Anda di halaman 1dari 13

BERBAGI ILMU

PERBANDINGAN KEAKURATAN CAPM DAN APT DALAM MEMPREDIKSI RETURN SAHAM

Februari 22, 2018

PERBANDINGAN KEAKURATAN CAPM DAN APT DALAM MEMPREDIKSI RETURN SAHAM

ABSTRACT

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam memprediksi return atas investasi yang
dilakukan oleh para investor agar menghasilkan return yang maksimal. Perkembangan isu mengenai
CAPM dan APT menjadi perdebatan dalam menilai keakuratan return saham yang sering digunakan oleh
investor dalam melakukan keputusan investasi. Keduanya sering dibandingkan kehandalannya dalam
model yang lebih baik untuk melakukan investasi. Hasil menunjukkan bahwa Capital Asset Pricing
Model (CAPM) lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam
memprediksi tingkat pengambalian atas investasi karena kekurangan APT yaitu tidak semua investor
menggunakan metode ARIMA dalam mengestimasi variabel makro ekonomi, ketidakmampuan model
APT dalam menjelaskan variasi return yang disebabkan oleh faktor makroekonomi dan corporate
actions.

Kata Kunci: Capital Asset Pricing Model (CAPM) , Arbitrage Pricing Theory (APT), Return saham

Abstract

There are several approaches that can be used in predicting return on investment made by investors to
generate maximum return. The development of issues concerning CAPM and APT has been debated in
assessing the accuracy of stock returns that investors often use to make investment decisions. Both
often compared their reliability in a better model for investing. The results show that the Capital Asset
Pricing Model (CAPM) is more accurate than using Arbitrage Pricing Theory (APT) in predicting the rate
of return on investment due to APT shortage ie not all investors use ARIMA method to estimate
macroeconomic variables, inability of APT model in explaining the variation of return caused by
macroeconomic factors and corporate actions

Keywords: Capital Asset Pricing Model (CAPM) , Arbitrage Pricing Theory (APT), Stock Return

1. Latar Belakang
Iklim investasi di Indonesia merupakan hal yang sangat menarik bagi para investor. Berdasarkan letak
geografisnya, Indonesia merupakan negara yang berpotensi untuk memiliki perekonomian yang baik
karena industri dan negara berkembang menjadikan Indonesia sebagai titik industri mereka. Indonesia
juga merupakan anggota negara ASEAN, keunggulan negara Indonesia dapat ditawarkan kepada
investor seperti negara yang memiliki sumber daya alam antara lain pertanian, perkebunan, tambang
minyak dan gas. Hal tersebut dapat menjadi keunggulan Indonesia agar dapat menarik investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Salah satu perusahaan yang saat ini paling berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi adalah
perusahaan bidang manufaktur sektor barang konsumsi. Namun selain itu, pertumbuhan ekonomi
indonesia juga didukung oleh investasi. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa investasi merupakan
salah satu faktor penting dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut
pemerintah berupaya keras untuk memperbaiki prosedur investasi dimasa mendatang agar dapat
mendukung iklim investasi yang lebih menguntungkan.

Saham merupakan instrumen menarik untuk dijadikan sarana investasi. Ekspektasi dari para
investor terhadap investasinya pada saham adalah untuk memperoleh pengembalian (return) saham
sebesar-besarnya dengan risiko tertentu. Return dapat berupa capital gain atau dividen untuk investasi
saham. Dividen merupakan slah satu bentuk peningkatan kekayaan pemegang saham. Investor selalu
mengharapkan return investasi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Maka dari itu, investor
potensial harus dapat memprediksi berapa besar return dari investasi yang mereka lakukan. Investor
akan mencari alternatif investasi yang dapat memberikan return tertinggi dengan tingkat risiko tertentu.
Mengingat setiap investasi saham terdapat risiko yang harus ditanggung para investor, maka tidak
jarang masyarakat lebih memilih investasi pada sektor perbankan dengan risiko dan return yang lebin
rendah.

Semua investor menginginkan risiko yang rendah namun mendapat return yang tinggi. Namun
investor memiliki asumsi bahwa seorang yang tidak menyukai risiko tidak akan mendapatkan return dari
investasi yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, investor sangat membutuhkan informasi yang memadai
mengenai risiko dan pengembalian yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut membuat keadaan lapangan
menjadi semakin kompleks sehingga investor memerlukan alat untuk memproyeksikan return suatu
saham. Salah satunya adalah dengan menggunakan model keseimbangan.

