Anda di halaman 1dari 19

Makalah Syair “Keaiban dalam Diri Kita”

Oleh Imam Syafi’i

DOSEN PENGAMPU :

Dr. H. Syamsul Bahri bin Abdul Hamid, Lc., M.A. .

DISUSUN OLEH :

Dwi Amalia Kartika L. F031191009

Salsabilla Rachadianti I. F031191024

Nur Aisy Zahrani F031191040

Nurul Muhlisha F031191048

Suci Awaliyah F031191060

Program Studi Sastra Arab

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syair adalah salah satu jenis puisi klasik yang memperoleh pengaruh
kebudayaan Arab. Syair termasuk salah satu puisi lama yang berasal dari
Persia dan dibawa ke dalam sastra Indonesia bersama dengan masuknya
ajaran Islam ke Indonesia. Kata Syair berasal dari bahasa Arab yakni Syu’ur
atau Syi'ir yang berarti "perasaan". Kata Syu'ur atau Syi'ir berkembang
menjadi kata Syi'ru yang berarti puisi. Dilihat dari asal katanya, syair dapat
diartikan sebagai ekspresi perasaan atau pikiran dari pembuatnya. Setiap
penyair memiliki cara yang berbeda dalam menuangkan perasaannya melalui
puisi. Oleh karena itu terdapat beberapa pengarang yang mengemukakan
perasaanya dengan makna sebenarnya atau makna yang tersirat. Begitu pula
dengan puisi yang kelompok kami pilih ini memiliki tanda dan makna yang
tersirat didalamnya.

Pada makalah ini kami membahas syair yang berjudul “Keaiban dalam
Diri Kita” yang ditulis oleh Imam Syafii. Kelompok kami tertarik dengan
syair ini karena didalamnya mengangkat masalah perilaku manusia yang
selalu beralasan dengan segala kesalahannya, dan pemaknaan zaman yang
selalu disalahkan, manusia memang selalu saja menyalahkan zaman ketika
kesusahan. Dan hal tersebut Contohnya saja terdapat seseorang yang
kesulitan dalam mencari rezeki dan mereka akan berkata “sekarang zamannya
sudah berubah”, padahal kesusahan yang dia alami itu berasal dari dirinya
sendiri. Seseorang tersebut yang tidak ingin lebih berusaha.

Seperti yang kita lihat sekarang di lingkungan sekitar kita banyak


orang yang sering mengeluh dengan nikmat yang telah diberikan oleh Allah
SWT. Mereka kurang bersyukur dan selalu menyalahkan zaman ketika
mereka ada pada titik kesusahan di dalam hidupnya. Seorang manusia harus
mampu meredam nafsu, karena jika tidak, kita sendiri yang akan terjebak,
terkadang jika nafsu sudah menguasai diri, dan bisa dengan mudah merusak
dirinya, salah satunya dengan cara mengeluhkan masalah hidupnya.

Ketika manusia sudah jauh dari Allah SWT, hati tentu akan hampa
alias merasa kosong. Seringnya mengeluh juga menjadi penyebab diri kita
yang mungkin sudah terlalu jauh dari Sang Penciptanya. Padahal hidup ini
tentu tak lepas dari campur tangan-Nya, untuk itu sudah semestinya kita
sebagai manusia berserah dan memohon petunjuk pada-Nya. Mengeluh
pertanda kita tidak rida akan ketetapan-Nya. Jangan sampai mulut kita bisa
dengan mudah melontarkan keluh kesah, lebih baik kita memohon ampun
pada-Nya, bertasbih serta berzikir pada-Nya.

Dengan adanya kajian makalah ini kelompok kami berharap agar kita
semua selalu mengingat kembali bahwa diri kita adalah makhluk yang paling
sempurna dengan selalu berbuat baik dan banyak bersyukur atas keadaan yang
diterimanya. Kita juga harus selalu berbuat baik selama di dunia dengan cara
mengikuti arus takdir yang dibuat oleh Allh SWT. Pada syair ini Imam Syafi’i
juga mengajak kita untuk melihat keadaan dunia namun bukan hanya
bermakna melihat saja, melainkan melihat dan dapat mengambil hikmah dari
apa yang didapat. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya bisa selalu memuji
dan mengagungkan zat yang telah menciptakan dunia ini.
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah Syair “Keaiban dalam Diri Kita”,


kelompok kami ingin mengidentifikasi beberapa masalah yang ditemukan,
sebagai berikut :

