Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ
terutama paru-paru (Infodatin, 2016). World Health Organization (WHO)
menyatakan TB sebagai suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat
penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang
menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian
besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali dan sebagai penyebab
kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi (PDPI, 2011)
Jalan masuk untuk organisme Mycobacterium tuberculosis adalah
saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian
besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet
yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price,
2004). Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan
tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang
paling sering terkena yaitu paru (Amin, 2006).
Diagnosis TB ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan
bakteriologis. Hanya 5% penderita TB fase awal yang memberikan gejala
klinis, sehingga sulit mendapatkan sputum untuk pemeriksaan bakteriologis.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan sputum BTA dibawah mikroskop,
dibutuhkan kuman baru yang jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam
satu mililiter dahak. Sebuah penelitian di San Fransisco menyatakan bahwa
17% penderita TB memiliki hasil sputum BTA (-). Oleh karena itu, apabila
2

diagnosis TB paru ditegakkan semata-mata berdasarkan pemeriksaan BTA


(+), akan banyak penderita TB paru yang tidak terdiagnosis (Amin, 2006)

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui gambaran radiologi Tuberkulosis Paru
1.2.2 Untuk mengetahui perbedaan gambaran radiologi Tuberkulosis Paru
baru dan lama

1.3 Manfaat
1.3.1 Memberikan wawasan kepada dokter muda lain tentang gambaran
radiologi Tuberkulosis Paru
1.3.2 Memberikan wawasan kepada dokter muda lain tentang perbedaan
gambaran radiologi Tuberkulosis Paru baru dan lama.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan


Sistem respirasi terdiri dari:
1) Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring
dan dilembabkan. Terdiri dari cavum nasi, cavum oris, pharynx, dan
larynx.

Gambar 1. Saluran Nafas Atas (Paulsen, 2010)

2) Saluran nafas bagian bawah


Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas
ke alveoli. Terdiri dari trakea, brokus bronkiolus, dan alveolus (Snell,
2006).
a. Trakea
Trakea merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, setinggi
servikal 6-torakal 5, berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti huruf C.
Bagian belakang dihubungkan  oleh membran fibroelastic menempel
pada dinding depan esofagus. Ujung trakea bercabang menjadi dua
bronkus yang disebut carina.
4

Gambar 2. Trakea (Paulsen, 2010)

b. Bronkus

Gambar 3. Bronkus (Paulsen, 2010)


Bronkus merupakan cabang dari trakea yang bercabang dua ke
paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Bronkus kanan lebih pendek dan
5

lebih besar diameternya. Bronkus kiri lebih horizontal, lebih panjang


dan lebih sempit.
(1) Bronkus
Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri disebut bronkus lobaris
kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus
lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus
lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronchus kanan
bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochus kiri
terdiri dari : lobus superior dan inferior. Bronkus segmentalis ini
kemudian terbagi lagi menjadi subsegmental yang dikelilingi oleh
jaringan ikat yang memiliki: arteri, limfatik dan saraf.

Gambar 4. Bronkus segmentalis (Snell,2006)


(2) Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus.
Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi
yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian
dalam jalan napas.
(3) Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis
(yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia).

(4) Bronkiolus respiratori


6

Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori.


Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara
jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
c. Alveolus
Alveolus merupakan bagian terminal cabang-cabang bronkus
dan bertanggung jawab akan struktur paru-paru yang menyerupai
kantong kecil terbuka pada salah satu sisinya dan tempat pertukaran O 2
dan CO2. Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu
lembar akan seluas 70 m2. Alveolus terdiri dari membran alveolar dan
ruang interstisial.
(1) Membran alveolar :
(a) Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga
alveoli
(b) Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang
menghasilkan surfactant.
(c) Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri
yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel
endotel, aliran darah dalam rongga endotel
(2) Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit
serum.

Gambar 5. Alveolus (Paulsen, 2010)


7

3) Paru-paru
Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis,
berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas
diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai
apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang
melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru,
bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus
(Snell, 2006).