Model penilaian (pricing model) merupakan sebuah model untuk menentukan tingkat
pengembalian aset yang diharapkan. Dalam memprediksi pendapatan saham yang diharapkan, ada dua
model yang sering digunakan oleh investor, yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage
Pricing Theory (APT). Namun hingga saat ini keduanya masih menjadi perdebatan tentang tingkat
keakuratannya. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa CAPM lebih akurat, manum ada
juga penelitian yang menyatakan bahwa APT mampu memprediksikan return saham lebih baik daripada
menggunakan CAPM.

Sharpe (1964) dan Lintner (1965) mempublikasikan tulisannya dengan menurunkan model penilaian
aset yang dikenal dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM menggambarkan hubungan linear
antara tingkat risiko dan tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko yang mempengaruhi return
saham individual di dalam model CAPM adalah risiko pasar. Tandelilin (2010) menyatakan bahwa CAPM
merupakan model untuk menentukkan harga suatu assets pada kondisi equilibrium. Dalam keadaan
equilibrium tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham akan dipengaruhi
oleh risiko saham tersebut. Dalam hal risiko yang diperhitungkan adalah risiko sistematis yang diwakili
oleh beta, karena risiko yang tidak sistematik bisa dihilangkan dengan cara diverifikasi.

Capital Asset Pricing Model (CAPM) mengasumsikan bahwa para investor adalah perencana pada suatu
periode tunggal yang memiliki persepsi yang sama mengenai keadaan pasar dan mencari mean variance
dari portofolio optimal. Capital Asset Pricing Model (CAPM) juga mengasumsikan ahwa pasar saham
yang ideal adalah pasar saham yang besar dan para investor adalah para price-takers, tidak ada pajak
maupun biaya transaksi, semua aset dapat diperdagangkan secara umum, dan para investor dapat
meminjam pada jumlah yang tidak terbatas pada tingkar suku bunga tetap yang tidak berisiko (fixed risk
free rate). Dengan asumsi ini, semua investor memiliki portofolio yang risikonya identik.

Pendapat lain muncul setelah CAPM diperkenalkan. Ada banyak studi empiris yang menguji tenang
apakah model tersebut cukup untuk menggambarkan perilaku harga saham pasar dalam praktik.
Pengembangan dari CAPM adalah Arbitrage Pricing Theory (APT). APT dan CAPM sama-sama
memperhitungkan hubungan antara risiko dan imbal hasil, tetapi APT menggunakan asumsi dan teknik
yang berbeda.

APT dinilai fleksibel dibandingkan CAPM karena dalam membuat model dapat menggunakan berbagai
faktor makroekonomi yang beragam dalam menghitung premi risiko suatu aset atau dalam membentuk
suatu model penilaian aset. APT diperkenalkan oleh Stephen A. Ross pada tahun 1976 dengan tiga
proposisi: (i) imbal hasil sekuritas dapat dijelaskan dengan sebuah model faktor; (ii) terdapat cukup
banyak sekuritas untuk menghilangkan risiko spesifik dengan diversifikasi; dan (iii) pasar sekuritas yang
berfungsi dengan baik tidak memungkinkan terjadinya peluang arbitrase secara terus menerus.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan harga
saham sehingga diciptakan CAPM dan APT untuk membantu investor dalam menganalisa hubungan
return dan risiko saham secara sederhana. Di dalam keadaan lapangan yang kompleks, CAPM hanya
menggunakan faktor return pasar dalam menentukan return dan risiko saham, sedangkan di sisi lain,
APT mempertimbangkan penggunaan banyak faktor makro. Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil
yang tidak konsisten dari berbagai penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk membandingkan
keakuratan CAPM dan APT dalam memprediksi return saha

2. Landasan Teori

2.1 Model Keseimbangan

Dalam ilmu investasi terhadap model yang dinamakan model keseimbangan. Menurut Tandelilin (2010),
model keseimbangan dapat digunakan untuk memahami bagaimana perilaku investor secara
menyeluruh, bagaimana mekanisme pembentukan harga dan return pasar dalam bentuk yang lebih
sederhana, cara menentukkan risiko yang reevan terhadap suatu aset serta hubungan risiko dan return
harapan untuk suatu aset ketika pasar dalam keadaan seimbangan.

CAPM mampu mengestimasi return dengan mudah dan baik (Jogiyanto, 2003). Di pasar modal Indonesia
model CAPM sangat cocok digunakan untuk membentuk return portofolio, karena investor lebih
memperhatikan tingkat pengembalian dan risiko dari sudut harga saham dan dibandingkan dari sudut
size dan value (Wirawan & Murtini, 2008). Penggunaan model APT, harus menggunakan minimal tiga
faktor yang berkaitan dengan tingkat pengembalian saham. Kondisi ekonomi dapat dijadikan variable
yang dimasukkan dalam model APT untuk memprediksi return saham (Suripto, 2011).