1. Tema kecil yang berarti tema yang diambil dari tiap bait syair, dan
dari tema kecil tersebut kita dapatkan tema besar pada syair.
2. Imajinasi yang berisi khayalan, pikiran refleks, atau gambaran
situasi penelaah pada syair tersebut.
3. Athifah atau perasaan penyair dan perasaan tokoh yang
dicerminkan pada syair tersebut.
4. Pemikiran terhadap syair yang berisikan kesimpulan, nasihat atau
hikmah yang terkandung di dalam syair tersebut.
5. Titik keakuratan memiliki 4 point yaitu penyebutan nama,
penyebutan tempat, penyebutan warna, dan penyebutan pergerakan
atau gerak.

C. Rumusan Masalah
1. Apa tema besar dan tema kecil pada syair tersebut ?
2. Apa imajinasi yang ada pada syair tersebut ?
3. Apa athifah penyair dan tokoh yang dicerminkan pada syair tersebut ?
4. Apa pemikiran yang terkandung di dalam syair tersebut
5. Apa titik keakuratan yang ditemukan pada syair tersebut ?
BAB II

PEMBAHASAN

Naskah Syair :

KEAIBAN DALAM DIRI KITA

(Syair Imam Syafi’i)

‫نَ ِعيْبُ َز َمانَنَا َوال َعيْبُ فِ ْينَا‬,‫َو َما لِزَ َمانَنَا َعيْبٌ ِس َوانَا‬

Kita kerap kali menyalahkan zaman ini, sedang keaiban sebenarnya ada pada diri kita

Tiada sembarang aib pada zaman kita, kecuali pada diri kita sendiri

‫ َوقَ ْد نَ ْهجُو ال َّز َمانَ بِ َغي ِْرجُرْ ٍم‬, ‫ق ال َّز َمانَ بِنَاهَ َجانَا‬
َ َ‫َولَوْ نَط‬

Kita kerap mencerca zaman ini tanpa jinayah dilakukannya

Kalau zaman tahu mengatur kata, tentu ia mencaci kita

َ َّ‫فَ ُد ْنيَانَا الت‬


ُ ‫ َونَحْ نُ بِهَا نُ َخا ِد‬،‫صنُّ ُع َوالتَّ َرائِي‬
‫ع َم ْن يَ َرانَا‬

Dunia kita adalah kelakuan dan melihat-lihat

sebenarnya kita memperdaya Yang Maha melihat kita

ُ ‫ َويَأْ ُك ُل بَ ْع‬،‫ب‬
‫ضنَابَ ْعضًا ِعنَايًا‬ ٍ ‫ْس ال ِّذ ْئبُ يَأْ ُك ُل لَحْ َم ِذ ْئ‬
َ ‫َولَي‬

Dan serigala pun tak pernah memakan daging rekannya

Sedangkan kita kerap kali makan daging rekannya sendiri


1. Tema Kecil dan Tema Besar

Tema kecil : sub tema dari tema utama dalam sebuah puisi, syair atau
cerita yang disebut dengan bait dimana isinya terdapat perasaan atau
pandangan hidup tertentu dari seorang penulis yang dituangkan untuk
membuat sebuah puisi atau syair.

Berikut penjelasan atau uraian mengenai tema kecil pada syair keaiban
dalam diri kita:

a. Bait 1 : Mengeluh

Puisi karya imam syafii ini mengangkat masalah perilaku manusia


yang selalu beralasan dengan segala kesalahannya. Puisi ini lebih condong
membahas pemaknaan zaman yang selalu disalahkan. Manusia memang
selalu saja menyalahkan zaman Ketika kesusahan, misalnya dalam
mencari rezeki. Contoh mereka akan berkata “Sekarang zamannya sudah
berubah”. Padahal, kesusahan itu sebenarnya berasal dari kita sendiri.
Kurangnya rezeki yang kita rasakan sebenarnya menunjukkan bahwa kita
masih saja mengeluh dengan nikmat yang telah diberikan. Rasa syukur
manusialah yang kurang dan Kembali menyalahkan zaman.

