pemeriksaan Fisik
Langkah selanjutnya untuk mengetahui apakah informasi bersifat konfirmatif atau
tidak, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan klinis pasien. Pemeriksaan fisik meliputi tingkat
kesadaran pasien (tampak sakit ringan atau berat, compos
mentis/apati/somnolen/sopor/koma) dan TTV (T, HR, RR, dan BP).1
Selanjutnya inspeksi bagian kulit pasien apakah ada memar atau tanda-tanda
pendarahan (ptekiae, ekimosis, purpura). Pasien dengan keluhan lelah kronis wajib
dilakukan pemeriksaan mata (khususnya konjungtiva dan sclera) sebab kuat dugaan
pasien mengalami anemia, sekaligus untuk menyingkirkan differensial diagnosis kearah
infeksi hepatobilier (sclera ikterik). Mungkin juga terdapat pendarahan retina pada
pemeriksaan funduskopi. Setiap pasien dengan keluhan hipermetabolisme atau gangguan
pada saluran pencernaan baik hanya perasaan tidak enak di perut, nyeri, dan demam
dilakukan palpasi hati dan limpa untuk mengetahui apakah ada pembesaran atau
tidak.3,4

III. Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan hematologi rutin, kadar Hb umumnya normal atau sedikit
menurun yang menunjukkan adanya anemia ringan (Hb<11g/dl pada 1/3 pasien),
leukositosis berat antara 20-60.000/µL. Persentasi eosinofil dan basofil meningkat.
Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/µL, pada beberapa kasus dapat normal
atau trombositopeni walaupun jarang. Sering juga ditemukan hiperurikemia akibat
peningkatan pertukaran sel dan dapat dicetuskan oleh terapi ototoksik. LDH meningkat
sebagai akibat increased ineffective turn over of hemopoietic cells. Dapat ditemukan juga
peningkatan mencolok kadar dan kapasitas daya ikat vitamin B12 serum karena peningkatan
pembentukan transkobalamin I oleh granulosit.2,5
2
Sediaan Apus Darah Tepi mampu membedakan antara reaksi leukemoid dengan
LGK. Pada LGK, eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit dengan pergeseran ke kiri, termasuk peningkatan promielosit,
mielosit dan metamielosit. Persentasi eosinofil dan atau basofil juga meningkat. Skor
Leukosit Alkali Fosfatase (LAP) netrofil rendah atau nol.2,5
Pada sediaan apus sumsum tulang terlihat adanya peningkatan kedapatan tulang
(hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid terhadap
eritroid pun juga meningkat. Aktivitas eritropoiesis menurun. Trombopoiesis bervariasi
(biasanya menurun), megakaryosit tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin,
tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. Sumsum tulang dan limpa
mungkin mengandung fagosit yang berisi glikolipid mirip sel Gaucher atau histiosit laut biru
akibat peningkatan pertukaran glukoserebrosida dan sfingolipid yang mirip dengan
penampakan pada ALL.2,5

Gambar1. Gambaran Histiosit Laut-Biru dan sel Pseudo-Gaucher


(Sumber: Greer JP, et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 12th edition, 2009)

Karyotipik dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat


ini digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat.
Beberapa aberasi gen fusi BCR-ABL kromosom Philadelphia (Ph) ditemukan pada LGK
adalah +8, +9, +19, +21, i(17). Sementara dengan pemriksaan Polymerase Chain Reaction
(PCR) dapat terdeteksi penyakit residual minimal pada LGK dengan adanya mRNA hybrid

3
produksi BCL-ABR. Penggunaan teknik ini juga dapat mengkonfirmasi diagnosis pada
pasien yang tidak jelas apakah memiliki kromosom Ph atau tidak.2,5,6

Gambar2. Kariotipe Philadelphia saat Metaphase (pembelahan) dan Interfase (diam)


(Sumber: Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 6, 2013)