Gambar 6. Paru-paru (Snell, 2006)

Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2


lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius,
dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura
horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus
pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan
oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti
lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan
jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan.
Sejalan dgn percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg
lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen
(Snell, 2006).
8

Gambar 7. Lobus paru (Snell, 2006)

4) Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam rongga
dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura 
viseralis
5) Rongga dan dinding dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas dalam
proses respirasi.
9

2.2 Definisi Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya
mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ atau jaringan di
tubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis
perkijuan. (Maitra, 2014)

2.3 Etiologi Tuberkulosis Paru


Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Berikut ini adalah taksonomi bakteri Mycobacterium
tuberculosis (Waluyo, 2016):
Kingdom         Bacteria
Filum               Actinobacteria
Kelas               Actinobacteria
Ordo                Actinomycetales
Sub ordo         Corynebacterineae
Family             Mycobacteriaceae
Genus              Mycobacterium
Spesies            Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang, aerob
yang tidak membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberculosis adalah bakteri
batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3μm. Pada media artifisial,
bakteri ini memiliki bentuk kokoid dan filamentosa yang terlihat dalam
berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies lainnya. Mikobakterium tidak
dapat diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram-negatif. Basil
tuberkulosis ditandai dengan “sifat tahan asam”. Sifat tahan asam ini
tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. (Brooks, 2014.,
Fitzgerald, 2010)
Mikobakteri bersifat aerob obligat dan memperoleh energi dari oksidasi
banyak senyawa karbon sederhana. Peningkatan CO2 meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Waktu pembelahan basil tuberculosis adalah sekitar 18
jam. Bentuk saprofit cenderung untuk tumbuh lebih cepat, berproliferasi
10

dengan baik pada suhu 22-23ºC, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan
kurang bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogenik.
(Waluyo, 2016., Brooks, 2014)

2.4 Epidemiologi Tuberkulosis Paru


Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan
penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.
Tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. Berdasarkan WHO Global
Report 2015, India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak dengan presentasi berturut-turut 23%, 10% dan 10%
dari seluruh penderita di dunia. (WHO, 2015) Proporsi pasien TB paru di
Indonesia mengalami peningkatan signifikan dari tahun 1999 sampai 2003
dari 7% menjadi 13%. Indikator ini cenderung menurun dari tahun 2003
sampai 2014 namun pada tahun 2015 indikator ini kembali meningkat
menjadi 14% (Infodatin, 2016). Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. (Kemenkes RI,
2016)

2.5 Cara Penularan Tuberkulosis Paru


Penyakit TB paru ini dapat ditularkan oleh penderita dengan hasil
pemeriksaan BTA positif. Lebih jauh lagi, penularan TB paru dapat terjadi di
dalam ruangan yang gelap dan lembab karena kuman M. tuberculosis ini
dapat bertahan lama apabila di kondisi ruangan yang gelap dan lembab
tersebut. Dalam hal ini, makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan,
maka orang itu makin berpotensi untuk menularkan kuman tersebut. Selain
itu, faktor yang memungkinkan seseorang untuk terpapar yaitu seberapa lama
11

menghirup udara yang sudah terkontaminasi kuman M. tuberculosis tersebut


dan konsentrasi percikan dalam udara itu.(Widiyono, 2008)

2.6 Patogenesis Tuberkulosis Paru


Penyakit TB dapat berkembang pada seseorang melalui dua cara.
Yang pertama dapat terjadi pada seseorang yang telah beberapa tahun
terinfeksi TB dan telah sembuh sempurna. Ketika kesehatannya menurun
karena penyakit lain seperti AIDS atau diabetes, atau karena penyalahgunaan
alkohol maupun kurangnya kepedulian terhadap kesehatan karena menjadi
tuna wisma, infeksi TB dapat menjadi penyakit TB. Pada cara ini, seseorang
dapat menjadi sakit beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah
mereka menghirup kuman TB (Price, 2014).
Cara yang lain terjadi jauh lebih cepat. Terkadang ketika seseorang
pertama kali menghirup kuman TB, tubuhnya tidak mampu melindungi diri
terhadap penyakit ini. Kuman tersebut kemudian berkembang menjadi
penyakit TB aktif dalam beberapa minggu. Seseorang dengan TB aktif akan
menjadi sangat infeksius dan dapat menyebarkan TB ke orang lain (Price,
2014).
Kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB di
mana sebagian besar kuman TB akan hancur. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman
TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB
di jaringan paru disebut fokus primer Ghon (Amin, 2006., Price, 2014).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak
12

di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks


primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional
yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)
(Amin, 2006., Price, 2014).
Waktu yang diperlukan sejak kuman TB masuk sampai terbentuk
kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung antara 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-
12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler (Amin, 2006).
Pada minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer ini, infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, ketika sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan (Amin, 2006., Price, 2014).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini
(Amin, 2006., Price, 2014).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional.
13

Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan


pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui brokus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru.
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Amin, 2006., Price, 2014).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (Amin, 2006., Price,
2014).
14

Gambar 8. Bagan Patogenesis Tuberkulosis (Amin, 2006).