2.2 Investasi

Investasi merupakan penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva produktif selama
periode waktu tertentu (Jogiyanto, 2015). Dengan adanya aktiva yang produk penundaan konsumsi
sekarang untuk diinvestasikan ke aktiva yang produktif tersebut akan meningkat utility total. Ada banyak
definisi investasi, menurut PSAK Nomor 13 dalam Standar Akuntansi Keuangan per 1 Oktober 2004
investasi adalah suatu aktiva yang digunakan perusahaan untuk pertumbuhan kekayaan melalui
distribusi hasil investasi (seperti bunga, royalty, dividen, dan uang sewa), untuk apresiasi nilai investasi,
atau untuk manfaat lain bagi perusahaan yang berinvestasi seperti manfaat yang diperoleh melalui
hubungan perdagangan.tif,

2.3 Saham

Menurut fahmi (2015) saham adalah tanda bukti penyertaan kepemilikan modal/dana pada suatu
perusahaan, kertas yang tercantum dengan jelas nilai nominal, nama perusahaan dan diikuti dengan hak
dan kewajiban yang dijelaskan kepada setiap pemegangnya serta persediaan yang siap dijual. Ada
banyak pihak yang terlibat dalam bermain di pasar saham secara umum ada tiga yaitu: Investor,
Spekulan dan Government

2.4 Return

Tandelilin (2001:47) mengemukakan bahwa return merupakan salah satu faktor yang memotivasi
investor berinteraksi dan juga merupakan imbalan atas keberanian investor dalam menanggung risiko
atas investasi yang dilakukannya. Sedangkan Halim (2006:34) mengemukakan bahwa return dalam
konteks manajemen investasi merupakan imbalan yang diperoleh akibat hasil dari investasi. Return ini
kemudian dibedakan menjadi dua yaitu actual return (pengembalian yang telah terjadi) dan expected
return (pengembalian yang diharapkan) yang akan diperoleh oleh seorang investor di masa yang akan
datang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa return atau imbalan dapat diartikan sebagai imbal hasil dari
keputusan investasi yang telah dilakukan.

2.5 Capital Asset Pricing Model (CAPM)

CAPM pertama kali dikenalkan oleh Sharpe, Lintner dan Mossin pada tahun 1964. CAPM merupakan
suatu model yang menghubungkan tingkat return harapan dari suatu aset berisiko dengan risiko dari
aset tersebut pada kondisi pasar yang seimbang. CAPM menjelaskan bahwa risiko dan return
berhubungan positif, artinya semakin besar risiko maka semakin besar pula return-nya (Tandelilin,
2010). Dalam hal ini risiko yang diperhitungkan hanyalah risiko sistematis (systematic risk) atau risiko
pasar yang diukur dengan beta.

Hal yang paling utama dari Capital Assets Pricing Model ini adalah pernyataan mengenai hubungan
antara expected risk premium dari individual assets dan systematic risk‐nya. Jack Treynor, William
Sharpe dan John Lintner pada sekitar tahun 1960‐an memformulasikan CAPM seperti berikut ini :

Rj ‐ Rf = (Rm ‐ Rf)*bj ......................................................... (1a)

Yang juga sering dituliskan sebagai:

Rj = Rf + (Rm ‐ Rf)*bj....................................................... (1b)

Formulasi di atas mengatakan bahwa tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu saham (Rj) sama
dengan tingkat risiko (Rf) ditambah dengan premi risiko [(Rm‐Rf)*bj]. Semakin besar risiko saham (b),
semakin tinggi risiko yang diharapkan dari saham tersebut dan dengan demikian semakin tinggi pula
tingkat keuntungan yang diharapkan. Untuk mengestimasi besarnya koefisien beta, digunakan market
model dengan persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

Ri= αi + βiRM + el

Keterangan:

Ri= Return sekuritas i

Rm= return indeks pasar

αi = intersep

βi= slope

ei= random residual error

market model biasa diestimasi dengan meregresi return sekuritas yang akan dinilai dengan return indeks
pasar. Regresi tersebut akan menghasilkan nilai:

αi (ukuran return sekuritas i yang tidak terkait dengan return pasar)