Mengeluh, karena terlihat pada bait tersebut jika manusia sedang


berada di titik kesusahan mereka malah selalu saja beralasan dengan
segala kesalahannya dan menyalahkan zaman, padahal kesusahan itu
sebenarnya berasal dari diri mereka sendiri.

b. Bait 2 : Peringatan

Pada bait ke 2 kalau saja zaman tahu mengatur kata, bait ini
menunjukkan bahwa jika zaman bisa berbicara, tentulah dia pasti akan
mengolok-olok kita. Diksi kalau saja menunjukkan makna yang tersirat
bahwa sebenarnya zaman bisa berbicara. Dalam agama islam pun
dijelaskan bahwa bumi beserta isinya dapat berbicara. Itu menandakan
bahwa keadaan bahwa keadaan sekitar kita sebenarnya mengolok-olok
manusia atas tingkah bodoh yg dilakukan manusia. Bait tersebut
menyatakan bahwa manusia perlu hati-hati dalam berbicara. Jangan
sampai mengolok-olok zaman karena zaman sebetulnya tahu apa yg kita
lakukan dan bisa saja mereka membalasnya dengan memunculkan
bencana.

c. Bait 3 : Nasihat

Dalam bait ke 3 memberi nasihat agar kita selalu berbuat baik


selama di dunia dengan cara mengikuti arus takdir yang dibuat Allah.
Penyair menyuruh kita untuk melihat keadaan dunia namun bukan
bermakna melihat saja, melainkan melihat dan dapat mengambil hikmah
dari apa yang kita dapat. Dengan begitu kita bisa menganggungkan dan
memuji kepada zat yang telah menciptakan dunia. Sebenarnya kita
memperdaya Yang Maha Melihat Kita, menunjukkan jika kita telah
mengingkari nikmat atas pemberiannya.

d. Bait 4 : Perbandingan

Bait terakhir menunjukkan jika kita sebagai manusia itu lebih


rendah daripada serigala, karena serigala pada dasarnya hidup
berkelompok dan saling melindungi anggota satu sama lain. Ketika seriga
berburu dan mendapatkan makanan, mereka membagi makanan tersebut
dengan sesamanya dan yang paling penting mereka tak pernah sekalipun
memakan daging sesamanya,
Memakan itu bermakna merugikan sesamanya, jadi bisa jelaskan
jika manusia berbeda dengan serigala, krn manusia tdk peduli dengan apa
yang diterima orang lain, asalkan keinginnya terwujud, meskipun
mengorbankan banyak nyawa, bait ini seolah menyindir kita sbg manusia
derajatnya lebih rendah daripada hewan. Padahal manusia adalah makhluk
yang dicipatakan paling sempurna.

Tema besar : Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide


pikiran tentang suatu hal, salah satunya dalam membuat suatu tulisan.
Pada setiap tulisan pastilah mempunyai sebuah tema, karena dalam sebuah
penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat. Dalam
menulis cerpen, novel, puisi, karya tulis dan berbagai macam jenis tulisan
haruslah memiliki sebuah tema. Jadi jika diandaikan seperti sebuah rumah,
tema adalah pondasinya. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh
para pembaca sebuah tulisan. Jika temanya menarik, maka akan
memberikan nilai lebih pada tulisan tersebut.

Pada karya sastra tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat
abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan
biasanya dilakukan secara implisit. Tema bisa berupa persoalan moral,
etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan
masalah kehidupan. Tema juga bisa berupa pandangan pengarang, ide,
atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Jadi tema dalam syair yaitu pagasan pokok yang dikemukakan


oleh penyair melalui syairnya. Tema syair sangat mudah ditemukan
karena tersurat dalam syair. Tema besar yang kami ambil dari syair ini
adalah Keaiban dalam Diri Kita, karena didalamnya mengandung
pemaknaan zaman yang selalu disalahkan, manusia memang selalu saja
menyalahkan zaman ketika kesusahan. Padahal kesalahan atau aib
sebenarnya ada pada diri kita sendiri.