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai tempat tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
15

imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Amin, 2006., Price,


2014).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman. Fokus ini pada umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial ini disebut
sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain
(Amin, 2006., Price, 2014).
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogen generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada
bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju
ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (Amin,
2006., Price, 2014).
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran lebih kurang sama. Istilah
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan granuloma
(Amin, 2006., Price, 2014).
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu proses perkijuan menyebar
ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini
16

tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang (Amin, 2006., Price, 2014).
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun
pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgreen, ada tiga
bentuk dasar TB pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi
segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi
dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda (Amin, 2006., Price, 2014).
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun
kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (Amin,
2006).

2.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru


Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang berupa tuberculin tes, pemenksaan radiologis dan
bakteriologis. Diagnosis pasti TB paru ditegakkan berdasarkan ditemukannya
kuman Mycobacterium tuberkulosis.
A. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2- 3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Bila ada
17

gejala ekstraparu didapatkan pembesaran kelenjar getah bening yang


lambat dan tidak nyeri (Kreider, 2008).
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
subfebris atau berat badan menurun. Seringkali pasien tidak
menunjukkan suatu kelainan apapun. Tempat kelainan TB paru yang
paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicuragai adanya
infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi redup dan auskulltasi
suara nafas bronchial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan
berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infitrat ini diliputi oleh
penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Dalam
penampilan klinis, TB sering asimtomatis dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada (Kreider, 2008).
C. Pemeriksaan Penunjang
a) Tes Tuberkulin
Pemeriksaan uji tuberkulin atau tes Mantoux merupakan
pemeriksaan yang utama pada pasien anak. Tes Mantoux merupakan
pemeriksaan dengan cara menyuntikkan larutan tuberkulin (protein
kuman TB) di bawah kulit (intrakutan). Hasil tes dapat dilihat
indurasinya setelah 48-72 jam. Indurasi ini ditandai dengan bentuk
kemerahan dan benjolan yang muncul di area sekitar suntikan. Bila
nilai indurasinya 0-4 mm, maka dinyatakan negatif. Bila 5-9 mm
dinilai meragukan, sedangkan di atas 10 mm dinyatakan positif. Hasil
tes Mantoux positif menunjukkan reaksi tubuh terhadap protein
kuman, artinya tubuh pasien pasti pernah terinfeksi sebelumnya
dengan kuman TB. Dengan demikian sebelum seorang anak dikatakan
menderita sakit TB seharusnya kita lakukan dulu pemeriksaan yang
membuktikan bahwa anak tersebut telah terinfeksi TB (dengan tes
Mantoux), karena tidak mungkin seseorang dapat menjadi sakit tanpa
terjadi infeksi sebelumnya. Pemeriksaan lain yang dapat membantu
diagnosis TB adalah pemeriksaan Rontgen dada, pemeriksaan ini
18

dapat memperkuat dugaan ke arah tuberkulosis tetapi tidak dapat


dipakai sebagai satu-satunya pemeriksaan untuk menentukan
diagnosis tuberkulosis (IDAI, 2008).
b) Pemeriksaan Bakteriologik
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada
orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Kuman ini terlihat dibawah mikroskopis bila jumlah kuman paling
sedikit sekitar 5000 batang dalam 1 ml dahak. Dalam pemeriksaan
dahak yang baik adalah dahak yang mukopurulen berwarna hijau
kekuningan dan jumlahnya harus 3-5 ml tiap pengambilan. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Gambar 9. Alur diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa (PDPI, 2016)
c) Pemeriksaan Radiologis Tuberkulosis Paru
19