βi (peningkatan return yang diharapkan pada sekuritas i untuk setiap kenaikan return pasar sebesar 1%)

terdapat indikator variabel pada CAPM yaitu:

a. Return Market (Rm) merupakan tingkat pengembalian yang diharapkan dipasar saham atau return
investor yang berinvestasi diportofolio saham pasar. Pasar saham ini dapat dijadikan sebagai proxy akan
keadaan yang terjadi dalam pasar.
b. Beta merupakan risiko sistematis yang dapat mempengaruhi return. Risiko sistematis dapat
dihitung atau diminimalkan melalui verifikasi sedangkan risiko tidak sistematis tidak dapat dihitung.

c. Return aset bebas risiko (Rf) merupakan tingkat keuntungan yang bisa dihasilkan dari suatu aset
atau investasi yang bebas risiko.

2.6 Arbitrage Price Theory (APT)

Capital Asset Pricing Model bukanlah satu-satunya teori yang mencoba menjelaskan bagaimana
suatu aktiva ditentukan harganya oleh pasar. Ross (1976) merumuskan suatu teori yang disebut sebagai
Arbitrage Pricing Theory (APT). Seperti halnya CAPM, APT menggambarkan hubungan antara risiko dan
pendapatan, tetapi dengan menggunakan asumsi dan prosedur yang berbeda.

Menurut Tandelilin (2010), APT menyatakan bahwa return harapan dari suatu sekuritas bisa dipengaruhi
oleh berbagai faktor, tidak hanya satu faktor (portofolio pasar) seperti yang telah dikemukakan pada
teori CAPM. Menurut Tandelilin (2010), faktor-faktor risiko yang digunakan dalam model APT harus
mempunyai karakteristik seperti berikut.

1. Masing-masing faktor risiko harus mempunyai pengaruh luas terhadap return saham dipasar

2. Faktor-faktor risiko tersebut harus mempengaruhi return harapan

3. Pada awal periode, faktor risiko tersebut tidak dapat diprediksikan oleh pasar karena faktor-faktor
risiko tersebut mengandung informasi yang tidak diharapkan atau bersifat mengejutkan pasar (adanya
perbedaan antara nilai yang diharapkan dengan nilai yang sebenarnya).

Beberapa asumsi yang digunakan di CAPM adalah investor memiliki persepsi yang sama atas keadaan
pasar dan merupakan price-taker, tidak ada pajak maupun biaya transaksi, para investor dapat
meminjam maupun meminjamkan pada jumlah yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga tetap yang
tidak berisiko dan semua aset yang diperjualbelikan adalah likuid. Sedangkan asumsi yang mendasari
model Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah: (1) Pasar Modal dalam kondisi persaingan sempurna, (2)
investor adalah risk averse, (3) investor memiliki kepercayaan yang bersifat homogen dan 4) return
diperoleh dengan menggunakan model faktorial. Dapat dilihat bahwa asumsi yang digunakan APT lebih
realistis jika dibandingkan dengan CAPM, namun tujuan akhir dari perbandingan kebaikan antar model
adalah bukan pada realistis tidaknya asumsi-asumsi yang dipergunakan, tetapi seberapa tepat model
tersebut mencerminkan realitas. Realitas adalah seberapa tepatkah suatu model dalam memprediksikan
return saham di masa depan (Husnan, 1996). Didalam model APT diperlukan faktor pembentuk guna
mengetahui besarnya return saham, faktor-faktor tersebut yaitu kondisi makro ekonomi. Variabel-
variabel makro ekonomi yang digunakan yaitu sebagai berikut.

a. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang berkaitan dengan dampaknya terhadap makro
ekonomi agregat, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan
distribusi pendapatan
b. Gross Domestic Product (GDP) merupakan total nilai pasar dari barang jadi dan jasa yang dihasilkan
dalam suatu negara selama satu tahun tertentu. GDP sama dengan total produksi konsumsi dan barang-
barang investasi, pembelanjaan pemerintah dan ekspor neto ke negara lain (McEarchern, 2000)

c. Tingkat suku binga yang merupakan biaya harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang
diterima dan merupakan imbalan bagi peminjam investasinya. Dengan tingkat suku bunga yang tinggi
diharapkan uang yang beredar berkurang dimasyarakat akan menginvestasikan uangnya pada bank yang
menggunakan suku bunga tersebut sebagai alat ikur pengendalian jumlah uang beredar.

