Anda di halaman 1dari 8

Revolusi Arab yang terjadi satu dekade (2011), merupakan revolusi tanpa pemikiran atau tanpa

dikombinasikan dengan formasi gagasan dalam membangun negara Arab baru. Sebaliknya, sejak
awal terjadinya Musim Semi Arab yang melanda negara-negara Muslim di Timur Tengah
merupakan gerakan rakyat yang murni ingin menggulingkan pemerintahan otoriter yang hasil
akhirnya yaitu konflik kepentingan.

Dalam spektrum lebih luas apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini merupakan pengaruh dari
dinamika Arab Spring pada penghujung tahun 2010 berupa revolusi yang dilakukan oleh
kekuatan rakyat untuk menggulingkan rezim-rezim otoriter di kawasan. Revolusi rakyat yang
menghendaki tatanan baru itu berhasil di beberapa negara namun gagal pada sebagian lainnya.
Revolusi Arab Spring yang bermula di Tunisia kemudian menginspirasi gerakan rakyat di bagian
lain kawasan Timur Tengah mulai dari Mesir, Libya, Yaman, Bahrain dan Suriah (Hamid
Dabashi, 2012; Marc Lynch, ed., 2014, 2012

Perjalanan demokratisasi di negara-negara Arab memiliki catatan- catatan yang memprihatinkan.


Yang jelas, proses tersebut telah menuntut sebuah pengorbanan yang sangat mahal, hal yang
paling jelas di depan mata adalah banyaknya nyawa yang berjatuhan. Beberapa tahun proses
perubahan di dunia Arab diperkirakan telah merenggut puluhan ribu nyawa manusia baik itu
rezim dan anasirnya, pejuang perubahan, rakyat biasa, perempuan dan anak-anak yang tidak
berdosa. Sehingga menjadi sangat ironis, karena tujuan penting terbentuknya masyarakat dan
negara “yang dicita-citakan” adalah untuk memberikan perlindungan kepada anak bangsanya,
bukan justeru sebaliknya. Demokrasi bagi rakyat Timur Tengah adalah sesuatu yang sangat
mahal harganya. Perjuangan demokrasi ini muncul karena adanya kebutuhan yang mendesak atas
hak-hak rakyat yang terabaikan oleh rezim yang otoriter. Sehingga rakyat memutuskan untuk
menolak pemerintahan individu, pemerintahan militer dan monarki. Rakyat menginginkan
kedaulatan, mereka juga ingin berpartisispasi dalam menentukan masa depan bangsa dan
negaranya yang lebih demokratis, adil, makmur dan sejahtera

Dalam satu dekade terakhir, negara-negara Arab mengalami turbulensi atau krisis yang
berkepanjangan. Negara Arab yang awalnya mencerminkan bangunan peradaban Islam yang
kuat dan solidaritas yang terbangun bergeser bahkan terpecah akibat dari konflik sektarian.
Konflik sektarian ini muncul dari upaya rakyat untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi yang
bertujuan untuk meruntuhkan sistem monarki yang merugikan rakyat banyak. Namun, revolusi
Arab atau yang lebih dikenal dengan Rabi’ al-Arab yang dimulai dari tahun 2011, menemui jalan
buntu, disebabkan tidak adanya road map ke mana arah cita-cita revolusi yang akan dicapai.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di negara-negara Arab dalam satu dekade terakhir sekaligus
mencerminkan sulitnya masyarakat Arab dalam menerima nilai-nilai baru seperti demokrasi.

Bila melihat negara-negara di timur tengah, secara kelembagaan, pada umumnya telah memiliki
lembaga dan simbol demokrasi, seperti partai politik, pemilihan umum, dan perwakilan rakyat.
Namun rangkaian pelaksaan demokrasi masih memiliki banyak catatan. Lebanon, irak dan
palestina telah memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan aspirasi, namun tetap
dengan catatan. Di lebanon, kebebsan rakyat telah “dibajak” oleh para elit politik dengan sistem
konsosiasional (sharing kekuasaan antar kelompok). Di irak, proses politik masih diwarnai
dengan masalah sektarianisme. Begitu juga di palestina, proses demokrasi yang mulai tumbuh
kembali diganggu oleh pihak luar seperti Amerika, Uni Eropa, Israel dan negara-negara Arab
yang pro-Barat. Bahrain dan kuwait juga telah memiliki lembaga perwakilan rakyat, namun
esensi lembaga ini bukan representasi perwakilan rakyat sebab sebagian besar yang memilih
bukan rakyat melainkan raja. Di aljazair, sudan, tunisia dan mesir telah menerapkan sistem
multipartai, namun pada saat yang sama partai-partai politik dibonsai sehingga tidak dapat
berkembang dan berkompetisi dengan partai pemerintah

