Anda di halaman 1dari 36

PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASI 1

STFB

JADWAL PRAKTIKUM

Pertemuan 1 : Responsi
Pertemuan 2 : Modul 1
Pertemuan 3 : Modul 1
Pertemuan 4 : Diskusi Modul 1
Pertemuan 5 : Modul 2
Pertemuan 6 : Diskusi
Pertemuan 7 : UTS (Modul 1 & 2)
Pertemuan 8 : Modul 3
Pertemuan 9 : Modul 4
Pertemuan 10 : Diskusi modul 3 dan 4
Pertemuan 11 : Modul 5
Pertemuan 12 : Diskusi modul 5
Pertemuan 13 : UAS (Modul 3, 4, dan 5)

Penyusun | Dadih Supriadi, M.Si., Apt.


DAFTAR ISI

Modul 1
UJI DISOLUSI SEBAGAI EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN

Modul 2
DISPERSI PADAT

Modul 3
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN VITRO

Modul 4
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN SITU

Modul 5
ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO
MODUL 1
UJI DISOLUSI SEBAGAI EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN

TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa:
1. Memahami disolusi sebagai salah satu evaluasi biofarmasetik suatu sediaan
2. Terampil dan memahami bagaimana melakukan uji disolusi suatu sediaan
berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV
3. Dapat menginterpretasi hasil uji disolusi sediaan

TEORI DASAR
Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat
fisikokimia obat, faktor fisiologi tempat pemberian obat, serta faktor formulasi dan
teknologi pembuatan sediaan obat dengan berbagai proses yang dialami obat dalam
tubuh sampai zat aktif masuk ke dalam sistem peredaran darah atau yang disebut
“ketersediaan hayati” (bioavailability) (Shargel, 2007).
Ketersediaan hayati adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat
yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah
pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau
dari ekskresinya dalam urin. (Anonim, 2005).
Proses biofarmasetik yang dialami sediaan obat dalam tubuh dapat meliputi disintegrasi,
disolusi, difusi, dan absorpsi baik sebagian maupun seluruh proses. Sebagai contoh,
sediaan tablet/kapsul mengalami seluruh proses biofarmasetik (gambar 1) sampai obat
tersebut mencapai sirkulasi darah
Gambar 1 : Proses biofarmasetik sediaan tablet atau kapsul (Shargel,2007)

Berdasarkan proses yang dialami sediaan tablet/kapsul maka salah satu yang
menentukan kecepatan zat aktif mencapai sirkulasi sistemik adalah kecepatan
disolusi. Oleh karena itu salah satu studi biofarmasetik suatu sediaan tablet/kapsul
adalah dengan melakukan uji disolusi. Disolusi (Kecepatan pelarutan) adalah suatu
ukuran yang menyatakan banyaknya zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan
waktu. Hubungan yang menggambarkan proses pelarutan suatu zat padat
dikembangkan oleh Noyes and Whitney dalam persamaan berikut:
dM D S
=
dt (Cs – C)
h

Dimana : dM/dt = Kecepatan pelarutan


D = Koefisien Difusi
S = luas permukaan zat
Cs = kelarutan zat
C = Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
tH = tebal lapisan difusi

Dan koefisien difusi (D) tergambar pada persamaan Bolztman berikut ini

KT
D=
6ηr

Dimana D = Koefisien difusi


K = konsntanta Boltzman
T = suhu mutlak
η = Viskositas pelarut
r = jari-jari molekul

Ketentuan uji disolusi sebagai evaluasi sediaan secara teknis dapat dilihat di Farmakope
Indonesia edisi IV lampiran halaman 1083 - 1085. Hal-hal yang diatur dalam lampiran
tersebut seperti spesifikasi alat, posisi tempat pengambilan sampel dari medium disolusi,
kriteria penerimaan, toleransi dalam parameter seperti waktu uji disolusi, pH media,
suhu, kecepatan pengadukan, dan lain-lain. Dan hal-hal yang diatur dalam masing-masing
monografi sediaan adalah
1. Jenis media disolusi
2. Volume media disolusi
3. Tipe alat yang digunakan dan kecepatannya
4. Prosedur penetapan kadar yang terlarut
5. Waktu uji disolusi
6. Persyaratan Q
Berikut adalah contoh monografi sediaan tablet parasetamol dari Farmakope Indonesia
edisi IV (hal 650) dalam hal uji disolusinya:

: 50 rpm

ut dengan mengukur serapan filtrate larutan uji, jika perlu diencerkan dengan Media disolusi dan serapan larutan baku Parasetamol BPFI dalam media yang sama pa

80% (Q) parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket

ALAT DAN BAHAN


Alat :
Dissolution tester, labu takar, pipet volum, spektrofotometer UV, pilter holder, kuvet
Bahan :
Tablet parasetamol, dapar posfat (KH2PO4, NaOH), aquades, kertas lensa, kertas
whatman
PROSEDUR
Petunjuk Umum
Lakukan evaluasi disolusi tablet parasetamol beberapa macam merk baik obat generik
maupun paten. Dan nyatakan apakah sediaan tersebut memenuhi persyaratan disolusi
menurut Farmakope Indonesia edisi IV atau tidak
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan dapar posfat pH 5,8 (dilakukan pada pertemuan kedua)
Cara pembuatan dapar posfat pH 5,8 dapat dilihat di Farmakope Indonesia edisi 3
(Tugas: tuliskan cara pembuatan dapar posfat pH 5,8 tersebut pada jurnal)
1. Buat larutan dapar posfat pH 5,8 sebanyak 6 x 900 mL untuk pengujian 6
tablet dan ditambah 1600 mL untuk pengenceran jika diperlukan.
2. Hitung jumlah volume larutan KH2PO4 dan larutan NaOH yang diperlukan
3. Hitung penimbangan KH2PO4 dan NaOH yang dibutuhkan untuk volume dapar
posfat pH 5,8 yang diperlukan
4. Larutkan KH2PO4 dan NaOH dalam gelas kimia yang terpisah
5. Campurkan larutan KH2PO4 dan larutan NaOH
6. Kedalam campuran tersebut, tambahkan akuades sekitar 1000 mL sebelum
tanda batas
7. Ukur pH campuran menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi
menggunakan larutan dapar berturut-turut pH 7,0 ; 4,0 ; dan 10,01
8. pH larutan dapar harus menunjukkan 5,8 ± 0,05 (5,75 s/d 5,85)
9. Tambahkan akuades sampai tanda batas.
b. Pembuatan kurva kalibrasi parasetamol dalam dapar posfat pH 5,8 (dilakukan
pada pertemuan kedua)
1. Buat larutan induk parasetamol 1000 bpj sebanyak 50,00 mL dalam dapar
posfat pH 5,8 (tuliskan perhitungan penimbangan parasetamol dalam jurnal)
2. Buat 6 larutan dengan seri konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12 bpj sebanyak
10,00 mL yang diencerkan dari larutan induk (Tuliskan perhitungan
pengenceran pada jurnal praktikum)
3. Ukur absorbansi masing 6 larutan tersebut pada panjang gelombang 243 nm
dengan menggunakan blanko larutan dapar posfat pH 5,8 dan isi datanya
mengikuti format tabel 1.
Tabel 1. Data persamaan kurva kalibrasi
parasetamol dalam dapar posfat pH
5,8

Kadar (bpj) Absorban


2
4
6
8
10
12

4. Tentukan persamaan kurva kalibrasi yang didapat (Y = BX + A)


c. Uji disolusi tablet parasetamol (dilakukan pada pertemuan ketiga)
1. Masukkan masing-masing 900 mL dapar posfat ke dalam enam chamber
disolusi dan turunkan pengaduk Alat tipe 2 (dayung) sampai jarak antara dasar
chamber dengan batas bawah dayung 25 mm ± 2 mm.
2. Biarkan sampai suhu medium disolusi mencapai 37o ± 0,5o C
3. Masukkan satu tablet ke dalam masing-masing chamber, dan hilangkan
gelembung udara dari permukaan sediaan jika ada, kemudian nyalakan rotor
pengaduk dengan kecepatan 50 putaran per menit (toleransi 4%)
4. Matikan alat setelah 30 menit, kemudian ambil sampel menggunakan filter
holder yang telah dipasang kertas saring whatman, pada posisi tengah-tengah
antara batas atas medium dengan batas atas dayung dan 1 cm dari dinding
chamber
Catatan: Hati-hati dalam mencuci filter holder : jangan sampai karet di
dalamnya hilang
5. Ambil 1,00 ml sampel menggunakan pipet volum kemudian masukkan ke
dalam labu takar 100 mL dan tambahkan larutan dapar posfat sampai tanda
batas.
6. Ukur absorban sampel yang telah diencerkan tersebut (pengenceran ??? kali)
pada panjang gelombang 243 nm.
7. Hitung nilai Q(%) sesuai alur perhitungan yang terdapat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji disolusi tablet parasetamol