2.7 Beta

Menurut Jogiyanto (2015) Beta merupakan suatu pengukur volatilitas (volatility) return suatu sekuritas
atau return portofolio terhadap return pasar. Untuk menghitung Beta portofolio, maka Beta masing-
masing sekuritas perlu dihitung terlebih dahulu. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang dari
Beta masing-masing sekuritas. Mengetahui Beta masing-masing sekuritas juga berguna untuk
pertimbangan memasukkan sekuritas tersebut ke dalam portofolio yang akan dibentuk. Beta suatu
sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis.

2.8 Variabel Makro Ekonomi

1. Inflasi

Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus (Rahardja &
Manurung, 2008). Inflasi merupakan suatu keadaan dimana menurunnya nilai mata uang pada suatu
Negara dan naiknya harga barang yang berlangsung secara sistematis (fahmi, 2015). Inflasi memiliki
pengaruh besar kepada para investor dalam berinvestasi. Para investor menginginkan adanya inflasi
actual atau inflasi yang diharapkan. Dalam artian jika inflasi jauh lebih tinggi dari perolehan investasi
maka investasi tersebut akan dibatalkan, dan begitu pula sebaliknya.

2. Kurs Valuta Asing

Kurs valuta asing atau kurs mata uang asing menunjukkan harga atau nilai mata uang suatu negara
dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain. Kurs valuta asing dapat juga didefinisikan sebagai jumlah
uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan, untuk memperoleh satu unit
mata uang asing Sadono & Sukirno (2002)

3. Jumlah Uang Beredar

Jumlah uang beredar adalah nilai keseluruhan uang yang berada di tangan masyarakat (Rahardja &
Manurung, 2008). Sejak peradaban manusia mengenal uang sebagai alat bantu pembayaran.
Perkembangaan cara masyarakat untuk melakukan pembayaran dalam transaksi ekonomi akan
mempengaruhi makna uang di masa-masa yang akan datang.

3.1 CAPM Versus APT


Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah model untuk menentukan harga saham individu atau sebuah
portofolio. CAPM pertama kali dikemukakan oleh Sharpe, Lintner, dan Mossin (1964). CAPM dibentuk
berdasarkan hubungan timbal balik yang diharapkan (return) dari suatu aset dengan risiko yang
terkandung di dalamnya. CAPM merupakan pengembangan manajemen portofolio modern.

APT dikembangkan oleh Ross yang berlandaskan hukum satu harga (The Law of One Price) yang
menyatakan bahwa aktiva yang sejenis atau tidak sejenis tetapi berkarakteristik sama mempunyai harga
yang sama. Apabila hukum ini tidak terpenuhi, akan terjadi kondisi arbitrase di mana investor akan
mengambil posisi long atau membeli aktiva yang berharga lebih murah, dan kemudian pada saat yang
hampir sama, segera menjual atau short aktiva yang sama di pasar lainnya. Kondisi arbitrase
menimbulkan zero investment portofolio di mana investor seolah-olah tidak menggunakan dananya
untuk berinvestasi karena posisi long dan short pada waktu yang hampir bersamaan tetapi dapat
menjanjikan laba yang pasti tanpa risiko dari selisih harga aktiva Bodie, Kane, dan Markus.

3. Pembahasan

3.1 Return Saham Perusahaan

Jika return saham (Ri) yang dihitung merupakan return saham aktual yang didapat dari harga saham
penutup dikurangi dengan harga saham pembuka. Rata-rata return saham pembuka dibagi dengan
saham perusahaan yang semakin tinggi maka perusahaan tersebut memiliki nilai yang positif. Artinya,
kalangan investor merespon positif terhadap saham-saham dipasar modal.

Sedangkan return market (Rm) didapatkan dari perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
penutup dikurangi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pembuka dibagi Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) pembuka. Semakin tinggi return market berarti sejauh ini investor masih merespon
positif terhadap dunia pasar modal di Indonesia.

3.2 Risiko Sistematis Saham

Risiko dari suatu saham terhadap risiko pasar dapat diukur dengan risiko sistematis. Risiko sistematis
suatu saham adalah kuantitatif yang mengukur sensitifitas keuntungan dari suatu sekuritas dalam
merespon pergerakan keuntungan pasar. Risiko sistematis bisa didapat dari menghitung beta (β)
masing-masing perusahaan yang digunakan sebagai sampel dengan menggunakan rumus market model
yang meregresikan antara return saham yang sesungguhnya (actual return) dan return pasar (market
return). Semakin tinggi nilai beta saham pada suatu perusahaan, maka berarti return saham perusahaan
tersebut paling sensitif terhadap return market jika dibandingkan dengan return saham lain yang juga
dijadikan sampel dalam penelitian. Sebaiknya, semakin rendah nilai beta pada saham suatu perusahaan
maka menggambarkan return market dan return saham tidak searah (jika return market turun maka
return saham naik).