2. Imajinasi

Bait – 1 :Perempuan itu mengeluh panas karena berjalan dibawah terik


matahari. Alasan imajinasi pada bait pertama adalah manusia selalu mengeluh
atas apa yang terjadi pada dirinya yang dimana kesusahan itu datang diri
sendiri dan manusia juga tidak pernah merasa cukup atau bersyukur atas apa
yang diberikan padanya. Melawan takdir yang telah ditentukan itu adalah
perbuatan yang sia-sia dan ketidaksia-sian itu ada ketika kita berusa untuk
selalu berbuat yang terbaik.

Bait – 2 : Pabrik kertas yang melakukan penebangan liar. Alasan imajinasi


tersebut adalah kenyataan bahwa kondisi zaman sekarang lambat laun akan
mendatang bencana alam akibat ulah manusia yanh membuat kerusakan
dimana-mana. Manusia juga tidak menyadari perbuatannya yang egois karena
membuat memanfaatkan alam semesta tanpa merawatnya.

Bait – 3 : Siswa perempuan itu menerima kegagalannya yang tidak lulus di


Universitas Hasanuddin dengan lapang dada. Kata lapang dada didalam
imajinasi berarti manusia mengikuti arus takdir yang dibuat Allah SWT.
Tentunya ada usaha yang diberikan dalam setiap kesempatan tetapi hasil dari
usaha tersebut kita serahkam kepada Allah SWT dan manusia juga dapat
mengambil hikmah dari apa yang sudah ditakdirkannya.

Bait – 4 : Siswa A berbohong terkait  tugas pada siswa B karena siswa A


merasa tersaingi dengan siswa B. alasan imajinasi tersebut adalah manusia
menunjukkan sifat aslinya yang tidak lebih baik daripada serigala, dimana
manusia ini percaya diri atas apa yang telah didapatkannya dan sifat manusia
yang terkadang serakah atas dirinya sendiri. Pada bait ini juga manusia selalu
merugikan sesamanya, tidak peduli terhadap orang lain asal keinginannya
sendiri terwujud. Bait ini seolah menyindir manusia yang bertingkah laku
seperti hewan yang tidak memiliki akal padahal manusia adalah makhluk
yang diciptakan dengan sangat sempurna.

3. Athifah

Atifah merupakan salah satu unsur dalam karya sastra arab. Adapun
yang dimaksud dengan atifah yaitu perasaan yang tumbuh dalam diri manusia,
seperti gembira, sedih, cinta, benci, sakit dan marah. Athifah juga merupakan
definisi dari sya’ir, karena syi’ir itu sendiri lebih dominan dengan athifah.

Berikut penjelasan atau uraian mengenai athifah pada syair keaiban


dalam diri kita:

a. Bait 1 : Resah
Pada bait pertama ini perasaan penyair adalah resah akan perilaku
manusia yang jika terjadi sesuatu pada dirinya maka dia melemparkan
kesalahan nya itu ke pada orang maupun zaman ,dan tidak bercermin pada
diri sendiri.

b. Bait 2 : Sedih

Karena perasaan penyair sedih dengan melihat kelakuan manusia


zaman sekarang lebih mudah menuntut hak memilih keadaan yang mereka
kehendaki padahal merekalah yang mesti beradaptasi dengan
perkembangan zaman yang terus berubah.

c. Bair 3 : Empati
Kerena, perasaan penyair pada saat menulis puisi ini memiliki
perasaan empai atas situasi yang menimpa sesorang yang di ceritakannya
dalam puisi tersebut sehingga penyair membarikan sebuah pesan yang
sangat bermakna yaitu berupa nasihat.
d. Bait 4 : Kecewa

Karena, pada bait 4 menceritakan tentang penghianatan seseorang


karena keserakhannya.

4. Pemikiran
Bait – 1 : Perilaku manusia yang selalu beralasan dengan segala kesalahannya.
Jelas saja kami memilih pemikiran tersebut karena pada bait tersebut manusia
yang selalu menyalah zaman ketika kesusahah, misalnya dalam mencari
rezeki. Mereka akan berkata “Sekarang zamannya sudah berubah”, padahal
kesusahan itu sebenarnya berasal dari diri kita sendiri. Kurangnya rezeki yang
kita rasakan sebenarnya menunjukkan bahwa kita masih selalu mengeluh atas
nikmat yang telah Allah berikan, rasa syukur manusia yang kurang dan
kembali menyalahkan zaman.