Kadar Pct Jumlah Pct
Kadar Pct Faktor
sebenarnya dalam
Tablet A (µg/mL) pengenceran Q (%)
(µg/mL) 900mL
C’ Fp
C (mg) D
C’ = (Y-A)/B C = C’ x Fp D = C x 0,9 Q = (D/500)x
100

8. Nyatakan apakah tablet tersebut memenuhi syarat uji disolusi atau tidak
berdasarkan tabel kriteria penerimaan (Tuliskan tabel penerimaan yang
terdapat di Farmakope Indonesia edisi IV Hal 1085 di jurnal praktikum)
MODUL 2
DISPERSI PADAT

TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa:
1. Memahami tujuan pembuatan dispersi padat
2. Mengetahui metode-metode pembuatan dispersi padat dan evaluasinya

TEORI DASAR
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah
lama menjadi masalah pada insustri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami
proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat
terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya.
Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Umumnya absorpsi
obat di saluran cerna terjadi secara difusi pasif. Agar dapat diabsorpsi, obat harus larut
dalam cairan pencernaan. Sebelum absorpsi terjadi, suatu bentuk sediaan tablet
mengalami disintegrasi, deagregasi, dan disolusi. Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi
dapat berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana
obat tersebut diberikan. Proses disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna
suatu obat. Partikel-partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi atau laju
pelarutan obat dalam saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting
step) absorpsi sistemik. (Abdou, 1989)
Upaya untuk meningkatkan laju disolusi bahan obat telah banyak dikembangkan, baik
dengan mengubah sifat fisika bahan obat, menambahkan bahan pembantu,
menambahkan bahan peningkat kelarutan, membentuk senyawa ester atau garam dan
sistem dispersi padat.
Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert
atau matriks pada keadaan padat. Dispersi padat diklasifikasikan dalam enam tipe yaitu
campuran eutektik sederhana, larutan padat, larutan dan suspensi gelas, pengendapan
amorf dalam pembawa kristal, pembentukan senyawa kompleks dan kombinasi dari lima
tipe di atas. Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method), dan
metode campuran (melting-solvent method) (Chiou et al, 1971).
Salah satu pembawa yang umum digunakan pada pembuatan dispersi padat adalah
polietilen glikol (PEG). Polietilen glikol disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik
dari oksietilen dengan rumus struktur H(OCH 2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata
gugus oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara 200 – 300.000.
Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul
rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot
molekul 200 – 600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semipadat, dan PEG 3000 –
20000lebih berupa padatan semikristalin. PEG dengan bobot molekul lebih besar dari
100000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar. Umumnya dengan bobot molekul
1500-20000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat (Fikri Alatas, 2006). PEG
4000 dan 6000 paling sering digunakan dalam pembuatan dispersi padat. Proses
pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000 umumnya menggunakan metode peleburan,
karena lebih mudah dan murah (Alatas, 2006)
Asam nalidiksat mempunyai kelarutan yang praktis tidak larut dalam air. Bahan obat yang
mempunyai kelarutan rendah dalam air dan kecepatan melarut obat yang rendah dalam
saluran cerna sering menyebabkan masalah di dalam ketersediaan hayati karena
sedikitnya zat aktif di dalam saluran cerna yang diabsorbsi.
Apabila kecepatan melarut suatu obat merupakan faktor utama pada proses disolusi dan
selanjutnya berpengaruh terhadap proses absorpsi maka suatu bahan obat yang
mempunyai kelarutan rendah harus diperbaiki sifat fisika dan kimianya sehingga
kelarutannya dapat ditingkatkan. Salah satunya caranya adalah dengan cara dibuat
dispersi padat. Pembawa yang telah banyak digunakan dalam dispersi padat adalah PEG
khususnya PEG 4000. Dalam percobaan ini akan diteliti pengaruh konsentrasi PEG 4000
dalam sistem dispersi padat PEG 4000-asam nalidiksat terhadap laju disolusi asam
nalidiksat.
ALAT DAN BAHAN
Alat :
Dissolution tester, Filter holder, spektrofotometer UV-VIS, kuvet , cawan penguap, gelas
kimia, batang pengaduk, timbangan digital, ayakan mesh 80, desikator, pipet ukur, labu
ukur, dan alat-alat lain yang diperlukan
Bahan :
Asam nalidiksat, PEG 4000, akuades, kertas whatman, kertas lensa