3.3 Analisis Variabel Makroekonomi

Variabel makroekonomi digunakan untuk model APT yang meliputi 4 (empat) variabel yaitu sebagai
berikut:
1. Perubahan tingkat inflasi

Perubahan tingkat inflasi yang digunakan dalam model APT adalah perubahan tingkat inflasi yang tidak
diharapkan yang didapat dari selisih antara perubahan tingkat inflasi aktual dan tingkat inflasi yang
diharapkan. Perubahan tingkat inflasi yang diharapkan didapat melalui model ARIMA dengan
menggunakan software minitab 14.

2. Perubahan tingkat bunga

Data perubahan tingkat bunga yang dapat digunakan salah satunya adalah SBI (Sertifikat Bank
Indonesia). Perubahan tingkat bunga yang digunakan untuk model APT adalah perubahan tingkat bunga
yang tidak diharapkan yaitu didapatkan dari selisih antara tingkat bunga aktual dan perubahan tingkat
bunga yang diharapkan. Perubahan tingkat bunga yang diharapkan didapat melalui model ARIMA
dengan menggunakan software minitab 14. Perubahan tingkat bunga aktual lebih besar dari tingkat
bunga yang diharapkan terjadi karena pemerintah menerapkan kebijakan menaikan tingkat bunga guna
melambatkan jatuhnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika.

3. Perubahan jumlah uang beredar

Perubahan jumlah uang beredar yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan uang kartal dan
uang giral. Perubahan jumlah uang yang digunakan dalam APT dalah perubahan jumlah uang beredar
yang tidak diharapkan yang didapat melalui selisih perubahan jumlah uang beredar aktual dan jumlah
uang beredar yang diharapkan. Perubahan jumlah uang beredar yang diharapkan didapatkan dari model
ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) dengan menggunakan software minitab 14.

4. Perubahan kurs

Perubahan tingkat inflasi yang diharapkan, perubahan tingkat bunga yang diharapkan, perubahan uang
yang diharapkan dan perubahan kurs yang diharapkan diperoleh menggunakan metode ARIMA atau
yang dikenal dengan metode Boxs and Jenkins dengan menggunakan software minitab 14. Untuk
memprediksi perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat bunga, perubahan uang dan perubahan kurs
yang diharapkan maka akan digunakan perubahan aktual yang terjadi. Jika tingkat signifikansi p-value
pada tipe model kurang dari 0.05 berarti semua variabel dianggap dignifikan sehingga data
peramalannya layak untuk digunakan.

3.4 Risk Free

Risk free (Rf) atau aset bebas risiko adalah tingkat pengembalian aset bebas risiko atas saham yang
diukur dengan menggunakan suku bunga yang berlaku pada waktu tertentu. Risk free yang digunakan
dalam penelitian ini dihitung dari bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bulanan yang dibagi 12 bulan
selama periode penelitian.

Lim, B (2005) melakukan studi empiris yang didasarkan pada pengujian CAPM yang diajukan oleh
Lintner (1965) dan Fama (1973). Dalam pengujian tersebut Lim menguji hubungan risiko dan tingkat
pengembalian dengan metode Lintner. Dengan menggunakan risiko portofolio, peneliti melakukan
pengujian hubungan terhadap risiko tingkat pengembalian per bulan untuk mengamati relevansi risiko
dan efisiensi pasar. Secara keseluruhan, temuan empiris yang diperoleh menunjukkan bahwa beta
adalah relevan sebagai risiko sistematis dan kompensasi atas risiko tersebut adalah positif. Temuan yang
didapat dengan menggunakan metode Lintner menunjukkan bahwa:

1. Beta adalah relevan dan terdapat price of risk positif

2. Risiko residual tidak relevan, dan

3. Tingkat pengembalian portofolio zerobeta selama periode pengujian adalah negatif

Berikutnya pada penelitian Riantoso (2000) telah menguji model CAPM dan portofolio saham untuk
mempelajari risiko dan keuntungan saham pasar modal sebagai alternatif pengelolaan investasi yang
semakin menguntungkan dan membawa kita untuk menganalisa bagaimana investasi daham dilakukan
dalam mengamati return saham. Pendekatan dengan menggunakan model CAPM dan portofolio
diharapkan dapat memberikan informasi dalam pengambilan keputusan dan strategi investasi yang baik.
Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada 12 saham yang termasuk dalam BI-40 dengan
pengambilan data kegiatan usaha, finansial dan data harga saham yang lalau. Data harga saham yang
telah diolah digunakan untuk mengulas dan menganalisis saham. Data yang telah diolah dengan model
CAPM tentang pola pergerakan saham, dihubungkan dengan pasar modal dan kemudian melalui
portofolio dicoba menggabungkan beberapa saham untuk memperkecil risiko. Hasil dari penelitian
disimpulkan bahwa investasi pada saham tidak dianjurkan untuk investasi jangka panjang dan
disarankan untuk dijadikan investasi jangka pendek seperti transaksi harian atau mingguan.