Bait – 2 : Manusia perlu berhati-hati karena semesta bekerja sesuai perilaku


kita, pada bait kedua ini mengapa kami memilih pemikiran tersebut karena
bait ini menunjukkan jika zaman dapat berbicara terntulah dia pasti akan
mengolok-olok kita. Dalam bait ini juga terdapat penekanan makna sehingga
menimbulkan suatu mitos dan diksi “kalau saja” pada bait kedua ini
menunjukkan makna tersirat yang memang sebenarnya zaman bisa berbicara,
keadaan sekitar sebenarnya mengolok-olok manusia atas tingkah bodoh yang
telah dilakukan manusia, makadari itu manusia harus berhati-hati dalam
berbicara, bisa saja mereka membalasnya dengan memunculkan bencana.

Bait – 3 : Berbuat baiklah selama didunia dengan cara mengikuti arus takdir
yang dibuat Allah SWT, pada bait ketiga ini Imam Syafi’i seolah memberi
nasihat agar kita selalu berbuat baik selama di dunia dengan cara mengikuti
arus takdir Allah SWT. Diksi dalam bait ini yang berbunyi “ Sebenarnya kita
memperdaya Yang Maha Melihat Kita” juga menunjukkan bahwa kita telah
mengingkari nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada hamba-Nya.

Bait – 4 : Bait ini seolah menyindir kita sebagai manusia derajatnya lebih
rendah daripada hewan yaitu serigala. Karena pada dasarnya serigala hidup
berkelompok dan saling melindungi anggotanya satu sama lain, ketika
serigala berburu dan mendapatkan makanan, mereka akan membagi
makanannya dengan serigala lain dan mereka tak pernah memakan daging
sesamanya. Namun manusia yang derajatnya lebih tinggi dari hewan malah
merugikan sesamanya, manusia seolah tidak peduli dengan apa yang telah dia
perbuat asalakan keinginannya terwujud walaupun harus merugikan manusia
lainnya.

5. Titik keakuratan
Bait - 1 : Menyalahkan masuk dalam titik keakuratan gerak, karena didalam
imajinasi kami disitu seolah olah tokoh yang ada di dalam syair selalu
mengeluh dan menyalahkan zaman, mengeluh merupakan menyatakan suatu
kesusahan atau kekecewan yang berarti disana mulut yang bergerak untuk
berbicara.

Bait - 2 : Mencerca, dilakukannya, jinayah mengatur dan mencaci masuk


dalam titik keakurata gerak, karena jelas mencerca, dilakukannya mengatur
dan mencaci masuk dalam kata kerja. Jinayah sendiri memiliki arti perbuatan
dosa atau perbuatan salah yang dilarang oleh agama.

Bait - 3 : Dunia masuk dalam titik keakuratan penyebutan tempat, karena


dunia adalah tempat semua makhluk hidup berada atau planet tempat kita
hidup, lalu kelakuan, melihat - lihat, memperdaya masuk dalam titik
keakuratan gerak karena yang masuk dalam katergori kata kerja. Memperdaya
disini memiliki arti melakukan tipu muslihat atau menipu.

Bait - 4 : Serigala, daging dan rekan masuk dalam titik keakuratan


nama,
karena penyebutan benda sedangkan memakan dan makan masuk dalam titik
keakuratan gerak karena masuk dalam kategori kata kerja.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Syair adalah salah satu jenis puisi klasik yang memperoleh pengaruh
kebudayaan Arab. Syair termasuk salah satu puisi lama yang berasal dari
Persia dan dibawa ke dalam sastra Indonesia bersama dengan masuknya
ajaran Islam ke Indonesia. Dilihat dari asal katanya, syair dapat diartikan
sebagai ekspresi perasaan atau pikiran dari pembuatnya. Setiap penyair
memiliki cara yang berbeda dalam menuangkan perasaannya melalui puisi.
Pada makalah ini kami membahas syair yang berjudul “Keaiban dalam
Diri Kita” yang ditulis oleh Imam Syafii. Kelompok kami tertarik dengan
syair ini karena didalamnya mengangkat masalah perilaku manusia yang
selalu beralasan dengan segala kesalahannya, dan pemaknaan zaman yang
selalu disalahkan, manusia memang selalu saja menyalahkan zaman ketika
kesusahan. Dari hasil diskusi kami menentukan tema kecil, tema besar,
athifah, imajinasi, pemikiran dan titik keakuratan pada syair “Keaiban dalam
Diri Kita” sebagai berikut :