IV. Diagnosis Kerja


Manifestasi klinis yang dijumpai dari hasil anamnesis adalah rasa lemas, demam dan
keringat malam, juga sering merasa cepat kenyang dan begah membuat kita memikirkan
adanya infeksi atau keganasan. Namun riwayat batuk, nyeri berkemih, dan paparan radioaktif
disangkal semakin mengarahkan diagnosis kearah adanya keganasan darah. Belum lagi
ditambah dengan adanya anemia, splenomegali, leukositosis, dan sel blas mengarahkan
diagnosis kearah Leukimia Granulositik Kronik (LGK) dengan diagnosis banding
terdekatnya adalah reaksi leukemoid akibat suatu infeksi.
Diagnosis LGK bergantung pada hubungan mielopoiesis yang meningkat mencolok,
splenomegali dan adanya kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus darah tepi dan
sumsum tulang dapat menegakkan diagnosis dalam fase yang sesuai. Terkadang
diperlukan juga pemeriksaan konfirmasi seperti kajian sitogenik dengan adanya
kromosom Philadelphia t(9,22) pada 98% kasus, translokasi sebagian lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9, dan gen gabungan BCR-ABL 1 pada
pemeriksaan PCR (50% kasus). Pemahaman mekanisme kerja gen BCR-ABL1 mutlak
diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostic, perjalanan penyakit,
prognostic, serta implikasi terapetiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan

4
kejadiannya di tingkat molecular. Biasanya LGK dapat dibedakan dengan reaksi leukemoid
yang berkaitan dengan infeksi atau neoplasma dengan adanya kromosom Philadelphia,
eosinofilia, basofilia, dan skor alkali fosfatase netrofil yang rendah. Metaplasia myeloid
agnogenk biasanya muncul dengan mielofibrosis mencolok dan splenomegali tanpa adanya
kromosom Philadelphia.2,5-7

V. Gejala Klinis
Perjalanan penyakit LGK umumnya kronik dengan lama penyakitnya bervariasi.
Berdasarkan hal tersebut, LGK dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase kronik, fase akselerasi, dan
fase krisis blas. Meskipun berlangsung kronis, pasien LGK jarang asimptomatik. Gejala awal
LGK pada fase kronik hampir sama seperti penyakit kronik lainnya yang memiliki
manifestasi yang tidak khas, seperti: rasa lemah, cepat lelah, penurunan berat badan, demam
subfebril, keringat malam dan peningkatan kadar asam urat. Semua keluhan tersebut
merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Pasien
mungkin saja datang tanpa gejala dan ditemukan leukositosis berat (≥100.000/µL) tanpa
gejala infeksi secara tidak sengaja (50% kasus) pada saat pemeriksaan darah rutin, screening
kesehatan untuk persiapan pra-operasi, atau mengeluhkan rasa tidak enak di kuadran kiri atas,
cepat kenyang akibat splenomegali yang mendesak lambung. Kadang juga timbul rasa nyeri
seperti diremas di perut kanan atas. Splenomegali merupakan temuan fisik yang paling
konsisten (>90% kasus) pada pasien LGK.2-5,8

Gambar3. Persentase Gejala dan Tanda Klinis pada Pasien LGK


(Sumber: Greer JP, et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 12th edition, 2009)
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien memasuki fase akselerasi dengan ciri khas
leukositosis yang sukar dikontrol dengan obat-obatan mielosupresif, mieloblas di perifer

5
mencapai 15-30%, promielosit >30% dan trombosit <100.000/µL. Pada fase ini diduga limpa
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar (organomegali progresif),
keluhan anemia bertambah berat, dan mungkin terjadi pendarahan (ptekiae, ekimosis,
purpura, atau pendarahan di retina) sehingga hasil laboratorium dapat terjadi trombositopenia
atau trombositosis. Mungkin juga ada nyeri tulang atau nyeri akibat infark limpa. Gejala yang
jarang timbul adalah perdarahan retina yang mengakibatkan adanya gangguan penglihatan,
pembesaran kelenjar getah bening atau priapismus.2,4,5,7
Fase krisis blas (de novo blastic) berkaitan dengan gejala dan tanda leukemia akut
yang sering disertai penyakit ekstrameduler meliputi adanya lesi tulang dan pansitopenia.
Fase ini biasanya merupakan fase dengan gejala terburuk. Adanya sel blas pada darah tepi
dan sumsum tulang (SST) ≥20%, meliputi myeloid (terbanyak), erytroid, megakarioblastik
tergantung penampakan morfologi, sitokimia, dan immunologicnya. Fase ini tidak mempan
diobati dengan imatinib.3,5