Suryani, I (2003) melakukan pengujian empiris konsistensi CAPM di Pasar Modal Indonesia pada tahun
1999-2001 untuk menguji korelasi antara E(Ri) dan Ri. Hasil dari pengujian tersebut menyimpulkan
bahwa CAPM konsisten pada Pasar Modal Indonesia dan menyarankan agar investor, emiten BAPEPAM
(Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) dan peneliti selanjutnya untuk menggunakan
CAPM sebagai landasan teori.

Selain model CAPM, model APT menggambarkan beragam tingkat sensitivitas terhadap berbagai
variabel sistematis. Model APT pertama kali dikembangkan oleh Ross yang berupakan bentuk
pengembangan dari model CAPM. Beberapa penelitian empiris dengan menggunakan model APT telah
dilakukan diantaranya oleh Ross (1986) yang menggunakan empat faktor yang memengaruhi return
sekuritas yaitu tingkat inflasi, premi risk-default,dan suku bunga. Selain itu Berry, Burmeister & McElroy
(1988) yang menggunakan risk-default, tingkat bunga, inflasi, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan
risiko residual.

Lemiyana (2015), dalam penelitiannya berjudul ‘Analisis Model CAPM Dan APT Dalam Memprediksi
Tingkat Return Saham Syariah (Studi Kasus Saham Di Jakarta Islamic Index )’ yang menyatakan dalam
penelitiannya adalah CAPM lebih akurat dari pada APT dalam memprediksi return saham syariah. Sesuai
dengan teori Bodie et al. (2011) dalam (Lemiyana, 2015) capital asset pricing model sudah luas
digunakan karena capital asset pricing model mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi pada aplikasi
penting.
Eko (2000) mencoba untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh suku bunga clan inflasi dalam
memengaruhi imbal hasil saham sektoral clan untuk melihat sektor-sektor yang menarik untuk dijadikan
tempat berinvestasi saham apabila terjadi perubahan-perubahan suku bunga clan inflasi. Data yang
digunakan adalah data suku bunga SBI dan inflasi dan inflasi sebagai variabel bebas dan imbal hasil
saham-saham sektoral sebagai variabel terikat. Analisis dilakukan untuk dua waktu periode waktu yaitu
sebelum terjadinya krisis dan saat terjadinya krisis.

Pengujian Keakuratan CAPM Dan APT

Pengujian keakuratan kedua model menggunakan nilai mean absolute deviation yang dapat dilihat pada
tabel dibawah ini. MAD CAPM memiliki nilai rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata
MAD APT yang menunjukkan model CAPM lebih akurat dalam memprediksi return saham perusahaanO.
Akan tetapi selisih nilai MAD kedua model menandakan bahwa keakuratan kedua model memiliki
perbedaan yang sedikit, hal ini dikarenakan expected risk premium masing-masing portofolio tersebut
proporsional dengan market beta prtofolio, sesuai dengan teori yang ada apabila expected risk premium
masing-masing portofolio tersebut proporsional dengan market beta prtofolio, maka APT dan CAPM
akan memberikan hasil yang sama, kalau tidak maka hasilnyapun berbeda pula (Husnan, 2005).

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian terdahalu yaitu yang dilakukan oleh (Premananto & Madyan,
2004), (Maftuhah, 2014), (Aqli, 2015), (Prasetyo & Adib, 2016), dimana hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa Model CAPM lebih akurat dibandingkan Model APT dalam memprediksi return saham yang
diukur dengan menghitung nilai MAD.