Tema kecil dan tema besar :

1. Mengeluh

2. Peringatan

3. Nasihat

4. Perbandingan
Tema besar : Keaiban dalam diri kita

Imajinasi :

1. Perempuan itu mengeluh panas karena berjalan dibawah terik matahari.

2. Pabrik kertas yang melakukan penebangan liar.

3. Siswa perempuan itu menerima kegagalannya yang tidak lulus di


Universitas Hasanuddin dengan lapang dada.

4. Siswa A berbohong terkait  tugas pada siswa B karena siswa A merasa


tersaingi dengan siswa B.

Athifah :

1. Penyair : resah, tokoh yang dicerminkan pada syair : kesal

2. Penyair : sedih, tokoh yang dicerminkan pada syair : antipati

3. Penyair : empati, tokoh yang dicerminkan pada syair : tabah

4. Penyair : kecewa, tokoh yang dicerminkan pada syair : dengki

Pemikiran :

1. Perilaku manusia yang selalu beralasan dengan segala kesalahannya.

2. Manusia perlu berhati-hati karena semesta bekerja sesuai perilaku kita

3. Berbuat baiklah selama didunia dengan cara mengikuti arus takdir yang
dibuat Allah SWT.

4. Bait ini seolah menyindir kita sebagai manusia derajatnya lebih rendah
daripada hewan yaitu serigala.

Titik keakuratan :

Bait pertama : Menyalahkan (gerak)


Bait kedua : Mencerca, dilakukannya, jinayah mengatur dan mencaci
(gerak)

Bait ketiga : Dunia (penyebutan tempat), kelakuan, melihat lihat,


memperdaya (gerak)

Bait keempat : Serigala (nama), daging (nama), memakan, makan ( gerak),


rekan (nama)

Dari syair ini kita bisa menyimpulkan bahwa manusia seharusnya


selalu mengingat bahwa dirinya adalah makhluk yang paling sempurna
diciptakan oleh Allah SWT dengan selalu berbuat baik dan banyak bersyukur
atas keadaan yang diterimanya. Kita juga harus selalu berbuat baik selama di
dunia dengan cara mengikuti arus takdir yang dibuat oleh Allh SWT. Pada
syair ini Imam Syafi’i juga mengajak kita untuk melihat keadaan dunia namun
bukan hanya bermakna melihat saja, melainkan melihat dan dapat mengambil
hikmah dari apa yang didapat. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya bisa
selalu memuji dan mengagungkan zat yang telah menciptakan dunia ini.

B. Jalannya Diskusi
Diskusi dibuka oleh Nurdesyanti Sukisman perwakilan dari
kelompook 5 selaku moderator dengan mengucapkan salam dan
mempersilahkan para pemateri untuk memaparkan materinya, adapun yang
terlibat sebagai pemateri yaitu Nur Aisy Zahrani sebagai pembaca syair dan
memaparkan tema kecil, Nurul Muhlisha yang memaparkan athifah, Suci
Awaliyah yang memparkan imajinasi, Dwi Amalia Kartika Labelo yang
memaparkan pemikiran dan Salsabilla Rachadianti Insani yang memaparkan
titik keakuratan pada syair.
Diskusi berjalan dengan baik dengan adanya beberapa pertanyaan yang
diajukan oleh teman-teman dan beberapa pertanyaan tersebut berusaha kami
jawab dengan sebaik mungkin.
Pertanyaan pertama yaitu dari Chatarina Elita Amadea yang
menanyakan Tema kecil pada bait terakhir adalah perbandingan. “Dari mana
pemateri menyimpulkan bahwa tema kecilnya perbandingan. Pada bait
tersebut terdapat kata sedangkan yang menurut saya lebih dominan
memperlihatkan perbedaan dibanding perbandingan” dan dijawab oleh
pemateri “Karena pada bait tersebut penyair membandingkan antara hewan
dan manusia. Penyair menyindir manusia yang manusia lebih rendah dari pada
hewan. Pemateri menyimpulkan membandingkan bukan
membedakan”.Ditanggapi kembali oleh penanya “Mengapa dibandingkan
antara hewan dan manusia? dan dijawab kemabali “Kata memakan disini
maksudnya merugikan sesama. Manusia tidak memikirkan apapun demi
mendapatkan yang dia inginkan”. Pertanyaan ini juga ditanggapi oleh
Mildayanti “bahwasanya yang dimaksud memakan di sini adalah ghibah
karena dikatakan bahwa menggibahi orang sama saja memakan daging teman
sendiri”.