PROSEDUR
Petunjuk Umum
Buat dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000 dan evaluasinya (disolusi) dengan
memvariasikan konsentrasi PEG 4000 menggunakan metode peleburan.
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan kurva kalibrasi asam nalidiksat
1. Buat larutan induk asam nalidiksat 1000 bpj dalam larutan NaOH encer (0,01)
sebanyak 50 mL (Tuliskan perhitungan penimbangan asam nalidiksat dalam
jurnal praktikum)
2. Buat 6 larutan dengan seri konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12 bpj sebanyak
10,00 mL yang diencerkan dari larutan induk (Tuliskan perhitungan
pengenceran pada jurnal praktikum)
3. Ukur absorbansi masing 6 larutan tersebut pada panjang gelombang serapan
maksimumnya (Cari data panjang gelombang serapan masksimum asam
nalidiksat dan tulisakan pada jurnal praktikum) dan isi data mengikuti format
tabel 2
Tabel 2. Data persamaan kurva kalibrasi asam nalidiksat NaOH encer
Kadar (bpj) Absorban
2
4
6
8
10
12
4. Tentukan persamaan kurva kalibrasi yang didapat (Y = BX + A)
b. Pembuatan dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000
1. Buat 3 formula dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000 masing-masing
sebanyak 10 g (perbandingan asam nalidiksat-PEG 4000 pada F1, F2, dan F3
berturut-turut 1:1 ; 1:2 ; 1:3)
2. Hitung penimbangan asam nalidiksat dan PEG 4000 untuk 10 g dispersi padat
untuk masing-masing formula (Tuliskan perhitungan penimbangannya pada
jurnal praktikum)
3. Timbang asam nalidiksat dan PEG yang diperlukan dan masukkan ke dalam
cawan penguap
4. Panaskan cawan penguap di atas hot plate stirrer
5. Biarkan campuran sampai meleleh kemudian aduk rata
6. Setelah meleleh dengan segera campuran disebarkan tipis di atas plat besi
dingin sampai memadat
7. Campuran padat digerus kemudian diayak menggunakan mesh 80
8. Campuran hasil ayakan dibungkus dalam kertas perkamen kemudian disimpan
di desikator sebelum dievaluasi
c. Evaluasi dispersi padat (disolusi)
1. Lakukan uji disolusi terhadap asam nalidiksat murni dan dispersi padat dari
ketiga formula
2. Timbang dengan seksama sebanyak 500 mg asam nalidiksat murni.
3. Timbang dengan seksama dispersi padat setara dengan 500 mg asam
nalidiksat (Hitung penimbangan dispersi padat untuk masing-masing formula
dan tuliskan perhitungannnya dalam jurnal)
4. Pada saat yang sama, masukkan 4 @ 900 ml air ke dalam masing-masing 4
chamber disolusi.
5. Biarkan air sampai mencapai suhu 37oC ± 0,5
6. Setelah air mencapai suhu 37oC, masukkan asam nalidiksat murni, DP F1, DP
F2, DP F3, yang telah ditimbang ke alat tipe 1 (basket) yang dasarnya diberi
alas kertas perkamen.
7. Turunkan pengaduknya
8. Nyalakan alat dan atur kecepatnnyap pada 100 rpm
9. Ambil sampel dari masing-masing chamber sebanyak 10 mL menggunakan
filter holder pada menit ke 5, 10, 20, 40. Dan ganti dengan jumlah sampel yang
diambil dengan air yang bersuhu 37oC sehingga selam percobaan volume
medium disolusi tetap 900 mL
10. Ukur absorban sampel pada panjang gelombang serapan maksimummnya
menggunakan spektrofotometer ultraviolet, bila perlu diencerkan terlebih
dahulu
11. Hitung persen yang terdisolusi mengikuti format tabel 3
12. Buat grafik persen obat terdisolusi terhadap waktu dalam kertas milimiter blok
PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASI 14
STFB

Tabel 3. Hasil uji disolusi asam nalidiksat murni dan DP 1, DP2, serta DP3

Me Absorban / Y Fp C’ (bpj) / X C (bpj) D’ (mg) Fk (mg) D (mg) D (%)


nit DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP DP
M M M M M M M M
ke 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

10

20

40

Keterangan
M : Asam nalidiksat murni
DP1 : Dispersi padat formula 1 (1 : 1)
DP2 : Dispersi padat formula 2 (1 : 2)
DP3 : Disepersi padat formula 3 (1: 3)
Fp : Faktor pengenceran jika
dilakukan
C’ : Konsentrasi asam nalidiksat  X = (Y-A)/B
C : Konsentrasi asam nalidiksat sebelum pengenceran  C = C’ x
Fp D’ : Jumlah obat yang terlarut  D’ = (C x 900 mL) / 1000
Fk : Faktor koreksi  Fk = (C x 10 mL) / 1000
D : Jumlah obat terlarut setelah dikoreksi  D = D’ + Fk
kumulatif D (%) : Persen terdisolusi  D(%) = (D/500 mg) x 100

Penyusun | Dadih Supriadi, M.Si., Apt.


Penyusun | Dadih Supriadi, M.Si., Apt.
PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASI 15
STFB

MODUL 3
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN VITRO

TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami pengaruh pH terhadap absorpsi
obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.

TEORI DASAR
Absorpsi obat adalah suatu proses pergerakan obat yang sudah terlarut dari tempat pemberian
ke dalam sirkulasi darah melalui membran pada tempat pemberian obat. Mekanisme absorpsi
terdiri dari tiga macam yaitu (1) difusi pasif, (2) transport menggunakan protein yang dapat
berupa saluran (channel), difusi terfasilitasi oleh pembawa (carrier) dan transport aktif oleh
sistem pompa (pumps). Sebagian besar obat melalui meknisme difusi pasif, serta (3) pinositosi
dan endositosis (Wellong, 2007)

Gambar 2. Struktur membran sel (wellong, 2007)

Penyusun | Dadih Supriadi, M.Si., Apt.


Penyusun membran sel (gambar 2) adalah dua lapis fospolipid (phospholipid bilayer) yang
terintegrasi juga dengan protein-protein fungsional yang bertanggung jawab dalam mekanisme
obat transport protein. Oleh karena penyusun membran sel adalah lipid maka secara umum
obat yang lebih larut lemak/lipid yang lebih mudah menembus membran jika mekanisme
absorpsinya melalui difusi pasif.
Sebagian besar obat merupakan asam atau basa organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi oleh
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membran. Membran sel lebih
permeabel terhadap bentuk obat yag tidak terionkan daripada bentuk terionkan, karena obat
bentuk tak terion lebih larut lemak dibandingkan dengan bentuk terion. Derajat ionisasi
tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti terlihat pada persamaan Henderson-
Hasselbalch sebagai berikut :

Untuk suatu asam :


fraksi obat yang terionkan
pH = pKa + log fraksi obat yang tak terionkan

Untuk suatu basa :

fraksi obat yang terionkan


pH = pKa - log fraksi obat yang tak terionkan

Dengan menyusun kembali persamaan untuk asam :

fraksi obat yang terionkan


log fraksi obat yang tak terionkan = pKa – pH
Maka secara teoritis dapat ditentukan jumlah relatif dari suatu obat dalam bentuk tidak
terionkan pada berbagai kondisi pH.
Untuk obat yang ditranspor secara difusi pasif, peranan dinding usus hanya sebagai membran
difusi. Studi absorpsi in vivo dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme
absorpsi suatu bahan obat, tempat terjadinya absorpsi yang optimal, permeabilitas membran
saluran pencernaan terhadap berbagai obat, serta pangram berbagai factor terhadap absorpsi
suatu obat.
Menurut Tumer dkk, permeabilitas membran biologi terhadap suatu obat dapat digambarkan
oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linear dengan kecepatan transpor atau
kecepatan absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

𝑑𝒬𝑏 1
= Dm. Am.Pm/s (Cg – Cb )
𝑑𝑡 𝛿𝑋𝑚

Dengan 𝑑𝒬𝑏
𝑑𝑡
= Kecepatan transpor obat ke kompartemen dalam (darah)

Dm = Tetapan luas kecepatan difusi obat melalui


membran Am = Luas membran yang digunakan untuk
berdifusi
Pm/s = Koefisien partisi obat dalam membrane pelarut
𝛿𝑋𝑚 = Ketebalan membran
Cg = Kadar obat dalam kompartemen luar (usus) pada waktu t
Cb = Kadar obat dalam kompartemen dalam (darah) pada waktu t

Untuk obat-obat yang strukturnya tertentu dan tempat absorpsinya sudah tertentu pula, maka
kecepatan absorpsinya hanya ditentukan oleh gradien kadar obat di antara kedua permukaan
membran, yang memisahkan lumen saluran pencernaan dengan (plasma) darah, sehingga
persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :
d𝒬b
= 𝑃𝑚 (C – C )
dt g b
1
Dengan : Pm = Dm.Am.Pm/s. Disebut sebagai permeabilitas membran.
𝛿𝑋𝑚
Jika Cb dapat diabaikan karena Cb << Cg maka persamaan tersebut dapat disederhanakan
Menjadi :
d𝒬b
= 𝑃𝑚 .C g
dt

Hasil integrasi persamaan ini adalah


𝒬b = Pm . Cg
Dengan 𝒬b = Jumlah obat yang ditranspor dari kompartemen dalam selang waktu t .
Kurva hubungan jumlah obat yang ditranspor sehingga funsi waktu akan memberikan garis
linear dengan angka arah K = Pm . Cg dan lag time yaitu harga perpotongan garis dengan sumbu
t.
Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah
pada proses transpor melalui membran biologis.
(Gozali, 2000)

ALAT DAN BAHAN


Alat :
Tabung Crane and Wilson (yang telah dimodifikasi), water bath, tabung gas oksigen, selang
silikon, spektrofotometer UV-VIS, kuvet, timbangan analitik, peralatan bedah, dan alat-alat
gelas lain yang biasa digunakan di laboratorium
Bahan :
parasetamol, KH2PO4, NaOH, HCl, NaCl, asam sulfamat, NaNO2, kertas lensa
Hewan :
tikus putih jantan putih

PROSEDUR
Petunjuk Umum
Lakukan percobaan absorpsi obat (parasetamol) per oral secara in vitro menggunakan alat
Tabung Crane and Wilson yang telah dimodifikasi (gambar 3) yang di dalamnya terpasang usus
tikus yang sudah dibalik. Percobaan dilakukan dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang
berbeda yaitu menggunakan cairan lambung buatan (CLB) yang mempunyai pH 1,2 dan cairan
usus buatan (CUB) yang mempunyai pH 7,4. Penetapan kadar parasetamol menggunakan
metode kolorimetri
Gas O2 masuk

kanula berisi
cairan serosal

kanula untuk
keluar gas

Usus halus tikus


bagian ileum
Tabung berisi yang telah dibalik
cairan mukosal

Gambar 3. Skema alat tabung Crane and Wilson

Petunjuk Khusus
a. Pembuatan cairan mukosal dan cairan serosal
1. Cairan mukosal dibuat untuk menggambarkan cairan saluran cerna. Buatlah 2 (dua)
macam cairan mukosal yaitu CLB dan CUB tanpa enzim sebanyak 1 Liter. Tuliskan
cara pembuatan CUB dan CLB dalam jurnal (Cara pembuatan CLB dan CUB dapat di
lihat di Farmakope Indonesia edis IV).
2. Cairan serosal dibuat untuk menggambarkan cairan darah. Dalam percobaan ini
cairan serosal direpresentasikan oleh larutan NaCl 0,9% (b/v) yang isotonis dengan
cairan darah. Buatlah larutan NaCl 0,9% (b/v) sebanyak 100 mL atau langsung
menggunakan cairan infus.
b. Pembuatan larutan parasetamol dalam CUB dan CLB
Larutkan sebanyak masing-masing 500 mg parasetamol dalam masing-masing 100 ml
CUB dan CLB
c. Pembuatan pereaksi warna
Buat larutan HCl 6 N, NaNO2 10%, asam amidosulfonat 15%, dan NaOH 10% masing-
masing 100 mL
d. Pembuatan kurva kalibrasi parasetamol dalam CUB dan CLB
1. Buat dua larutan induk parasetamol 1000 bpj dalam larutan CUB dan CLB sebanyak
50 mL (Tuliskan perhitungan penimbangan parasetamol dalam jurnal praktikum)
2. Buat 2 x 6 larutan dengan seri konsentrasi yaitu 20, 40, 60, 80, 100, 120 bpj sebanyak
10,00 mL yang diencerkan dari larutan induk (Tuliskan perhitungan pengenceran
pada jurnal praktikum). Gunakan pelarut CUB dan CLB untuk mengencerkan.
3. Ambil masing-masing 1,0 ml dan masukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi
(jangan lupa masing-masing tabung reaksi diberi label)
4. Tambahkan pereaksi warna ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut
4.1 Tambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan 1,0 mL NaNO 2 10% campur baik-baik diamkan
selama 5 (lima) menit.
4.2 Dengan hati-hati tambahkan 1,0 mL asam amidosulfonat 15%, dan kemudian 2,5
mL NaOH 10% diamkan tiga menit sambil direndam di air es.
5. Ukur absorbansi masing 2 x 6 larutan tersebut pada panjang gelombang serapan
maksimumnya yaitu 435 nm dan isi data mengikuti format tabel 4 dan 5
Tabel 4. Data persamaan kurva kalibrasi parasetamol dalam CUB
Kadar (bpj) Absorban
20
40
60
80
100
120
Tabel 4. Data persamaan kurva kalibrasi parasetamol dalam CLB