VI. Diagnosis banding


Reaksi leukemoid adalah leukositosis reaktif yang berlebihan yang biasanya ditandai
dengan adanya sel-sel imatur (misal mieloblas, promielosit, mielosit) dalam darah tepi.
Kadang-kadang terjadi reaksi limfositik juga. Penyebabnya antara lain adanya infeksi berat
atau kronik, hemolisis berat, atau kanker metastatic dan seringkali bermakna pada anak.
Proses eritropoiesis dan trombopoiesis normal. Perubahan granulosit seperti granulosit
toksik dan badan dohle ditambah aktivitas alkali fosfatase yang meningkat membantu
membedakan reaksi leukemoid dengan LGK.6,9
Leukimia akut memerlukan pembuktian adanya sel leukemik di SST, darah tepi
atau jaringan ekstramedula. SST biasanya hiperseluler dengan sebukan monomorfik blas
leukemik atau penurunan mencolok unsure SST. Limfoblas memiliki ukuran lebih kecil dan
berinti daripada mieloblas. Limfoblas juga tidak mengandung enzim lisosom granulositik
atau monositik sehingga tidak bereaksi dengan pewarna sitokimia seperti peroksidase,
suddan black, dan esterase non spesifik. Gejala awal leukemia akut timbul dalam waktu
<3 bulan dengan gejala anemia seperti pucat, mudah lelah, dan sesak bila melakukan
aktivitas. Adanya oklusi mikrosirkulasi oleh sel blas >30% dapat menyebabkan munculnya
leukositosis dan menimbulkan hipoperfusi jaringan vital (otak dan paru). Pasien juga sering
mengalami pendarahan (ptekiae dan mudah memar) akibat trombositopeni dengan fungsi
abnormal disertai megakariosit. Bila trombosit kurang dari 20.000/µL, pendarahan
mukosa dan saluran cerna akan lebih sering terjadi terutama bila terdapat infeksi atau
6
koagulopati. Jumlah netrofil <500/µL dan berasal dari sel progenitor leukemik sehingga
fungsinya juga abnormal dan semakin melemahkan daya tahan pejamu. Selanjutnya,
hepatomegali dan splenomegali serta adanya limfadenopati menimbulkan gejala mual,
mudah kenyang.6,9
Leukemia limfoid kronik (LLK) adalah leukemia tersering di dunia Barat dengan
rasio laki-laki : perempuan = 2:1 dan insiden puncak antara usia 60-80 tahun. Etiologi tidak
diketahui tetapi insidennya memperlihatkan variasi geografik. Tidak ada pengaruh dari
kemoterapi atau radioterapi, tetapi didapatkan peningkatan tujuh kali lipat pada pasien
dengan riwayat keluarga yang memiliki predisposisi genetik. Pada banyak pasien terdapat
pembesaran kelenjar limfe simetris pada servikalis, aksilaris atau inguinalis yang
diskret dan tidak nyeri. Pembesaran tonsil juga dapat terjadi. Splenomegali dan yang
lebih jarang hepato megali (biasanya tahap lanjut).6
Sebagian besar kasus terdiagnosis saat check-up medis rutin. Terdapat peningkatan
leukosit akibat adanya infeksi bakteri di awal, yang pada stadium lanjut justru menurun
akibat infeksi virus dan jamur. Leukositosis dengan jumlah absolute limfosit B klonal
adalah >15.000/µL, 70-99% apusan darah tepi leukosit adalah limfosit kecil dan
terdapat smudge atau smear cell. Pemeriksaan imunofenotipe limfosit memperlihatkan
bahwa sel-sel tumor tampak seperti sel B (CD19+ di permukaan sel) yang relative matang
dengan ekspresi IgM atau IgD yang lemah. Sel ini terakumulasi di darah, SST, hati, limpa,
dan kelenjar limfe akibat meningkatnya pembentukan dan memanjangnya usia yang berkaitan
dengan gangguan apoptosis. Terjadi penurunan Ig serum yang semakin nyata pada
tahap lanjut. meskipun jarang, dapat ditemukan paraprotein.Mungkin terdapat gambaran
anemia normositik normokrom pada tahap lanjut akibat sel tumor yang menginfiltrasi SST
atau hipersplenisme. Sering terjadi autoimunitas terhadap system hematopoietic sehingga
timbul anemia hemolitik autoimun, trombositopeni imun, neutropeni dan aplasia SDM.
Pada aspirasi SST memperlihatkan elemen normal sumsum tulang digantikan oleh 25-
95% limfosit.6,9

7
Gambar4. Diagnosis Banding Penyakit Mieloproliferatif
(Sumber: Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13, 2000)

VII. Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai laki atau perempuan (L:P = 4:1) dan semua usia (usia
puncak 40-60 tahun. Namun dapat juga terjadi pada anak-anak dan neonatus atau pada orang
sangat tua dan biasanya lebih progresif. Tidak ada faktor predisposisi tertentu, tetapi kejadian
meningkat pada korban yang selamat dari bom atom Hiroshima Nagasaki di Jepang. Insidensi
puncak dijumpai 5-12 tahun setelah pajanan radiasi dan tampaknya berkaitan dengan dosis
radiasi.2,5-7
Leukimia mielositik kronik mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua
terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya saat pertama diagnosis
ditegakkan pasien masih berada pada fase kronik dan sering kali diagnosa ditemukan secara
kebetulan saat persiapan pra bedah karena adanya penyakit lain.2

VIII. Etiologi
Tidak ada korelasi pajanan obat sitotoksik dan infeksi virus dengan LGK. Adanya
riwayat merokok meningkatkan progresifitas fase LGK ke fase krisis blas. Tidak ada
peningkatan insidensi LGK pada Chernobyl. Pajanan radiasi dalam dosis besar dan jangka
waktu yang lama juga dapat menginduksi terjadinya LGK.3

8
IX. Patogenesis
Mekanisme terbentuknya kromosom Philadelphia (Ph) dan waktu yang dibutuhkan
sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti, diduga akibat pengaruh radiasi atau adanya mutasi
spontan. Penyakit ini berasal dari stem cell ketika kromosom Ph terdapat pada precursor
eritroid, granulositik, megakariositik dan limfoid T.2,7
Sel leukemik pada 95% pasien memiliki translokasi resiprokal proto-onkogen
Abelson (abl) dari kromosom 9 ke breakpoint cluster region (brc) di kromosom 22 untuk
membentuk gen fusi BCR- ABL t(9,22). Kromosom 22 yang mengalami translokasi inilah
yang dinamakan kromosom Philadelphia. Gen fusi pada ini kromosom Philadelphia
selanjutnya ditranskripsi menjadi mRNA hybrid yang kemudian ditranslasikan, mengkode
dan mensintesis protein tirosin kinase dengan berat 210 kD (p210) yang sangat
meningkat dibandingkan produk ABL normal dan selanjunya berperan dalam
leukemogenesis, menyebabkan proliferasi berlebihan sel induk pluripoten pada system
hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih
lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak
kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem
hematopoiesis lainnya. dengan demikian terjadi ekspansi kompartemen precursor myeloid
disertai oleh pembentukan berlebihan unsur-unsur myeloid matang. Walaupun pada GLK sel
yang mengandung kromosom Ph mendominasi sumsum tulang, namun sel bakal normal tetap
ada tetapi tertekan oleh klon positif Ph.2,5,7

Gambar5. Proses Pembentukan Kromosom Philadelphia


(Sumber: Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13, 2000)

9
X. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mecapai remisi lengkap, baik hematologi, sitogenik,
maupun reaksi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologi digunakan obat-obatan yang
bersifat mielosupresif. Begitu tercapai, dilanjutkan dengan terapi interferon atau cangkok
sum-sum tulang dengan indikasi usia <60 tahun, ada donor yang cocok, dan termasuk
gologan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.2
Imatinib mesylate (Glyvec) 400 mg/hari p.c - inhibitor spesifik tirosin kinase yang
dikode BCR-ABl dengan cara bersaing pada ikatan ATP. Obat ini merupakan obat lini
pertama dalam penatalaksanaan penyakit fase kronis, karena mampu mengontrol jumlah
darah dan menyebabkan sumsum menjdi negative Ph. Penilaian terhadap respon diawali
dengan penilaian sumsum tulang secara teratur (3-6 bulanan) untuk menilai sitogenetik
metaphase. Pasien dengan respon optimal dimana hitung darah tepi normal, dan setidaknya
respon sitogenetik minimal (Ph+ <95% dalam 3 bulan, Ph+ <35% dalam 6 bulan, atau Ph-
dalam 12 bulan) serta respon molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3 log pada
transkripsi BCR-ALB1 dalam 18 bulan tetap melanjutkan terapi ini. Untuk yang gagal, dosis
dapat dinaikkan menjadi 600-800 mg/hari atau diobati dengan generasi keduanya (Dasatinib
atau Nilotinib) atau bahkan sampai transplantasi sumsum tulang. Dosis harus diturunkan
apabila terjadi neutropeni berat (<500/ml) atau trombositopeni berat (<50.000/ml) atau
peningkatan SGOT/PT dan bilirubin. Efek samping yang mungkin timbul mual, ruam kulit,
nyeri kram otot, dan retensi cairan.6,7