LIBYA

Revolusi di Libya berlangsung relatif lama dibanding negara yang lain. Masyarakat Libya lebih
banyak dipersatukan dalam asosiasi kabilah atau tribalism sedangkan Mesir civil society lebih
kuat, berbasis pada kepemimpinan ulama dan kaum cendekiawan (Apriadi Tamburaka, 2011:
251).

Pada tahun 2011 kondisi sosial-politik Libya mengalami destabilisasi yang berujung pada
terjadinya krisis yang dikenal dengan perang sipil Libya tahun 2011. Kasus ini menimbulkan
kerugian perekonomian serius bagi Libya, selain itu, krisis Libya tahun 2011 juga menyebabkan
korban jiwa, baik dari pihak pemerintah ataupun kelompok demonstran anti pemerintah yang
kemudian berujung pada jatuhnya rezim Moammar Qaddafi.

Dari segi kebijakan politik luar negeri, Moammar Qaddafi yang pernah menempatkan Libya
sebagai negara Pariah, menempuh kebijakan sebagai negara tertutup, Hal ini memberikan
kejenuhan kepada masyarakat Libya. Moammar Qaddafi yang begitu keras dalam hal manuver
politiknya di tingkatan domestik, dalam bidang ekonomi juga ia menerapkan sistem menolak
berbagai bentuk investasi asing, sehingga timbul berbagai tekanan baik secara sosial maupun
ekonomi terhadap rakyat Libya. Hal ini diperparah dengan kebijakan luar negeri Moammar
Qaddafi yang radikal memberikan pula berbagai sanksi yang mempengaruhi keberlangsungan
negara ini dan tentu saja citra Libya menjadi sangat jelek. People Power yang terjadi di Libya,
salah satu penyebabnya adalah hasil ketidakpuasan masyarakat Libya selama 42 tahun, yang
terpendam, berbagai aspirasi ketidaksetujuan masyarakat terhadap kebijakan Moammar Qaddafi,
akan tetapi tidak bisa dilampiaskan. Ditilik dari konsep People Power sendiri kondisi inilah yang
menuntun rakyat Libya untuk bergerak mengganti kondisi yang disediakan pemerintahan
Moammar Qaddafi. Harapan rakyat setelah berbagai tragedi yang menimpa Libya termasuk
pemboman oleh Amerika Serikat ke Tripoli, tidak ditanggapi baik oleh Moammar Qaddafi.
Bahkan ia masih sibuk untuk mewujudkan ambisi pribadinya. Disinilah kemudian rakyat Libya
menjadi sangat jenuh dan memobilisasi dirinya dengan pihak oposisi guna mengganti sistem
yang ada.

Perang sipil Libya yang berlangsung antara bulan Februari hingga Oktober 2011 mengakibatkan
ribuan orang tewas. Jumlah pasti korban tewas tidak diketahui, namun diperkirakan jumlahnya
berkisar antara 10.000 hingga 40.000 jiwa di mana mayoritasnya merupakan warga sipil. Akibat
perang itu pula, timbul arus pengungsi keluar Libya yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang
di mana kebanyakan dari mereka mengungsi ke negara-negara sekitar Libya seperti Mesir &
Tunisia. Tidak diketahui berapa kerugian material akibat perang tersebut, namun nilai
kerugiannya pasti sangatlah besar kalau melihat intensitas perang sipil yang membakar libya.
Sejak perang sipil berakhir, pihak National Transitional Council (NTC) selaku pemenang perang langsung
melakukan sejumlah perubahan. Bendera Libya yang awalnya berawrna hijau polos diganti dengan
bendera bermotif tiga warna & bulan sabit. Sistem pemerintahan “jamahiriya Arab” buatan almarhum
Moammar Qaddafi yang berhaluan sosialis juga dihapuskan & diganti menjadi sistem republik.
Sepeninggal Moammar Qaddafi, Libya berada dalam kondisi euforia atas kebebasan, setelah puluhan
tahun berada dalam rezim yang represif.