Kelainan pada foto toraks bisa sebagai usul tetapi bukan sebagai
diagnosa utama pada TB. Namun, Foto toraks bisa digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan TB paru pada orang-orang yang dengan
hasil tes tuberkulin (+) dan tanpa menunjukkan gejala.
1) Bila klinis ditemukan gejala tuberkulosis paru, hampir selalu
ditemukan kelainan pada foto roentgen.
2) Bila klinis ada dugaan terhadap penyakit tuberkulosis paru, tetapi
pada foto roentgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan
tanda yang kuat bukan tuberkulosis.
3) Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto toraks belum berarti
tidak ada tuberkulosis, sebab kelainan pertama pada foto toraks
baru terlihat sekurang -kurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh
basil tuberkulosis.
4) Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologi, tanda
tuberkulosis yang terpenting adalah bila ada kelainan pada foto
toraks.
5) Ditemukannya kelainan pada foto toraks belum berarti bahwa
penyakit tersebut aktif.
6) Dari bentuk kelainan pada foto roentgen memang dapat diperoleh
kesan tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya
dapat diperoleh melalui kombinasi dengan hasil pemeriksaan
klinis/laboraturis.
7) Pemeriksaan roentgen penting untuk dokumentasi, menentukan
lokalisasi, proses dan tanda perbaikan ataupun perburukan dengan
melakukan perbandingan dengan foto-foto terdahulu.
8) Pemeriksaan roentgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan
terapi seperti Pneumotoraks torakoplastik, torakoplastik dsb
9) Pemeriksaan roentgen tuberculosis paru saja tidak cukup dan
dewasa ini bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan
fluoroskopi. Pembuatan foto roentgen adalah suatu keharusan,
yaitu foto posterior anterior (PA), bila perlu disertai proyeksi-
20

proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto khusus puncak AP-


lordotik dan tekhnik-tekhnik khusus lainnya.

Ada 3 macam proyeksi pemotretan pada foto toraks pasien yang


dicurigai TB, yaitu :
1) Proyeksi Postero-Anterior (PA)
Pada posisi PA, pengambilaii foto dilakukan pada saat pasien dalam
posisi berdiri, tahan nafas pada akhir inspirasi dalam. Bila terlihat
suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu ditambah proyeksi lateral.
2) Proyeksi Lateral
Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan disilangkan di
belakang kepala. Pengambilan foto dilakukan pada saat pasien tahan
napas dan akhir inspirasi dalam.
3) Proyeksi Top Lordotik
Proyeksi Top Lordotik dibuat bila foto PA menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan pada daerah apeks kedua paru.
Proyeksi tambahan ini hendaknya dibuat setelah foto rutin diperiksa
dan bila terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan suatu lesi di
apeks. Pengambilan foto dilakukan pada posisi berdiri dengan arah
sinar menyudut 35-45 derajat arah caudocranial, agar gambaran
apeks paru tidak berhimpitan dengan klavikula.

Gambaran Radiologis TB
Klasifikasi TB paru berdasarkan gambaran radiologis :
1) Tuberkulosis Primer (Rasad, 2005)
Hampir semua infeksi TB primer tidak disertai gejala klinis,
sehingga paling sering didiagnosis dengan tuberkulin test. Pada
umumnya menyerang anak, tetapi bisa terjadi pada orang dewasa dengan
daya tahan tubuh yang lemah. Pasien dengan TB primer sering
menunjukkan gambaran foto normal. Pada 15% kasus tidak ditemukan
kelainan, bila infeksi berkelanjutan barulah ditemukan kelainan pada foto
toraks.
21

Lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, dan paru


kanan lebih sering terkena, terutama di daerah lobus bawah, tengah dan
lingula serta segmen anterior lobus atas. Kelainan foto toraks pada
tuberculosis primer ini adalah adalah limfadenopati, parenchymal
disease, miliary disease, dan efusi pleura. Pada paru bisa dijumpai
infiltrat dan kavitas. Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah
Pleuritis eksudatif, akibat perluasan infitrat primer ke pleura melalui
penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah atelektasis akibat
stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalam bronkus. Baik
pleuritis maupun atelektasis pada anak-anak mungkin demikian luas
sehingga sarang primer tersembunyi dibelakangnya.

a. Limfadenopati

Gambar 10. Limfadenopati hilus pada pasien dengan tuberkulosis primer

b. Konsolidasi parenkim
22

Gambar 11. Tuberkulosis Primer parenkim pada orang dewasa. Radiografi pulmo
sinistra menunjukkan lobus superior dengan konsolidasi yang luas

c. Miliari Desease

Gambar 12. Tuberkulosis milier. Tuberkulosis halus (milli) di seluruh lapang paru
dengan bentuk khas dan ukuran yang hampir seragam 1-3 mm “Badai Salju”
(Snow Storm Appearance)
23