Pertanyaan kedua dari Mildayanti dan Putri Gita Cahyani yang


memiliki pertanyaan yang serupa yaitu “Pada bait pertama tema kecilnya
adalah mengeluh. Dari sisi mana saudara mengambil tema mengeluh?” dan
dijawan oleh pemateri “Karena manusia memang selalu menyalahkan zaman
ketika kesusahan. Contohnya ketika mencari rejeki dan kesusahan maka akan
menyalahkan zaman” jawaban tersebut ditanggapi oleh Putri Gita Cahyani
dengan bertanya kembali “bahwasanya kata mengeluh ini diambil dari
keaiban-keaiban itu?” dan ditanggapi kembali oleh pemateri “Manusia selalu
menyalahkan zaman. Padahal keaiban ada pada diri sendiri karena kita tidak
mau berusaha mencari reseki. Kita selalu mengleuh atas apa yang diberikan”.
Setelah mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh pemateri, Putri Gita
Cahyani memberikan opininya bahwasanya “mungkin lebih cocok diambil
tema kesabaran” tetapi Putri Gita Cahyani tetap menghargai keputusan
pemateri dalam memilih tema.

Pertanyaan ketiga dari Nur Fauzi Arisal yang mempertanyakan tingkat


kesulitan lebih tinggi dalam menentukan kelima poin dari syair yang
dipresentasikan dan dijawab oleh pemateri bahwasanya Tidak ada kesulitan
dalam menentukan kelima poin tersebut. Hanya saja sedikit terkendala pada
bait ketiga saat menelaah karena terjemahannya salah. Jadi solusi untuk
mengatasinya yaitu memperhatikan arti dari syair tersebut agar bisa ditelaah
dengan baik.

Pertanyaan terakhir dari Nur Hisrah Sri Wahyuni Syukur yang


mempertanyakan titik keakuratan pada bait pertama yaitu “menyalahkan”
yang terkait dengan keakuratan gerak, apakah bisa dijelaskan mengapa bisa
dikategorikan gerak dan mungkin bisa dijelaskan dengan contoh dan pemateri
menjawab bahwasanya dari kata “Menyalahkan” imajinasi pemateri ada orang
yang berkomentar atau mengeluh. Orang tersebut berbicara dan mulutnya
bergerak maka dari itu mengapa pemateri mengambil keakuratan gerak.

Sebelum diskusi ini ditutup, Nurul Fadilah Idrus perwakilan dari


kelompok 3 selaku notulen memaparkan hasil pembahasan dan
menyampaikan kesimpulan dari diskusi kelompok yang bersangkutan,
demikian diskusi ini berakhir yang ditutup oleh Nurdesyanti Sukisman selaku
moderator.

C. Saran

Terkait kesimpulan materi makalah penulis menyarankan beberapa hal


untuk diperhatikan sebagai berikut:

1) Mencari alasan kenapa sesorang selalu mengeluh mungkin karena


dikelilingi oleh orang-orang yang banyak mengeluh akan hidupnya,
ataukah tidak menemukan tempat untuk menyalurkan yang mereka alami
dan mungkin seringnya melihat orang tua mereka mengeluh tentang
masalah apapun, kebiasaan tersebut pada akhirnya terpatri dalam pikiran
dan tanpa sadar membuat ia sering mengeluh.

2) Seseorang harus berusaha untuk berhenti berlarut-larut dengan keluh


kesah yang tentu tidak akan ada habisnya. Caranya dengan terus berpikir
positif karena dengan berpikir positif sesorang dapat menerima masalah
tersebut, kemudian tidak menghakimi dan menyalahkan sesuatu dan
bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi.

3) Penulis juga mengharapkan kkritik dan saran dalam penulisan makalah


dikemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai