F031191024
Sedari awal sudah kita ketahui jika Pemilu 2019 adalah Pemilu pertama
kalinya yang dilaksanakan secara serentak yang menggabungkan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden serta pemilihan Legislatif. Pemilu serentak ini juga didasari
dengan hasil keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan
akademisi Effendi Ghazali. Namun, Pemilu serentak memang memiliki kelemahan
dari awal dalam penyusunan kebijakan pelaksaan Pemilu 2019. Keputusan yang
diambil oleh MK ini seharusnya diikuti oleh proses bagaimana penyusunan kebijakan
berbasis bukti dengan data yang kuat, berdasarkan simulasi terhadap
penyelenggaraan. Dengan begitu, beban dari penyelenggaraan pemilu ini dapat
diidentifikasi sedari awal lalu langkah-langkah untuk mitigasi resiko bisa dipikirkan
sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Tetapi hasil riset evaluasi KPU yang
disampaikan oleh Komioner KPU hanya wacana belaka. Padahal sebaiknya hasil riset
ini bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan
Oleh karena itu, berdasarkan kajian diatas, evaluasi berbasis riset terhadap
pelaksanaan Pemilu serentak wajib untuk dilakukan. Hasil riset evaluasi tersebut
harus menjadi rujukan untuk perbaikan kebijakan penyelenggaraan Pemilu ke
depannya.
Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ternyata tak murah dan efisien. Pemilu
serentak nyaris tidak memberikan insentif yang memadai bagi partai utama/partai
pengusung calon presiden/wakil presiden. Alih-alih menghemat anggaran nyatanya
ongkos pemilu serempak ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan ongkos pemilu
sebelum-sebelumnya. Hal ini terbukti dari pengalokasian anggaran sebesar Rp 24,8
triliun untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2019. Alokasi anggaran ini naik 3
persen atau bertambah Rp 700 miliar dibanding biaya Pemilu dan Pilpres 2014 lalu
yang mencapai Rp 24,1 triliun. Juga sebelumnya pada tahun 2018, pemerintah telah
mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp 16 triliun (tirto.id, 16/8/2018). Selain
membengkaknya ongkos pemilu, pelaksanaan pemilu serempak ini juga memakan
waktu panjang dan melelahkan. Buntut panjang dari hal ini adalah banyaknya korban
jiwa yang berjatuhan akibat kelelahan mengurus pagelaran akbar ini. KPU merilis
total petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit dan
meninggal dunia saat menjalankan tugas di Pemilu serentak 2019. Petugas KPPS
yang sakit berjumlah 883 orang dan yang meninggal dunia berjumlah 144 orang
(detik.com, 25/4).
Hal itu mungkin saja bisa terjadi jika efek ekor jas (coattail effect) bekerja dan
kecerdasan politik pemilih menjadi dasar bagi konstituen dalam memilih calon, baik
calon presiden maupun calon anggota perwakilan (DPR dan DPD). Asumsi itu
ternyata tak terbukti. Hasil Pemilu 2019 hampir sama, tak berbeda dengan pemilu-
pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota
perwakilan (DPR dan DPD). Hasil Pemilu 2019 hampir sama, tak berbeda dengan
pemilu-pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden dan pemilihan
anggota perwakilan (DPR dan DPD).
Beberapa bukti lain juga menunjukkan, efek paling nyata dari pemilu serentak
hanya meningkatkan partisipasi pemilih. Efek ini telah disebut pada sejumlah literatur
yang membahas pemilu serentak sejak era 1980-an sejak Boyd (1989) merumuskan
hipotesis daya tarik suara bahwa pemilihan serentak meningkatkan jumlah pemilih.
Lijphart (1997) juga menilai hal yang sama, bahwa pemilu serentak (dalam waktu
bersamaan) dianggap dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih. Salah satu
alasan mengapa hasil pemilu serentak sama dengan pemilu terpisah karena desain
sistem pemilu yang digunakan tak mengalami perubahan fundamental, khususnya
dari sisi besaran daerah pemilihan (district magnitude), rumus konversi suara menjadi
kursi, karena penerapan Saintee League (murni) pada dasarnya prinsip kerjanya sama
dengan bilangan pembagi pemilih (BPP), dan penerapan ambang batas parlemen yang
masih kurang relevan.
Menitikberatkan asumsi bahwa keserentakan akan mendorong perubahan peta
kekuatan politik dan partai yang sederhana sebenarnya tidak memiliki sandaran
teoretis dan tidak didukung oleh praktik yang ada. Dari praktik pemilu serentak 2019,
ternyata model pemilu serentak hanya menjamin insentif tingkat partisipasi pemilih.
Dari sisi penyelenggaraannya begitu, rumit, dan kompleks. Beban penyelenggara
pemilu pada tingkat KPPS juga sangat berat, bahkan ratusan orang akhirnya
meninggal.
Dari pengalaman Pemilu 2019, model pemilu borongan lima kotak telah
menimbulkan beragam persoalan sehingga mempertahankan format serentaknya akan
menimbulkan perdebatan dan lebih berhati-hati dalam penyelenggaraan. Dengan
demikian, untuk mengatasi hal tersebut, masih ada dua model keserentakan yang
mungkin bisa dipilih dan diterapkan. Pertama, pemilu serentak nasional dan lokal
yang terpisah. Pemilu jenis ini adalah pemilu serentak nasional yang memilih
presiden dan anggota perwakilan di tingkat pusat (DPR dan DPD).Kedua, pemilu
eksekutif-legislatif yang terpisah, di mana pemilu eksekutif adalah memilih presiden-
kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) secara bersamaan; sedangkan legislatif
adalah memilih anggota perwakilan—DPR-DPD dan DPRD.
Kedua model keserentakan pemilu di atas memiliki kelemahan karena tak bisa
memberikan jaminan ada atau tidaknya, kecerdasan pemilih, dan penyederhanaan
partai politik karena masalah yang diselesaikan adalah masalah penyelenggaraan
pemilu supaya tidak rumit dan kompleks. Selain itu, dengan kedua model
keserentakan tersebut, beban kerja penyelenggara pemilu juga tidak terlalu berat.
Persoalan efektif atau tidaknya dalam mendorong multipartai yang sederhana,
tergantung pada perubahan sistem pemilu dan aturan-aturan teknis yang perlu
dimodifikasi.