Gambar 13. Miliary tuberculosis. (a) Radiograph of the left lung shows diffuse 2-
3 mm nodules, findings that are typically seen in miliary tuberculosis. (b) High-
resolution computed tomographic (CT) scan demonstrates similiar nodules in a
random distribution.

d. Komplikasi Tuberkulosis Primer

Gambar 14. Tuberculosis disertai komplikasi pleuritis eksudativ dan atelektasis -


Pleuritis TB
2) Tuberkulosis Sekunder
24

Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa


atau timbul reinfeksi pada seseorang yang semasa kecilnya pernah
menderita tuberculosis primer, tetapi tidak diketahui dan menyembuh
sendiri. Kavitas merupakan ciri dari tuberculosis sekunder. Bercak
infiltrat yang terlihat pada foto roentgen biasanya dilapangan atas dan
segmen apikal lobi bawah. Kadang-kadang juga terdapat di bagian basal
paru yang biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe
pada tuberkulosis sekunder jarang dijumpai. (Joshua Burrill, 2007)
Klasifikasi tuberkulosis sekunder (Rasad, 2005)
Klasifikasikasi tuberkulosis sekunder menurut American
Tuberculosis Association (ATA).
1) Tuberculosis minimal: luas sarang-sarang yang kelihatan tidak
melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2
depan, sarang-sarang soliter dapat berada dimana saja. Tidak
ditemukan adanya kavitas.
25

Gambar 15. Tuberkulosis Sekunder Lesi Minimal


2) Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advance tuberculosis) : Luas
sarang -sarang yang berupa bercak infiltrat tidak melebihi luas satu
paru. Sedangkan bila ada kavitas, diameternya tidak melebihi 4 cm.
Kalau bayangan sarang tersebut berupa awan - awan menjelma
menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh
melebihi 1 lobus paru.
26

Gambar 16. Tuberkulosis Sekunder Lesi Moderat

3) Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis): Luas daerah


yang dihinggapi sarang-sarang lebih dari 1 paru atau bila ada lubang
-lubang, maka diameter semua lubang melebihi 4 cm.

Gambar 17. Tuberkulosis Sekunder Lesi Luas

Gambar 18. Tuberkulosis Sekunder Sangat Lanjut dengan Lesi Luas

A. Tuberkulosis Aktif
Temuan pada gambaran radiologi tuberkulosis aktif diantara lain:
1) Bayangan berawan / noduler disegmen apikal dan posterior lobus
atas dan segmen superior lobus bawah paru
27

2) Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak infiltrat dengan


densitas rendah hingga sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-
sarang ini biasanya menunjukan suatu proses aktif.
3) Kavitas, terutama lebih dari satu, yang dikelilingi bayangan opak
berawan atau noduler kecuali bila lubang (kavitas) sudah sangat
kecil, yang dinamakan residual cavity.
4) Bayangan bercak milier
5) Efusi pleura

Gambar 19. Foto thorak; tampak infiltrate dengan kavitas pada lobus superior
paru bilateral, menunjukkan adanya tuberculosis pulmonal aktif.

Gambar 20. Kanan; Awan-awan & kavitas besar (ukuran total 4 cm). Kiri;
Kavitas sisa (residual cavity)
28

Gambar 21. Gambaran “Badai Salju” (Snow Storm Appearance) pada


tuberkulosis paru aktif

Gambar 22. Tampak bercak berawan pada lapangan paru kanan atas yang
disertai bintik-bintik kalsifikasi dan garis fibrosis

B. Tuberkulosis Inaktif atau Postprimer


Temuan pada gambaran radiologi tuberkulosis inaktif diantara lain:
1) Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus
atas dan atau segmen posterior lobus atas dan atau segmen
superior lobus bawah.
2) Kalsifikasi
3) Penebalan pleura
29

Gambar 23. Kalsifikasi pada Tuberkulosis

Gambar 24. Tuberkulosis Post Primer. Temuan pada foto thorak ini adalah
fibrosis lobus superior bilateral.
30

Gambar 25. Garis-garis Fibrotik (proses lama dan tenang); Sarang-sarang


seperti garis (fibrotik) atau bintik - bintik kapur (kalsifikasi), yang
biasanya menunjukkan proses telah tenang.

C. Tuberkuloma
Kelainan ini menyerupai tumor. Bila terdapat di otak,
tuberkuloma juga bersifat suatu lesi yng menempati ruangan (Space
Occupying Lesion/SOL). Tuberkuloma adalah suatu sarang keju
(caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu
virulen bahkan biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif lebih-lebih
bila batasnya licin, tegas dan dipinggirnya ada sarang perkapuran,
sesuatu yang dapat dilihat jelas pada tomogram.
Diagnostik diferensialnya dengan suatu tumor sejati adalah
bahwa didekat tuberkuloma sering ditemukan sarang kapur.
31

Gambar 26. Tuberkuloma

2.8 Penatalaksaan Tuberkulosis


Terapi atau Pengobatan penderita TB bertujuan untuk menyembuhkan
penderita sampai sembuh, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Sesuai dengan sifat kuman TB,
untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai
adalah (Kemenkes, 2014):
a. Menghindari penggunaan monoterapi. OAT diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
kekebalan terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
1) Tahap Intensif
a) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
32

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,


biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
c) Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
A. Regimen Pengobatan
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB
adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman
Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu
aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi.
Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin,
Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat
primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh
bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi (Kemenkes, 2014.,
Iseman, 2006).
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang
menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian
(harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh:
2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE. Kode huruf tersebut adalah
akronim dari nama obat yang dipakai, yakni:
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
33

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau


frekuensi. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan
selama 2 bulan, tiap 26 hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk
angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali
seminggu (selama 4 bulan) (Kemenkes, 2014., Iseman, 2006).
Tabel 1. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO
dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) (Kemenkes, 2014)
Kategori Jenis Obat yang Dipakai
Kategori 1 a. 2HRZE/4H3R3
b. 2HRZE/4HR
c. 2HRZE/6HE

Kategori 2 a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
b. 2HRZES/HRZE/5HRE

Kategori 3 a. 2HRZ/4H3R3
b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia, yaitu: (Kemenkes,
2014).

a. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3.
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2
bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini
diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, penderita baru
TB paru BTA negative rontgen positif yang “sakit berat”, penderita
TB ekstra paru berat.
Tabel 2. Paduan OAT Kategori 1 dalam paket kombipak untuk penderita dengan
berat badan antara 33–50 kg (Kemenkes, 2014).
Tahap Lamanya Dosis per hari/kali Jumlah
34

Pengobatan Pengobatan bister


harian
Tablet Tablet Tablet Tablet
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@300mg @450mg @500mg @250mg
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 56
Intensif
(dosis
harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - - 48
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 104 blister harian yang


terdiri dari 56 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 48 blister HR
untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan
disatukan dalam 1 dos besar.

b. Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2
bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5
bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini
diberikan untuk penderita TB paru BTA (+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu: penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Tabel 3. Paduan OAT Kategori 2 dalam paket kombipak untuk penderita dengan
berat badan antara 33–50 kg (Kemenkes, 2014).
35

Satu paket kombipak kategori 2 berisi 144 blister harian yang


terdiri dari 84 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 60 blister HRE
untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan
disatukan dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 28 vial
Streptomicin @1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan
aquabidest) untuk tahap intensif.
c. Kategori 3: 2 HRZ/4H3R3.
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR
selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk
penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan
penderita TB ekstra paru ringan.
Tabel 4. Paduan OAT Kategori 3 dalam paket kombipak untuk penderita dengan
berat badan antara 33–55 kg (Kemenkes, 2014)
Tahap Lamanya Tablet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid blister
@300m @450mg @500mg harian
g
Tahap Intensif 2 bulan 1 1 3 56
(dosis harian)
Tahap Lanjutan 4 bulan 2 1 - 50
(dosis 3x
seminggu)
36

Satu paket kombipak kategori 3 berisi 104 blister harian yang


terdiri dari 56 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 50 blister HR
untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan
disatukan dalam 1 dos besar.

d. Paduan obat sisipan: HRZE


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif,
diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan
antara 33–50 kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450
mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet Etambutol 250 mg. Satu
paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos
kecil.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1
penderita dalam 1 masa pengobatan. Obat Paket Tuberkulosis ini
disediakan secara gratis melalui Institusi pelayanan kesehatan milik
pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai Pengobatan TB paru,
Rumah Sakit Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama
dengan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Depkes
RI (PDPI, 2011., Kemenkes, 2014).