TUNISIA

Tunisia tempat Arab Spring dimulai adalah contoh berhasil gerakan rakyat ini sebab setelah
kekuatan rakyat mampu menggulingkan rezim Zinedin Ben Ali, koalisi masyarakat sipil mampu
bersatu menjaga stabilitas politik nasional untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara
langsung yang lebih demokratis untuk pertama kali sejak merdeka pada tahun 1956. Pada 23
Oktober 2011 rakyat Tunisia memilih secara langsung perwakilan mereka untuk duduk di
parlemen yang ketika itu suara mayoritas berhasil diraih oleh partai Ennahda pimpinan Rached
Gannouchi (Azzam S. Tamimi, 2001), seorang intelektual berpengaruh Tunisia yang
mengasingkan diri di Inggris untuk kembali berjuang bersama rakyat Tunisia, kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan presiden pada tahun 2014 yang berhasil membawa Beji Caid
Essebsi sebagai presiden untuk periode jabatan lima tahun. Keberhasilan Tunisia melewati masa
krisis mendapat apresiasi internasional termasuk lembaga yang konsern dengan isu perdamaian
seperti Nobel, memberikan penghargaan bidang perdamaian kepada gerakan sipil Tunisia,
National Dialogue, atas keberhasilan mereka menjaga perdamaian dan penguatan demokrasi
Tunisia (http://www.theguardian.com, 2015). Peran gerakan sipil di Tunisia dianggap penting
karena kerasnya konflik politik identitas yang melibatkan kelompok Islamis dan kelompok
sekuler, namun setelah gerakan National Dialogue yang diisi oleh aliansi para pekerja
professional, aktifis, penulis, pengacara dan kelompok profesi lainnya, mendorong konstitusi
yang bisa mengakomodasi semua pihak maka Tunisia berhasil keluar dari krisis transisi
demokrasi (https://www.alaraby.co.uk, 2018).

SURIAH

Peran gerakan sipil di Tunisia dianggap penting karena kerasnya konflik politik identitas yang
melibatkan kelompok Islamis dan kelompok sekuler, namun setelah gerakan National Dialogue
yang diisi oleh aliansi para pekerja professional, aktifis, penulis, pengacara dan kelompok profesi
lainnya, mendorong konstitusi yang bisa mengakomodasi semua pihak maka Tunisia berhasil
keluar dari krisis transisi demokrasi (https://www.alaraby.co.uk, 2018)

Berbeda jauh dengan Tunisia, Suriah yang diharapkan mampu melewati masa transisi dari
revolusi menuju demokrasi dalam kenyataannya tidak bergerak kemana-mana, aktor politik
domestik Suriah terlibat dalam perang saudara, kelompok oposisi yang tadinya berharap mampu
melakukan perubahan drastis melalui pemilihan umum mendapat penolakan dari rezim Bashar
al-Assad yang lebih memilih menggunakan pendekatan militer yang sangat massif dan repressif
untuk meredam gerakan perubahan dari kelompok oposisi. Kelompok oposisi yang sebelumnya
berjuang menggunakan cara-cara demokratis lantas berubah menjadi gerakan bersenjata yang
dimotori oleh sejumlah perwira tinggi militer Assad yang kemudian menjelma menjadi Free
Syrian Army

Konflik bersenjata yang terjadi di Suriah hari ini tidak bisa dipisahkan dari rangkaian peristiwa
Arab Spring yang terjadi di Tunisia dan kemudian menyebar ke negara-negara sekitarnya.
Gerakan rakyat Tunisia yang mampu menggulingkan rezim berkuasa menjadi inspirasi bagi
gerakan sosial di Suriah. Pada awalnya gerakan perubahan kelompok oposisi anti-pemerintah
menujukkan komitmen perubahan berlangsung secara damai tanpa kekerasan dengan skenario
setelah rezim Asad melimpahkan kekuasaanya kepada pihak koalisi nasional maka akan
dilanjutkan dengan pelaksaan pemilihan umum yang dilakukan secara jujur dan adil dibawah
supervise lembaga internasional. Gerakan perubahan di Suriah, seperti halnya di beberapa
negara, seperti Tunisia, Libya, Bahrain, Mesir, mendapat dukungan dari negara-negara kawasan
termasuk para pemimpin dunia internasional.

Perang sipil yang terjadi di Suriah pasca Arab Spring boleh jadi merupakan potret kelam bencana
kemanusiaan Abad 21. Jumlah korban yang mencapai angka 400 ribu jiwa disusul jumlah
pengungsi yang mencapai angka 5 juta jiwa sudah cukup untuk menjelaskan betapa buruknya
perang sipil yang terjadi di Suriah. Dalam perang sipil di Suriah sejumlah negara terlibat,
termasuk negara besar, sehingga menjadikan upaya damai untuk membangun kembali Suriah
menjadi semakin sulit. Aktor domestik Suriah, baik rezim Assad atau kelompok oposisi, telah
memiliki roadmap berbeda dalam melihat masa depan Suriah sehingga sangat sulit untuk
dipertemukan kembali. Situasi ini semakin rumit ketika aktor non-negara, terutama kelompok
teroris yang memanfaatkan destablititas untuk membangun eksistensi di kawasan. Keberadaan
kelompok teroris telah memecah konsentrasi para pemimpin negara terkait pencarian solusi
untuk Suriah.

Kini, setelah hampir satu dekade pasca Arab Spring tidak ada tanda-tanda krisis kemanusiaan ini
akan berakhir, negara-negara di kawasan telah menunjukkan sikap psimis tentang masa depan
perdamaian di Suriah dan kemungkinan semakin memburuknya situasi di kawasan karena antara
satu negara dengan negara lainnya terlibat dalam perang proxy yang dimainkan oleh Amerika
dan Rusia. Negara-negara di kawasan terutama yang masih menggunakan sistem monarki yang
tadinya melihat demokratisasi sebagai harapan alternative kini menutup kembali kemungkinan
transisi menuju demokratisasi setelah melihat gagalnya sejumlah eksperimen di Suriah, Mesir
dan Libya. Negara-negara ini gagal mencapai titik dimana demokratisasi seharusnya. Mereka
justru tertahan sebagai negara gagal yang sedang mencari keseimbangan.

YAMAN

Kisruh yang terjadi di Yaman saat ini, tidak lepas dari fenomena Arab Springs yang bergejolak dalam
dekade terakhir ini. Pemerintah Yaman yang sejak tahun 2003 hingga tahun 2015, terus berjuang
melawan pemberontak lokal yang bernama Syiah Houthi, yang berpusat di Provinsi Sa‟ada yang berada
di utara Yaman. Aksi mereka yang paling signifikan terjadi sejak tahun 2014 lalu ketika kelompok ini
mampu mengalahkan kelompok-kelompok suku lainnya dalam hal perlawanan bersenjata. Kelompok-
kelompok suku tersebut disokong oleh partai beraliran sunni, Partai Islah.

Protes rakyat Yaman pada tahun 2014, merupakan sederetan aksi-aksi demonstrasi di Yaman yang
akhirnya meningkat menjadi konflik bersenjata. Protes tersebut dimulai pada tanggal 18 Agustus 2014,
saat terjadi serangkaian demonstrasi Houthi di Sana‟a menolak kenaikan harga BBM. Dimana pada saat
itu, kenaikan harga BBM hampir 100% akibat keputusan pemerintah Yaman pada 29 Juli 2014 untuk
memotong subsidi BBM. Pada tahun 2013, biaya untuk subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah
Yaman sebesar $3 miliyar, hampir sepertiga belanja negara. Sebagai tanggapan atas pemangkasan
subsidi tersebut, Houti memulai protes untuk mengembalikan subsidi dan pembentukan pemerintahan
baru.

Lalu pada waktu yang sama, Houthi juga mendirikan markas protes di Sana‟a. Puluhan ribu orang
berpartisipasi dalam protes tersebut, yang segera diikuti dengan adanya kekerasan. Pada 10 September
2014, tujuh orang pendemo ditembak oleh pasukan keamanan. Pertentangan yang terjadi lagi pada 18
September, menyebabkan 40 pendemo dan anggota milisi Sunni meninggal. Pada tanggal 19 September
2014, pemberontak Houthi kembali menyerang dan mengambil alih kendali Sana‟a, maju memasuki
kota tersebut dan menduduki kantor-kantor pemerintahan. Hal ini menyebabkan pengunduran diri
Perdana Menteri Yaman Mohammed Basindawa, dan digantikan oleh Ahmad Awad bin Mubarak.
Pertempuran tersebut menyebabka n kematian 123 orang dari kedua belah pihak. Houti bersama
dengan beberapa kelompok politik lain, menandatangani sebuah kesepakatan Perjanjian Perdamaian
dan Pesekutuan yang menetapkan formasi pemerintahan bersatu yang baru.

