Anda di halaman 1dari 54

1

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


BRONKOPNEUMONIA DI IRNA KEBIDANAN DAN ANAK
(HCU) RSUP DR M. DJAMIL PADANG

KARYA TULIS ILMIAH

RISKA OKTAVIANI
173110266

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020

Poltekkes Kemenkes Padang


2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyakit pada parenkim paru yang mengalami
inflamasi. Mikroorganisme virus, jamur atau bakteri dan beberapa hal lain
seperti aspirasi dan radiasi dapat menyebabkan inflamasi pada parenkim
paru tersebut (Udin, 2019). Infeksi yang terjadi di alveoli menyebabkan
penumpukan cairan dan eksudat sehingga kemampuan menyerap oksigen
menjadi kurang (Utama, 2018).

United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2016, menyebutkan


bahwa pneumonia membunuh sekitar 1,4 juta anak setiap tahunnya, dan
kebanyakan terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah dan
rendah. Angka kematian akibat pneumonia di seluruh dunia pada anak
dengan usia di bawah 5 tahun adalah sebesar 15%. Diperkirakan hampir
seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan bahwa hasil


prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan kejadian
pneumonia di Indonesia sebanyak 2,0 persen pada tahun 2018, hal ini
lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1,6 persen. Sedangkan dari
hasil prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala
pneumonia di Indonesia sebanyak 4,0 persen pada tahun 2018 hal ini lebih
rendah dibandingkan tahun 2013 sebanyak 4,5 persen. Di Kabupaten
Bantul dilaporkan pada tahun 2017 kasus penyakit pneumonia pada balita
sebanyak 1197 kasus naik dibandingkan tahun 2016 sebanyak 744 kasus
dan telah ditangani (100%) sesuai tatalaksanan penanganan pneumonia
(Dinas Kesehatan Pemerintahan Kabupaten Bantul, 2018).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018), menyebutkan bahwa


target pemenuan pneumonia pada balita tahun 2018 di provinsi Sumatra

Poltekkes Kemenkes Padang


3

Barat sebanyak 20.493 balita. Berdasarkan hasil realisasi pasien


pneumonia balita dikelompokan sesuai umur yaitupasien pneumonia umur
< 1 tahun sebanyak 2.957 balita, ini lebih sedikit dibandingkan umur 1-4
tahun sebanyak 7.384 balita dengan jumlah penderita keseluruahan 10.341
(50,46 %).

Dinas kesehatan kota Padang (2017), terdapat jumlah Balita di Kota


Padang tahun 2017 sebanyak 81.736 orang. Diperkiraan pasien pneumonia
ada 3.196 (3.91%) balita, sementara pasien yang ditemukan dan ditangani
sebanyak 2.719 (85.08 %) balita. Pneumonia pada balita laki-laki lebih
banyak (1.407 orang) dibandingkan balita perempuan (1.312 orang). Dari
hasil Trend Penemuan Kasus Pneumonia Balita Kota Padang Tahun 2012-
2017 kasus Pneumoni yang ditemukan dan ditangani beberapa tahun
terakhir mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2012 sebanyak 340
balita sedangkan pada tahun 2017 sebanyak 2.719 balita. Tahun 2017
tersebut jumlah penemuan kasus Pneumonia Balita di Kota Padang
mengalami penurunan dari tahun 2016 sebanyak 3.022 balita.

Penelitian Frini, dkk (2018) di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota


Palu menemukan hasil bahwa status gizi, pemberian ASI eksklusif dan
asupan vitamin A merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada
balita. Gizi kurang akan merusak sistem pertahanan dalam tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik, sehingga mudah sekali
terkena penyakit infeksi seperti pneumonia. Pada balita yang diberikan
ASI eksklusif sistem kekebalan tubuhnya akan meningkat karena
kandungan ASI yang kaya akan gizi dan dapat meningkatkan sistem
imunitas yang mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti pneumonia.
Kekurangan vitamin A mengakibatkan lapisan sel yang menutupi trakea
dan paru-paru mengalami keratinasi, tidakmengeluarkan lendir, sehingga
mudah dimasuki mikroorganisme, bakteri atau virus dan menyebabkan
infeksi saluran pernafasan, selain itu vitamin A juga memiliki peranan
penting dalam fungsi normal sistem kekebalan tubuh.

Poltekkes Kemenkes Padang


4

Penelitaian Rasyid (2013), di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar


menemukan faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
anak balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak besar
kemungkinan menderita campak dan DPT yang bisa berpotensi
menjadi pneumonia. Selain campak dan DPT, BCG dan Hib juga
besar kemumgkinan terjadi pneumonia jika tidak mendapat imunisasi
ini (Hadianti, dkk. 2015).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012), dampak yang


ditimbulkan jika anak mengalami pneumonia adalah anak mengalami
kesukaran bernapas hal ini disebabkan karena adanya akumulasi cairan
atau pun pada alveoli, selain itu anak yang mengalami pneumonia juga
mengalami penurunan kemampuan paru-paru untuk mengembang
sehingga anak mengalami napas cepat. Jika tidak mendapatkan
penatalaksanaan dengan benar pneumonia dapat menyebabkan kematian
pada anak akibat adanya kondisi hipoksia.

Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses infeksi akut
pada bronkus biasa disebut bronkopneumonia (Misnadiarly, 2008).
Bronkopneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, atau pun benda asing yang ditandai dengan
gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal,
muntah, diare serta batuk kering dan produktif (Hidayat, 2012).
Bronkopneumonia menunjukkan penyebaran infeksi yang memiliki bercak
dengan diameter sekitar 3-4 cm mengelilingi dan mengenai bronkus
(Somantri, 2012).

Penelitian Linasari (2017), berdasarkan faktor resiko terjadinya


bronkopneumonia yaitu usia di bawah dua tahun dan faktor lingkungan
rumah. Anak usia di bawah dua tahun lebih rentan terhadap penyakit
bronkopneumonia dibandingkan dengan anak usia lebih dari dua tahun.
Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran
pernafasan yang relatif sempit (imaturitas anatomik). Faktor lain

Poltekkes Kemenkes Padang


5

lingkungan fisik rumah, yaitu salah satunya akibat kepadatan hunian


rumah.

Penelitian Alaydrus (2018), di Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Tengah


periode Januari sampai juni 2017 tentang evaluasi penggunaan antibiotik
pada pasien penderita penyakit bronkopneumonia dapat disimpulkan
bahwa dari 42 pasien terdapat 42 pasien (100%) tepat indikasi, 42 pasien
(100%) tepat obat, 42 pasien (100%) tepat pasien dan tepat dosis sebanyak
42 pasien (100%). Sehingga didapatkan pemberian antibiotik yang
rasional sebanyak 100% dari total 42 pasien anak Bronkopneumonia usia
0-11 tahun.

Penelitian Amelia, dkk (2018), berdasarkan hasil analisis data dilakukan


pada penelitian tentang pengaruh aromaterapi peppermint dapat dijadikan
terapi non farmakologi untuk mengatasi masalah keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada pasien anak usia 1-5 tahun
dengan bronkopneumonia. Bahan Aktif dalam Peppermint adalah
Menthol, yang merupakan senyawa organik yang menghasilkan sensasi
dingin ketika diterapkan pada mulut atau kulit. Menthol sebagai bahan
aktif utama yang terdapat dalam Peppermint dapat membantu melegakan
hidung sehingga membuat napas menjadi lebih mudah. Peppermint juga
mengandung vitamin A dan C serta beberapa mineral. Peppermint sering
digunakan untuk membantu mengobati flu dan menenangkan peradangan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tahun 2015 sampai tahun 2019 setiap tahunnya kasus
Bronkopneumonia pada anak di instalasi rawat inap mengalami kenaikan.
Namun tahun 2018 mengalami penurunan sebanyak 139 balita dari
sebelumnya 141 balita pada tahun 2017 dan pada tahun 2019 kembali
meningkat sebanyak 146 balita yang menderita Bronkopneumonia.

Survey pendahuluan yang dilakukan di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)


RSUP Dr. M. Djamil Padang bulan November 2019 ditemukan seorang
pasien anak dengan bronkopneumonia yang sedang menjalani perawatan

Poltekkes Kemenkes Padang


6

berjenis kelamin perempuan berusia 2 tahun 6 bulan, dari hasil survei


ditemukan keluhan yang dialami oleh anak yaitu batuk kering dimana anak
tampak susah dalam mengeluarkan sekret di jalan nafasnya sehingga anak
sesak nafas, diagnosa keperawatan utama yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas, tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan pasien
seperti memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, terapi
kolaborasi oksigenisasi dan farmakologi serta memantau pernafasan
pasien, namun perawat tidak pernah melakukan terapi nebulizer ultrasonic
mengurangi sekret yang tertahan di saluran nafas anak dan aromaterapi
peppermint untuk masalah ketidakefektifan bersiahan jalan nafas pada
anak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan


Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Bronkopneumonia di IRNA
Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP. Dr. M. Djamil Padang.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian adalah bagaimana Asuhan Keperawatan
dengan masalah kesehatan bronkopneumonia pada anak di IRNA
Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada tahun
2020?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan
masalah bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
2. Tujuan khusus
a. Mampu mendeskripsikan pengkajian pada anak dengan masalah
bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP.
Dr. M. Djamil Padang tahun 2020

Poltekkes Kemenkes Padang


7

b. Mampu mendeskripsikan diagnosa keperawatan pada anak dengan


masalah bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)
RSUP. Dr. M. Djamil Padang tahun 2020
c. Mampu mendeskirpsikan rencana asuahan keperawatan pada anak
dengan masalah bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak
(HCU) RSUP. Dr. M. Djamil Padang tahun 2020
d. Mampu mendeskripsikan tindakan kepereawatan pada anak dengan
masalah bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)
RSUP. Dr. M. Djamil Padang tahun 2020
e. Mampu mendeskripsikan hasil evaluasi keperawatan pada anak
dengan masalah bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak
(HCU) RSUP. Dr .M. Djamil Padang tahun 2020
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif
Kegiatan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti untuk
menambah pengetahuan dan wawasan khususnya penerapan
Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Bronkopneumonia serta
dalam menulis karya tulis ilmuah.
2. Manfaat pengembangan keilmuan
a. Institusi pelayananan
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pikiran dan
masukan bagi direktur RSUP Dr. M. Djamil Padang beserta
pemberi pelayanan keperawatan, baik pimpinan maupun
perawat pelaksana sehingga dapat membantu meningkatkan
pelayanan kesehatan.

Poltekkes Kemenkes Padang


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kasus Bronkopneumonia Pada Anak
1. Pengertian
Bronkopneumonia adalah infiltrasi yang tersebar pada kedua belah
paru. Dimulai pada bronkiolus terminalis, yang menjadi tersumbat oleh
eksudat mukonpurulent yang disebut juga “Lobular pneumonia”
(Ridha, 2017). Bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak
infiltrasi pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun
virus. Sering terjadi pada bayi dan orang tua (Scholastica, 2019).
Bronkopneumonia adalah suatu peradagan pada paru- paru yang dapat
disebabkan oleh bermacam-macam penyebab seperti : virus, bakteri,
jamur, benda asing. Bronkopneumonia adalah radang dinding bronkus
kecil disertai atelaktasis daerah percabangan (Andra & Yessie, 2017).

2. Anatomi System Pernapasan


a. Anatomi
System pernapasan terdiri atas :
1) Hidung
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, befungsi
mengalirkan udara kedan dari paru-paru. Jalan nafasini
berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta
menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru.
2) Faring atau tenggorokan
Faring terstruktur seperti yang menghubungkan hidung dan
mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region : nasofaring,
orofaring, dan laringofaring.
3) Laring atau pangkal tenggorokan
Laring yang terstrukur epitel kartilago yang menghubungkan
faring dan trakea.Fungsi utama laring adalah untuk
memungkinkan terjadinya vokalisasi, melindungi jalan napas
bawah dari obstruksi benda asing juga disebut sebagai kotak

Poltekkes Kemenkes Padang


9

suara. Dan terdiri atas : epiglotis, glotis kartilago tiroid,


kartilago krikoid, kartilago artenoid dan pita suara.
4) Trakea atau batang tenggorokan
Trakea merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-
20 cincin yang dari tulang-tulang rawan.
5) Bronkus atau cabang tenggorokan
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea terdiri dari bronkus
kiri dan kanan.
6) Paru – paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar
terdiri dari gelembung alveoli. Paru-paru dibagi menjadi 2
bagian yaitu : paru-paru kanan dan kiri, dimana paru-paru
kanan terdiri dari 3 lobus dan paru-paru kiri terdiri dari 2 lobus.
b. Fisiologi
Proses pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan
karbodioksida yang terjadi pada paru-paru. Proses ini terdiri dari 3
tahap yaitu :
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari
atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Ada
gerakan pernapasan yang terjadi sewaktu bernapas, yaitu
inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi atau menarik nafas adalah
proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot. Kontraksi
diafragma meluas rongga dada dari atas sampai kebawah, yaitu
vertical. Penaikan iga-iga dan strernum meluaskan rongga dada
ke kedua sisi dan dari depan ke belakang. Pada ekspirasi, udara
dipaksa keluar oleh pengendoran otot dan karena paru-paru itu.
Gerakan-gerakan ini adalah proses pasif. Proses ventilasi
dipengaruhi oleh beberaps hal, yaitu adanya kemampuan
thoraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi,
reflex batuk dan muntah.
2) Disfusi gas

Poltekkes Kemenkes Padang


10

Disfusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli


dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses
pertukaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya
permukaan paru, tebal membran respirasi, dan perbedaan
tekanan dan konsentrasi O2.
3) Transportasi gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler
ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler.
Transportasi gas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
curahjantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan
(exercise), eritrosit dan Hb (Wijayaningsih, 2013).

3. Etiologi
Bronkopneumonia bermula dari adanya peradangan paru yang terjadi
pada jaringan paru atau alveoli yang biasanya didahului oleh infeksi
traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari (Ridha, 2017).
Tubuh yang terserang Bronkopneumonia pada umumnya disebabkan
oleh penuruan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virus organisasi
pathogen. Penyebab bronkopneumonia yang biasa ditemukan adalah
a. Bakteri : diplococus pneumonia, pneumococcus, streptococcus.
Hemoliticus Aureus, Heamophilus Influenza, Basilus Friendlander
(Klebsial Pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.
b. Virus : respiratory syntical virus, virus influenza, virus
sitomegalik.
c. Jamur : citoplasma capsulatum, criptococus nepromas, blastomices
Dermatides, asperasi benda asing.

Faktor lain yang menpengaruhi timbulnya bronkopneumonia adalah :


a. Faktor predisposisi
1) Umur / usia
2) Genetic
3) Faktor pencetus
a) Gizi buruk / kurang

Poltekkes Kemenkes Padang


11

b) Berat badan lahir rendah (BBLR)


c) Tidak mendapatkan ASI yang memadai
d) Imunisasi yang tidak lengkap
e) Polusi udara
f) Kepadatan tempat tinggal (Wijayaningsih, 2013).

4. Manifestasi klinis
Ngastiyah (2012), gejala yang terjadi pada bronkopneumonia adalah
sebagai berikut :
a. Biasanya didahului infeksi traktus respiratoris atas.
b. Demam (39⁰ - 40⁰ C) kadang-kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi.
c. Anak sangat gelisah dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-
tusuk, yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk.
d. Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung
dan sianosis sekitar hidung dan mulut.
e. Kadang-kadang disertai muntah dan diare.
f. Adanya bunyi tambahan pernafasan seperti ronchi, wheezing.
g. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila
infeksinya serius.
h. Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mukosa yang
menyebabkan atelektasis absorbs.

5. Klasifikasi
Menurut Andre dan Yessie (2017), klasifikasi bronkopneumonia
dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
a. Pembagian pneumonia menurut dasar anatomic :
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
3) Pneumonia lobularis (bronco pneumonia)
b. Pembagian pneumonia menurut etiologi :
1) Bakteri :
a) Diprococcus pneumonia

Poltekkes Kemenkes Padang


12

b) Pneumococcus aureus
c) Hemofilus influenza
d) Bacillus fried lander
e) Mycobacterium tuberculosis
2) Virus :
a) Respiratory sytical virus
b) Virus influenza
c) Adenovirus
d) Virus sitomegali
3) Myoplasma pneumothorax
4) Jamur : aspergillus species dan candida albicans.
5) Pneumonia hipostatik yaitu pneumonia yang sering timbul pada
daerah paru-paru dan disebabkan oleh nafas yang dangkal dan
terus menerus pada posisi yang sama, terjadi karena kongesti
paru-paru yang lama.
6) Sindrom loeffler
Pada foto torax menujukkan gambaran infiltrate besar dan kecil
yang tersebar, menyerupai tuberculosis miliaris.

Bronkopneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang


disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau pun benda asing yang
ditandai dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat
dan dangkal, muntah, diare serta batuk kering dan produktif (Hidayat,
2012).

6. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteri yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan
sekitarnya.Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan
sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan
mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

Poltekkes Kemenkes Padang


13

a. Stadium I / kongesti(4-12 jam pertama)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan pemulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi.Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan.Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
intertisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus di tempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam
darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II / hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
(host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
c. Stadium III/ hepatisasi kelabu (3-8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.

Poltekkes Kemenkes Padang


14

d. Stadium IV/ resolusi (7-11 hari)


Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisi-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsropsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula. Inflamasi pada bronkus dii tandai adanya penumpukan
sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan
mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka
komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema
dan atelaktasis. Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan
jalan nafas, sesak nafas, dan nafas rochi. Fibrosis bisa menyebakan
penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai
pelumas yang berfungsi. Emfisema (tertimbunya cairan atau pus
dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari frekuensi nafas,
hipoksemia, asidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea
dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal nafas
(Wijayaningsih, 2013).

Poltekkes Kemenkes Padang


15

7. WOC

Poltekkes Kemenkes Padang


16

8. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologi


Menurut Wijayaningsih (2013), perubahan respon tubuh yang di alami
seperti :
a. Sistem pernafasan
Terdapatnya bakteri yang menyebabkan peradangan pada bronkus
yang mengakibatkan penumpukan sekret yang menghambat jalan
nafas. Tanda dan gejala yang timbul Pernafasan cepat dan
dangkal, pernafasan cuping hidung, terdapatnya bunyi nafas
tambahan pada paru yaitu ronchi, weezing.
b. Sistem pencernaan
Terdapat mual dan muntah disertai diare yang mengakibatkan
kekurangan cairan yang hebat.
c. Sistem saraf pusat
Terjadinya penurunan suplai O2 dalam darah ke otak yang di
tandai dengan sianosis, nafas cuping hidung, retraksi dinding
dada, yang menyebabkan terjadinya hipoksia serta mengalami
penurunan kesadaran.
d. Sistem termoregulasi
Bakteri yang telah menyebar dan menyebab peradangan
menginfeksi sistem kekebalan tubuh, sehingga terjadinya
peningkatan suhu tubuh yang tinggi (yang akan menyebabkan
kejang).

9. Komplikasi
Wijayaningsih (2013), Bronkopneumonia dapat menyebabkan
penyakit lain,yaitu :
a. Atelaktasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna
atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau
reflex batuk hilang.
b. Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah
dalam rongga pleure terdapat di satu tempat atau seluruh rongga
pleura.

Poltekkes Kemenkes Padang


17

c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang


meradang.
d. Infeksi sistemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang meradang selaput otak.

10. Pencegahan
Bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkin
terinfeksi antara lain :
a. Vaksinasi pneumokokus
b. Vaksinasi H. Influenza
c. Vaksinasi verisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan
tubuh rendah
d. Vaksinasi influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit
(Wijayaningsih, 2013).

11. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologi :
Penatalaksanaan bronkopneumonia menurut Wijayaningsih (2013),
adalah sebagai berikut :
1) Terapi oksigen jika pasien mengalami pertukaran gas yang
tidak adekuat. Ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika nilai
normal GDA tidak dapat dipertahankan.
2) Blok saraf interkosta untuk mengurangi nyeri.
3) Pada pneumonia aspirasi bersihan jalan napas yang tersumbat.
4) Perbaiki hipotensi pada pneumonia aspirasi dengan penggantian
volume cairan
5) Terapi antimicrobial berdasarkan kultur dan sentivitas
6) Supresan batuk jika batuk bersifat non produktif
7) Analgesik untuk mengurangi nyeri pleuritik.

Poltekkes Kemenkes Padang


18

Adapun penatalaksanaan menurut Ridha (2017), pada klien anak


dengan Bronkopneumonia yang berusia 9 bulan adalah sebagai
berikut:

1) Oksigen 2 liter/menit
2) IVFD (Intra Vena Fluid Drip)
a) Jenis cairan adalah 2A-KCL (1-2 mek/kg BB/24 jam atau
KCL 6 mek/500 ml).
b) Kebutuahan cairannya sebagai berikut :
Tabel 2.1 Kebutuhan Cairan

Kg BB Kebutuhan (ml/kg BB/hari)


3-10 105
11-11 85
Lebih dari 15 65

Apabila ada kelainan suhu tubuh, maka setiap kelaianan suhu


1⁰ C kebutuhan cairan ditambah 12 %.
3) Tetesan dibagi rata dalam 24 jam.
4) Pengobatan
a) Antibiotika Prokain 50.000 U/kg BB/hari Im, dan
Kloramfhenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis, i.m/I,v,
atau ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, i.v
dan Gentamicin 5 mg/kg BB/hari, i.m, dalam 2 dosis
perhari.
b) Kartikosteroid
Pembarian kortison asetat 15 mg/kg BB/hari secara i.m,
diberikan bila ekspirasi memanjang atau lendir banyak
sekali.Berikan dalam 3 kali pembaerian.

b. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
Berdasarkan hasil analisis data dilakukan pada suatu penelitian
tentang pengaruh aromaterapi peppermint terhadap masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada pasien anak
usia 1-5 tahun dengan bronkopneumonia. Hasil penelitian

Poltekkes Kemenkes Padang


19

aromaterapi peppermint dapat dijadikan terapi non farmakologi


untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan
jalan nafas pada pasien anak dengan bronkopneumonia (Amelia,
dkk. 2018).

Aromaterapi merupakan salah satuterapi non farmakologi atau


komplementeruntuk mengatasi bersihan jalan nafas.Aromaterapi
merupakan tindakan terapautikdengan menggunakan minyak
esensial yangbermanfaat untuk meningkatkan keadaanfisik dan
psikologi sehingga menjadi lebihbaik. Melalui penghirupan,
sebagianmolekul akan masuk ke dalam paru-paru.Molekul
aromatik akan diserap oleh lapisanmukosa pada saluran pernafasan,
baik padabronkus maupun pada cabang halusnya (bronkioli). Pada
saat terjadi pertukaran gas di dalam alveoli, molekul tersebut akan
diangkut oleh sirkulasi darah di dalam paru-paru. Pernafasan yang
dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromatik kedalam tubuh
(Koensoemardiyah, 2009).

Aromaterapi yang sering digunakan yaitu peppermint (mentha


pipperita). Bahan Aktif dalam Peppermint adalah Menthol, yang
merupakan senyawa organik yang menghasilkan sensasi dingin
ketika diterapkan pada mulut atau kulit. Menthol sebagai bahan
aktif utama yang terdapat dalam Peppermint dapat membantu
melegakan hidung sehingga membuat napas menjadi lebih mudah.
Menthol dapat juga berfungsi sebagai anestesi ringan yang bersifat
sementara. Peppermint juga mengandung vitamin A dan C serta
beberapa mineral. Peppermint sering digunakan untuk membantu
mengobati flu dan menenangkan peradangan (Koensoemardiyah,
2009).

B. Asuhan Keperawatan pada Kasus Bronkopneumonia

Poltekkes Kemenkes Padang


20

1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas
Seperti nama, tempat tanggal lahir, umur (kasus terbanyak terjadi
pada anak berusia dibawah tiga tahun dan kematian terbanyak
terjadi pada bayi berusia kurang dari dua bulan), nama ibu
kandung, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir,
apakah lahir cukup bulan atau tidak, anak ke, jumlah saudara.
b. Keluhan utama
Adanya demam, kejang, sesak nafas, batuk produktif, tidak mau
makan, anak rewel dan gelisah, sakit kepala.
c. Riwayat penyakit sekarang
Anak lemah, tidak mau makan, sianosis, sesak nafas dan dangkal,
ronchi (+), wheezing (+), batuk, demam, sianosis daerah mulut dan
hidung, mual, diare.
d. Riwayat kesehatan Dahulu
Perlu ditanyakan pada orangtua apakah anak sering menderita
penyakit saluran pernapasan bagian atas, kemudian riwayat
penyakit campak/ fertusis (pada bronkopneumonia). Prediksi
penyakit saluran pernapasan lain seperti ISPA, Influenza adakah
sering terjadi dalam rentang waktu 3-14 hari.
e. Riwayat penyakit kehamilan dan persalinan:
1) Riwayat kehamilan:
Penyakit infeksi yang pernah diderita ibu selama hamil,
perawatan ANC,imunisasi TT
2) Riwayat persalinan:
Apakah usia kehamilan cukup, lahir premature, bayi
kembar,penyakit persalinan apgas scor.
f. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit infeksi, TBC, pneumonia, dan penyakit-penyakit
infeksi saluran nafas lainnya.

g. Riwayat sosial

Poltekkes Kemenkes Padang


21

Siapa pengasuh klien, interksi social, kawan bermain, peran ibu,


keyakinan agama/ budaya
h. Data psikologis
Reaksi orang tua terhadap penyakit anaknya dipengaruhi oleh :
1) Keseriusan ancaman terhadap anaknya.
2) Pengalaman sebelumnya.
3) Proses medis yang akan dilakukan pada anaknya.
4) Adanya supportif dukungan.
5) Agama, kepercayaan dan adat.
6) Pola komunikasi dalam keluarga.
i. Makanan dan minuman
Penurunan intake nutrisi dan cairan, diare, penurunan BB, mual
dan muntah.
j. Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, lesu, penurunan aktifitas, banyak berbaring
k. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: tampak lemah, sakit berat
2) Tanda-tanda vital: TD menurun, nafas sesak, nadi lemah, dan
cepat, suhu meningkat, distress pernafasan, sianosis
3) TB/BB: kaitkan dengan status gizi
4) Kulit: tampak pucat, sianosis, biasanya turgor jelek.
5) Kepala: sakit kepala
6) Mata: tidak ada yang begitu spesifik
7) Hidung: nafas cuping hidung, sianosis
8) Mulut: pucat sianosis, membrane mukosa kering, bibir kering
dan pucat.
9) Telinga: lihat secret, kebersihan, biasanya tiak ada spesifik
pada kasus ini.
10) Leher: tidak terdapat pembesaran KGB dan kelenjer tiroid.
11) Jantung: pada kasus komplikasi ke endokarditis, terjadi
bunyitambahan.

Poltekkes Kemenkes Padang


22

12) Paru-paru: infiltrasi pada lobus paru, perkusi pekak (redup),


ronchi(+), wheezing (+), sesak nafas istirahat dan bertambah
saat beraktifitas.
13) Punggung: tidak ada spesifik
14) Abdomen: bising usus (+), distensi abdomen, nyeri biasanya
tidak ada
15) Genetalia: tidak ada gangguan
16) Eksremitas: kelemahan, penurunan aktifitas, sianosis ujung jari
dan kaki.
17) Neurologis: terdapat kelemahan otot, tanda reflek spesifik tidak
ada (Andra & Yessie,2017).

2. Pemeriksaan penunjang
1) Pemerikasaan radiologi yaitu pada foto thoraks konsolidasi satu
atau beberapa lobus yang berbecak-becak
2) Pemeriksaan laboratorium didapati leukosit antara 15.000
sampai 40.000 /mm3
3) Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali apabila
pasien mengalami imunodefisiensi.
4) Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD), untuk mengetahui
status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigen.
5) Pemeriksaan gram/cultural sputum dan darah : diambil dengan
biopsy jarum, untuk mengetahui mikroorganisme penyebab dan
obat yang cocok untuk menanganinya (Wijyaningsih, 2013).

3. Kemungkinan diagnosis keperawatan


Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada anak
bronkopneumonia menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indobesia
(SDKI) 2016, adalah sebagai berikut:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan napas; benda asing dalam jalan nafas; proses infeksi; adanya
jalan nafas buatan; sekresi yang tertahan.

Poltekkes Kemenkes Padang


23

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya


napas; deformitas dinding dada; penurunan energi
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveolus-kapiler; ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurang asupan makanan;
ketidak mampuan menelan; ketidak mampuan mengabsorsi
nutrient
e. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit; peningkatan
laju metabolisme

4. Intervensi keperawatan
Tabel 2.2
Rencana Asuahan Keperawatan

No Diagnosa Perancanaan
keperawatan SLKI SIKI
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen jalan
napas tidak efektif asuhan keperawatan napas:
selama 1×24 jam, Observasi
Gejala dan tanda diharapkan dengan 1) Monitor bunyi
mayor Kriteria hasil: napas
Objektif : Bersihan jalan 2) Monitor sputum
1) Tidak mampu napas (jumlah, warna,
batuk 1) Batuk efektif aroma)
2) Sputum berlebih 2) Produksi sputum 3) Pertahankan
3) Mengi, menurun kepatenan jalan
Wheezing dan 3) Mengi tidak ada napas
ronchi 4) Wheezing tidak Terapuetik
ada 1) Posisikan semi-
5) Dispnea tidak ada Fowler atau
Gejala dan tanda 6) Sianosis tidak ada Fowler
minor 7) Gelisah tidak ada 2) Berikan minum
Subjektif: 8) Frekuensi napas hangat
1) Dispnea normal 3) Lakukan
9) Pola napas fisioterapi dada,
Objektif: normal jika perlu
1) Sianosis 4) Lakukan
2) Frekuensi nafas penghisapan
berubah lendir kurang
3) Pola napas dari 15 detik
berubah 5) Berikan
oksigen, jika

Poltekkes Kemenkes Padang


24

perlu
Fisioterapi dada:
Observasi
1) Identifikasi
dilakukan
fisoterapi dada
2) Monitor status
pernapasan
Terapuetik
1) Gunakan bantal
untuk mengatur
posisi,
2) Lakukan
perkusi dengan
posisi telapak
tangan
ditungkupkan
selama 3-5
menit
3) Lakukan
vibrasi dengan
posisi
telapaktangan
rata
bersamaaan
ekspirasi
melalui mulut
4) Lakukan
fisioterapi dada
minimnal dua
jam setelah
makan
Edukasi

Poltekkes Kemenkes Padang


25

1) Anjurkan batuk
setelah
prosedur selesai
2) Jelaskan tujuan
dan prosedur
fisioterapi dada
3) Ajarkan
inspirasi
perlahan dan
dalam melalui
hidung selama
fisioterapi dada
Pemantauan
respirasi:
Observasi
1) Monitor adanya
produksi
sputum
2) Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
3) Palpasi
kesimetrisan
ekspirasi paru
4) Auskultasi
bunyi napas
Terapuetik
1) Atur interval
pemantauan dan
prosedur
pemantauan
2) Dokumentasi
hasil
pemantauan
Edukasi
1) Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2) Informasikan
hasil
pemantauan,
jika perlu

Poltekkes Kemenkes Padang


26

2. Pola napas tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan


efektif asuhan keperawatan napas:
selama 1×24 jam, Observasi
Gejala dan tanda diharapkan dengan 1) Monitor pola
mayor kriteria hasil: napas
Sujektif: Pola napas Terapuetik
1) Dispnea 1) Tekanan 1) Posisikan semi-
ekspirasi normal Fowler atau
Objektif: 2) Tekanan inspirasi Fowler
1) Penggunaan normal 2) Berikan
otot bantu 3) Dispnea tidak ada oksigen, jika
pernapasan 4) Penggunaan otot perlu
2) Pola napas bantu tidak ada 3) Berikan
abnormal 5) Pemanjangan aromaterapi
fase ekspirasi peppermint, jika
Gejala dan tanda tidak ada perlu
minor 6) Pernapasan Pemantauan
Objektif: cuping hidung respirasi:
1) pernapasan tidak ada Observasi
cuping hidung 7) Frekuensi napas 1) Monitor
baik frekuensi,
8) Kedalaman napas irama,
normal kedalaman dan
upaya napas
2) Monitor pola
napas
Terapuetik
1) Atur interval
pemantauan dan
prosedur
pemantauan
2) Dokumentasi
hasil
pemantauan
Edukasi
1) Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2) Informasikan
hasil
pemantauan,
jika perlu
3. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan
pertukaran gas asuhan keperawatan respirasi:
selama 1×24 jam, Observasi
Gejala dan tanda diharapkan dengan 1) Monitor
mayor: kriteria hasil: frekuensi,
Subjektif Pertukaran gas irama,

Poltekkes Kemenkes Padang


27

1) Dispnea 1) Tingkat kedalaman dan


kesadaran baik upaya napas
Gejala dan tanda 2) Dispnea tidak ada 2) Palpasi
minor: 3) Bunyi napas kesimetrisan
Objektif tambahan tidak ekspirasi paru
1) Sianosis ada 3) Monitor saturasi
2) Gelisah 4) Gelisah tidak ada oksigen
3) Napas cuping 5) Napas cuping 4) Auskultasi
hidung hidung tidak ada bunyi napas
4) Pola napas 6) Sianosis tidak ada 5) Monitor nilai
abnormal 7) Pola napas AGD
5) Warna kulit normal 6) Monitor hasi x-
abnormal 8) Warna kulit ray toraks
6) Kesadaran normal Terapuetik
menurun 1) Atur interval
pemantauan dan
prosedur
pemantauan
2) Dokumentasi
hasil
pemantauan
Edukasi
1) Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2) Informasikan
hasil
pemantauan,
jika perlu
Terapi oksigen:
Observasi
1) Monitor
kecepatan aliran
oksigen
2) Monitor
efektifitas terapi
oksigen ( mis.
Oksimetri,
analisa gas
darah), jika
perlu
3) Monitor tanda-
tanda
hipoventilator
4) Monitor
integritas
mukosa hidung
akibat

Poltekkes Kemenkes Padang


28

pemasangan
oksigen
Terapuetik
1) bersihkan secret
pada mulut,
hidung dan
trakea jika perlu
2) siapkan dan atur
peralatan
pemberian
oksigen
3) berikan oksigen
tambahan jika
perlu
Edikasi
1) ajarkan
keluaraga cara
menggunkan
oksigen
dirumah
Kolaborasi
1) kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen
asuhan keperawatan nutrisi:
Gejala dan tanda selama 1×24 jam, Observasi
mayor: diharapkan dengan 1) Identifikasi
Objektif kriteria hasil: status nutrisi
1) berat badan Status nutrisi 2) Identifikasi
menurun minimal 1) Porsi makanan alergi dan
10 % dibawah dihabiskan intoleransi
rentang ideal 2) Verbalisasi makanan
keinginan untuk 3) Identifikasi
Gejala dan tanda meningkatkan kebutuhan
minor: nafsu nutris kalori dan jenis
Subjektif meningkat nutrisi
1) nafsu makan 3) Perasaan cepat 4) Monitor asupan
menurun kenyang menurun makanan
Objektif 4) Diare tidak ada 5) Monitor berat
1) membrane 5) Berat badan badan
mukosa pucat meningat 6) Monitor hasil
2) diare 6) Frekuensi makan pemeriksaan
membaik laboratorium
7) Nafsu makan Terapeutik
membaik 1) Berikan
8) Membran makanan yang
mukosa membaik tinggi serat

Poltekkes Kemenkes Padang


29

untuk mencegah
konstipasi
2) Beri makanan
yang tinggi
kalori dan tinggi
protein
Kolaborasi
1) Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori
dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu
Pemantauan
nutrisi
Observasi
1) Identifikasi
perubahan berat
2) badan
3) Identifikasi
pola makan
4) monitor hasil
laboratorium
Terapuetik
1) timbang berat
badan
2) ukur
antropometrik
komposisi
tubuh
3) hitung
perubahan berat
badan
4) dokumentasi
hasil

Poltekkes Kemenkes Padang


30

pemantauan
Edukasi
1) jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2) informasikan
hasil
pemantauan
5. Hipertermia Setelah dilakukan Manajeman
asuhan keperawatan hipertemia:
Gejala dan tanda selama 1×24 jam, Observasi
mayor: diharapkan dengan 1) Identifikasi
Sujektif kriteria hasil: penyebab
1) Suhu tubuh Termoregulasi hipertermia
diatas nilai 1) Kejang tidak ada 2) Monitor suhu
normal 2) Konsumsi tubuh
oksigen normal 3) Monitor kadar
Gejala dan tanda 3) Pucat tidak ada elektrolit
minor: 4) Takikardi normal 4) Monitor
Objektif 5) Takipnea normal komplikasi
1) Kejang 6) Suhu tubuh akibat
2) Takikardi membaik hipotermia
3) Takipnea 7) Suhu kulit Terapuetik
4) Kulit terasa membaik 1) Berikan
hangat 8) Ventilasi kompres hangat
membaik untuk menurun
9) Tekanan darah suhu
membaik 2) Berikan
oksigen, jika
perlu
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pembarian
cairan dan
elektrolit
intravena , jika
perlu
Sumber : Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
danIndikator diagnostik (2018), Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator diagnostik
(2018) & Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator diagnostik (2019)

Poltekkes Kemenkes Padang


31

5. Implementasi Keperawatan
Implementasi pada asuhan keperawatan dapat dilakukan pada individu
atau sebagai klien serta anggota keluarga lainya. Implementasi yang
ditujukan pada individu meliputi tindakan keperawatan langsung,
kolaboratif dan pengobatan dasar, observasi, serta pendidikan
kesehatan (Riasmini, dkk, 2017).

6. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan yang membandingkan
antara hasil, implementasi dengan criteria dan standar yang telah
ditetapkan untuk melihat keberhasilan dan apabila berhasil, perlu
disusun rencana baru yang sesuai (Riasmini, dkk, 2017).

BAB III
METODE PENELITIAN

Poltekkes Kemenkes Padang


32

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dan jenis penelitiannya
adalah deskriptif, dengan menggambarkan asuhan keperawatan pada anak
dengan penyakit bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2020.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Penelitian dimulai dari bulan Desember sampai dengan
Maret 2020. Waktu untuk menetapkan asuhan keperawatan pada 14
Februari- 18 Februari 2020.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah 4 orang anak dengan kasus
bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP Dr.
M. Djamil Padang.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah 1 orang anak yang mengalami
bronkopneumonia di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada tahun 2020.
Kriteria dalam penelitian ini yaitu:
a) Kriteria Inklusi
1) Anak yang dirawat dengan bronkopneumonia pada hari
pertama rawatan di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU)
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2) Orang tua atau keluarga bersedia anaknya dijadikan sampel.
b) Kriteria Eksklusi
1) Pasien pulang dalam hari rawatan kurang dari 5 hari
2) Pasien bronkopneumonia yang mengalami perubahan
kondisi (penurunankesadaran)

D. Alat atau Instrumen Pengumpulan Data

Poltekkes Kemenkes Padang


33

Alat atau instrument yang dipakai pada penelitian ini adalah format
tahapan proses asuhan keperawatan anak mulai dari pengkajian sampai
evaluasi. Cara pengumpulan data dimulai dari anamnesa, pemeriksaan
fisik, observasi dan studi dokumentasi. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah format pengkajian keperawatan, diagnose
keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi Keperawatan, dan
evaluasi keperawatan sampai dengan dokumentasi keperawatan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggabungkan dari


berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.
Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk
mendapatkan data dari sumber yang sama yaitu dengan menggunakan
teknik observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi
untuk sumber data yang sama secara serempak (Sugiyono, 2014).

1) Observasi
Dalam penelitian ini peneliti mengobservasi atau melihat kondisi dari
pasien,seperti keadaan umum pasien, suhu tubuh, terutama amati
pernafasan adakah mengalami peningkatan/ takipneadan tingkat
kesadaran.
2) Pemerikasaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan cara pengumpulan data dengan
menggunakan pemeriksaan secara langsung untuk mencari perubahan
atau hal-hal yang tidak normal. Peneliti melakukan pemeriksaan yang
meliputi keadaan umum pasien dan pemeriksaan head to toe
menggunakan prinsip IPPA (Inspeksi, Palspasi, Perkusi dan
Auskultasi). Anak yang mengalami pneumonia lakukan pemeriksaan
fisik terutama di thorak secara IPPA amati pergerakan dinding dada
anak sama/ tidak, adakah terdengar suara ronki/ wheezing kemudian di
ekstremitas adakah akral teraba dingin dan CRT > 2 detik.
3) Wawancara

Poltekkes Kemenkes Padang


34

Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan


ide melalui Tanya jawab (identitas pasien, riwayat kesehatan terutama
tanyakan riwayat imunisasi anak, pola aktivitas sehari-hari dan
keadaan lingkungan tempat tinggal), sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topic tertentu. Wawancara jenis ini merupakan
kombinasi dari wawancara tidak terpimpin dan wawancara terpimpin.
Meskipun dapat unsur kebebasan, tapi ada pengarah pembicara secara
tegas dan mengarah sehingga wawancara ini bersifat fleksibelitas
dengan tegas.
4) Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan dan gambar. Dalam penelitian ini menggunakan
dokumen dari rumah sakit untuk menunjang penelitian yang akan
dilakukan sepertidata penunjang (berupa hasil pemeriksaan darah rutin
yaitu hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, darah lengkap
berupa LED dan AGD, kemudian hasil pemeriksaan sputum dan
pemeriksaan rontgen thoraks , serta catatan atau laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip yang tidak dipublikasikan).

F. Jenis-jenis Data
1) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pasien.
Data primer dari penelitian berikut didapatkan dari hasil wawancara,
observasi langsung dan pemeriksaan fisik langsung pada pasien.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari rekam medik serta
dokumentasi di IRNA Kebidanan dan Anak (HCU) RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Data sekunder umumnya berupa bukti, data penunjang.

G. Rencana Analisis
Data yang ditemukan saat pengkajian dikelompokkan dan direncanakan
berdasarkan data subyektif dan data obyektif, sehingga dapat dirumuskan

Poltekkes Kemenkes Padang


35

diagnose keperawatan, kemudian disusun rencana asuhan keperawatan


serta melakukan implementasi dan evaluasi keperawatan. Analisis
selanjutnya membandingkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan
pada pasien kelolaan dengan criteria hasil dari Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI) yang telah dibuat dan membandingkannya
dengan teori yang ada atau teori yang terdahulu.

BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN KASUS

Poltekkes Kemenkes Padang


36

A. Deskripsi Kasus
1. Pengkajian Keperawatan
An. A berumur 4 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 13 Februari 2020 rujukan dari RSU Mayjen H.A. Thalib,
Sungai Penuh. Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1
minggu yang lalu, batuk berdahak sudah 1 minggu yang lalu, demam
naik turun sejak 1 minggu yang lalu, anak mengalami penurunan nafsu
makan, anak tampak kurus dan berat badan anak sulit naik sejak 2
bulan yang lalu, serta anak gelisah dan sering menangis. Pasien di
diagnosis dengan penyakit Bronkopneumonia.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 14 Februari 2020 pukul 09.30


WIB, Ny. L mengatakan anak mengalami sesak nafas, demam naik
turun, batuk berdahak, nafsu makan menurun dan anak gelisah dan
sering menangis. Sebelumnya anak tidak pernah mengalami sakit
seperti ini, anak biasanya cuma mengalami demam biasa dan diberikan
obat yang dibeli diapotik.

Status imunisasi anak lengkap sesuai usia. Hasil pemeriksaan riwayat


perkembangan anak menggunakan Denver II ditemukan Anak tidak
mengalami keterlamabatan, tumbuh kembang anak normal sesuai usia.

Hasil pengkajian mengenai kondisi lingkungan rumah, didapatkan


anggota keluarga yang menghuni rumah ada 5 orang, sehingga rumah
terasa padat. Ibu mengatakan pengelolaan sampah yang dilakukan di
rumah dengan cara dibakar di belakang rumah.

Pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak sesak nafas, konjungtiva


tidak anemis, adanya nafas cuping hidung, gelisah dan sering
menangis serta anak tampak kurus BB: 11 kg PB/TB: 92 cm dan
LILA: 12 cm, pemeriksaan tanda-tanda vital: T: 36,7 oC RR: 46
x/menit (menggunakan O2) HR: 114 x/menit, pada pemeriksaan
thoraks tampak adanya retraksi dinding dada dan anak mengalami

Poltekkes Kemenkes Padang


37

kesulitan bernafas saat posisi berbaring (ortopnea), saat dilakukan


auskultasi thoraks terdengar suara nafas wheezing dan ronkhi.

Pemenuhan asupan nutrisi dan cairan An. A, ibu mengatakan anak


tidak mendapatkan ASI Eksklusif sampai umur 6 bulan karena ASI
hanya sebelah yang berisi sehingga ibu memberi susu formula sebagai
tambahan, saat umur anak >6 bulan ibu memberikan makanan bubur
tim, biscuit, dan buah. Sekarang anak sudah makan nasi, lauk, sayur
dan buah, saat ini anak dirawat di rumah sakit mendapatkan MC 4×150
cc melalui NGT dan MB 500 kkal 3×1 hari melalui oral dan hanya
habis serempat porsi, status gizi anak berada di angka -3 SD s/d <-2
SD (normal -2 SD s/d 2 SD), sedangkan IMT anak didapat 12,9
kesimpulan yang didapat berat badan anak kurus. Selain itu anak
mengalami masalah pada istirahat dan tidurnya saat sakit, dimana pada
malam hari anak hanya tidur ± 7 jam dan siang hari sekitar 1-2 jam,
sehingga pola tidur anak tidak teratur dan kualitas tidur anak tidak
nyenyak. Pola eliminasi anak, anak terpasang kateter BAK 880 cc/hari
dan warna kuning jernih. BAB satu kali sehari dan warna BAB kuning
dalam bentuk padat namun sulit keluar.

Hasil laboratorium pemeriksaan hematologi pada tanggal 13 Februari


2020, Hb: 14,3 g/dl leukosit: 11.110/mm3, eriktrosit: 5.470.000/µL
hematocrit: 42% dan trombosit 314.000/mm3. Hasil rontgen thoraks
didapatkan adanya bercak- bercak infiltrate pada kedua lapang paru,
terutama pada paru kiri. Terapi obat Gentamicin 2×28 mg
(iv),Cefotaxime 2×275 mg (iv), Ambroxol 3×1/3 ctl (p.o),
Dexametason 3×1,8 ctl (p.o), Klorampenikol 4×200 mg (iv), Terapi
O2 nasal kanul 2 Liter/menit

2. Diagnosis Keperawatan

Poltekkes Kemenkes Padang


38

Dari hasil pengkajian diatas, didapatkan diagnosis keperawatan yang


bisa ditegakkan sebagai berikut :
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan Ny. L mengatakan anaknya mengalami batuk
berdahak, kemudian tampak gelisah, anak mengalami kesulitan
bernafas saat posisi berbaring (ortopnea), auskultasi bunyi nafas
terdengar suara ronkhi dan wheezing dan hasil pemeriksaan rontgen
thoraks didapatkan adanya bercak-bercak infiltrate pada kedua lapang
paru, terutama pada paru kiri.

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas


ditandai dengan Ny. L mengatakan anak sesak nafas, gelisah dan
sering menangis, frekuensi nafas meningkat, RR : 46 x/menit
(mengunakan O2), tampak adanya pernafasan cuping hidung, tampak
adanya retraksi dinding dada.

Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keenganan untuk


makan) ditandai dengan Ny. L mengatakan anakk tidak nafsu makan,
anak tampak kurus dan berat badan sulit naik sejak 2 bulan yang lalu,
IMT anak didapatkan termasuk dalam kategori kurang, LILA: 12 cm
(normal: 12,5-13 cm) dan anak hanya menghabiskan setengah porsi
diet yang diberikan.

3. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan diagnosis keperawatan yang peneliti rumuskan, maka
dibuat intervensi keperawatan sebagai berikut :
Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk diagnosis bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan yaitu 1)
manajemen jalan nafas; posisikan pasien fowler atau semi fowler
untuk memaksimalkan ventilasi, memberikan minum hangat, lakukan
fisioterapi dada (clapping), memonitor bunyi napas tambahan
(wheezing, ronkhi), monitor sputum (jumlah, aroma dan warna). 2)
fisioterapi dada; mengidentifikasi dilakukan fisoterapi dada,

Poltekkes Kemenkes Padang


39

memonitor status pernapasan, menjelaskan tujuan dan prosedur


fisioterapi dada, mengajarkan inspirasi perlahan dan dalam melalui
hidung selama fisioterapi dada, mengunakan bantal untuk mengatur
posisi, melakukan perkusi dengan posisi telapak tangan ditungkupkan
selama 3-5 menit melakukan vibrasi dengan posisi telapak tangan rata
bersamaaan ekspirasi melalui mulut, melakukan fisioterapi dada
minimnal dua jam setelah makan, menganjurkan batuk setelah
prosedur selesai. 3) pemantauan respirasi; memonitor adanya produksi
sputum, monitor adanya sumbatan jalan napas, palpasi kesimetrisan
ekspansi paru, auskultasi bunyi napas, jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan, dan informasikan hasil pemantauan. Setelah dilakukan
asuhan keperawatan diharapkan dengan criteria hasil pasien mampu
batuk efektif, wheezing tidak ada, dispnea tidak ada, gelisah tidak ada
dan frekuensi nafas normal

Rencana keperawatan yang dilakukan untuk diagnosis kedua pola


nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas yaitu 1)
manajemen jalan napas; memonitor pola napas (frekuensi kedalaman,
usaha napas), memposisikan semi fowler atau fowler, memberikan
oksigen, memberikan aromaterapi peppermint. 2) pemantuan respirasi;
memonitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas, memonitor
pola napas, dokumentasi hasil pemantuan jelaskan, tujuan dan
prosedur pemantuan, informasikan hasil pemantuan. Setelah dilakukan
asuhan keperawatan diharapakan dengan criteria hasil pasien mampu
tekanan ekspirasi normal, tekanan inspirasi normal, dispnea tidak ada,
penggunaan otot bantu nafas tidak ada, pernapasan cuping hidung
tidak ada, frekuensi nafas memebaik, kedalamanan nafas normal.

Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk diagnosis ketiga defisit


nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keenganan untuk
makan) yaitu 1) manajemen nutrisi; identifikasi status nutrisi,
mengidentifikasi alergi dan intoleransi makanan, identifikasi makanan
yang disukai, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi, monitor

Poltekkes Kemenkes Padang


40

asupan makanan, memonitor berat badan, kolaborasi dengan ahli gizi


untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan oleh
anak 2) pemantauan nutrisi; identifikasi berat badan, identifikasi pola
makan( kesukaan/ketidak sukaan makanan), tibang berat badan, ukur
antropometri komposisi tubuh, hitung perubahan berat badan,
dokumentasi hasil pemantuan, jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan, informasikan hasil pemantuan. Setelah dilakukan
asuhanan keperawatan diharapkan dengan criteria hasil pasien mampu
menghabiskan porsi makannya, verbalisasi keinginan untuk
meningkatkan nafsu nutrisi meningkat, berat badan meningkat,
frekuensi makan membaik dan nafsu makan meningkat.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi untuk diagnosis utama bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan sekresi yang tertahan 1) memposisikan anak
dengan posisi semi fowler untuk memaksimalkan ventilasi, 2)
melakukan fisioterapi dada (clapping) pada anak untuk mengurangi
sekret di jalan nafas anak, 3) mengauskultasi suara nafas sebelum dan
sesudah di lakukan fisioterapi dada (clapping), 4) mencatat adanya
suara nafas tambahan pada anak, 5) berkolaborasi dalam pemberian
obat Ambroxol 3× 1/3 cpl (p.o) kepada anak didapatkan sekret anak
belum berkurang. Memberikan obat antibiotic cefotaxime 2×275
mg(iv), klorampenikol 4×200 mg (iv)

Implementasi untuk diagnosis kedua pola nafas tidak efektif


berhubungan dengan hambatan upaya napas tindakan yang dilakukan
1) memposisikan anak semi fowler untuk mengurangi sesak nafas pada
anak, 2) berkolaborasi dalam pemberian O2 nasal kanul sebanyak 2
L/menit, 3) memonitor aliran O2, 4) memberikan aromaterapi
peppermint 5) memonitor pola nafas anak, 6) mengobservasi adanya
retraksi dinding dada dan pernafasan
cuping hidung, 7) memonitor TTV.

Poltekkes Kemenkes Padang


41

Implementasi untuk diagnosis ketiga defisit nutrisis berhubungan


dengan faktor psikologis (keenganan untuk makan) tindakan yang
dilakukan 1) mengkaji adanya alergi makanan pada anak, 2)
mengidentifikasi perubahan nafsu makan pada anak, 3)
mengidentifikasi makanan yang disukai anak 4) memberikan MC
kepada anak melalui selang NGT sebanyak 4x150 cc/hari, 5)
Memberikan anak mb 500 kkal 3× sehari 6) memonitor berat badan 7)
mengukur antropometri komposisi tubuh anak 8) berkolaborasi
dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan anak.

5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama lima hari, maka
didapatkan hasil progress kesehatan anak sebagai berikut diagnosis
keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
sekresi yang tertahan didapatkan evaluasi masalah keperawatan dengan
kriteria hasil Ny. L mengatakan sudah mampu melakukan fisioterapi
dada (clapping) pada hari rawatan ke-3, suara nafas anak tidak
terdengar wheezing pada rawatan ke-4, dan tidak terdengar ronkhi
pada hari rawatan ke-5. Ny. L mengatakan anak tidak mengalami
batuk lagi pada hari rawatan ke-5. Masalah bersihan jalan nafas
tidakefektif teratasi, intervensi dilanjutkan dengan ibu melakukan
fisioterapi dada pada anak jika mengalami batuk dengan sekret yang
tertahan.

Diagnosis keperawatan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


hambatan upaya napas didapatkan evaluasi keperawatan dengan
kriteria hasil Ny. L mengatakan anak pernafasan anak tidak cuping
hidung pada hari rawatan ke-3, anak tampak tenang tidak gelisah dan
retraksi dinding dada tidak Ditemukan pada hari rawatan ke-4 dan
anak tidak sesak nafas lagi, RR: 35 x/menit, HR: 110 x/menit, T: 36 ⁰C
pada hari rawatan ke-5. Masalah pola nafas tidakefektif teratasi,
intervensi dihentikan.

Poltekkes Kemenkes Padang


42

Diagnosis keperawatan defisit nutrisi berhubungan dengan faktor


psikologis (keenganan untuk makan) didapatkan evaluasi dengan
kriteria hasil Ny. L mengatakan anak mulai mau makan pada hari
rawatan ke-3. Hari rawatan ke-5 anak hampir menghabiskan satu porsi
dari diet yang diberikan MB 500 kkal 3× sehari dan MC 4x150 cc/hari.
berat badan anak meningkat dari 11 kg menjadi 11,5 kg dan tinggi
badan tetap yaitu 92 cm sedangkan LILA masih 12 cm. masalah defisit
nutrisi teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan.

B. Pembahasan
1. Pengkajian Keperawatan
Hasil pengkajian keluhan utama yang peneliti temukan An. A dibawa
ke rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu,
batuk berdahak sudah 1 minggu yang lalu, demam naik turun sejak 1
minggu yang lalu, dan penurunan nafsu makan, serta anak gelisah dan
menangis.

Hal ini sesuai dengan teori menurut Hidayat (2012), bronkopneumonia


merupakan peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, atau pun benda asing yang ditandai dengan gejala panas
yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, diare
serta batuk kering dan produktif.

Asumsi peneliti terhadap keluhan yang ditemukan pada kasus An. A


sesuai dengan teori yang ada, dimana anak yang mengalami
bronkopneumonia awalnya akan mengalami demam, kemudian
beberapa hari mengalami batuk produktif, setelah itu anak mulai
mengalami sesak nafas yang menyebabkan anak menjadi sering
gelisah dan sering menangis. Sesak nafas akibat batuk produktif anak
juga menyebabkan terjadinya penurunan nafsu makan.

Pemenuhan asupan nutrisi dan cairan An. A diketahui tidak


mendapatkan ASI Eksklusif sampai umur 6 bulan karena ASI hanya

Poltekkes Kemenkes Padang


43

sebelah yang berisi sehingga ibu memberi susu formula sebagai


tambahan, hal ini sesuai dengan penelitian Sinaga (2018) di RSUD
DR. H. Abdoel Moeloek Lampung tentang faktor resiko
Bronkopneumonia pada usia dibawah 5 tahun yang salah satunya
kejadian bronkopneumonia berhubungan dengan pemberian ASI
Eksklusif karena banyak ditemukan anak yang menderita
Bronkopneumonia tidak mendapatkan ASI Eksklusif sampai umur 6
bulan. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih
memberikan efek protektif yang lebih besar berkaitan dengan respon
dosis efek protektif terhadap infeksi. Menurut penelitian Frini, dkk
(2018) pada balita yang diberikan ASI ekslusif system kekebalan
tubuhnya akan meningkat karena kadungan ASI ekslusif kaya akan
gizi dan dapat meningkatkan system imunitas yang mencegah
terjadinya penyakit infeksi seperti pneumonia.

Hasil analisis peneliti sesuai teori yang ada, anak yang tidak mendapat
ASI ekslusif daya tahan tubuhnya akan menurun dan beresiko tinggi
terinfeksi yang akan menyebabkan terjadinya penyakit
bronkopneumonia.

Status gizi An. A dinyatakan gizi buruk, pengukuran BB : 11 kg TB:


92 cm, menurut Kementrian Kesehatan RI (2011) status gizi anak
berada di batas normal yaitu berada di angka -3 SD s/d <-2 SD
(normal : -2 SD s/d 2 SD), sedangkan IMT anak didapatkan 12,9,
kesimpulan yang didapatkan berat badan anak kurus, LILA : 12 cm
(normal : 12,5- 13 cm) berarti LILA anak kecil/ dibawah batas normal.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Frini, dkk (2018) gizi kurang
akan merusak system pertahanan dalam tubuh terhadap mikrorganisme
maupun pertahanan mekanik, sehingga mudah sekali terkena penyakit
infeksi seperti pneumonia. Menurut Savitha (2015), menyatakan
bahwa keadaan malnutrisi berpengaruh pada proporsi
bronkopneumonia pada balita. Pada penelitian dijumpai balita yang

Poltekkes Kemenkes Padang


44

mengalami bronkopneumonia lebih banyak dengan gizi kurang


dibandingkan pada balita dengan gizi cukup atau lebih.

Teori yang ditemukan peneliti BB/TB berkaitan dengan LiLA dalam


menentukan status gizi pada anak. Anak yang mengalami gizi
buruk/kurang system imunitasnya akan menurun, sehingga sangat
rentan terkana penyakit infeksi seperti bronkopneumonia.

Pengkajian yang berkaitan dengan lingkungan didapatkan Ny. L


mengatakan jumlah penghuni rumah sebanyak 5 orang sehingga
mengalami tingkat kepadatan hunian, hal ini sesuai dengan penelitian
Linasari (2017) faktor resiko terjadinya bronkopneumonia salah
satunya faktor lingkungan rumah, yaitu akibat kepadatan hunian rumah
akan meningkatkan suhu ruangan sehingga udara menjadi lembab yang
akan mempermudah bakteri berkembang biak. Dengan kondisi seperti
ini sehingga anak sangat rentan terhadap penyakit infeksi yaitu
bronkopneumonia. Menurut asumsi peneliti faktor resiko terjadinya
bronkopneumonia salah satunya disebebkan kepadatan hunia yang
dapat menyebebkan proses pertukaran penyakit lebih cepat.

Hasil pengkajian berdasarkan pengolahan sampah di rumah Ny. L


didapatkan dengan cara dibakar di belakang rumah. Hal ini sejalan
dengan penelitian Linasari (2017) Kebiasaan membakar sampah di
lingkungan rumah sehingga asap pembakaran masuk ke dalam rumah
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya bronkopneumonia pada
anak. Asap pembakaran dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia,
menurunkan klirens mukosiliar serta menekan aktivitas fagosit dan
efek bakterisida sehingga mengganggu sistem pertahanan paru.
Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam mencegah
terjadinya infeksi saluran napas dan mencegah bakteri agar tidak
masuk kedalam paru.

Asumsi peneliti sesuai dengan teori sampah yang dibakar di sekitar


rumah dapat masuk kerumah dan terhirup oleh penguin, sehingga

Poltekkes Kemenkes Padang


45

masuk ke saluran pernapasan yang menggangu pertahanan paru yang


akan mengakibatkan rentan terjadinya infeksi, sehingga berisiko terjadi
bronkopneumonia.

Pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak sesak nafas, adanya nafas


cuping hidung, sering gelisah, pemeriksaan tanda-tanda vital: T: 36,7
o
C RR: 46 x/menit (menggunakan O2) HR: 114 x/menit. hal ini sesuai
menurut Ngastiah (2014) bahwa penderita bronkopneumonia ditandai
dengan dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai dengan
pernafasan cuping hidung serta sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Menurut asumsi peneliti hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan sama
dengan teori yang ada, bahwa anak dengan bronkopneumonia
mengalami sesak nafas, nafas cuping hidung, dan sering gelisah.

Hasil laboratorium pemeriksaan hematologi pada tanggal 13 Februari


2020, Hb: 14,3 g/dl leukosit: 11.110/mm3, eriktrosit: 5.470.000/µL
hematocrit: 42% dan trombosit 314.000/mm3. Kesimpulanya
retikulositosis, yaitu sel darah merahnya belum matang.

Pemeriksaan thoraks dengan cara auskultasi terdengar suara nafas


yaitu ronkhi dan wheezing, ini terkait menurut Ngastiyah (2012)
tentang gejala bronkopneumonia yang salah satunya adanya bunyi
tambahan pernafasan seperti ronchi dan wheezing. Menurut asumsi
peneliti terjadinya bunyi tambahan pernafasan karena penyempitan
jalan napas dan penumpukan sektret dijalan napas.

Hasil rontgen thoraks An. N di didapatkan tampak perbercakan di 2/3


medial lapangan paru dan didapatkan infiltrate pada kedua paru.
Menurut Ridha (2017) bronkopneumonia adalah infiltrasi yang
tersebar pada kedua belah paru. Dimulai pada bronkiolus terminalis,
yang menjadi tersumbat oleh eksudat mukonpurulent yang disebut juga
“Lobular pneumonia”. Menurut asumsi peneliti An. A mengalami
bronkopneumonia dengan ditemukan infiltrasi pada kedua belah paru.

Poltekkes Kemenkes Padang


46

2. Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan data yang peneliti dapatkan di rumah sakit. Diagnosis
utama yang diangkat untuk kasus An. A ini yaitu, 1) bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan, 2) pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas, 3)
defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keenganan untuk
makan).

Berdasarkan kasus yang peneliti temukan diagnosis utama yang


peneliti angkat untuk kasus An. A yaitu bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan. Peneliti
mengangkat diagnosis utama untuk kasus An. A karena ditandai
dengan Ny. L mengatakan anaknya mengalami batuk berdahak,
kemudian tampak gelisah, anak mengalami kesulitan bernafas saat
posisi berbaring (ortopnea), auskultasi bunyi nafas terdengar suara
ronkhi dan wheezing dan hasil pemeriksaan rontgen thoraks
didapatkan adanya bercak-bercak infiltrate pada kedua lapang paru,
terutama pada patu kiri.

Hasil penelitian Arsyad (2013) bahwa didapatkan diagnosa


keperawatan pada anak yang terkait dengan bronkopneumonia adalah
bersihan jalan nafas tidak efektif yang mengalami masalah oksigenasi
terjadinya masalah pada ventilasi karena oksigen yang masuk ke
alveoli terjadi penyumbatan di bronkus hal ini diakibatkan karena
adanya penumpukan sekret di bronkus.

Analisis penelitian apabila terjadi penumpukan secret di jalan nafas


mengakibatkan pertukaran antara CO2 dan O2 tidak adekuat, sehingga
terjadi masalah pada ventilasi akibatnya anak mengalami kesulitan
bernapas.

Diagnosis kedua yang peneliti angkat yaitu pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan hambatan upaya napas ditandai dengan Ny. L

Poltekkes Kemenkes Padang


47

mengatakan anak sesak nafas dan sering menangis, frekuensi nafas


meningkat, RR : 46 x/menit (menggunakan O2), tampak adanya
pernafasan cuping hidung, tampak adanya retraksi dinding dada.

Muttaqin Arif (2014) diagnose yang didapatkan pada pasien dengan


pneumonia adalah ketidakefektifan pola napas, secara teori didapat
pernapasan cuping hidung, pada dada terlihat adanya peningkatan
usaha pernapasan, frekuensi dan irama pernapasan tidak teratur,
pada paru terdapat suara tambahan ronki pada saat auskultasi.

Hasil analisis peneliti anak dengan bronkopneumonia dengan diagnosa


bersihan jalan napas tidak efektif sesuai dengan teori akan mengalami
pernafasan cuping, frekuensi nafas tidak tertur, dan pada paru
terdengar suara tambahan ronki pada saat auskultasi.

Diagnosis defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis


(keenganan untuk makan)ditandai dengan Ny. L mengatakan anak
tidak nafsu makan, anak tampak kurus dan berat badan sulit naik sejak
2 bulan yang lalu, LILA: 12 cm (normal: 12,5-13 cm), IMT anak 12,9
termasuk dalam kategori kurus dan anak hanya menghabiskan ½ porsi
diet yang diberikan.

Hasil penelitian Suci, dkk (2019) studi kasus: asuhan keperawatan


anak dengan bronkopneumonia masalah yang diangkat salah satunya
yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Diangkatnya diagnosis ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh dikarenakan asupan nutrisi anak yang kurang atau
tidak adekuat menyebabkan anak mengalami gizi kurang.

Asumsi peneliti defisit nutrisi adalah asupan nutrisi tidak cukup


akibatnya anak mengalami penurunan berat badan dan berakibat
menjadi gizi buruk.

3. Intervensi Keperawatan

Poltekkes Kemenkes Padang


48

Dalam penelitian ini, intervensi keperawatan yang peneliti pilih,


disusun sesuai diagnosis yang muncul pada kasus berdasarkan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator diagnostik
(2018) & Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator diagnostik (2019) diagnosis utama pada pasien adalah
bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan yaitu 1) manajemen jalan nafas; posisikan pasien fowler atau
semi fowler untuk memaksimalkan ventilasi, memberikan minum
hangat, lakukan fisioterapi dada (clapping), memonitor bunyi napas
tambahan (wheezing, ronkhi), monitor sputum (jumlah, aroma dan
warna). 2) fisioterapi dada; mengidentifikasi dilakukan fisoterapi dada,
memonitor status pernapasan, menjelaskan tujuan dan prosedur
fisioterapi dada, mengajarkan inspirasi perlahan dan dalam melalui
hidung selama fisioterapi dada, mengunakan bantal untuk mengatur
posisi, melakukan perkusi dengan posisi telapaktangan ditungkupkan
selama 3-5 menit melakukan vibrasi dengan posisi telapaktangan rata
bersamaaan ekspirasi melalui mulut, melakukan fisioterapi dada
minimnal dua jam setelah makan, menganjurkan batuk setelah
prosedur selesai. 3) pemantauan respirasi; memonitor adanya produksi
sputum, monitor adanya sumbatan jalan napas, palpasi kesimetrisan
ekspansi paru, auskultasi bunyi napas, jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan, dan informasikan hasil pemantauan.

Hasil penelitian Arufina (2018), tentang Asuhan keperawatan pada


pasien anak dengan bronkopneumonia dengan focus tidakefektif
bersihan jalan napas di RSUD Kabupaten Magelang, didapatkan salah
satu masalah keperawatan yang dialami oleh anak dengan
bronkopneumonia adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Dalam
hal ini masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
peneliti memutuskan beberapa intervensi yang digunakan diantaranya
yaitu monitor RR dan TTV lainnya, monitor pernafasan dan status
oksigenasi, dan kelola terapi nebulizer ultrasonik.

Poltekkes Kemenkes Padang


49

Rencana keperawatan yang dilakukan untuk diagnosis kedua pola


nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas yaitu 1)
manajemen jalan napas; memonitor pola napas (frekuensi kedalaman,
usaha napas), memposisikan semi fowler atau fowler, memberikan
oksigen, dan memberikan aromaterapi peppermint 2) pemantuan
respirasi; memonitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas,
memonitor pola napas, dokumentasi hasil pemantuan jelaskan, tujuan
dan prosedur pemantuan, informasikan hasil pemantuan.

Hasil penelitin ratnawati dan Arifin


(2015) secara teori pneumonia dengan ketidakefektifan pola napas
didapatkan intervensi yaitu, observasi TTV, berikan posisi semi
fowler, ajarkan cara batuk efektif, memonitor aliran O2, lakukan
auskultasi pada pasien, kaji kedalaman nafas, mengajarkan pasien
nafas dalam.

Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk diagnosis ketiga defisit


nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keenganan untuk
makan) yaitu 1) manajemen nutrisi; identifikasi status nutrisi,
mengidentifikasi alergi dan intoleransi makanan, identifikasi makanan
yang disukai, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi, monitor
asupan makanan, memonitor berat badan, kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan oleh
anak 2) pemantauan nutrisi; identifikasi berat badan, identifikasi pola
makan( kesukaan/ketidak sukaan makanan), tibang berat badan, ukur
antropometri komposisi tubuh, hitung perubahan berat badan,
dokumentasi hasil pemantuan, jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan, informasikan hasil pemantuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulis (2015), tentang Asuhan


keperawatan pada Anak dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
keutuhan tubuh, tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu

Poltekkes Kemenkes Padang


50

mencukupi nutrisi anak selama sakit, memonitor pertumbuhan anak


dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan.

Penyusunan rencana yang dilakukan peneliti, tidak terdapat


kesenjangan antara penelitian terdahulu dengan kasus yang ditemukan
saat ini, tapi ada beberapa intervensi keperawatan terbaru yang
ditemukan dari penelitian sebelumnya yang tidak tertulis di SIKI.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada diagnosis bersihan
jalan nafas tidakefektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
seperti memposisikan anak dengan posisi semi fowler untuk
memaksimalkan ventilasi, melakukan fisioterapi dada (clapping) untuk
mengurangi sekret dijalan nafas anak, mengauskultasi suara nafas,
berkolaborasi dalam pemberikan obat Ambroxol 3× 1/3 cpl (p.o)
kepada anak mengatasi sekret dan antibiotic cefotaxime 2×275 mg(iv),
gentamicin 2×28 mg (iv)

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suci dan Annisa
(2019) Implementasi yang diberikan pada anak dengan diagnosis
bersihan jalan nafas tidakefektif yaitu mengauskultasi suara nafas,
catat adanya suara nafas tambahan, melakukan terapi inhalasi
bronkodilator ventolin 1resp+Ns 2ml/6jam, memberikan posisi
semifowler, melakukan fisioterapi dada, mengajarkan keluarga tentang
batuk efektif, dan menganjurkan minum air hangat.

Asumsi peneliti terhadap upaya mengatasi ketidakefektifan bersihan


jalan nafas yaitu dengan memposisikan semi fowler/ fowler,
mengauskultasi bunyi nafas tambahan, melakukan fisioterapi dada,
dan menganjurkan minum air hangat.

Masalah keperawatan pola nafas tidakefektif berhubungan dengan


hambatan upaya napas yang dilakukan yaitu memposisikan anak semi
fowler untuk mengurangi sesak nafas pada anak, berkolaborasi dalam

Poltekkes Kemenkes Padang


51

pemberian O2 nasal kanul sebanyak 2 L/menit, memonitor aliran O2,


memberikan aromaterapi peppermint, memonitor pola nafas anak,
mengobservasi adanya retraksi dinding dada dan pernafasan cuping
hidung dan memonitor TTV. Hal ini juga didukung oleh teori yaitu
memposisikan anak semi fowler, berkolaborasi dalam pemberian
oksigen, memonitor TTV, mengobservasi adanya retraksi dinding dada

(Wahyuningsih, 2015).

Asumsi peneliti tindakan keperawatan sudah sesuai dengan


pengkajian yaitu dengan memonitor pola napas anak, memposisikan
anak semi fowler/fowler untuk mengurangi sesak pada anak.

Diagnosis ketiga defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis


(keenganan untuk makan) yang dilakukan yaitu mengkaji adanya
alergi makanan pada anak, mengidentifikasi perubahan nafsu makan
pada anak, mengidentifikasi makan yang disukai anak, memberikan
MC kepada anak melalui selang NGT sebanyak 4x150 cc/hari dan
memberikan anak MB 500 kkal 3× sehari, memonitor berat badan,
mengukur antropometri tubuh anak, berkolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan anak. Hal
ini sesuai dengan penelitian Sulis (2015), tentang Asuhan Keperawatan
pada Anak dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari keutuhan
tubuh, tindakan yang dilakukan yaitu mencukupi nutrisi anak selama
sakit, memonitor pertumbuhan anak dengan cara mengukur berat
badan dan tinggi badan.

Asumsi peneliti dalam mengatasi ketidakseimbangan nutrisi pada anak


dengan cara pemenuhan nutrisi yang adekuat seperti memberikan
mengidentifikasi makan yang disukai anak.

5. Evaluasi Keperawatan
Pada diagnosis keperawatan pertama yaitu bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan, didapatkan evaluasi

Poltekkes Kemenkes Padang


52

masalah keperawatan dengan kriteria hasil Ny. L mengatakan sudah


mampu melakukan fisioterapi dada (clapping) pada hari rawatan ke-3,
suara nafas anak tidak terdengar wheezing pada rawatan ke-4, dan
tidak terdengar ronkhi pada hari rawatan ke-5. Ny. L mengatakan anak
tidak mengalami batuk lagi pada hari rawatan ke-5. Masalah bersihan
jalan nafas tidakefektif teratasi, intervensi dilanjutkan dengan ibu
melakukan fisioterapi dada pada anak jika mengalami batuk dengan
sekret yang tertahan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
sebelumnya yaitu hasil evaluasi sudah sesuai dengan kriteria seperti
batuk sudah mulai berkurang, retraksi dinding dada tidak ada, tidak
terdengar suara ronkhi dan wheezing, tidak ada tanda gelisah pada
anak (Manurung, Surantum, Krisanty, Ekarini. 2013).

Asumsi peneliti setelah melakukan asuhan keperawatan pada An. A


selama 5 hari didapatkan evaluai keperawatan terhadap bersihan jalan
nafas tidakefektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan telah
sesuai dengan kriteria SIKI yaitu produksi sputum tidak ada lagi,
wheezing tidak ada, frekuensi nafas anak normal, tidak terjadi sesak
nafas saat berbaring, gelisah tidak ada, batuk bedahak hilang, sehingga
masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidakefektif teratasi dan
intervensi dihentikan.

Diagnosis keperawatan pola nafas tidakefektif berhubungan dengan


hambatan upaya napas didapatkan dengan kriteria hasil Ny. L
mengatakan anak pernafasan anak tidak cuping hidung pada hari
rawatan ke-3, anak tampak tenang tidak gelisah dan retraksi dinding
dada tidak Ditemukan pada hari rawatan ke-4 dan anak tidak sesak
nafas lagi, RR: 35 x/menit, HR: 110 x/menit, T: 36 ⁰C pada hari
rawatan ke-5. Masalah pola nafas tidakefektif teratasi, intervensi
dihentikan. Hal ini juga didukung oleh teori bahwa hasil evaluasi yang
didapatkan pada diagnose tidakefektif pola napas yaitu frekuensi nafas
normal, anak tampak tenang, frekuensi pernapasan normal, tidak ada
retraksi dinding dada (Manurung, Surantum, Krisanty, Ekarini. 2013).

Poltekkes Kemenkes Padang


53

Asumsi peneliti setelah melakukan asuhan keperawatan pada An. A


selama 5 hari didapatkan evaluai keperawatan terhadap masalah pola
nafas tidakefektif berhubungan dengan hambatan upaya napas telah
sesuai dengan kriteria SIKI yaitu frekuensi nafas anak normal, tidak
ada retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan cuping hidung dan
anak tidak gelisah, sehingga masalah keperawatan pola nafas
ketidakefektifan sudah teratasi dan intervensi dihentikan.

Diagnosis keperawatan defisit nutrisi berhubungan dengan faktor


psikologis (keenganan untuk makan) didapatkan evaluasi dengan
kriteria hasil Ny. L mengatakan anak mulai mau makan pada hari
rawatan ke-3. Hari rawatan ke-5 anak hampir menghabiskan satu porsi
dari diet yang diberikan MB 500 kkal 3× sehari dan MC 4x150 cc/hari.
berat badan anak meningkat dari 11 kg menjadi 11,5 kg dan tinggi
badan tetap yaitu 92 cm sedangkan LILA masih 12 cm. masalah defisit
nutrisi teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Sulis (2015), tentang Asuhan keperawatan pada Anak
dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari keutuhan tubuh
didapatkan evaluasi berat badan anak meningkat dari sebelumnya,
nafsu makan meningkat dan menghabiskan dietnya setengah porsi.

Asumsi peneliti evaluasi yang didapatkan setelah melakukan asuhan


keperawatan pada An. A selama 5 hari didapatkan evaluai keperawatan
terhadap masalah defisit nutrisi sesuai dengan kriteria SIKI yaitu
peningkatan nafsu makan, berat badan mengalami peningkatan dari 11
kg menjadi 11,5 kg dan juga LILA anak tidak bertambah masih tetap
12 cm, sehingga masalah defisit nutrisi teratasi sebagian dan intervensi
dilanjutkan seperti pemberian asupan makanan yang adekuat.

Poltekkes Kemenkes Padang


54

Poltekkes Kemenkes Padang

Anda mungkin juga menyukai