BAB III
37

PEMBAHASAN

TB Primer TB Sekunder
Insidensi Sering pada anak-anak Bersifat kronis, terjadi pada dewasa
Gambaran Aktif
 Limfadenopati
Radiologi  Infiltrat
 Parenchymal disease
 Konsolidasi parenkim
 Kavitas
 Efusi pleura

Lanjut→Miliary tuberculosis

Inaktif
 Kalsifikasi
Komplikasi:
 Fibrosis
 Pleuritis eksudatif
 Penebalan pleura
 Atelektasis

Lokasi Biasanya kelainan pada satu Bercak infiltrat yang terlihat pada
Lesi lobus, dan paru kanan lebih foto roentgen biasanya dilapangan
sering terkena, terutama di atas dan segmen apikal lobi bawah,
lobus bawah, tengah dan juga dapat terjadi di bagian basal
lingual serta segmen anterior paru yang biasanya disertai oleh
lobus atas pleuritis

TB Aktif TB Inaktif TB paru lama aktif


Konsolidasi/Infiltra (+) (-) (+/-)
t
38

Kavitas (+) (-) (+/-)


Bercak milier (+) (-) (+/-)
Efusi Pleura (+) (-) (+/-)
Fibrotik (-) (+) (+)
Kalsifikasi (-) (+) (+)
Tanda Schwarte (-) (+) (+)

BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
39

Berdasarkan materi yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan:


1. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit granulomatosa kronis
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit
ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ
atau jaringan di tubuh.
2. Untuk mendiagnosis tuberkulosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes tuberkulin, pemeriksaan
bakteriologis, dan pemeriksaan radiologis.
3. Gambaran radiologis tuberkulosis paru dibagi menjadi dua yaitu
tuberkulosis paru primer dan sekunder.
4. Gambaran foto toraks pada tuberkulosis paru primer ini adalah
limfadenopati, parenchymal disease, miliary disease, dan efusi pleura
Komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis eksudatif, akibat
perluasan infitrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen.
Komplikasi lain adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena
perforasi kelenjar ke dalam bronkus.
5. Gambaran foto toraks pada tuberculosis paru sekunder ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu tuberkulosis paru aktif dan tuberkulosis
paru inaktif. Gambaran foto toraks pada tuberculosis aktif adalah
infiltrat, konsolidasi parenkim, kavitas, dan efusi pleura. Sedangkan
gambaran foto thoraks tuberkulosis paru inaktif adalah kalsifikasi,
fibrosis, dan penebalan pleura.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,


Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi
40

IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;


2006: 998-1005, 1045-9.
Brooks G, Carroll K. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg.
25th ed. Jakarta: EGC; 2014.
Fitzgerald D, Sterling T, Haas D. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and
Practice of Infection Disease. Churchill-Livingstone: Elsevier; 2010.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2008). Buku Ajar Respirologi anak, edisi
pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Infodatin. Tuberkulosis: Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2016.
Iseman M. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Denver:
Companies, The McGraw-Hill; 2006.
Joshua Burrill, FRCR., Christopher J. Williams, FRCR., Gillian Bain, FRCR et
all. Tuberculosis; Radiological Review. Radiographics Vol 27 No.5
Pg.1255-1265. September-October 2007.
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015 [Internet]. Jakarta:
Kemenkes RI; 2016. Available from: http://www.kemkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 3rd
ed. Jakarta: Depkes RI; 2014.
Kreider M, Rossman M. Fishman’s Pulmonary Disease and Disorder. 4th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies; 2008. 2467-2484.
Maitra A, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. 7th ed. Jakarta: EGC; 2014.
Paulsen F & Waschke J, 2010; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23,
EGC, Jakarta
PDPI. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia [Internet]. 2011;1–55. Available from:
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf
PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2011.
Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004: 852-64.
Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
41

2005.
Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2006.
Waluyo L. Mikrobiologi Umum Cetakan Kelima. Malang: UMM Press; 2016.
WHO. Glocal Tuberculosis Report 2015 [Internet]. Vol. 1, WHO. 2015. Available
from: http://apps.who.int/tb
Widiyono. Penyakit Tropis, Epidemiologi Penularan & Pemberantasannya. 5th ed.
Jakarta: Erlangga; 2008.

Anda mungkin juga menyukai