Pada tanggal 22 September, sedikitnya 240 orang terbunuh dalam pertempuran di Sana‟a. Pertempuran
tetap berlanjut setelah penandatangan perjanjian pembagian kekuasaan. Pada tanggal 9 Oktober 2014
sebuah bom bunuh diri terjadi di Tahrir Square sebelum rapat umum yang telah dijadwalkan dimulai.
Serangan tersebut menewaskan 47 orang dan melukai 75 orang yang sebagian besar adalah pendukung
Houti

KONFLIK SUNNI-SYI’AH

Konflik Syi’ah-Sunni, terutama di kawasan Timur Tengah, konflik tersebut memiliki dua bentuk
universal. Pertama, konflik antara kelompok masyarakat dengan rezim, baik itu rezim yang
Syi’ah dan kelompok masyarakat yang Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik antarnegara
(rezim). Bentuk konflik yang pertama dapat dilihat bahwa pada bulan April 2013 lalu, dunia
disuguhi berita dari Hawija, Irak Utara, terkait tewasnya lebih dari 50 orang dari pengunjuk rasa
Muslim Sunni (Kompas, 25/04/2013). Apa yang terjadi dari Hawija pada waktu itu adalah akibat
dari ‘kebencian lama’ yang dibangun oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Di era Saddam,
yang menganut Islam Sunni, kelompok Syi’ah, yang jumlahnya kurang lebih 60%, mendapatkan
perlakuan politik yang sangat kejam dari Saddam karena dianggap berpihak pada Iran dalam
Perang Teluk. Bahkan pada tahun 1980, pemimpin umat Syi’ah Irak, Imam Ayatullah Baqir al-
Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan pengikutnya (Sihbudi, 1991).

Setelah Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam pun, yang
dicap sebagai pemimpin tiran, berakhir dan bergulirlah demokratisasi. Sunni yang berkuasa
penuh pada era Saddam berlahan-lahan tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan. Hawija, yang
dulunya dianakemaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang berkebalikan. Hawija
merasa dianaktirikan oleh PM Nouri al-Maliki yang Syi’ah (Kompas, 25/04/2013).
Gejolak politik di Bahrain awal-awal Musim Semi Arab (The Arab Spring) juga kuat diwarnai
bentuk konflik yang sama. Di Bahrain, kelompok mayoritas Syi’ah (70%) telah sejak lama
menjadi warga kelas dua bagi para penguasa Sunni. Tidak lama setelah revolusi meledak di
Tunisia yang mengakhiri kekuasaan Zein al-Abidin Ben Ali, tepatnya pada tanggal 14 Februari
2011, gejolak demonstrasi juga dimulai di Bahrain dan bentrokan terjadi hingga helikopter
berputar-putar di atas kota Manama, tempat berkumpulnya para demonstran. Sedikitnya 14 orang
terluka dalam bentrokan tersebut dan aparat menggunakan udara mata dan peluru karet
memasang gas untuk membubarkan pengunjuk rasa di desa Syi’ah, sebagian besar Nuwaidrat di
negara barat daya (Tamburaka, 2011: 159-160).

Bentuk konflik yang kedua adalah konflik antarnegara. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Revolusi Islam Iran yang meledak pada tahun 1979, yang digerakkan oleh ulama Syi’ah, telah
menimbulkan pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, khususnya di negara-negara kawasan
Timur Tengah (Sahide, 2013: 91). Di kawasan ini, pengaruh tersebut berupa, antara lain,
munculnya apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan-gerakan Islam “Fundamentalis”,
“radikal”, “militan” maupun “ekstrem”. Gerakan-gerakan semacam itu yang di beberapa negara
cenderung “antikemapanan”, dan biasanya disebut juga sebagai “kelompok-kelompok Iran”
(Sihbudi, 1991: 191).

Konflik Syi’ah-Sunni yang berkepanjangan itu turut mewarnai dinamika politik di kawasan tersebut
pasca-The Arab Spring. Hal ini dapat di lihat dari prahara Suriah yang hingga kini belum selesai. Pada
konflik Suriah, ada permainan asing yang memiliki pengaruh sangat besar. Dari konflik ini, ada
pertarungan antara Amerika Serikat dan sekutunya yang mayoritas negara Sunni dengan China dan
Rusia yang selalu menggandeng Iran yang dikenal sebagai negara Syi’ah itu. Negara-negara Sunni pun
berada di belakang Amerika, salah satunya adalah Arab Saudi, sementara negara-negara Syi’ah berada di
belakang China dan Rusia.

Anda mungkin juga menyukai