Model CAPM dan Model APT dalam Memprediksi Expected Return

Hipotesis pertama dari penelitian ini menyatakan bahwa model CAPM lebih akurat dibandingkan dengan
model APT dalam memprediksi expected return pada bank umum swasta nasional devisa. Hal ini
dikarenakan pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak yang menyatakan bahwa model CAPM
lebih akurat dibandingkan dengan model APT. Namun, setelah dilakukannya penelitian ini, hipotesis
tidak dapat terbukti, karena standar deviasi yang mencerminkan sebaran data dalam himpunan
menunjukan bahwa standar deviasi ERi model APT lebih kecil daripada standar deviasi ERi model CAPM.
Sebuah standar deviasi dari kumpulan data sama dengan nol menunjukkan bahwa semua nilai-nilai
dalam himpunan tersebut adalah sama. Sebuah nilai yang lebih besar akan menunjukkan bahwa titik
data individu jauh dari nilai rata-rata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran data dalam
ERi APT mendekati sama sehingga dapat dikatakan bahwa model APT lebih akurat dibandingkan model
CAPM dalam memprediksi expected return pada bank umum swasta nasional devisa. Berdasarkan teori
Hipotesis Pasar Efisien, dapat kita ketahui pula bahwa dalam pasar modal di Indonesia untuk
memprediksi ERi akan lebih akurat apabila menggunakan model APT. Dikarenakan pasar modal
Indonesia belum mampu memenuhi kondisi yang ideal untuk mencapai pasar efisien yakni memiliki
banyak investor rasional dan aktif berpartisipasi di pasar, informasi dapat diperoleh dengan mudah dan
murah, investor bereaksi dengan cepat dan sepenuhnya terhadap informasi baru yang masuk di pasar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pasar modal Indonesia masih tergolong dalam pasar semi efisien, dan
segala informasi yang dapat mempengaruhi harga belum tercermin sepenuhnya di harga pasar. Oleh
sebab itu, model APT lebih akurat dalam memprediksi expected return pada pasar modal Indonesia
khususnya pada bank umum swasta nasional devisa.

Hasil penelitian ini konsisten dengan teori yang dikembangkan oleh Stephen A. Ross (1976) yang
menjelaskan bahwa APT dapat mengakomodasi sumber-sumber resiko sistematis. Asumsi utama dari
APT adalah setiap investor, yang memiliki peluang untuk meningkatkan return portofolionya tanpa
meningkatkan risikonya, akan memanfaatkan peluang tersebut. Pada model APT faktor – faktor makro
ekonomi seperti inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang turut diperhitungkan dalam
memprediksi return saham. Perubahan kurs mata uang akan mempengaruhi iklim investasi karena
perubahan kurs mata uang akan mempengaruhi perdagangan antar negara. Tingkat suku bunga
dijadikan patokan dalam perbandingan imbalan investasi bila diinvestasikan pada sektor lain. Jika tingkat
pengembalian investasi lebih tinggi dari pada tingkat suku bunga maka investasi tersebut layak diterima.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Premananto dan Madyan
(2004) yang membuktikan bahwa variabel-variabel (makro) pembentuk model APT (tingkat bunga yang
tidak diharapkan, tingkat inflasi yang tidak diharapkan dan perubahan kurs yang tidak diharapkan) dalam
penelitian ini kecil sekali kontribusi terhadap variasi pendapatan saham industri manufaktur, dengan
kata lain variabel-variabel ini kurang sesuai dimasukkan sebagai variabel pembentuk model APT untuk
memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Kesimpulan dalam penelitian
tersebut juga menyatakan bahwa variabel-variabel makro tersebut kurang cocok sebagai pembentuk
model APT. Berbeda dengan model CAPM yang menggunakan pendapatan pasar saham (Return market
portofolio) sebagai variabel pembentuk model. Pendapatan pasar saham dalam penelitian ini mampu
menjelaskan variasi dari pendapatan saham industri manufaktur lebih baik dibandingkan dengan
variabel-variabel pembentuk model APT yang digunakan dalam penelitian ini.

Kesimpulan

CAPM dianggap lebih akurat dibandingkan dengan APT disebabkan oleh:

1. Ketidaksesuaian atau ketidakcocokan variabel-variabel pembentuk model APT itu sendiri, tidak
semua investor menggunakan model ARIMA dalam memprediksi variabel-variabel makro ekonomi dan
ketidakmampuan model APT menjelaskan variasi pendapatan saham yang disebabkan oleh faktor non-
ekonomi dan company action.

2. Ketidakmampuan model ARIMA untuk memprediksi perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat
bunga, perubahan tingkat bunga, perubahan jumlah uang yang beredar, dan perubahan kurs karena
model ARIMA tersebut terbentuk pada saat itu perubahan tingkat bunga, perubahan jumlah uang yang
beredar dan perubahan kurs pergerakan sangat berfluktuasi, sehingga hasil prediksinya pun memiliki
pola-pola ketidakstabilan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai