MISKONSEPSI

Miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan sutu gagasan yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah yang diterima para ahli. Miskonsepsi secara rinci dapat merupakan
pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penguasaan konsep yang salah, klasifikasi
contoh-contoh yang salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda dan
hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.

Miskonsepsi dapat terjadi ketika siswa sedang berusaha membentuk pengetahuan dengan cara
menerjemahkan pengalaman baru dalam bentuk konsepsi awal. Pembentukan konsepsi awal
ini dapat dimulai ketika siswa mendapatkan pengalaman pembelajaran disekolah maupun di
lingkungannya sendiri. Miskonsepsi yang terjadi pada setiap siswa dalam sebuah kelas dapat
berbeda antara satu dengan yang lainnya dengan penyebab yang berbeda-beda pula.
Miskonsepsi yang dialami siswa biasanya disebabkan oleh pemberian konsep atau fakta yang
tidak lengkap dari guru, sehingga siswa pada saat menerima konsep mengalami kebingungan.
Hal ini sangat penting diperhatikan oleh guru saat memberikan konsep-konsep kepada siswa
agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi. Miskonsepsi yang terjadi pada siswa
dipengaruhi berbagai macam faktor dan terjadi secara tidak disadari, oleh sebab itu
diperlukan adanya identifikasi untuk mengetahui apakah siswa mengalami miskonsepsi atau
tidak. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa, sehingga
siswa dapat mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi dan kemudian dapat mempersiapkan
diri untuk menindak lanjuti permasalahan tersebut.

Berbagai macam cara dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada siswa
diantaranya adalah menggunakan peta konsep, tes pilihan ganda dengan disertai alasan
terbuka, tes esai tertulis, , metode Indeks Respon Kepastian (IRK), wawancara, diskusi dalam
kelas hingga praktikum tanya jawab, Suparno (2013:129).

Concept maps are useful tools for identification of misconceptions (Martin et al., 2000;
Novak, 1990). Yet, concept maps have disadvantages such as the requirement of training both
for teachers and students about how to use concept map and the need for a large amount of
time to conduct in the classroom (Kaya, 2008). Multiple-choice tests are the other common
tools often used for their better content domain sampling and mechanical scoring. They can
also be efficiently administered to large samples of students (Haladyna, 1997). However,
multiple-choice tests do not provide reasons for students’ holding a particular conception. A
student can give a correct answer with a wrong reason or a wrong answer with a correct
reason.

Two-tier tests are generally superior to conventional multiple-choice tests, since they provide
researchers with an understanding of students’ reasoning behind their answers (Peterson et
al., 1986). Hestenes and Halloun (1995) indicated that the major problem for using
conventional multiple-choice tests was to minimize false positives and negatives. Students
could provide correct answers with wrong reasoning as “false positives” and wrong answers
with correct reasoning as “false negatives”. They recommended that minimizing false
positives and negatives provides a more valid test. Although a two-tier test eliminates the
above-mentioned drawback of a conventional multiplechoice test, it has a limitation: It
cannot differentiate misconceptions from lack of knowledge. Three-tier tests enable
researchers to address this limitation by adding an extra tier that require students to state
whether or not they are sure about their answers to the first two tiers (Caleon &
Subramaniam, 2010; Pesman & Eryilmaz, 2010). Three-tier tests are valid tests that can be
used efficiently with large samples of students, and help researchers to understand students’
reasoning behind their answers without conducting interviews to distinguish misconceptions
from lack of knowledge, and to estimate percentages of false positives and negatives
(Kutluay, 2005; Pesman & Eryilmaz, 2010).

Stdents ‘misconceptions, was able to observe the effectiveness of learning, was able
to measure student’s understanding, measure the percentage of students who did not
understand the concept, and was able to distinguish misconceptions accompanied by the two
previous questions (Pesman & Eryilmaz, 2010). The three-tier diagnostic instrument used
consists of three layers, the first tier in the form of multiple choice questions along with the
answer option, the second tier is the reason for the first tier, and the third tier is the level of
confidence. Eryilmaz & Surmeli (2002) stated that the three-tier test is a combination
between two tier and certainty of response index (CRI). The three-tier test is able to identify
the percentage of false positive and false negative misconceptions as well as distinguising
between misconception and not under-standing the concept (lack of knowledge).