Tabel1. Kriteria respon Pengobatan Pasien LGK4

10
Hidroksiurea (Hydrea) 30 mg/KgBB/hari. Apabila leukosit >300.000/ml, dosis
dinaikkan maks 2,5g/hari dan dihentikan bila leukosit <8.000/ml atau trombosit <100.000/ml.
Bila leukosit sangat tinggi dapat disertai hidrasi yang baik dan alopurinol untuk
mencegah hiperurisemia.Obat merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologic
pada LGK sebab akan lebih efektif dalam mengontrol peningkatan jumlah sel darah putih dan
tidak menimbulkan fibrosis paru atau supresi SST berkepanjangan seperti pada penggunaan
Busulfan. Oleh karena itu, selama penggunaan obat harus dipantau Hb, leukosit,
trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hati.2
α-Interferon 2a atau 2b 3juta IU/m2/hari sampai terjadi remisi sitogenetik (12
bulan pasca terapi). Obat ini juga dapat mengontrol leukosit sekaligus menunda onset
transformasi akut dan memperpanjang harapan hidup keseluruhan menjadi 1-2 tahun.
Responder terbaik terhadap IFN menjadi Ph-, tetapi biasanya tetap BCR-ABL +.2,7
Transplantasi sel stem alogenik (stem cell transplantation/SCT) merupakan terapi
definitive untuk LGK. Indikasi dilakukan jika pasien berusia <50 tahun, pendonor berasal
dari saudara kandung dengan HLA yang cocok dengan pasien. Transfuse limfosit donor dapat
berharga dalam mengeliminasi sel BCR-ABL + pada kasus pasca SCT relaps.7

XI. Prognosis
Dahulu kelangsungan hidup pasien sekitar 3-5 tahun sejak diagnosis ditegakkan.
Sekarang dengan adanya uji klinis kombinasi hydrea dan IFN median kelangsungan hidup
menjadi 6-9 tahun. Meskipun Imatinib lebih memberikan hasil yang menjajikan, tetapi
median kelangsungan hidup masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih
berlangsung. Faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien LGK adalah usia lanjut,
keadaan umum yang buruk, disertai gejala sistemik ditambah dengan hasil laboratorium yang
menunjukan adanya anemia, basofilia, eosinofilia, Ph-, BCR-ABL-. Terapinya lebih lama (>3
bulan) untuk mencapai remisi serta memerlukan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.2
Sebagian besar pasien LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang
disebut krisis blastik. Gambarannya mirip dengan leukemia akut, yaitu produksi berlebihan
sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas dan promielosit, disertai produksi neutrofil,
trombosit, dan sel darah merah yang amat kurang.3,4

Kesimpulan

11
LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana
ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan
basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan
kromosom Philadelphia
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.h.70-1.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat peneribitan Departemen IPD-FKUI; 2010.h.698-700,9-
14.
3. Harrison’s hematology and oncology. 2nd edition. US: McGraw-Hill Education; 2013.
4. Buyukasik Y, Haznedaroglu IC, Osman I. Chronic Myeloid Leukimia: Practical issue in
diagnosis, treatment and follow-up. International Journal of Hematology and Oncology.
2010; 2(20).p.1-10.
5. Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC;
2000.h.1956-62.
6. Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2013.h.107,77-85.
7. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga;
2012.h.48-51.
8. Greer JP, et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 12th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2009.p.2003-20.
9. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim AL, Santoso S. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Bagian PK FK Ukrida; 2007.h.147-8.

12

Anda mungkin juga menyukai