SKRIPSI
SKRIPSI
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kepada Yang Mulia Gusti Allah S. W. T,
karena kebaikan Beliau, saya masih bisa bahkan sekedar bernapas di muka bumi-Nya
yang indah tanpa cela ini. Diiringi dengan kewajiban dan amanah dari orang tua untuk
menyelesaikan kuliah dan segera mendapat gelar sarjana, dibuatlah skripsi ini demi
menjemput gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Seperti tembikar yang melalui
berbagai proses untuk membuatnya indah, skripsi ini pun telah melalui berbagai proses
untuk mencapai keindahannya. Dimulai dari diinjak, dipotong, diputar, dilunakkan,
dibakar dalam suhu tinggi, dipoles, hingga dihancurkan ketika terjadi cacat. Skripsi ini
telah melalui berbagai proses dan proses tersebut tidak akan mampu berlangsung baik
tanpa uluran kebaikan dari berbagai pihak.
iv
vi
Akhir kata, saya berdoa pada Yang Mulia Gusti Allah S.W.T untuk segala kebaikan kita
semua. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi semua yang membacanya.
vii
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Royalti Nonekxlusit {Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang be udul:
Gambaran Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Dilihat dari Tingkat Kematangan Budaya
PT. X (Kontraktor) Tahun 2012
hak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan
Yang menyatakan
VIII
menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya
yang berjudul:
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
ABSTRACT
Name : Galih Respati Pradana Mukti
Study Program : Bachelor Public Health
Title : Occupational Health and Safety Management System Seen by
Safety Culture Maturity Level in PT. X (Contractor) Year 2012
The focus of this study is how occupational health and safety management system can
be seen by safety culture maturity model in PT X, a mining contractor. This research is
semi-quantitative descriptive interpretative with cross-sectional study design in front
line workers and middle management in October 2012. The variables of safety culture
maturity is grouped in PDCA cycle of OHSAS 18001 and we can see which one is need
to be maintenance and which one is need to be improved. The result of this research is
there is something in whether Plan, Do, Check, and Action cycle that need to be
improved to reach the continuous improvement state.
HALAMAN JUDUL ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH viii
SURAT PERNYATAAN ix
ABSTRAK x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Pertanyaan Penelitian 3
1.4 Tujuan Umum 4
1.5 Tujuan Khusus 4
1.6 Manfaat Penelitian 4
1.7 Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Budaya Keselamatan 6
2.2 Mengukur Safety Climate dan Safety Culture 9
2.3 Safety Culture Maturity Model 11
2.4 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja 17
2.5 Sistem Manajemen K3 OHSAS 18001:2007 21
2.6 Hubungan Antara Safety Culture dengan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja 33
xi
xii
xiii
xiv
xv
xvi
1
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
keterampilan tertentu, jam kerja panjang, waktu istirahat kurang, dan
ditempatkan di lokasi terpencil/remote area.
Salah satu perusahaan tambang yang ada di Indonesia adalah PT. X.
perusahaan ini merupakan kontraktor pertambangan besar yang
mengerjakan beberapa jobsite yang ada di Indonesia. Jobsite-jobsite
tersebut tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Semakin banyak jobsite yang
dikerjakan berarti semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dan semakin
banyak risiko yang harus dikelola. Hal ini berarti semakin diperlukan
SMK3 di PT. X.
Penerapan SMK3 bukan hanya penting untuk jajaran manajemen,
tapi juga penting hingga tingkat pelaksana. Untuk itu, perlu diketahui
bagaimana pekerja menanggapi penerapan SMK3 di PT. X. Metode atau
alat untuk melihat hal tersebut bisa dilihat dari tingkat kematangan budaya
K3 di PT. X. Penelitian ini akan menjelaskan gambaran penerapan SMK3
dilihat dari tingkat kematangan budaya K3 di PT. X.
6
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Safety culture
Basic Assumptions
(Taken for granted/ Safety climate
unconscious)
Espoused values
(Attitudes about:
•Hardware Artefacts
•Systems
(Visible signs)
•People
•Behaviour)
Gambar 2.1. Safety Culture Model (Sumber: Safety culture Assessment Toolkit, HSE UK)
Model ini membedakan safety culture dan safety climate, dengan safety
climate sebagai bagian dari dua layer terluar dari safety culture. Safety climatee
adalah sub bagian dari safety culture dan terdiri dari espoused values (nilai-nilai
pendukung) dan alat yang dikhususkan untuk keselamatan kerja. Aspek-aspek ini bisa
diukur secara kuantitatif (dengan kuesioner)[Safety Culture Application Guide, 2003].
Universitas Indonesia
2.2. Mengukur Safety Climate dan Safety Culture
Organisasi yang mulai melakukan penilaian safety climate mungkin sudah
memiliki komitmen untuk continuous improvement dalam pemenuhan kesehatan,
keselamatan, dan lingkungan melalui berbagai teknik. Organisasi seperti ini akan
dengan jelas terus mendukung pengembangan dan monitoring teknologi keselamatan
dan sistem serta mempekerjakan orang-orang yang kompeten. Bagaimanapun, praktik
dan prosedurnya tidak cukup jika hanya praktikal secara mekanis saja yang dilakukan.
Hal ini ini membutuhkan safety climate yang efektif untuk bisa berkembang.
Terdapat juga kemungkinan kuat bahwa performa keselamatan dapat meningkat dan
peningkatan berkelanjutan yang lebih lanjut lagi akan lebih sulit untuk dicapai.
Meningkatkan atau mempertahankan safety climate yang ada dapat memungkinkan
organisasi untuk menggerakkan performa keselamatan dari tempat yang sekarang dan
hal ini merupakan bagian yang penting dari proses manajemen keselamatan.
Keuntugan langsung dari adalah dapat membuat profil safety climate dan rencana
kerja yang berdasarkan profil yang dibuat. Mencapai dan mempertahankan safety
climate yang positif akan membuahkan sebuah lingkungan dimana perbaikan dalam
performa keselamatan dapat dibuat.
Terdapat banyak alat yang dapat kita gunakan untuk mengukur safety climate
dan safety culture. The Safety Climate Assessment Toolkit dari HSE UK didesain
untuk menyediakan perhitungan yang cukup dari safety climate. Perhitungan ini bisa
berdiri sendiri-sendiri dan dapat juga disatukan dalam sistem audit yang sudah ada.
Penilaian safety climate melengkapi, bukan menggantikan audit yang sudah ada, dan
merupakan tambahan dari audit keselamatan rutin.
Terdapat beberapa metode umum yang dapat digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang safety climate, diantaranya:
Pertanyaan individual untuk menilai perilaku dan persepsi,
Pengamatan terhadap orang-orang dan fasilitas serta menilai perilaku
dan kondisi kerja, dan
Universitas Indonesia
Memeriksa dokumen yang digunakan oleh organisasi, contohnya
safety procedure, record kecelakaan, dan database accident.
Secara teknis, pendekatan ini dikenal dengan triangulasi, penggunaan angka
untuk meningkatkan efektifitas dari penilaian safety climate. Kombinasi dari
pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk menilai dan untuk menyediakan sebuah
gaimana ketiga perspektif berbeda dapat dikembangkan untuk menyediakan metode yang saling melengkapiuntuk menilai aspek
Universitas Indonesia
Pada intinya, penilaian safety culture bisa dilakukan baik dengan metode
kualitatif maupun metode kuantitatif. Baik itu dengan kuesioner, interview, maupun
observasi.
Universitas Indonesia
terhadap perilaku dan aspek tambahan keselamatan lain. Keselamatan dilihat sebagai
isu teknikal dicapai dengan memenuhi peraturan dan regulasi.
Organisasi yang berada di tingkat 2 melihat keselamatan sebagai sebuah target
organisasi yang penting. Meskipun tidak ada kebutuhan eksternal. Meskipun terdapat
kesadaran terhadap perilaku selamat sudah mulai tumbuh, aspek ini masih banyak
dilupakan dan hilang dari manejemen keselamatan, yang secara umum lebih
berkonsentrasi pada solusi teknik dan prosedural. Keselamatan dihubungkan dengan
istilah target, dengan akuntabilitas mencapai target dibuat spesifik. Organisasi pada
tingkat ini, sering mendapati bahwa dalam beberapa waktu, ketika tren keselamatan
sudah menunjukkan peningkatan, terdapat kemungkinan implementasi yang
dilakukan menjadi datar.
Pada tingkat 3, sebuah organisasi sudah mengadaptasi ide continuous
improvement dan mengaplikasikannya kepada konsep keselamatan. Terdapat
perhatian yang kuat dalam komunikasi, pelatihan, jenis manajemen, dan peningkatan
efektifitas dan efisiensi. Orang-orang dalam organisasi mengerti pengaruh yang kuat
dari isu budaya dalam keselamatan. Tiga tingkat ini tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang totally berbeda. Mungkin juga dalam suatu organisasi dalam satu waktu
menunjukkan karakteristik terkait dengan beberapa atau ketiga tingkat sekaligus.
(AIEA, 2002)
Fleming (2001) mengembangkan sebuah model kematangan budaya
keselamatan dengan tujuan membantu organisasi untuk mengidentifikasikan tingkat
kematangan budaya mereka. Model yang beliau buat berdasarkan kapabilitas
kematangan budaya yang digunakan dalam software engineering dan memiliki 5
tingkat kematangan yaitu emerging, managing, involving, cooperating, dan
continually. Terdapat 10 elemen berupa:
1. Manajemen komitmen dan keterbukaan,
2. Komunikasi,
3. Produktifitas v.s keselamatan,
4. Learning organization,
5. Sumber-sumber keselamatan,
Universitas Indonesia
6. Partisipasi,
7. Persepsi yang ada terkait keselamatan,
8. Kepercayaan,
9. Kepuasan kerja,
10. Pelatihan.
Variabel ini kemudian berkembang dalam penelitian pada perusahaan
petroleum di Brazil menjadi 20 variabel berupa:
1. Tren dan statistik,
2. Audit dan review,
3. Investigasi kecelakaan,
4. Laporan keselamatan,
5. Penyebab kecelakaan di mata manajemen,
6. Yang terjadi setelah kecelakaan (accident follow up)
7. Pertemuan keselamatan,
8. Perencanaan kerja,
9. Manajemen kontraktor,
10. Penetapan standar,
11. Pelatihan dan kompetensi,
12. Teknik manajemen bahaya,
13. Inspeksi keselamatan,
14. Prioritas keselamatan,
15. Sosialisasi keselamatan,
16. Komitmen,
17. Pengembangan prosedur,
18. Tujuan prosedur di mata pekerja,
19. Status dan ruang lingkup departemen K3,
20. Penghargaan terhadap keselamatan.
Tingkat kematangan budaya sebuah organisasi ditentukan berdasarkan rating
dari elemen-elemen tersebut. Menentukan tingkat mana yang paling sesuai dilakukan
berdasarkan rata-rata dari tingkat yang dicapai organisasi yang dievaluasi. Hal itu
Universitas Indonesia
dianjurkan jika progress organisasi secara sekuensial melewati lima tingkat tersebut
dengan membangun bagian-bagian yang kuat dan menghilangkan bagian-bagian yang
lemah dari tingkat sebelumnya. Safety Culture Maturity Model milik Fleming hanya
relevan untuk organisasi yang memenuhi kriteria spesifik sepert:
Sistem Manajemen Keselamatan yang dimiliki sudah adekuat,
Kesalahan teknis bukanlah penyebab terbanyak dari accident,
Perusahaan patuh pada hukum mengenai keselamatan dan kesehatan,
Keselamatan tidak dikendalikan dengan menghindari tuntutan tapi
dengan keinginan untuk mencegah keselakaan.
Lima level kematangan budaya menurut Fleming dijelaskan sebagai berikut
1. Emerging: Keselamatan didefinisikan sebagai penyelesaian masalah
secara teknikal dan procedural dan patuh pada peraturan namun tidak
dilihat sebagai risiko bisnis yang penting. Departemen keselamatan
dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan.
Kecelakaan kerja dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindari
dan merupakan bagian dari pekerjaan. Kebanyakan pekerja di lapangan
tidak tertarik akan keselamatan dan hanya menggunakannya sebagai
bahan argumentasi (misalnya untuk masalah sistem pergantian shift kerja).
2. Managing: Angka kecelakaan kerja biasa saja untuk kategori industry
namun ada kecenderungan terjadinya kecelakaan kerja serius melebihi rata-
rata. Keselamatan dilihat sebagai risiko bisnis dan diberikan waktu dan
upaya oleh manajemen sebagai usaha pencegahan kecelakaan kerja.
Keselamatan dilihat hanya sebagai pelanggaran terhadap peraturan,
prosedur dan kontrol rekayasa. Kecelakaan kerja dianggap dapat dicegah.
Manajemen beranggapan bahwa sebagian besar kecelakaan kerja
merupakan akibat dari perilaku tidak aman pekerja di lapangan. Kinerja
keselamatan diukur dari indikator hasil (lagging indicator) seperti
kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan jam kerja (LTI). Penghargaan
terhadap keselamatan diberikan berdasarkan penurunan angka kecelakaan.
Senior manajer berlaku reaktif terhadap keterlibatan mereka dalam
Universitas Indonesia
keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya mereka menggunakan
hukuman jika angka kecelakaan meningkat dan baru mencari perbaikan
setelah terjadinya kecelakaan.
3. Involving: angka kecelakaan cendreung rendah namun sudah mencapai
tingkat datar. Organisasi yakin bahwa keterlibatan pekerja di lapangan
akan keselamatan merupakan hal yang kritis untuk peningkatan di masa
depan, namun tidak untuk saat ini. Para manajer mengenali secara luas
bahwa faktor penyebab kecelakaan sering berakar pada keputusan
manajemen. Sebagian pekerja di lapangan bersedia bekerja sama dengan
manajemen untuk meningkatkan keselamatan. Sebagian besar pekerja
menerima bahwa keselamatan merupakan tanggung jawab pribadi mereka.
Kinerja keselamatan secara aktif dimonitor dan data yang ada digunakan
secara efektif. Organisasi mempunyai sistem yang bekerja untuk
mengatasi bahaya di tempat kerja, namun sistem tersebut diaplikasikan
secara mekanik.
4. Cooperating: Sebagian besar pekerja yakin bahwa keselamatan dan
kesehatan kerja merupakan hal yang penting, baik dari sudut pandang
moral maupun ekonomi. Para manajer dan pekerja di lapangan
mengetahui bahwa faktor penyebab kecelakaan dan penyebab dasarnya
kemungkinan kembali kepada keputusan manajemen. Pekerja di lapangan
menerima bahwa keselamatan dirinya dan orang lain merupakan tanggung
jawab pribadinya. Pekerja merasa bahwa apa yang mereka rasakan
dihargai dan diperlakukan secara adil. Organisasi melakukan usaha yang
signifikan terhadap penilaian proaktif untuk mencegah kecelakaan.
Kinerja keselamatan secara aktif dimonitor dengan menggunakan data
yang ada. Kecelakaan diluar jam kerja juga dipantau dan gaya hidup sehat
dipromosikan.
5. Continuous Improvement: Pencegahan semua cedera dan kecelakaan pada
pekerja (baik di tempat kerja maupun di rumah) merupakan inti dari nilai
yang dianut perusahaan. Organisasi dapat mempertahankan kinerja tanpa
Universitas Indonesia
kecelakaan dan nyaris celaka selama beberapa tahun, namun tidak ada
sikap lengah. Mereka bekerja dengan ketakutan bahwa kecelakaan
berikutnya berada dekat sekali dengan mereka. Organisasi menggunakan
radius indikator untuk memantau kinerja, namun bukan disetir oleh kinerja,
karena mereka yakin akan proses keselamatan yang mereka miliki.
Organisasi secara konsisten berjuang untuk menjadi lebih baik dan
mencari cara yang lebih baik untuk meningkatkan mekanisme kontrol
bahaya. Semua pekerja percaya keselamatan dan kesehatan kerja adalah
aspek kritis dari pekerjaan mereka dan menerima bahwa pencegahan
cidera di luar waktu kerja adalah hal yang penting. Perusahaan
memberikan usaha luar biasa dalam promosi keselamatan dan kesehatan di
rumah.
Baik safety culture maturity model yang dikemukakan Fleming maupun
tingkat kematangan budaya yang dikemukakan IAEA dikembangkan sebagai alat
untuk mendiagnosa. Masih ada model yang kurang memiliki bukti empirik sebagai
dukungan dikarenakan tidak adanya data yang mengindikasikan bahwa semua
organisasi mengikuti sebuah urutan untuk kematangan budaya dan juga penggunaan
rata-rata untuk menentukan tingkat kematangan budaya dianggap tepat. Fleming
sendiri memperingatkan bahwa safety culture maturity membutuhkan jumlah
penelitian yang signifikan sebelum dapat digunakan.
Hudson (2001) juga mengusulkan sebuah safety culture maturity model,
berdasarkan yang dikembangkan oleh Westrum untuk evolusi safety culture dari
tingkat pathological hingga tingkat ideal generative. Dua tingkat tambahan, reactive
dan proactive, awalnya diajukan oleh Reason (1997) sebagai sebuah tambahan dari
topologi asli Westrum. Pendeskripsian dari tiap tingkat pengembangan safety culture
menurut Hudson (2003) adalah sebagai berikut:
Pathological: Safety adalah masalah yang disebabkan oleh pekerja. Tujuan
utama adalah bisnis dan keinginan untuk tidak tertangkap oleh pengawas.
Reactive: Organisasi mulai menganggap safety secara serius namun hanya
terdapat respon setelah terjadi kecelakaan.
Universitas Indonesia
Calculative: Safety dilakukan oleh sistem manajemen, dengan banyak
melakukan pengumpulan data. Safety masih secara primer dilakukan dengan
manajemen dan mengadakan sanksi dibanding dengan menjaga pekerja.
Proactive: Dengan performa yang meningkat, sesuatu yang tidak diharapkan
merupakan sebuah tantangan. Keterlibatan pekerja terlihat mulai berinisiatif
dan tidak hanya melaksanakan perintah.
Generative: Terdapat partisipasi aktif dari semua tingkat di perusahaan. Safety
dirasakan sebagai sebuah bagian yang sudah menjadi sifat dari bisnis yang dilakukan.
Universitas Indonesia
tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif (PP 50/2012). Secara keseluruhan
yang disebut sebelumnya meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,
pelaksanaan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja (Permen 05/Men/1996).
Menurut OHSAS 18001:2007 OHS Management System: Part of an
Organization’s Management System Used to Develop and Implement its OH&S
Policy and Manage OH&S Risk, sistem manajemen, termasuk struktur organisasi,
rencana kerja, penanggungjawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya,
adalah kumpulan elemen yang saling terkait yang digunakan untuk menyusun
kebijakan dan tujuan serta mencapai tujuan tersebut (Ramli, 2009).
Sistem manajemen K3 merupakan konsep pengelolaan K3 secara sistematis
dan komprehensif dalam suatu sistem manajemen yang utuh melalui proses
perencanaan, penerapan, pengukuran, dan pengawasan (Ramli, 2009).
Ramli (2009) dalam bukunya menjelaskan tujuan dari sistem manajemen K3
diantaranya:
Sebagai alat ukur kinerja organisasi,
Sebagai pedoman implementasi K3 dalam organisasi,
Sebagai dasar penghargaan terhadap keselamatan, dan
Sebagai sertifikasi.
Sistem manajemen K3 haruslah menjadi bagian terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan dan tidak berdiri sendiri serta harus sejalan dengan visi dan
misi organisasi serta mampu mendukung proses bisnis (Ramli, 2009). Siklus bisnis
organisasi terdiri dari input-proses-output. Input yang dimaksud seperti bahan baku,
tenaga manusia, metode, modal, alat, dan sebagainya. Selanjutnya, input ini diproses
dan akhirnya menjadi output-output berupa produk atau barang jadi, laba bagi
perusahaan, upah pekerja untuk kompensasi tenaga dan pikiran yang mereka berikan,
serta pajak bagi pemerintah. Diantara output-output tersebut, terdapat output yang
tidak diinginkan yang merupakan dampak negatife terkait K3 seperti limbah, bising,
gangguan lingkungan, gangguan kesehatan, PAK, kecelakaan, dan sebagainya.
Dampak-dampak inilah yang harus ditekan seminimal nungkin agar tidak sampai
Universitas Indonesia
terjadi kerugian. Untuk mengurangi dampak tersebut, perlu diterapkan sistem
manajemen K3 dalam prses produksi yang dilakukan. Aspek K3 tidak hanya harus
ditempatkan pada satu titik proses, melainkan pada keseluruhan proses yang ada
dalam suatu organisasi.
Implementasi sistem manajemen K3 bertujuan untuk meningkatkan kinerja K3
dengan melaksanakan program-program K3 secara efektif dan efisien sehingga risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja bisa dikurangi (Ramli, 2009). Menurut PP no.
50 tahun 2012, setiap industri yang meiliki minimal 100 pekerja atau pekerja kurang
dari 100 orang namun memiliki risiko tinggi harus menerapkan sistem manajemen
K3. Keberadaan sistem manajemen K3 memungkinkan semua aspek yang ada dalam
satu organisasi tertata rapi sehingga hasil yang ingin dicapai bisa efektif. Sistem
manajemen K3 yang diterapkan juga tidak boleh sembarangan. Harus ada integrasi
antar elemen yang dikembangkan berdasarkan identifikasi bahaya untuk mencegah
risiko, yang dilanjutkan dengan melakukan pencegahan dan pengamanan serta
dibarengi pengawasan dari manajemen untuk menjamin penerapannya. Pelaksanaan
sistem manajemen K3 seperti ini disebut sistem manajemen K3 komprehensif atau
Comprehensive OHSMS.
Sistem manajemen K3 yang dibutuhkan tiap organisasi berbeda-beda.
Kebutuhan akan sistem manajemen K3 di industri ditentukan oleh faktor risiko serta
tingkat kerumitan terkait proses, unit, kegiatan, dan sifat kegiatannya. Lebih lanjut
mengenai kebutuhan sistem manajemen K3 dapat dijelaskan di Gambar 2.4.
Universitas Indonesia
Risiko Tinggi
SMK3 Komprehensif
SMK3 Sederhana
dengan
dengan pemantauan
pemantauan audit
intensif. [Risiko intensif. [Risiko
Tinggi, Skala Tinggi, Skala
Industri Kecil, Industri Besar,
Skala Kompleksitas Kompleksitas Skala Industri
Kegiatan Sederhana] Kegiatan Rumit]
Industri Besar,
Kecil, Kompleksitas
Kompleksitas Kegiatan
Kegiatan SMK3 Sederhana SMK3 Komprehensif Rumit
Sederhana dengan pemantauan dengan
rendah. [Risiko pemantauan
Rendah, Skala sedang. [Risiko
Industri Kecil, Rendah, Skala
Kompleksitas Industri besar,
Kegiatan Sederhana] Kompleksitas
Kegiatan Rumit.
Risiko Rendah
Universitas Indonesia
SMK3 harus konsisten dengan hasil identifikasi bahaya dan penilaian
risiko yang sudah dilakukan,
SMK3 harus mengandung elemen implementasi berdasarkan siklus
proses manajemen atau PDCA,
Semua unsur atau individu yang terlibat harus memahami konsep dan
implementasi SMK3,
Adanya dukungan dan komitmen manajemen puncak dan seluruh
elemen dalam organisasi untuk mencapai kinerja K3 terbaik, dan
SMK3 harus terintegrasi dengan sistem manajemen lainnya yang ada
dalam organisasi.
Universitas Indonesia
• Tinjauan
Manajemen • Identifikasi bahaya,
penilaian, dan
pengendalian,
Persyaratan legal
dan sebagainya,
Objektif dan program
Tindakan K3
Perencanaan
Perbaikan
• Sumber daya,
peran, tanggungjawab,
Implementasi tanggunggugat, dan
Pemeriksaan
dan wewenang, Kompetensi,
• Pengukuran kinerja dan Operasi pelatihan, dan
pemantauan, Evaluasi kepedulian,
pemenuhan, Komunikasi,
Penyelidikan insiden, partisipasi, dan
ketidaksesuaian, koreksi konsultasi,
dan pencegahan, Dokumentasi,
Pengendalian rekaman, Pengendalian Dokumen,
Audit internal Pengendalian Operasi,
Tanggap Darurat
Gambar 2.5. Siklus PDCA OHSAS 18001 (Ramli:2009)
Universitas Indonesia
Dikomunikasikan ke seluruh pekerja dengan maksud agar pekerja
memahami kewajiban dan perannya dalam K3,
Tersedia bagi pihak lain yang terkait, dan
Ditinjau ulang secara berkala untuk memastikan masih relevan dan
sesuai bagi organisasi
2. Manajemen Risiko
Organisasi harus menetapkan, mengimplementasikan, dan memelihara
prosedur untuk melakukan identifikasi bahaya dari kegiatan yang sedang
berjalan, penilaian risiko dan menetapkan pengendalian yang diperlukan.
3. Identifikasi bahaya
Setiap persyaratan legal yang dapat diberlakukan berkaitan dengan
pengendalian risiko dan implementasi dari pengendalian risiko yang
diperlukan, rancangan dari proses, lingkungan kerja, instalasi, mesin dan
alat, prosedur operasi, dan organisasi kerja, termasuk adaptasinya terhadap
kemampuan manusia. Prosedur identifikasi bahaya dan penilaian risiko
harus mempertimbangkan:
Aktifitas rutin dan non rutin,
Aktifitas dari semua individu yang memiliki akses ke tempat kerja
termasuk kontraktor,
Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainnya,
Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia yang berada di bawah perlindungan organisasi di dalam
tempat kerja,
Bahaya yang ditimbulkan di sekitar tempat kerja dari aktifitas yang
berkaitan dengan pekerjaan yang berada di bawah kendali
organisasi,
Infrastruktur, peralatan, dan material di tempat kerja,
Universitas Indonesia
Perubahan atau rencana perubahan dalam organisasi, kegiatannya
atau material, dan
Modifikasi pada sistem manajemen K3, termasuk perubahan
sementara dan dampaknya terhadap operasi, proses, dan aktivitas.
3.1 Metode Identifikasi dan Penilaian Risiko
Metodologi identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus:
Dibuat dengan memperhatikan ruang lingkup, bentuk, dan waktu
untuk memastikan agar proaktif ketimbang reaktif, dan
Memberikan identifikasi, prioritas, dan dokumentasi risiko, serta
penerapan dan pengendalian jika diperlukan
3.2 Manajemen Perubahan
Organisasi harus mengidentifikasikan bahaya dan risiko K3 berkaitan
dengan perubahan organisasi, sistem manajemen k3 atau aktifitasnya
sebelum melakukan suatu perubahan.
3.3 Pengendalian Risiko
Organisasi harus memastikan bahwa hasil penilaian risiko
dipertimbangkan dalam menentukan pengendaliannya. Ketika
menentukan pengendalian, atau perubahan dari pengendalian yang
sudah ada, perlu dipertimbangkan mengurangi risiko berdasarkan
hierarki pengendalian bahaya K3.
3.4 Dokumentasi manajemen risiko
Organisasi harus mendokumentasikan dan menyimpan hasil
identifikasi bahaya, penilaian risiko dan penetapan pengendalian dan
menjaga agar selalu up-to-date.
3.5 Implementasi Manajemen Risiko
Organisasi harus memastikan bahwa risiko K3 dan penentuan
pengendalian dimasukkan dalam pertimbangan ketika menetapkan,
menjalankan, dan memelihara sistem manajemen K3.
4. Perundangan dan Persyaratan Lainnya
Universitas Indonesia
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur
untuk mengidentifikasikan dan mendapatkan perundangan dan persyaratan
K3 lainnya yang sesuai untuk mereka. Organisasi harus memastikan
bahwa persyaratan perundangan yang sesuai dan persyaratan perundangan
lainnya yang digunakan organisasi sipertimbangkan dalam menetapkan,
menjalankan, dan memelihara sistem manajemen K3. Organisasi harus
menyimpan informasi ini tetap mutakhir. Organisasi harus
mengomunikasikan informasi yang relevan mengenai perundangan dan
persyaratan lainnya kepada individu yang bekerja di bawah pengawasan
organisasi, dan pihak terkait lainnya.
5. Objektif dan Program K3
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara dokumen
objektif K3 pada dengan fungsi dan tingkatan yang sesuai dalam
organisasi. Objektif sebisa mungkin dapat terukur dan konsisten dengan
kebijakan K3, termasuk komitmen untuk mencegah cedera dan penyakit
akibat kerja, pemenuhan persyaratan hukum yang berlaku dan persyaratan
lainnya diacu organisasi dan untuk peningkatan berkelanjutan. Ketika
menetapkan dan mengkaji objektifnya, organisasi harus bisa memasukkan
ke dalam pertimbangan tentang persyaratan perundangan dan persyaratan
lainnya yang diacu organisasi dan risiko K3. Termasuk juga opsi
teknologi, finansial, operasional, dan persyaratan bisnis dan pandangan
dari pihak terkait yang relevan.
6. Sumberdaya, Peran, Tanggungjawab, Tanggunggugat, dan Wewenang
Manajemen puncak harus mengambil tanggung jawab penuh terhadap K3
dan sistem manajemen K3. Manajemen puncak harus menunjukkan
komitmennya dengan memastikan ketersediaan sumberdaya yang penting
untuk menetapkan, menjalankan, memelihara, dan meningkatkan sistem
manajemen K3, serta menetapkan peran, alokasi tanggungjawab dan
akuntabilitas, dan pendelegasian wewenang untuk memfasilitasi
Universitas Indonesia
manajemen K3 yang efektif. Peran, tanggung jawab, tanggunggugat, dan
wewenang harus didokumentasikan dan dikomunikasikan.
7. Kompetensi, Pelatihan, dan Kepedulian
Organisasi harus memastikan bahwa setiap individu di bawah
pengendaliannya yang melakukan pekerjaan yang dapat berdampak K3
telah kompeten, terlatih, dan berpengalaman, serta memelihara
rekamannya. Organisasi harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan
berdasarkan risiko K3. Organisasi harus menjalankan dan memelihara
prosedur agar para pekerja sadar akan konsukuensi K3, peran dan
tanggungjawab individu, dan potensi konsekuensi jika melanggar prosedur
tertentu. Prosedur pelatihan harus mempertimbangkan adanya perbedaan
dari tanggungjawab, kemampuan teknis, kemampuan bahasa dan
membaca, dan risiko.
8. Komunikasi
Dengan memperhatikan bahaya dan sistem manajemen K3, organisasi
harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur untuk:
Komunikasi internal antar berbagai tingkatan dan fungsi dalam
organisasi,
Komunikasi dengan kontraktor dan pengunjung lainnya di tempat
kerja,
Penerimaan, pendokumentasian, dan tanggapan terhadap
komunikasi yang relevan terkait dari pihak luar yang terkait
9. Partisipasi dan Konsultasi
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur
untuk konsultasi dengan kontraktor dan pastisipasi pekerja melalui:
Keterlibatan dalam identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan
menentukan pengendalian,
Keterlibatan dalam penyelidikan insiden,
Keterlibatan dalam pengembangan dan kajian kebijakan dan
objektif K3,
Universitas Indonesia
Konsultasi dimana terdapat suatu perubahan yang mempengaruhi
mereka,
Perwakilan dalam aspek K3,
Informasi tentang pengaturan partisipasi pekerja, termasuk siapa
perwakilan K3 dari pekerja.
10. Dokumentasi
Dokumentasi sistem manajemen K3 harus mencakup:
Kebijakan dan objektif K3,
Uraian lingkup sistem manajemen K3,
Uraian lengkap elemen utama dari sistem manajemen K3, interaksi
dan referensi untuk dokumen terkait,
Dokumen, termasuk rekaman yang ditentukan dan diperlukan oleh
organisasi untuk memastikan perencanaan yang efektif, operasi
dan pengendalian proses yang berkaitan dengan manajemen risiko
K3.
11. Pengendalian Dokumen
Dokumen yang diperlukan oleh sistem manajemen K3 dan standar SMK3
ini harus dikendalikan. Rekaman dalam bentuk khusus dari dokumen
harus dikendalikan sehubungan dengan persyaratan yang diberikan dalam
klaususl dokumentasi. Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan
memelihara suatu prosedur untuk:
Menyetujui kecukupan dokumen seblum diterbitkan,
Mengaji ulang dan menyempurnakan jika perlu dan dokumen
dikaji ulang,
Memastikan bahwa status perubahan dan revisi berjalan dari
dokumen diidentifikasi,
Memastikan bahwa versi yang relevan dari dokumen yang berlaku
tersedia di tempat penggunaannya,
Universitas Indonesia
Memastikan bahwa dokumen masih berlaku dan identitasnya dapat
dibaca,
Memastikan bahwa dokumen dari eksternal yang dianggap
diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan SMK3 telah
diidentifikasi dan dikendalikan penyebarannya, dan
Mencegah penggunaan yang tidak semestinya dari dokumen yang
kadaluarsa dan diberlakukan identifikasi yang sesuai jika dokumen
tersebut disimpan untuk keperluan tertentu.
12. Pengendalian Operasi
Organisasi harus menetapkan operasi dan aktivitas yang berhubungan
dengan hasil identifikasi bahaya dimana diperlukan pengendalian untuk
mengelola risiko K3. Harus termasuk di dalamnya manajemen perubahan.
Untuk operasi dan aktifitas tersebut, organisasi harus menjalankan dan
memelihara:
Pengendalian operasi yang sesuai dengan aktifitas organisasi. Dan
organisasi harus mengintegrasikan pengendalian operasi tersebut
ke dalam sistem manajemen K3,
Pengendalian berkaitan dengan pembelian material, peralatan, dan
jasa,
Pengendalian berkaitan dengan kontraktor dan pengunjung lainnya
ke tempat kerja,
Prosedur terdokumentasi, untuk meliput situasi, dan
Menentukan kriteria operasi, dimana ketiadaannya dapat
menimbulkan penimpangan dari kebijakan dan objektif K3.
13. Tanggap Darurat
Organisasi harus menetapkan, emnajlankan, dan memelihara prosedur
untuk mengidentifikasi potensi situasi darurat dan merespon situasi
darurat tersebut. Organisasi harus tanggap terhadap situasi darurat
sebenarnya dan mencegah atau menekan konsekuensi K3 yang
ditimbulkannya. Dalam merancang tanggap darurat, organisasi harus
Universitas Indonesia
mempertimbangkan keperluan pihak berkepentingan lainnya. Organisasi
juga harus menguji prosedur tanggap darurat secara berkala. Organisasi
harus secara berkala melakukan kajian dan bilamana mungkin merevisi
prosedur kesiapan dan tanggap darurat, khususnya setelah pengujian
berkala dan setelah terjadi keadaan darurat.
14. Pemantauan dan Pengukuran Kinerja
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur
untuk memantau dan mengukur kinerja K3 secara berkala. Prosedur ini
harus memuat:
Pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif, sesuai dengan
kebutuhan organisasi,
Pemantauan sampai kepada pencapaian objektif K3,
Pemantauan efektifitas pengendalian (baik untuk kesehatan dan
keselamatan),
Pengukuran kinerja yang bersifat proaktif untuk memantau
kesesuaiannya dengan program K3, kriteria operasional,
Pengukuran kinerja yang bersifat reaktif yang memantau penyakit
akibat kerja, insiden kecelakaan maupun hampir kecelakaan, dan
pembuktian penyimpangan kinerja K3 masa lampau,
Rekaman data dan hasil pemantauan dan pengukuran yang
memadai untuk analisa koreksi berikutnya dan tindakan
pencegahan.
Apabila diperlukan peralatan untuk memantau atau mengukur kinerja,
organisasi harus mentapkan dan memelihara prosedur untuk kaliberasi dan
pemeliharaan peralatan tersebut sebagaimana mestinya. Rekaman kegiatan
kaliberasi dan pemeliharaan dan hasilnya harus disimpan dengan baik.
15. Evaluasi Pemenuhan
Konsisten dengan komitmen untuk memenuhi perundangan, organisasi
harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur untuk
mengevaluasi secara berkala pemenuhan persyaratan hukum yang sesuai.
Universitas Indonesia
Organisasi harus menyimpan rekaman dari hasil evaliasi berkala.
Organisasi harus mengevaluasi pemenuhan persyaratan lain yang berlaku
di organisasi. Organisasi harus menyimpan rekaman hasil evaluasi berkala
yang dilakukan.
16. Penyelidikan insiden
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur
untuk merekam, menyelidiki, dan menganalisa insiden dengan tujuan
untuk:
Mengidentifikasi tindakan koreksi yang diperlukan,
Menentukan penyebab dasar ketimpangan K3 dan faktor lain yang
dapat menyebabkan atau berkontribusi terjadinya suatu insiden,
Mengidentifikasi peluang untuk melakukan tindakan pencegahan,
Mengidentifikasi peluang untuk peningkatan berkelanjutan,
Komunikasi hasi penyelidikan yang dilakukan.
Penyelidikan harus dilakukan dalam waktu yang tepat. Setiap
mengidentifikasi perlunya tindakan pencegahan harus dijalankan sesuai
dengan bagian yang relevan dari klausul tindakan koreksi. Hasil
penyelidikan insiden harus didokumentasikan dan dipelihara
17. Ketidaksesuaian, Tindakan Koreksi, dan Tindakan Pencegahan
Organisasi harus menetapkan, menjalankan, dan memelihara prosedur
untuk menangani ketidaksesuaian atau potensi ketidaksesuaian yang
ditemukan dan mengambil tindakan koreksi dan perbaikan. Prosedur harus
menjelaskan persyaratan untuk:
Identifikasi dan koreksi ketidaksesuaian dan tindakan untuk
mengurangi konsekuensi K3,
Menyelidiki ketidaksesuaian, menemukan penyebab dan
mengambil tindakan untuk mencegah agar tidak terulang kembali,
Mengevaluasi tindakan yang diperlukan untuk mencegah
ketidaksesuaian dan menjalankan tindakan yang perlu untuk
mencegah agar tidak terulang,
Universitas Indonesia
Merekam dan mengomunikasikan hasil tindakan-tindakan koreksi
dan tindakan pencegahan yang diambil,
Mengkaji efektifitas tindakan koreksi dan pencegahan yang telah
diambil.
Setiap tindakan koreksi dan pecegahan yang diambil untuk
menghilangkan penyebab etidaksesuaian aktual atau potensial harus sesuai
dengan besarnya permasalahan dan seimbang dengan risiko K3 yang
ditimbulkan. Organisasi harus memastikan bahwa setiap perubahan yang
timbul dari tindakan koreksi dan pencegahan dibuat pada sistem
dokumentasi K3.
18. Pengendalian Rekaman
Organisasi harus menetapkan dan memelihara rekaman yang diperlukan
untuk menunjukkan kesesuaian dengan persyaratan sistem manajemen K3,
standar K3, dan hasil yang dicapai. Organisasi harus menetapkan,
menjalankan, dan memelihara prosedur untuk identifikasi, penyimpanan,
perlindungan, penarikan, dan pemusnahan rekaman. Rekaman K3 harus
dapat dibaca, dikenali, dan dilacak pada kegiatan yang bersangkutan.
19. Internal Audit
Organisasi harus memastikan bahwa audit internal untuk sistem
manajemen K3 dilakukan dalam selang waktu terencana untuk
memberikan informasi hasil audit untuk manajemen dan menentukan
apakah sistem manajemen K3 sudah memenuhi persyaratan pengaturan
manajemen K3 yang direncanakan termasuk persyaratan dari standar
OHSAS 18001, sudah dijalankan dengan baik, dan efektif dalam
memenuhi kebijakan dan objektif organisasi. Prosedur audit harus
ditetapkan, dilaksanakan, dan dipelihara yang menyangkut tanggung
jawab, kompetensi, persyaratan untuk perencanaan dan melaksanakan
audit, pelaporan hasil audit, dan menjaga rekaman audit, serta menentukan
kriteria audit, lingkup, kekerapan, dan metode. Pemilihan auditor dank
ode etik audit untuk menjamin objektifitas dan kenetralan proses audit.
Universitas Indonesia
20. Tinjauan Manajemen
Pimpinan pincak harus meninjau ulang sistem manajemen K3 dalam
jangka saktu tertentu untuk memastikan kesesuaian, kecukupan, dan
efektifitasnya tetap berkelanjutan. Tinjauan manajemen harus meliputi
penilaian terhadap peluang peningkatan SMK3 serta keperluan untuk
merubah sistem manajemen K3, termasuk kebijakan K3 dan objektif K3.
Masukan untuk tinjauan manajemen harus mencakup:
Hasil audit internal dan evaluasi pemenuhan dengan persyaratan
hukum dan persyaratan lainnya yang berlaku di organisasi,
Hasil partisipasi dan konsultasi,
Komunikasi yang relevan dari pihak eksternal, termasuk pihak
lawan,
Elemen lain dari sistem manajemen K3
Kinerja K3 organisasi,
Objektif yang telah dicapai,
Ststus penyelidikan insiden, tindakan koreksi, dan langkah
pencegahan,
Tindak lanjyt dari tinjauan manajemen sebelumnya,
Perubahan lingkungan, termasuk perkembangan dalam aspek
hukum dan persyaratan lainnya yang berkaitan dengan K3,
Saran untuk perbaikan.
Output dari tinjauan manajemen harus konsisten dengan komitmen
organisasi untuk peningkatan berkelanjutan dan harus mencakup setiap
keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan perubahan yang dapat
dilakukan untuk kinerja K3, kebijakan K3 dan objektif K3, sumberdaya,
dan elemen lain dalam sistem manajemen K3. Output yang relevan dari
tinjauan manajemen harus tersedia untuk komunikasi dan konsultasi.
Universitas Indonesia
2.6.Hubungan Antara Safety Culture dengan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Hal ini menunjukkan pentingnya budaya dalam sistem manajemen K3. Tujuan utama dari SMS adalah untuk mengembangkan d
mereka miliki dan secara proaktif membimbing aktifitas yang diperlukan untuk
membentuk budaya organisasi/ untuk mengembangkan sebuah safety culture yang
positif, terdapat hubungan antara menciptakan lingkungan dari sebuah organisasi
yang akan mempengaruhi perilaku pekerja, dimana seiring berjalannya waktu akan
membentuk budaya yang diinginkan (Aerosafe, 2009).
Universitas Indonesia
Fleming menjelaskan bahwa penilaian budaya keselamatan dengan
menggunakan safety culture maturity model hanya bisa digunakan pada perusahaan
yang sudah memiliki SMK3 yang adekuat. Korelasi antara safety culture maturity
model dengan siklus PDCA OHSAS 18001:2007 terletak pada continuous
improvement. Westrum menjelaskan bahwa tingkat paling tinggi dari safety culture
adalah continuous improvement dan siklus PDCA OHSAS itu sendiri merupakan
siklus continuous improvement. Variabel-variabel yang berada dalam safety cumture
maturity level dapat dimasukkan kedalam siklus PDCA sebagai bagian dari audit atau
review pelaksanaan SMK3 di lapangan. Terdapat kemungkinan satu variabel SCML
masuk kedalam beberapa bagian siklus PDCA.
Perencanaan SMK3 yang terdiri dari identifikasi bahaya, penilaian, pengadaan,
persyaratan legal dan lainnya, serta objektiif dan program K3 dapat diwakilkan oleh
variabel SCML seperti perencanaan kerja, penetapan standar, komitmen, prioritas
keselamatan, pengembangan prosedur, tujuan prosedur di mata pekerja, serta tren dan
statistik.
Implementasi dan operasi SMK3 yang terdiri dari sumberdaya, peran,
tanggungjawan, tanggunggugat, wewenang, kompetensi, pelatihan, kepedulian,
komunikasi, partisipasi, konsultasi, dokumentasi, pengendalian dokumen,
pengendalian operasi, dan tanggap darurat dapat diwakilkan oleh variabel SCML
seperti laporan keselamatan, penyebab kecelakaan dimata manajemen, pertemuan
keselamatan, manajemen kontraktor, pelatihan dan kompetensi, sosialisasi dan ruang
lingkup departemen K3, penghargaan terhadap keselamatan, dan teknik manajemen
bahaya.
Pemeriksaan SMK3 yang terdiri dari pengukuran kinerja dan pemantauan,
evaluasi pemenuhan, penyelidikan insiden, ketidaksesuaian, koreksi dan pencegahan,
pengendalian rekaman, serta audit internal dapat diwakili oleh variabel SCML
investigasi kecelakaan, yang terjadi setelah kecelakaan, inspeksi keselamatan, audit
dan review, serta tren dan statistik.
Tindakan perbaikan SMK3 dapat didasari dengan audit dan review pada
variabel SCML.
Universitas Indonesia
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.Kerangka Teori
Berdasarkan OSHAS 18001:2007, terdapat 4 siklus SMK3, yaitu perencanaan,
implementasi dan operasi, pemeriksaan, dan tinjauan manajemen. Sementara itu,
terdapat 20 variabel SCML untuk melihat tingkat budaya K3 berdasarkan persepsi
pekerja yaitu:
1. Tren dan statistik,
2. Audit dan review,
3. Investigasi kecelakaan,
4. Laporan keselamatan,
5. Penyebab kecelakaan di mata manajemen,
6. Yang terjadi setelah kecelakaan,
7. Pertemuan keselamatan,
8. Perencanaan kerja,
9. Manajemen kontraktor,
10. Penerapan standar,
11. Pelatihan dan kompetensi,
12. Teknik manajemen bahaya,
13. Inspeksi keselamatan,
14. Prioritas keselamatan,
15. Sosialisasi keselamatan,
16. Komitmen,
17. Pengembangan prosedur,
18. Tujuan prosedur di mata pekerja,
19. Status dan ruang lingkup departemen K3,
20. Penghargaan terhadap keselamatan.
Berdasarkan kedua hal tersebut, didapat kerangka teori sebagai berikut:
35
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
36
Tindakan Perbaikan
Grafik 3.1. Kerangka Teori
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
3.2.Kerangka Konsep
Perencanaan
- Tren dan Statistik
- Perencanaan kerja
- Penetapan standar
- Komitmen
- Prioritas keselamatan
- Pengembangan prosedur
- Tujuan prosedur di mata pekerja
Pemeriksaan
- Tren dan statistik
- Audit dan review
- Investigasi kecelakaan
- Yang terjadi setelah kecelakaan
- Inspeksi keselamatan
Tindakan Perbaikan
- Audit dan review
3.3.Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
1 Perencanaan Tren dan Persepsi pekerja tentang bagaimana data-data Kuesioner 1=Patologic Ordinal
Statistik
kesehatan dan keselamatan kerja diolah dan dijadikan SCML 2=Reactive
acuan dalam bentuk tren dan statistik. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Perencanaan Persepsi pekerja tentang bagaimana perencanaan dan Kuesioner 1=Patologic Ordinal
kerja
ijin kerja, termasuk ijin perjalanan. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Penetapan Persepsi pekerja mengenai bagaimana standar dibuat. Kuesioner 1=Patologic Ordinal
standar
SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
Komitmen Persepsi pekerja mengenai perilaku/keputusan yang Kuesioner 1=Patologic Ordinal
dibuat manajemen dan pekerja itu sendiri terhadap SCML 2=Reactive
keselamatan kerja. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
2 Implementasi dan Laporan Persepsi pekerja mengenai safety report. Kuesioner 1=Patologic Ordinal
keselamatan
operasi SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Penyebab Persepsi pekerja mengenai apa yang manajemen Kuesioner 1=Patologic Ordinal
kecelakaan di
pikirkan sebagai penyebab kecelakaan. SCML 2=Reactive
mata
manajemen 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
Pertemuan Persepsi pekerja mengenai pertemuan rutin yang Kuesioner 1=Patologic Ordinal
keselamatan
membahas keselamatan. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Pelatihan dan Persepsi pekerja mengenai pelatihan hal-hal yang Kuesioner 1=Patologic Ordinal
kompetensi
dibutuhkan dalam keselamatan saat bekerja. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
Sosialisasi Persepsi pekerja mengenai bagaimana informasi- Kuesioner 1=Patologic Ordinal
keselamatan
informasi mengenai keselamatan disebarluaskan. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Status dan Persepsi pekerja mengenai keberadaan departemen Kuesioner 1=Patologic Ordinal
ruang lingkup
Dept. K3 K3 di perusahaan dan efeknya terhadap keselamatan SCML 2=Reactive
mereka. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
Penghargaan Persepsi pekerja tentang bagaimana prestasi terhadap Kuesioner 1=Patologic Ordinal
terhadap
keselamatan perilaku keselamatan yang baik dihargai. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
3 Pemeriksaan Tren dan Persepsi pekerja tentang bagaimana data-data Kuesioner 1=Patologic Ordinal
statistik
kesehatan dan keselamatan kerja diolah dan dijadikan SCML 2=Reactive
acuan dalam bentuk tren dan statistik. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Audit dan Persepsi pekerja mengenai bagaimana keselamatan Kuesioner 1=Patologic Ordinal
review
ditinjau secara berkala dan dibandingkan dengan SCML 2=Reactive
standar yang seharusnya. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
Investigasi Persepsi pekerja tentang bagaimana kecelakaan yang Kuesioner 1=Patologic Ordinal
kecelakaan
terjadi diusut hingga menemukan penyebab SCML 2=Reactive
sesungguhnya terjadinya kecelakaan. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Yang terjadi Persepsi pekerja tentang apa yang terjadi setelah Kuesioner 1=Patologic Ordinal
setelah
kecelakaan terjadi dan bagaimana feedback diterima. SCML 2=Reactive
kecelakaan
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
Inspeksi Persepsi pekerja tentang siapa yang melaksanakan Kuesioner 1=Patologic Ordinal
keselamatan
pemeriksaan keselamatan. SCML 2=Reactive
3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara dan Hasil Skala Ukur
Ukur
4 Tindakan Perbaikan Audit dan Persepsi pekerja mengenai bagaimana keselamatan Kuesioner 1=Patologic Ordinal
review
ditinjau secara berkala dan dibandingkan dengan SCML 2=Reactive
standar yang seharusnya. 3=Calculative
4=Proactive
5=Generative
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
46
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
Dilakukan pemeriksaan kembali data yang telah dientry untuk memastikan
data valid dan tidak terdapat kesalahan.
49
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
50
yaitu
‘Menjadi Kontraktor Pertambangan Kelas Dunia Dnegan Produktivitas,
Kemampuan Engineering, Pengendalian Lingkungan, dan Keselamatan Yang
Terbaik’ (To Be A World Leader Mining Contractor With The Best Present –
Productivity, Engineering, Safety, And Environment).
Misi Perusahaan
- Memberikan jasa operasi dengan alat-alat berat (A2B) dalam bidang
pertambangan terbuka dan pemindahan tanah yang memungkinkan
pelanggan mendapat keuntungan terbaik di tingkat dunia.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
- Memberikan kesempatan kepada karyawan mengembangkan kompetensinya
untuk mencapai tujuan hidupnya.
- Memerikan Market Value Added (MVA) dan Economy Value Added (EVA)
yang terbaik pada pemegang saham.
- Berupaya secara terus-menerus menguasai teknologi dan kemampuan
rekayasa yang berwawasan lingkungan untuk kemajuan bangsa dan negara.
Nilai Inti PT. X
Pada hakekatnya nilai inti (core value) merupakan nilai utama dan
berpengaruh yang diterima oleh seluruh anggota organisasi sebagai keyakinan
serta menjadi dasar atau tolak ukur dalam pencapaian prestasi untuk meraih
keberhasilan. Adapun nilai inti PT. X antara lain :
- Tim yang sinergis
- Bertindak penuh tanggungjawab
- Siap menghadapi setiap tantangan dan mewujudkannya
- Perbaikan terus menerus
- K3LH adalah cara hidup kita
- Memberikan nilai tambah pada semua pihak terkait
5.2. Unit Kerja di PT. X
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, PT. X mempunyai garis
komando atau pimpinan tertinggi yang dipegang oleh seorang Presiden Direktur
yang kemudian dibantu oleh beberapa direksi yang menangani beberapa unit
kerja di bawah ini:
1. Business Development & Engineering Division
1.1 Business Development Division
Fungsi dari divisi ini adalah membangun citra perusahaan,
melakukan penelitian pasar (marketing research), memenuhi
customer satisfaction serta merencanakan bisnis baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
1.2 Engineering Department
Divisi ini bergerak dalam bidang operasional, melakukan
eksplorasi serta memberikan dukungan teknis kepada Bussiness
Development Division.
1.3 Operation Research
Untuk mengembangkan dan mengelola kemampuan operation
research perusahaan.
2. Plant Division
2.1 Plant Region
Melakukan koordinasi distrik (jobsite) dalam hal-hal yang
berkaitan dengan perawatan dan ketersediaan alat.
2.2 Plant Development
Mempelajari pembangunan terbaru mengenai peralatan tambang
berikut aplikasinya, merancang dan mengevaluasi budget
peralatan tambang yang dikelola oleh PT. X.
2.3 Plant Administration
Mengevaluasi cost of equipment dari plant hire system,
memastikan ketersediaan equipment, mengumpulkan dan
menganalisis data unit atau alat-alat berat (A2B) serta mengelola
program pertukaran komponen.
2.4 Plant People DevelopmentSection
Mengelola dan mengembangkan mekanik yang ada di PT. X,
antara lain pengembangan kompetensi dan uji kompetensinya,
serta pengembangan karirnya.
2.5 Information Technology
Mengaplikasikan teknologi informasi yang efisien, mempelajari
perkembangan IT, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya yang
berhubungan dengan teknologi informasi.
3. Operation Division
Divisi ini merupakan wujud pelaksanaan kontrak yang disepakati
antara PT. X dengan customer.
3.1 Operation Division
Menyiapkan dan memelihara infrastruktur pendukung
operasional tambang, mengimplementasikan operational design,
berupaya mencapai target operasi yang sesuai dengan kontrak.
3.2 Operation Development Division
Mempelajari operasional alat berat, melakukan bentuk
benchmark kepada perusahaan dengan reputasi yang bagus dalam
hal pelaksanaan pelatihan operator.
4. Finance & Administration Division
4.1 Finance Division
Memformulasikan strategi finansial perusahaan, merencanakan
dan mengawasi pemanfaatan keuangan dan meningkatkan
kesehatan keuangan.
4.2 Accounting Division
Menyusun kebijakan dan strategi dalam bidang akuntansi
perusahaan.
4.3 Tax Division
Menyusun kebijakan dan perencanaan perpajakan perusahaan,
membuat, melaporkan, dan membayar pajak sesuai ketentuan,
memproses restitusi dan memfasilitasi departemen terkait dalam
perpajakan.
5. Safety, Health, and Environment (SHE) Division
Fungsi dari divisi ini antara lain menyusun dan mengkaji SHE
strategi, dan SHE Policy, menyyusun dan mengkaji PT. X Safety
Management System (PSMS) sesuai dengan International Safety
Standards, mengkoordinir dan memonitor pelaksanaan kebijakan
dan sistem SHE baik di Head Office maupun jobsite,
mengkoordinir pelaksanaan audit baik internal maupun eksternal
dan menyusun, mengkompilasi, serta mengatur kampanye
mengenai SHE.
6. Supply Management Division
6.1 Subcontractor & Equipment Management (SEM) Division
Mengelola semua subkontraktor yang bekerja dengan PT. X.
6.2 Logistic Division
Mengelola inventori mulai dari perhitungan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pemeriksaan, penyimpanan, dan
pengirimannya.
6.3 Procedure Division
Mengembangkan sistem pembelian sesuai dengan yang
diisyaratkan departemen pemohon dan pengembangan serta me-
review para supplier yang menjadi rekanannya, termasuk
mengevaluasi performanya.
7. HCGS Division
7.1 Human Capital Division (HCD)
Menyusun strategi dan kebijakan mengenai HCD, mendesain dan
mengembangkan sistem yang berhubungan dengan HCD.
7.2 Human Capital Service (HCS)
Menyusun perencanaan tenaga kerja, serta hal-hal yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan dan bersama-sama dengan serikat
pekerja menyusun perjanjian kerja bersama.
7.3 General Service
Tugas GS adalah menyediakan keperluan kantor, penambangan,
dan renovasi bangunan kantor serta menyiapkan infrastrukturnya
termasuk keperluan furniture dan stationary, mengadakan
fasilitas komunikasi dan travel, serta megelola aset perusahaan.
7.4 Community Development Committee
Menyusun, melakukan review strategi dan kebijakan Community
Development, pelaksanaan program pengembangan ekonomi,
kesehatan, manajemen lingkungan, pengembangan pendidikan,
sosial budaya di seluruh jobsite PT. X dengan masyarakat sekitar
operasional perusahaan sebagai objeknya.
8. Kelompok Asisten BOD
Dinyatakan sebagai kelompok grup karena berada di bawah
BOD dan merupakan Non-Division. Kelompok ini meliputi :
- Coorporate Planning & System Development (CPSD)
- Business Process Management (BPM)
- Internal Audit
- Coorporate Legal
5.3. Proses Produksi
Secara umum kegiatan pertambangan bidang operasional adalah
pemindahan tanah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan
batubara pada kedalaman tertentu. Kemudian batubara yang diperoleh diangkut
ke potsite untuk dijual ke pelanggan. Pelaksanaannya menggunakan alat-alat
berat dan dump truck. Adapun tahap-tahap dalam proses produksi adalah :
1. Land Clearing
Suatu area yang diketahui mengandung batubara kemudian dilakukan
pembersihan area dari pepohonan dan semak belukar yang ada. Land
Clearing merupakan tahap awal pembukaan suatu areal tambang dan
alat yang sering digunakan adalah bulldozer.
2. Top Soil Removal
Setelah area benar-benar bersih, langkah selanjutnya dilakukan
pengupasan tanah bagian atas (humus) yang disebut top soil. Humus
ini kemudian dikirim ke disposal yang dapat dimanfaatkan sebagai
penyubur tanah. Kegiatan ini biasanya menggunakan bulldozer atau
excavator.
3. Excavating
Excavating terdiri atas tiga cara berdasarkan jenis tanahnya, yaitu :
a. Cutting, cara ini biasa dilakukan pada struktur tanah yang lunak.
Alat yang biasa digunakan untuk proses ini adalah bulldizer dan
excavator hidrolic.
b. Ripping, dilakukan apabila terdapat struktur tanah yang keras.
Pengerjaannya menggunakan buldozer yang dilengkapi dengan
ripper di belakangnya untuk menghancurkan lapisan tanah yang
keras tadi.
c. Blasting, cara ini menggunakan bahan peledak. Blasting
digunakan apabila terdapat tanah berbatu sehingga lapisan yang
sangat keras dapat dihancurkan.
Berdasarkan hasilnya, excavating dibagi menjadi 2, yaitu excavating
for overburden dan excavating for coal. Alat yang sering digunakan
adalah bulldozer dan excavator. Excavator sangat penting digunakan
dalam rangka pembentukan reclamating area (area berjenjang) untuk
mencegah kemungkinan tanah longsor.
4. Loading
Setelah hasil excavating terumpul, dilakukan loading yaitu
mengangkat hasil excavating untuk dimasukkan ke dalam dump truck.
Alat yang digunakan adalah excavator dan shovel untuk loading
overburden, sedangkan untuk batubara menggunakan excavator.
5. Hauling
Hauling merupakan suatu proses pengangkutan baik top soil,
overburden,maupun batubara. Topsoil dan overburder diangkut ke
disposal sementara batubara diangkut ke stockyard. Pengangkutan
tanah maupun batubara biasa dilakukan menggunakan Volvo dan HD.
6. Dumping
Dumping adalah proses menurunkan hauling truck di stockyard
(tempat penimbunan) untuk batubara. Sedangkan untuk topsoil dan
overburden diturunkan di disposal. Dari stockyard selanjutnya
batubara dibawa menuju dumping bin dengan menggunakan trailer,
dump truck, maupun dolly selanjutnya dibawa ke portsite dengan belt
conveyor.
7. Reclamation
Reclamation merupakan proses pengembalian kembali guna tanah
setelah ditambang. Tidak selalu reklamasi tambang harus kembali ke
wujud asal secara identik. Yang terpenting, tanah bekas lokasi
tambang dapat kembali memiliki nilai guna dan fungsi.
mum K3 Kebijakan5.4.
K3
dan karyawan PT. X bertekad untuk mencapai kinerja
gkin dalam Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Pengelolaan lingkungan Hidup di seluruh lokasi kerja. Tujua
adalah untuk :
1. Mendukung visi perusahaan
2. Menunjukkan kepada publik upaya PT. X untuk menciptakan,
memberikan, dan memelihara lingkungan kerja yang aman dan sehat
bagi seluruh karyawan, kontraktor, dan sub kontraktor.
3. Menunjukkan upaya untuk bertanggungjawab, hidup harmonis dan
seimbang di lingkungan manapun bekerja.
Sasaran dari kebijakan ini adalah menjadikan keselamatan, kesehatan
kerja, dan lingkungan hidup sebagai salah satu prioritas utama. Untuk mencapai
hal ini, seluruh aspek K3LH harus terintegrasi dalam aktifitas sehari-hari dan
seluruh kegiatan manajemen.
Visi, Misi, dan Tujuan K3
Visi K3
Visi SHE Division sejalan dengan visi perusahaan yaitu menjadi
kontraktor pertambangan terkemuka di dunia dengan produktifitas, kemampuan
engineering, pengelolaan keselamatan kerja dan lingkungan hidup yang baik.
Misi K3
Misi Keselamatan
1. Keselamatan di mana kita berada merupakan hal penting bagi
manajemen PT. X beserta karyawan, kontraktor, sub kontraktor, dan
penduduk setempat.
2. Manajemen berusaha menciptakan lingkungan kerja dengan
membuat sistem, standar, prosedur, dan peraturan yang akan
menyediakan sarana pendukung yang sesuai dengan pekerjaan
masing-masing. Manajemen menyadari bahwa setiap tenaga kerja
berhak mendapatkan perlindungan keselamatan atas dirinya saat
bekerja dan dari setiap dampak yang timbul akibat pekerjaannya.
3. Manajemen dalam program pengembangan dan usahanya
menerapkan bahwa keselamatan kerja adalah salah satu landasan
utama dalam kegiatan operasinya. Oleh karena itu, manajemen
berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam pengelolaan
keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan hidup serta
memperoleh dan menjaga kepercayaan karyawan, klien, dan
masyarakat.
4. Manajemen perusahaan berjanji untuk memberikan perlindungan
kepada keselamatan karyawan dari ancaman dampak proses
pekerjaan melalui PSMS dan melakukan pengamatan serta evaluasi
terhadap pelaksanaan sistem tersebut untuk meyakinkan karyawan
selamat dalam menjalankan pekerjaannya.
Misi Kesehatan
1. Pengelolaan kesehatan kerja yang efektif adalah hal penting bagi
manajemen PT. X beserta karyawan, kontraktor, sub kontraktornya,
serta penduduk setempat, negara, dan juga bagi generasi mendatang.
2. Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja.
Manajemen PT. X memahami hak tersebut serta berjanji melindungi
tenaga kerjanya terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerja (penyakit kerja). Manajemen juga
berusaha menciptakan kesehatan kerja dengan meningkatkan
kesehatan badan dan kondisi mental. Sebagai perusahaan, PT. X
memahami dengan menyediakan sumber-sumber yang
memungkinkan terjadinya keadaan tersebut.
3. Manajemen menetapkan bahwa kesehatan kerja karyawan sangat
diutamakan dalam program pengembangan dan usahanya. Oleh
karenanya manajemen berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam
pengelolaan K3LH serta untuk memperoleh dan menjaga
kepercayaan karyawan.
4. Manajemen perusahaan berjanji untuk memberikan perlindungan
pada kesehatan karyawan dari ancaman akibat pekerjaan, melakukan
tindakan yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, dimana
ketiganya bertujuan agar karyawan tetap dalam keadaan sehat.
5. Untuk memberikan lingkungan kerja yang sehat, manajemen akan
memastikan melalui pemantauan hygiene dan sanitasi akan
dilaksanakan didaerah kerja secara teratur.
Misi Lingkungan Hidup
1. Lingkungan di mana kita beroperasi merupakan hal penting bagi PT.
X, karyawan, sub kontraktor, penduduk sekitar, negara, dan juga bagi
generasi mendatang.
2. Setiap individu berhak atas lingkungan yang aman, sehat, dan
nyaman. PT. X memahami hak tersebut dan berjanji menjaga adanya
lingkungan yang demikian. PT. X berusaha menciptakan lingkungan
kerja yang aman, sehat, dan menyenangkan dengan menyediakan
sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya keadaan tersebut.
3. PT. X menetapkan bahwa kesehatan lingkungan sangat diutamakan
dalam program pengembangan dan usahanya. Konsekensi dari
mencemarkan dan merusak lingkungan tidak hanya kerugan finansial,
tetapi juga peralatan, binatang, dan hilangnya nyawa manusia.
4. Manajemen perusahaan berjanji untuk mengimplementasikan
rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif untuk
memastikan bahwa lingkungan yang aman, sehat, dan menyenangkan
tetap terjaga dan seluruh karyawan selalu diingatkan tanggung jawab
mereka terhadap lingkungan.
Tujuan K3
Tujuan Keselamatan
1. Cidera hari hilang (LTI) dan cidera fatal “Nihil”.
2. Mengurangi insiden kerusakan harta benda dan kerugian prematur.
Tujuan Kesehatan
1. Memastikan bahwa semua bahaya kesehatan di tempat kerja dikelola
dengan efektif.
2. Memastikan bahwa kesehatan karyawan dikelola dengan efektif.
3. Berusaha menciptakan dan memelihara tempat kerja yang bersih dan
sehat.
Dari ketiga tabel diatas, didapat hasil bahwa terdapat 192 responden yang terdiri
dari 119 pegawai tetap dan 73 sub kontraktor. Jika dilihat berdasarkan level jabatan,
terdapat 28 responden dengan level jabatan Middle Manajemen dan 164 reponden
dengan level jabatan pelaksana. Sementara jika diklasifikasikan berdasarkan masa kerja,
terdapat 21 responden dengan masa kerja dibawah 1 tahun, 158 responden dengan masa
kerja satu hingga 5 tahun, 8 responden dengan masa kerja 6 hingga 10 tahun, dan 5
responden dengan masa kerja diatas 10 tahun.
64
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
65
Dari hasil SCML, didapatkan level keseluruhan perusahaan adalah 3.25. level ini
berarti perusahaan sudah mencapai level Calculative dan masih perlu banyak
peningkatan untuk bisa naik ke level Proactive. Level Calculative mengindikasikan
adanya komitmen yang tinggi dari manajemen puncak dan menengah, tercermin dari
adanya alokasi dan sumber daya yang memadai untuk program-program K3, kebijakan
dan prosedur kerja aman juga sudah ada dan lengkap, namun untuk komitmen dari
pekerja masih belum terasa terlalu tinggi, hal ini mengakibatkan, walaupun sudah ada
prosedur dan kebijakan kerja aman, implementasinya masih kurang baik. Pekerja masih
merasa bahwa keselamatan adalah urusan Departemen K3 saja, bukan menjadi nilai
perusahaan secara keseluruhan.
Dilihat dari perbandingan kelompok variabel yang berada diatas rata-rata dan
yang berada dibawah rata-rata, terlihat variabel yang berada diatas rata-rata seperti
teknik manajemen bahaya, yang terjadi setelah kecelakaan atau accident follow up,
investigasi kecelakaan, laporan keselamatan, dan inspeksi keselamatan menunjukkan
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
fokus kegiatan yang berkaian dengan keselamatan dan kesehatan kerja cenderung pada
pengendalian bahaya dan kecelakaan serta apa yang dilakukan untuk mencegah dan
menanggulangi insiden atau kecelakaan yang terjadi. Sementara variabel yang
menunjukkan continuous improvement seperti pengembangan prosedur, tren dan
statistik, tujuan prosedur di mata pekerja, manajemen kontraktor, audit dan review,
pelatihan dan kompetensi masih harus diperhatikan dan ditingkatkan.
Dari hasil SCML di departemen produksi dan pit service, dapat dilihat bahwa
gambaran keseluruhan budaya juga tercermin dalam gambaran per departemen.
Variabel-variabel seperti teknik manajemen bahaya, investigasi kecelakaan, dan yang
terjadi setelah kecelakaan berada diatas rata-rata. Hal ini menunjukkan, baik fokus
perusahaan secara keseluruhan maupun fokus departemen secara khusus masih kepada
mencegah dan meminimalisasi dampak kecelakaan. Sementara variabel untuk
continuous improvement seperti pelatihan dan kompetensi, audit dan review, serta tren
dan statistik masih harus ditingkatkan.
6.2.2 Hasil SCML Berdasarkan Kepegawaian
Tabel 6.7 Hasil SCML Responden dengan Status Kepegawaian Pegawai Tetap
Dari kedua tabel diatas, dapat dibandingkan bahwa dari status kepegawaian,
pekerja dengan kepegawaian subkontraktor memiliki level SCML yang lebih tinggi,
yakni 3.47 dibanding pekerja dengan status kepegawaian pekerja tetap, yakni 3.12.
Meskipun masih di level Calculative, pekerja dengan status kepegawaian sub
kontraktor terlihat lebih siap untuk mencapai level proactive dibanding pekerja dengan
kepegawaian pegawai tetap.
Perbedaan hasil rata-rata level kedua kelompok pekerja diatas dapat disebabkan
beberapa faktor seperti perbedaan paparan informasi mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja, perbedaan sarana dan prasarana keselamatan dan keselahatan kerja, dan
sebagainya. Pekerja dengan status kepegawaian sub kontraktor memiliki target produksi
yang sama besarnya dengan pekerja dengan status kepegawaian pegawai tetap namun
dalam pemenuhan target tersebut terdapat perbedaan sarana dan prasarana keselamatan
dan kesehatan kerja yang dimiliki. Selain itu pekerja dengan status kepegawaian sub
kontraktor cenderung memiliki ketakutan untuk memberikan nilai sesuai kondisi
sebenarnya. Terkait dengan masalah kontrak yang mereka miliki dengan perusahaan
yang mempekerjakan perusahaan mereka. Dalam hal ini, bisa dikatakan pada proses
pengisian kuesioner SCML, pekerja dengan status kepegawaian sub kontraktor merasa
takut jika mereka tidak mengisi kuesioner dengan jawaban yang baik atau dengan nilai
yang tinggi maka hal ini akan mempengaruhi kontrak kerja dan/atau penghasilan
mereka. Hal ini menunjukkan, untuk sub kontraktor, prioritas keselamatan dan
kesehatan kerja masih dibawah prioritas produksi atau ekonomi.
Jika dilihat dari variabel yang menempati posisi diatas rata-rata dan dibawah
rata-rata, kembali terlihat bahwa variabel yang berada diatas rata-rata masih berkisar
variabel untuk mencegah dan menanggulangi kecelakaan, seperti teknik manajemen
bahaya, yang terjadi setelah kecelakaan atau accident follow up, investigasi kecelakaan,
laporan keselamatan, dan sebagainya, sementara variabel yang berada dibawah rata-rata
adalah variabel-variabel seperti tren dan statistik, manajemen kontraktor,
pengembangan prosedur, dan sebagainya yang merupakan variabel yang dibutuhkan
dalam continuous improvement dalam SMK3 OHSAS 18001:2007. Hal ini
memunjukkan konsistensi hasil penelitian yang dilakukan.
Dari kedua tabel diatas, dapat dibandingkan bahwa dari level pekerjaan, pekerja
dengan level Middle Manajemen memiliki level SCML yang lebih tinggi, yakni 3.71
dibanding pekerja dengan level pelaksana, yakni 3.18. Meskipun masih di level
Calculative, pekerja dengan level Middle Manajemen terlihat lebih siap untuk
mencapai level proactive dibanding pekerja dengan level pelaksana.
Seperti halnya hasil yang dikelompokkan berdasarkan status kepegawaian,
terdapat perbedaan hasil rata-rata antara kelompok kerja Middle Manajemen dan
kelompok kerja pelaksana. Perbedaan hasil rata-rata level kedua kelompok pekerja
diatas dapat disebabkan beberapa faktor seperti perbedaan paparan informasi mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja, perbedaan fungsi dan tanggung jawab kerja kedua
kelompok pekerja, dan sebagainya. Pekerja dengan level pekerjaan middle manajemen
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam keselamatan dan kesehatan kerja.
Mereka juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan,
sehingga sangat wajar apabila kelompok kerja ini jauh lebih familiar dengan peraturan,
kebijakan, dan program K3 yang ada. Namun, dengan dilibatkannya mereka dalam
pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, saat pengisian kuesioner SCML,
kelompok kerja ini cenderung mengisi dengan jawaban yang baik, bukan jawaban yang
sesungguhnya, karena kelompok kerja ini cenderung memiliki ketakutan untuk
disalahkan apabila isian dari kuesioner SCML ini memiliki level yang rendah.
Jika dilihat dari variabel yang menempati posisi diatas rata-rata dan dibawah
rata-rata, kembali terlihat bahwa variabel yang berada diatas rata-rata masih berkisar
variabel untuk mencegah dan menanggulangi kecelakaan, seperti teknik manajemen
bahaya, yang terjadi setelah kecelakaan atau accident follow up, investigasi kecelakaan,
laporan keselamatan, dan sebagainya, sementara variabel yang berada dibawah rata-rata
adalah variabel-variabel seperti tren dan statistik, manajemen kontraktor,
pengembangan prosedur, dan sebagainya yang merupakan variabel yang dibutuhkan
dalam continuous improvement dalam SMK3 OHSAS 18001:2007.
Tabel 6.13 Hasil SCML Responden Dengan Lama Kerja 6-10 Tahun
Diatas Rata-rata Dibawah Rata-rata
Penyebab Kecelakaan di
Investigasi Kecelakaan 4.13 Mata Manajemen 3.50
Inspeksi Kecelakaan 4.13 Penetapan Standar 3.50
Komitmen 4.13 Prioritas Keselamatan 3.50
Teknik Manajemen Bahaya 4.00 Sosialisasi Keselamatan 3.50
Yang Terjadi Setelah Penghargaan terhadap
Kecelakaan (feedback) 3.88 Keselamatan 3.50
Rata-
rata Pengembangan Prosedur 3.75 Tren dan Statistik 3.38
Total = Laporan Keselamatan 3.63 Manajemen Kontraktor 3.38
3.58
Tujuan Prosedur di Mata
3.38
Pekerja
Status dan Ruang
3.38
Lingkup Dept. K3
Audit dan Review 3.25
Pertemuan Keselamatan 3.25
Perencanaan Kerja 3.25
Pelatihan dan
Kompetensi 3.13
Tabel 6.14 Hasil SCML Responden Dengan Lama Kerja Lebih dari 10 Tahun
Dari 4 tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan masa kerja diatas
10 tahun memiliki level SCML paling tinggi yaitu 3.69, sementara pekerja dengan masa
kerja 1-5 tahun memiliki level SCML paling rendah yaitu 3.20. Pekerja dengan masa
kerja kurang dari 1 tahun memiliki level 3.40, dan pekerja dengan masa kerja 6-10
tahun memiliki level 3.58. Kelima kelompok tersebut masih berada dalam level
Calculative, namun kelompok pekerja dengan masa kerja diatas 10 tahun lebih siap
untuk naik ke level Proactive dibandingkan kelompok pekerja dengan masa kerja
lainnya.
Perbedaan rata-rata level dari keempat kelompok kerja diatas dapat disebabkan
berbagai hal. Satu yang paling mencolok adalah pengetahuan dan pengalaman mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja yang terjadi di lapangan. Pekerja dengan masa kerja
dibawah 1 tahun cenderung belum banyak tahu mengenai keselamatan dan kesehatan
kerja secara praktikal yang ada di lapangan. Kelompok kerja ini masih mengandalkan
teori yang mereka dapat ketika training dan belum memahami betul kondisi di lapangan
serta tindakan seperti apa yang perlu dilakukan agar tidak terjadi kecelakaan, untuk itu,
level yang kelompok kerja ini berikan cenderung cukup tinggi. Selain itu, kelompok
kerja ini juga memiliki ketakutan, karena mereka bisa dikatakan ‘anak baru’ dan masih
dalam pengawasan ketat, mereka seolah diharuskan memberi nilai yang tinggi.
Sementara itu, untuk pekerja dengan masa kerja 1-5 tahun, mereka sudah lebih
tahu apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, bagaimana kondisi di lapangan dan apa
yang harus dilakukan. Dikarenakan pengetahuan yang sudah dirasa cukup ini,
pengawasan terhadap kelompok kerja ini juga sudah mulai tidak terlalu ketat sehingga
jawaban yang mereka berikan bisa dikatakan jujur dan sesuai kondisi sebenarnya.
Kelompok pekerja dengan masa kerja 5-10 tahun merupakan kelompok kerja
yang sudah mulai beranjak dari posisi pelaksana menuju middle manajemen. Kelompok
kerja ini bisa dikatakan cukup senior dan dihormati di kalangan pelaksana namun belum
sampai menjadi bagian dari manajemen yang sangat berpengaruh. Hal ini
mempengaruhi kelompok kerja ini dalam memberikan nilai pada kuesioner SCML.
Karena mereka sudah dalam posisi akan naik jabatan atau akan naik level pekerjaan,
apabila mereka memberi nilai SCML yang rendah, maka bisa jadi kenaikan jabatan
yang mereka inginkan ditunda atau bahkan dibatalkan.
Kelompok pekerja dengan masa kerja diatas 10 tahun merupakan kelompok
kerja yang bisa dikatakan sudah mulai memiliki jabatan cukup tinggi. Bisa sebagai
bagian dari middle manajemen atau bahkan top manajemen. Kelompok kerja ini juga
memiliki level SCML paling tinggi diantara keempat kelompok kerja lainnya. Hal ini
bisa dikarenakan memang mereka sudah sangat siap untuk melangkah ke continuous
improvement dibanding kelompok kerja dengan masa kerja dibawah 10 tahun, atau bisa
juga karena mereka sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pembuatan
kebijakan, terdapat kecenderungan untuk memberikan nilai yang tinggi agar tidak
disalahkan.
BAB VII
PEMBAHASAN
76
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
bagaimana efektifitas dan efsiensi dari prosedur-prosedur tersebut. Prosedur yang
dianggap tidak penting dikurangi, jadi tidak ada terlalu banyak prosedur yang sulit
dibedakan dengan training.
7.4 Implementasi dan Operasi
Tabel 7.2 Analisa Implementasi dan Operasi SMK3 Berdasarkan Tingkat
Kematangan Budaya
Rata-rata Rata-rata
Variabel Hasil
Total Variabel
Laporan Keselamatan 3.33 Diatas Rata-rata
Penyebab Kecelakaan dimata Manajemen 3.00 Dibawah Rata-rata
Pertemuan Keselamatan 3.14 Dibawah Rata-rata
Manajemen kontraktor 3.06 Dibawah Rata-rata
Pelatihan dan Kompetensi 3.25 2.89 Dibawah Rata-rata
Sosialisasi Keselamatan 3.02 Dibawah Rata-rata
Teknik Manajemen Bahaya 3.60 Diatas rata-rata
Status dan Ruang Lingkup Dept. K3 3.24 Dibawah Rata-rata
Penghargaan Terhadap Keselamatan 3.31 Diatas Rata-rata
Dari tabel 7.2, dapat disimpulkan bahwa implementasi dan operasi SMK3 di
perusahaan secara keseluruhan masih harus dilakukan peningkatan di beberapa poin.
Diantaranya penyebab kecelakaan dimata manajemen, pertemuan keselamatan,
manajemen kontraktor, pelatihan dan kompetensi, sosialisasi keselamatan, dan status
dan ruang lingkup departemen K3. Poin lain seperti laporan keselamatan, teknik
manajemen bahaya, dan penghargaan terhadap keselamatan tetap perlu dipertahankan
agar tidak jatuh levelnya. Departemen yang paling membutuhkan perbaikan adalah
Produksi dan Pit Service, karena masing-masing departemen belum mencapai level 3
dan berada di bawah rata-rata total perusahaan (Produksi = 2.98, Pit Service = 2.87).
Variabel-variabel yang berada diatas rata-rata adalah variabel laporan
keselamatan, teknik manajemen bahaya, dan penghargaan terhadap keselamatan.
Variabel-variabel ini menunjukkan fokus utama implementasi dan operasi SMK3 di PT.
X masih untuk mencegah kecelakaan. Laporan keselamatan dan teknik manajemen
bahaya sudah baik dan lengkap serta dilakukan dengan serius untuk mencegah serta
mengurangi dampak dari kecelakaan yang mungkin terjadi. Penghargaan terhadap
keselamatan masih berupa perwujudan dari hari bebas lost time injury atau LTI-Free.
Terdapatnya variabel yang berada di bawah rata-rata dikarenakan perbedaan
pemahaman antara pemahaman pelaksana di lapangan dengan makna esensial dari
peningkatan berkelanjutan siklus PDCA SMK3 dari OHSAS 18001:2007. Contohnya
untuk variabel penyebab kecelakaan di mata manajemen, implementasi di lapangan
masih melihat kecelakaan sebagai kesalahan dari manusia tapi mulai bergeser ke
kesalahan mesin dan lingkungan. Belum melihat bahwa kecelakaan juga bisa
merupakan dampak laten dari kebijakan yang dibuat manajemen. Manajemen juga
masih bermental ‘mereka’ dan ‘kita’ serta belum melihat organisasi secara keseluruhan.
Apabila manajemen sudah mulai berfokus pada continuous improvement, maka tidak
ada lagi proses mencari siapa dan apa yang salah tapi langsung melihat ke masing
masing pihak untuk melihat dan menilai mana yang harus diperbaiki dan dikembangkan.
Pandangan yang digunakan juga luas dan mempertimbangkan hasil interaksi dengan
pekerja pelaksana dan middle manajemen.
Contoh selanjutnya adalah pertemuan keselamatan. Pada pelaksanaannya
pertemuan keselamatan dirasa sebagai ajang pengumuman. Baik itu pengumuman target
da bagaimana pencapaianannya, pengumuman kejadian-kejadian yang terjadi
belakangan ini, pengumuman program-program dan kebijakan yang ditetapkan oleh
manajemen, dan sebagainya. Proses dalam pertemuan cenderung kaku dan formal meski
sudah mulai ada upaya untuk meningkatkan interaksi antara peserta pertemuan. Sifat
komunikasi dalam pertemuan pun masih up-down dari top dan/atau middle manajemen
ke pekerja pelaksana. Pertemuan keselamatan belum dianggap sebagai ajang
menggalian ide dan diskusi antar level dan antar departemen secara informal dan
nyaman.
Contoh selanjutnya adalah manajemen kontraktor. PT. X adalah kontraktor yang
bergerak di bidang pertambangan. Untuk membantu produksi harian, PT. X
mempekerjakan beberapa perusahaan sebagai sub-kontraktor. Dalam memilih sub
kontraktornya, PT. X sudah melakukan prakualifikasi, namun hanya berupa catatan
kecelakaan terdahulu yang dimiliki calon sub kontraktor. Diantara beberapa pilihan
calon sub kontraktor, dipilih sub kontraktor yang catatan kecelakaannya paling rendah.
Dalam artian track record calon sub kontraktor tersebut paling bersih. PT. X juga sudah
menetapkan standar-standar yang harus dipenuhi oleh calon sub kontraktor, namun
apabila ada syarat yang tidak mampu dipenuhi calon sub kontraktor, makan standar-
standar yang telah ditetapkan bisa diturunkan. Padahal seharusnya standar-standar
tersebut wajib dipenuhi. Pekerja sub kontraktor dan pekerja tetap seringkali terasa
dibedakan padahal seharusnya menjadi satu bagian yang terintegrasi sehingga aspek-
aspek keselamatan dan kesehatan kerja secara keseluruhan bisa terpenuhi secara merata.
Contohnya dalam diskusi ada yang menceritakan salah satu pegawai sub kontraktor dan
salah satu pegawai tetap PT. X sama-sama tidak mengenakan helm, tapi yang ditegur
hanya pegawai sub kontraktor saja.
Contoh selanjutnya adalah pelatihan dan kompetesni. Pada prakteknya, pelatihan
dan kompetensi (training wajib) K3 diberikan sekali di awal masa kerja saat masih
menjadi karyawan baru. Setelahnya tidak di-upgrade berdasarkan kenaikan organisasi
atau perubahan-perubahan lainnya maupun upgrade secara berkala. Pelatihan-pelatihan
besar seperti ERT, Fire Drill, dan sebagainya dilakukan secara rutin dan terjadual
namun keikutsertaan para pekerja untuk mengikuti training masih memiliki kendala.
Seringkali terjadi departemen menunjuk beberapa orang yang ada secara acak untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan departemen K3. Diistilahkan ‘asal
memenuhi kuota’, sehingga ada kemungkinan beberapa pekerja mengikuti training yang
sama beberapa kali atau mengikuti beberapa training dalam satu tahun tetapi ada
rekannya yang sama sekali belum pernah mengikuti training lain selain training wajib di
awal masa kerja. Kebutuhan training pekerja juga tidak terlalu diperhatikan, sehingga
terdapat beberapa pekerja yang mendapat training diluar kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini disebabkan analisa kebutuhan training pekerja belum dilakukan serta belum
adanya komunikasi yang baik untuk mengidentifikasi kebutuhan training pekerja sesuai
dengan kompetensi, selain itu, pihak yang melakukan identifikasi kebutuhan adalah
orang training, bukan pekerja.
Contoh selanjutnya adalah sosialisasi keselamatan. Sosialisasi keselamatan yang
terjadi masih lebih bayak top dan middle manajemen memberikan informasi dan
perintah kepada pelaksana dibanding dengan mendengarkan kondisi dan saran dari
pekerja di lapangan. Meskipun sudah dilakukan upaya untuk meningkatkan inisiatif
agar pekerja mau memberi masukan pada manajemen, tetap saja ada rasa segan dan
takut yang dirasakan oleh pekerja untuk memberikan laporan dan saran kepada
manajemen. Media-media yang digunakan untuk kampanye keselamatan dan kesehatan
kerja sudah banyak namun efektifitas penggunaannya dirasa masih kurang. Minat
pekerja untuk melihat dan membaca media-media tersebut masih kurang. Terbukti
dengan banyaknya tabloid bulanan terbitan PT. X yang bertumpuk banyak di office dan
tidak dibaca pekerja yang ada di sana. Apabila ingin mencapai continuous improvement,
seharusnya sosialisasi dan komuniikasi keselamatan dilakukan tidak hanya up-down tapi
juga bottom-up secara seimbang. Sehingga nantinya bisa dirasa bahwa manajemen dan
pekerja saling menjaga satu sama lin.
Contoh terakhir adalah status dan ruang lingkup departemen K3. Terdapat
departemen khusus yang mengelola Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X dan
departemen ini pun dibagi kembali dalam beberapa sub departemen. Para pekerja
menganggap bahwa Departemen K3 adalah ‘Departemen Hantu’. Hal ini dikarenakan,
dalam prakteknya, Departemen K3 hanya kelihatan saat inspeksi, dan patroli fatigue.
Apabila ada kejadian kecelakaan baik itu property damage atau hingga fatality,
departemen K3 adalah departemen yang paling sulit dicari. Padahal sejatinya, menurut
para pekerja di lapangan, saat terjadi kasus seperti ini, departemen K3 seharusnya
menjadi orang pertama dan paling aktif di lapangan. Selain itu, para petugas departemen
K3 dirasa tidak berani mengambil keputusan berkaitan bahaya di lapangan. Petugas K3
yang ada terkesan takut dengan departemen produksi karena tenggat waktu dan target
yang sedang dikerjakan departemen produksi. Padahal, jika ingin mencapai continuous
improvement, departemen K3 harus bisa tidak hanya memastikan lingkungan dan
perilaku kerja aman, tapi juga menanamkan nilai-nilai keselamatan dan kesehatan kerja
pada berbagai pihak sehingga tercapai kerja aman tanpa insiden yang diharapkan.
Apabila nilai-nilai ini sudah berhasil ditanamkan, maka departemen K3 tidak perlu
terlalu besar tapi penuh dengan orang yang kompeten.
7.5 Pemeriksaan
Tabel 7.3 Analisa Pemeriksaan SMK3 Berdasarkan Tingkat Kematangan Budaya
Rata-rata Rata-rata
Variabel Hasil
Total Variabel
Tren dan Statistik 3.12 Dibawah Rata-rata
Audit dan Review 3.01 Dibawah Rata-rata
Investigasi Kecelakaan 3.25 3.45 Diatas Rata-rata
Yang Terjadi Setelah Kecelakaan 3.52 Diatas Rata-rata
Inspeksi Keselamatan 3.30 Diatas Rata-rata
Siklus SMK3 Tinjauan Manajemen hanya diwakili 1 variabel SCML yaitu Audit
dan Review, dan untuk keseluruhan perusahaan, audit dan review masih perlu
ditingkatkan. Departemen yang paling membutuhkan perbaikan adalah Produksi dan pit
Service, karena masing-masing departemen belum mencapai level 3 dan berada di
bawah rata-rata total perusahaan (Produksi = 2.98, Pit Service = 2.87).
Terdapatnya variabel yang berada di bawah rata-rata dikarenakan perbedaan
pemahaman antara pemahaman pelaksana di lapangan dengan makna esensial dari
peningkatan berkelanjutan siklus PDCA SMK3 dari OHSAS 18001:2007. Contohnya
untuk variabel audit dan review. Pada prakteknya, program audit yang ada di PT X
sudah memiliki jadual yang rutin, demikian juga dengan orang yang akan melakukan
audit. Hanya saja, audit dilakukan tidak secara menyeluruh. Lebih berfokus pada area
berisiko tinggi dan sub kontraktor. Audit internal dilakukan saling silang dengan jobsite
lain. Yang disayangkan adalah tindak lanjut dari audit hanya sekedar ‘sesuai’ dan ‘tidak
sesuai’. Yang dilihat saat audit lebih banyak sarana dan prasarana serta sistem yang ada.
Belum mengaudit perilaku. Perbaikan berdasarkan hasil audit tidak dipantau dan
akhirnya perbaikan hanya berkisar kepada merubah yang tadinya ‘tidak sesuai’ menjadi
‘sesuai’atau rekomendasi jangka pendek. Bukan dilihat akar penyebabnya dan
rekomendasi untuk jangka panjang.
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitain dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
- Secara keseluruhan, komponen SMK3 yang paling membutuhkan perbaikan
adalah tahap implementasi dan operasi serta tahap tinjauan manajemen.
- Tren dan statistik yang ada di PT. X masih sekedar pengumpulan fakta dan
pendataan. Belum dilihat bagaimana melakukan perbaikan jangka panjang
berdasarkan data yang ada.
- Prosedur yang ada sudah banyak namun efektifitas dan efisiensinya masih
perlu ditinjau kembali. Pemenuhan prosedur masih membutuhkan
pengawasan agar tidak melanggar.
- Perencanaan SMK3 di PT. X masih fokus pada pencegahan dan
pengurangan dampak kecelakaan namun sudah mulai sedikit memperhatikan
continuous improvement.
- Implementasi dan Operasi SMK3 di PT X masih sangat fokus pada
pencegahan dan pengurangan dampak kecelakaan.
- Manajemen masih menganggap kecelakaan yang terjadi karena kesalahan
manusia, mesin, dan lingkungan. Belum melihat kemungkinan adanya
kemungkinan kebijakan yang diambil manajemen yang bisa menyebabkan
kecelakaan.
- Pertemuan keselamatan masih dilihat sebagai ajang pengumuman. Belum
dilihat sebagai ajang diskusi antar level dan antar departemen.
- Dalam mengelola sub kontraktor, PT. X sudah mulai memperhatikan track
record yang dimiliki sub kontraktor. Namun masih ada perbedaan perlakuan
antara sub kontraktor dengan pegawai tetap.
- Pelatihan yang dilakukan memang sudah memiliki jadwal, namun
keikutsertaannya kadang tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
- Departemen K3 dianggap kurang tegas dan tiadk berani mengambil
keputusan serta kurang sering berada di lapangan.
84
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
85
8.2 Saran
Saran yang bisa diberikan oleh penulis adalah:
- Tren dan statistik yang sudah terkumpul tidak boleh hanya sekedar dijadikan
data yang disimpan, tetapi harus menjadi dasar continuous improvement.
Demikian pula dengan hasil audit dan review.
- Tingkatkan intensitas dan atmosfer yang memungkinkan komunikasi
bottom-up dari pekerja ke manajemen untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi di lapangan. Sehingga prosedur dan kebijakan yang dibuat
sesuai dengan kondisi di lapangan dan pekerja merasa ikut dilibatkan dalam
menjaga keselamatan dan kesehatan mereka.
- Manajemen harus berpikir luas tentang penyebab kecelakaan. Kecelakaan
yang terjadi bukan hanya karena kesalahan manusia, alat, atau lingkungan
tapi juga mungkin disebabkan ketidaksesuaian peraturan yang dibuat
manajemen.
- Libatkan sub kontraktor dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan departemen
K3 untuk meningkatkan pengetahuan kesadaran sub kontraktor tentang
keselamatan dan kesehatan kerja sehingga mereka juga secara sadar menjaga
keselamatan dan kesehatannya sendiri.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
- Buat penjadualan pelatihan tidak hanya berdasarkan waktu, tapi juga
berdasarkan kebutuhan dan kompetensi peserta pelatihan. Selain itu pastikan
yang mengikuti pelatihan bukan orang yang itu-itu saja atau orang yang
sebenarnya tidak membutuhkan pelatihan tersebut.
- Perhatikan efektivitas media sosialisasi keselamatan yang ada. Jika perlu
buat mekanisme sosialisasi yang bisa dilakukan melalui control room radio
tambang sehingga semua unit bisa mendengar apa yang sedang
disosialisasikan, tentunya dengan pertimbangan waktu agar tidak
mengganggu pekerjaan.
- Petugas departemen K3 yang ada diharapkan lebih tegas dan lebih aktif
dalam mengambil keputusan langsung terkait bahaya yang terjadi di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
87
Flin, R., Mearns, K., O’Connor, P. & Bryden, R. (2000). Measuring Safety Climate:
Identifying the Common Features. Safety Science, 34, 177-193 dalam Gadd, S.,
Collin, A. M. (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Health &
Safety Laboratory. HSL/2002/25.
Fleming, Mark, (2001), Safety Culture Maturity Model, Offshore Technology Report
2000/049, HSE UK
Gadd, S., Collin, A. M. (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Health &
Safety Laboratory. HSL/2002/25.
Geller, E. S., (1994). Ten Principle for Achieving aa Total Safety Culture. Professional
Safety September, 18024 dalam Guldenmund, F. W., (2000). The Nature of Safety
Culture: A Review of Theory and Research, Safety Science, 34, 215-257.
Glendon, A. I., & Stanton, N. A., (2000) Perception of Safety at Work: A Framework
for Linking Safety Climate to Safety Performance, Knowledge, and Motivation,
Journal of Occupational Health and Psychology, 5, 347-358 dalam Gadd, S.,
Collin, A. M. (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Health &
Safety Laboratory. HSL/2002/25.
Glendon, A. I., & McKenna, E. F., (1995) Human Safety and Risk Management.
London: Chapman and Hall dalam Gadd, S., Collin, A. M. (2002). Safety Culture:
A Review of The Literature. Health & Safety Laboratory. HSL/2002/25.
Guldenmund, F. W., (2000). The Nature of Safety Culture: A Review of Theory and
Research, Safety Science, 34, 215-257.
HSE UK, (2012). The Health and Safety Statistics 2011/2012. United
Kingdom. HSE UK, Safety Climate Assessment Process and Toolkit User
Guide.
Hudson , P., (2001) Aviation Safety Culture. Safekies 1, 23 dalam Filho, Anastacio P.
G., et al., 2010. A Safety Culture Maturity Model for Petrochemical Companies in
Brazil. Safety Science, 48, 615-624.
Hudson, P., (2003) Applying the Lessons of High Risk Industries to Health Care.
Quality & Safety Health Care, 12, 17-112 dalam Filho, Anastacio P. G., et al.,
2010. A Safety Culture Maturity Model for Petrochemical Companies in Brazil.
Safety Science, 48, 615-624.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
IAEA, (2002) Safety Culture in Nuclear Installations: Guidance for use in the
Enhancement of Safety Culture. International Atomic Energy Agency, Vienna
dalam Filho, Anastacio P. G., et al., 2010. A Safety Culture Maturity Model for
Petrochemical Companies in Brazil. Safety Science, 48, 615-624.
Lee, T. R., (1998). Assessment of Safety Culture of a Nuclear Reprocessing Plant. Work
and Stress, 12, 217-237, dalam Lardner, Ronny, (2003). Safety Culture
Application Guide Final Version
Markkanen, Pia K., (2004), Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Kertas
Kerja 9 April 2004.
Ostrom, L., Wilhemsen, C., Kaplan, B., (1993) Assessing Safety Culture. Nuclear
Safety, 34 (2), 163-172 dalam Guldenmund, F. W., (2000). The Nature of Safety
Culture: A Review of Theory and Research, Safety Science, 34, 215-257.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
PP No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Pidgeon, N.F., (1991), Safety Culture and Risk Management in Organizations, Journal
of Cross Cultural Psychology, 2291, 129-140 dalam Guldenmund, F. W., (2000).
The Nature of Safety Culture: A Review of Theory and Research, Safety Science,
34, 215-257.
Ramli, Soehatman. (2009). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. Jakarta: Dian Rakyat.
Reason, J., (1997) Managing the Risk of Organizational Accidents. Ashgate, Aldershot
dalam Filho, Anastacio P. G., et al., 2010. A Safety Culture Maturity Model for
Petrochemical Companies in Brazil. Safety Science, 48, 615-624.
Schein, E. H., 2004. Organizational Culture and Leadership. Jossey Bass, San Francisco
dalam Filho, Anastacio P. G., et al., 2010. A Safety Culture Maturity Model for
Petrochemical Companies in Brazil. Safety Science, 48, 615-624.
Undang-undang Keselamatan Kerja No. 11 Tahun 1967.
Westrum, R., (1993) Culture with Requisite Imagination. In Wise, J. A., Hopkin, V. D.,
Stager, P. (Eds.), Verification and Validation of Complex Systems: Human Factor
Issues. Springer-Verlag, New York dalam Filho, Anastacio P. G., et al., 2010. A
Safety Culture Maturity Model for Petrochemical Companies in Brazil. Safety
Science, 48, 615-624.
KUESIONER PENILAIAN TINGKAT BUDAYA KESELAMATAN
1 2 3 4 5 Penilaian
Anda
1. Benchmark, Trend dan Statistik.
Sekedar patuh terhadap Manajemen khawatir Melakukan benchmark Menginterpretasikan tren Melakukan benchmark
peraturan dan perundang- mengenai biaya yang accident/insiden, untuk mencegah kerugian dengan industri lain.
undangan K3 yang timbul akibat kecelakaan mengumpulkan data-data di masa mendatang. Mempertimbangkan
berlaku, namun data yang dan posisi perusahaan di serta percaya bahwa Menentukan best practice dengan serius faktor
terkumpul tidak mata perusahaan lain mengukur berarti serta auditnya. Mencoba manusia, sehingga
dimanfaatkan. tetapi tidak berusaha memperbaiki. Tidak menjadi yang terbaik penilaian kinerja dilakukan
mencari penyebab melihat masalah yang dalam industrinya namun dengan menggunakan
dasar/sesungguhnya dari mungkin muncul di masa tidak melibatkan semua kisaran penilaian yang
suatu kecelakaan. mendatang, dan tidak level dalam proses audit. lebih luas. Melibatkan
berusaha bergerak dari semua level di organisasi
penilaian angka statistik. dalam menentukan
(Sudah dikumpulkan tapi tindakan perbaikan.
tidak dianalisa. Tidak
dilihat tren kejadian dan
penyebab)
2. Audit & Review
Hanya sekedar mematuhi Ada audit terhadap Ada program audit yang Ada program audit yang Audit, baik itu audit sendiri
perundang-undangan operasional di lapangan teratur dan terjadwal, luas, termasuk audit silang maupun audit silang,
minimum. Ada audit setelah terjadi fatality. namun hanya di antar bagian di dilakukan untuk mencari
keuangan tapi audit K3 Kemungkinan diaudit oleh permukaan saja. perusahaan. Audit dilihat permasalahan yang tidak
tidak dilakukan, kecuali pihak ke-3, tapi tidak Konsentrasi hanya pada sebagai hal yang positif. terlihat. Ada tindak lanjut
setelah terjadi kecelakaan dilakukan secara internal daerah dengan risiko dari hasil audit. Audit lebih
besar. oleh perusahaan sendiri. tinggi. Tidak ada niat untuk banyak melihat perilaku
Kalaupun dilakukan, hanya melakukan audit diri daripada sistem dan
dilakukan pada daerah- sendiri namun dilakukan peralatan.
daerah yang sangat audit terhadap kontraktor.
berbahaya. Daerah yang
kurang berbahaya
cenderung diabaikan.
Tidak ada jadual audit
karena audit masih
dianggap sebagai
hukuman.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
3. Pelaporan insiden, Investigasi, dan Analisis
Menutup-nutupi Menentukan zero accident Banyak informasi yang Laporan dikirim ke seluruh Data dikumpulkan dari
kecelakaan yang terjadi sebagai sasaran yang dikumpulkan dan perusahaan untuk berbagi seluruh fungsi bisnis untuk
adalah hal yang biasa. diinginkan. Memperhatikan disimpan. Perusahaan informasi dan bahan melihat trend an isu yang
Investigasi hanya dokumen-dokumen yang mempunyai prosedur pembelajaran. Tim harus diperhatikan ada
dilakukan setelah terjadi menunjukkan bahwa investigasi yang rinci. investigasi merupakan tindak lanjut yang
kecelakaan serius. Tidak investigasi telah dilakukan. Perusahaan orang yang terlatih, dan sistematis untuk
mempertimbangkan faktor Ada sistem pelaporan memperhatikan akar ada tindak lanjut yang memastikan bahwa
manusia, tidak melakukan informal namun belum ada penyebab. Tidak ada sistematis untuk perubahan telah dilakukan,
lebih dari yang disyaratkan sistem pelaporan yang sistem tindak lanjut memastikan tindakan dan hal ini selalu
undang-undang, tidak dapat memperlihatkan terhadap temuan dan perbaikan telah dilakukan, dijalankan.
melihat lebih dari sekedar akar penyebab. Tidak ada rekomendasi. Investigasi namun hal ini tidak selalu
melindungi keuntungan tindak lanjut yang dan hasilnya tidak dilakukan.tidak fokus pada
perusahaan. sistematis dan kejadian- beranjak lebih dari tenaga kecelakaan yang
kejadian sebelumnya yang kerja lokal. potensial, dan hanya
serupa tidak melihat jumlah bahaya
dipertimbangkan. yang dilaporkan, near
misses, insiden dan
accident.
4. Laporan Keselamatan
Tidak ada laporan Laporan K3 hanya Laporan mengikuti format Laporan keselamatan Manajemen senior secara
keselamatan kerja. sederhana dan factual, baku dengan dokumentasi menyelidiki tentang rutin terlibat dan
cenderung menghakimi yang banyak. Bagian “Mengapa” daripada hanya menentukan tujuan
seseorang. Perusahaan tubuh yang terkena dan “Apa” dan “Kapan”. laporan. Laporan
tidak menindaklanjuti hasil bahayanya dijelaskan Pelaporan yang cepat keselamatan dengan
pelaporan. secara terperinci. Tersedia akan dihargai, dan mudah disebarluaskan di
sistem penelusuran membuka kemungkinan seluruh organisasi dengan
kejadian. Perusahaan ada bagian formulir yang menggunakan database
mengharuskan semua kosong untuk pengisian yang dapat diakses.
isian formulir diisi. lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
5. Penyebab Kecelakaan di Mata Manajemen
Menyalahkan individu, dan Ada usaha untuk Ada usaha mengurangi Menejemen melihat sistem Manajemen tidak lagi
meyakini bahwa menyingkirkan individu jumlah jam pajanan untuk secara keseluruhan, melihat hal ini sebagai
kecelakaan pasti akan yang dianggap ‘biang mengurangi tingkat termasuk prses dan pertanyaan yang relevan,
terjadi. Tanggung jawab kerok/sering celaka’. kecelakaan. Menyalahkan prosedur. Mereka sadar karena tidak ada sikap
manajemen tidak Percaya bahwa mesin yang rusak dan bahwa manajemen harus saling menyalahkan.
diperhitungkan. kecelakaan hanya pemeliharaan yang kurang bertanggung jawab Manajemen melihat diri
meruoakan nasib sial saja. memadai. Manajemen terhadap penyebab mereka untuk menilai apa
Tanggung jawab bermental ‘mereka’ kecelakaan dan bahwa yang dapat dikembangkan,
manajemen daripada ‘kita’ dan tidak ada kecelakaan- dan mengambil
diperhitungkan. melihat keseluruhan kecelakaan yang tidak pandangan yang luas
sistem yang ada. dapat dicegah. mengenai interaksi sistem
dan karyawan.
6. Apa yang terjadi setelah kecelakaan? Apakah umpan balik sudah ditanggapi?
Laporan diberikan pada Berfokus pada karyawan Statistik dikumpulkan Pelajaran yang diperoleh Keterlibatan top
pihak yang berwenang. dan mereka biasanya kecelakaan diperiksa dan dibagi kepada pekerja dan manajemen terlihat secara
Tidak ada tindak lanjut dipecat. Prioritas yang dianalisa satu per satu. tindakan perbaikan nyata dalam aktifitas
atas rekomendasinya. harus dilakukan adalah Tidak ada informasi yang dilakukan dengan tuntas. setelah kecelakaan.
memperbaiki kerusakan. dibagikan dan tindak lanjut Pekerja mengambil
yang dilakukan tergantung hikmah atas kecelakaan
kondisi. yang terjadi pada orang
lain.
7. Bagaimana rasanya pertemuan keselamatan?
Pertemuan lebih banyak Pertemuan ditanggapi Pertemuan dirasa sebagai Pertemuan dirasa sebagai Pertemuan dirasa sebagai
dikendalikan oleh atasan secara negative, dan diskusi formal walaupun forum penting interaksi kesempatan
dan terlihat seperti basa dihadiri dengan berat hati. ada usaha untuk karyawan di semua level. berkomunikasi secara
basi. Hanya dianggap Pekerja merasa bahwa itu meningkatkan interaksi Mereka masih informal. Dapat diadakan
buang-buang waktu. kesempatan bagi dengan peserta. menganggap berat karena oleh semua pekerja dan
manajemen untuk Pertemuan merupakan masih ada pertemuan terasa aman dan nyaman
menyalahkan dan suatu forum bagi karyawan regular lainnya. Mereka bagi semua yang hadir.
merupakan upaya basa- level atas untuk menghadiri pertemuan di
basi dalam menanggapi mengetahui tentang tingkat bawah yang
kecelakaan sebelumnya. kebijakan perusahaan. berfungsi
mengidentifikasikan
masalah sebelum masalah
tersebut muncul.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
8. Perencanaan Kerja, Termasuk Ijin Kerja, dan Manajemen Pelayanan
Perencanaan kerja Rencana dibuat Ada banyak perencanaan Perencanaan merupakan Terdapat proses
dilakukan demi produksi berdasarkan apa yang kerja yang menekankan praktek yang standar perencanaan yang mantap
yang paling cepat dan salah sebelumnya dan pada Ijin Kerja namun dilakukan, ada tindak dengan mengantisipasi
murah. Tidak ada rencana merupakan rencana yang hanya tinggal sebagai lanjut dan evaluasi dan review terhadap
kerja secara keseluruhan masih mentah/informal rencana saja. Evaluasi terhadap keefektifannya proses kerja. Karyawan
dan rencana keselamatan dan menitikberatkan pada hanya sedikit dilakukan walaupun dipercaya membuat
dan kesehatan kerja. lamanya waktu melakukan atau bahkan tidak ada implementasinya belum perencanaan tersebut.
pekerjaan. evaluasi mengenai kualitas sempurna. Sedikit kertas, lebih
rencana kerja. banyak berpikir dan proses
ini sudah dikenal dan
disebarluaskan.
9. Manajemen Kontraktor
Manajemen kontraktor Perusahaan Pra kualifikasi dilakukan Keselamatan kerja dilihat Pekerja kontraktor dan
hanya berfokus kepada memperhatikan masalah dengan melihat catatan sebagai permasalahan perusahaan tidak berbeda
harga, dan tidak K3LH kontraktor hanya kecelakaan terdahulu. bersama. Pra kualifikas dan merupakan bagian
mempertimbangkan setelah terjadi kecelakaan. Standar diturunkan jika tetap dilakukan dan yang terintegrasi.
masalah keselamatan. Pilihan pertama tetap tidak ada kontraktor yang diterapkan dengan baik. Informasi yang dibagikan
Perusahaan melihat berdasarkan harga, namun dapat memenuhi Perusahaan membantu merupakan alat untuk
bahwa kontraktor kinerja keselamatan yang persyaratan. Perusahaan kontraktor untuk pelatihan. mencapai kebijakan,
bertanggung jawab penuh buruk akan berdampak tidak berupaya membantu Upaya keselamatan prosedur dan praktek yang
atas keselamatannya buruk bagi kontraktor. kontraktor. terlihat dilakukan bersama. terintegrasi. Pekerjaan
sendiri. akan ditunda jika ada
kontraktor yang tidak
memenuhi tuntutan K3.
Program pelatihan dan
kompetensi merupakan hal
yang standar.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
10. Penetapan Standar
Berdasar sepenuhnya Mengikuti standar industri. Terdapat standar Perusahaan mengambil Perusahaan berusaha
pada persyaratan peraturan dan internal peran sebagai pemimpin, mempengaruhi pembuat
minimum perundang- yang dibuat berdasarkan dan berupaya untuk undang-undang dalam
undangan. Tidak ada kecelakaan yang terjadi. melampaui standar menetapkan standar yang
standar internal. Perusahaan bersedia minimum industri. Standar lebih tinggi. Tidak khawatir
mengeluarkan biaya untuk ditetapkan oleh pekerja akan biaya demi mencapai
tindakan perbaikan. dan disetujui oleh standar yang tinggi.
manajemen. Standar ditentukan oleh
pekerja.
11. Pelatihan dan Kompetensi, Apakah Pekerja Tertarik?
Pelatihan hanya Pelatihan dilakukan secara Pelatihan rutin diadakan, Kompetensi merupakan Permasalahan perilaku
merupakan reaksi atas besar-besaran akibat departemen pelatihan sesuatu yang penting. menjadi sama penting
perundang-undangan terjadinya kecelakaan, dan memastikan bahwa target Pekerja memahami dengan pengelatuan dan
dilakukan seperlunya saja, dilakukan dengan sikap sudah terpenuhi namun pentingnya pelatihan dan kemampuan pekerja.
namun pekerja “sekarang kita semua tidak ada penilaian menerima dengan baik Pelatihan dilihat sebagai
menikmatinya karena sengsara”. Aktifitas kompetensi. kesempatan suatu proses. Kebutuhan
dapat meninggalkan untuk pelatihan akan menurun megembangkan diidentifikasikan dan
beberapa jam. dan hilang dengan kemampuan dasar metode pelatihan
berjalannya waktu. mereka. Kebutuhan diusulkan oleh pekerja
pelatihan diidebtifikasikan yang dianggap sebagai
oleh pekerja. bagian tak terpisahkan dari
suatu proses daripada
menjadi penerima yang
pasif.
12. Teknik Manajemen Bahaya di Tempat Kerja
Tidak ada Program observasi Program observasi Terdapat Job Safety Job Safety Analysis
perilaku dilakukan setelah perilaku disosialisasikan Analysis beserta direvisi secara teratur.
terjadi kecelakaan, tapi hingga pekerja level prosedurnya. Ada sistem Pekerja dan supervisor
tidak pernah benar-benar bawah. Ada beberapa “teman” saat mengerjakan tidak takut saling
digunakan secara kriteria yang boleh dan pekerjaan yang berisiko memberitahu mengenai
sistematis. tidak boleh dilakukan. tinggi. bahaya kerja.
Tidak ada metode lain
yang digunakan, dan tidak
ada manajemen penilaian
bahaya yang sistematis.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
13. Siapa yang Memerika Keselamatan dari Hari ke Hari?
Keselamatan kerja tidak Ada kunjungan lapangan, Keselamatan kerja Supervisor terlibat, dan Setiap orang sadar akan
diperiksa siapapun. Tidak tapi hanya untuk mengikuti diperiksa oleh orang yang mengimbau anggota tim keselamatan kerja, mejaga
ada sistem formal peraturan. Pemeriksaan ditugaskan, walaupun untuk memeriksa diri mereka dan rekan
sehingga setiap indivisu lapangan dilakukan sambil bukan yang senior. keselamatan kerja mereka. kerja mereka. Inspeksi
menjaga diri mereka lalu oleh manajemen saat Kunjungan ke lapangan Manajer yang melakukan supervisor tidak terlalu
sendiri. mereka berkunjung. Tidak hanya untuk memastikan inspeksi kelihatannya sering karena memang
ada dokumentasi hasil kepatuhan terhadap tulus, namun mungkin tidak diperlukan. Tidak ada
kunjungan. prosedur. Terdapat tidak pintar melihat masalah yang menuntut
prosedur yang dibuat bahaya. Dilakukan audit dihentikannya operasi
untuk memastikan perilaku internal silang yang (shutdown).
yang aman. melibatkan manajer.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
15. Apakah Manajemen Mau Memberitahu Pekerja Mengenai Permasalahan Keselamatan Kerja?
Tidak. Namun kadang- Manajemen memberitahu Manajemen memberikan Manajer menyadari bahwa Terdapat komunikasi dua
kadang manajemen harus pekerja apa yang harus informasi yang berlimpah diperlukan dialog dengan arah dimana manajer
menyampaikan beberapa dilakukan sebagai reaksi pada pekerja dan sering pekerja sehingga mendapatkan informasi
hal. Manajemen lebih terhadap persyaratan menghasilkan inisiatif komunikasi dua arah dapat lebih banyak daripada
tertarik bagaimana undang-undang. Pesan keselamatan. Masih lebih terjamin. Bertanya dan yang dia berikan.
mencegah pekerja keselamatan disampaikan banyak berbicara daripada mendengarkan berjalan Prosesnya pun transparan.
menimbulkan masalah. tanpa semangat. mendengar dengan sedikit dengan selaras. Jika ada kecelakaan di
Prosesnya hanya dari atas Antusiasme aka hilang kesempatan untuk Penekanannya adalah tempat kerja dirasa seperti
ke bawah. bersama waktu jika sudah komunikasi dari bawah ke saling mnejaga di tempat musibah bagi seluruh
kembali ke keadaan atas. kerja. anggota keluarga.
normal.
16. Komitmen
“Siapa yang peduli selama Masih ada aturan “Jagalah Tingkat kepedulian Komitmen ada, dan rasa Kontraktor diikutsertakan
kita tidak ketahuan?” dirimu sendiri”. Ada manajemen terhadap percaya diri mulai dalam kepedulian
Prinsipnya adalah pekerja komitmen dari manajemen biaya kecelakaan berkembang namun belum terhadap keselamatan
menjaga keselamatan dan pekerja, namun hanya berkurang. Pekerja tahu menyeluruh. sejak awal. Tingkat
mereka sendiri. setelah terjadi kecelakaan. bagaimana berkata manis komitmen dan kepedulian
Biasanya umur komitmen mengenai keselamatan. sangat tinggi dan
ini singkat. dikendalikan oleh
karyawan.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
1 2 3 4 5 Penilaian
18. Apa Tujuan Prosedur di Mata Pekerja?
Prosedur dibuat Prosedur adalah untuk Ada banyak prosedur dan Prosedur memberikan Ada kepercayaan kepada
berdasarkan keharusan mencegah kecelakaan sulit membedakan praktek terbaik namun pekerja. Ketidakpatuhan
dan dilihat sebagai kembali terjadi. Tidak prosedur dengan dilihat sebagai sesuatu akan ditindak. Prosedur
penghalang aktifitas terlalu dipikirkan secara pelatihan. yang mengganggu. diterima sebagai suatu
pekerja. matang. Beberapa pelanggaran usaha efisiensi.
dalam batas tertentu
masih dapat ditolerir.
19. Apa Status Dept. K3?
Tidak ada Dept K3. Kalau Departemen K3 kecil dan Posisi K3 diberikan pada K3 dilihat sebagai Tidak ada karena tidak
ada, hanya merupakan mempunyai wewenang manajer menengah yang pekerjaan yang penting. diperlukan.
bagian kecil dari bagian yang kecil juga. Dianggap tidak dapat ditempatkan di
SDM. sebagai karier yang tempat lain. Merupakan
berada di belakang. departemen yang besar
dengan status dan
wewenang.
20. Apa Hadiah/Penghargaan Bagi Kinerja K3 yang Baik?
Tetap hidup adalah hadiah Ada hukuman bagi kinerja Kata-kata manis diberikan Diberikan beberapa Penghargaan itu sendiri
yang cukup. Tidak ada K3 yang buruk. Pengertian bagi kinerja keselamatan hadiah. Kinerja dianggap tinggi. Cindera
hadiah yang nyata. Hanya bahwa perilaku yang yang baik. Diberikan keselamatan mata tidak perlu lagi
ada hukuman jika positif dapat diberi hadiah cindera mata seperti t- diertimbangkan dalam diberikan karena pekerja
melakukan kesalahan. belum tercapai. shirt. Bonus manajer pemberian promosi sudah sadar bahwa
dipengaruhi jumlah jabatan. Kinerja mereka bekerja dengan
kecelakaan. keselamatan juga baik. Evaluasi dilakukan
digunakan dalam berdasarkan proses.
penghitungan bonus.
Universitas Indonesia
Gambaran sistem..., Galih Respati Pradana Mukti, FKM UI, 2013
Notulen diskusi SCML dengan Middle Manajemen dan Pelaksana