Kadar (bpj) Absorban


20
40
60
80
100
120

6. Tentukan dua persamaan kurva kalibrasi yang didapat (Y = BX + A)


e. Penyiapan usus halus tikus bagian ileum yang dibalik
1. Gunakan tikus putih jantan.
2. Puasakan tikus tersebut selama 20 – 24 jam dengan tetap memberinya minum
3. Bunuh tikus menggunakan eter atau dengan cara lain.
4. Bedah perut tikus di sepanjang linea mediana dan keluarkan usus tikus
5. Buang usus tikus sepanjang 15 cm di bawah pylorus dan gunakan usus tikus
sepanjang 20 cm di bawahnya untuk percobaan
6. Balikkan usus tikus sehingga bagian dalam menjadi di luar dan bagian luar menjadi di
dalam
7. Rendam usus tikus yang telah di balik dalam larutan NaCl fisiologis (0,9%) sebelum
digunakan
f. Percobaan absorpsi obat
1. Isi waterbath dengan air kran dan atur alat pada suhu 37oC
2. Gunakan 2 (tabung) Crane and Wilson
3. Pasang dua usus tikus yang sudah dibalik yang panjangnya sama pada kanula bagian
tengah dari masing –masing dua tabung.
4. Ikat masing-masing kedua ujung usus tikus dengan hati-hati jangan sampai usus
putus atau bocor
5. Masukkan cairan serosal ke dalam kanula tengah dan pastikan cairan serosal masuk
ke dalam usus dan pastikan usus tidak bocor dan catat volume cairan serosal yang
bisa masuk
6. Setelah dipastikan cairan serosal masuk dan usus tidak bocor, letakkan kanula pada
tabung Crane and Wilson yang sebelumnya telah diisi cairan mukosal yaitu CUB dan
CLB yang mengandung parasetamol sebanyak 100 mL dan telah terpasang di
waterbath bersuhu 37oC.
7. Aliri kanula pinggir dengan oksigen melalui selang silicon atur kecepatan gelembung
agar sama antara tabung 1 dan 2.
8. Pantau usus agar selama percobaan terendam cairan mucosal.
9. Ambil sampel dari kanula tengah (cairan serosal) sebanyak 1,5 mL pada menit ke 5,
10, 20, dan 30.
10. Setiap pengambilan sampel, ganti cairan serosal dengan jumlah volume yang sama
(1,5 mL)
11. Pipet sebanyak 1,0 mL sampel dan masukkan ke dalam tabung reaksi
12. Tambahkan pereaski warna ke dalamnya seperti prosedur sebelumnya
13. Ukur absoran sampel pada panjang gelombang 435 nm
14. Catat hasil percobaan mengikuti format tabel 5
Tabel 5. Hasil percobaan absorpsi parasetamol per oral secara in vitro
Menit Abs / Y C (bpj) / X Qb’ (µg) Fk (µg) Qb (µg)
ke CUB CLB CUB CLB CUB CLB CUB CLB CUB CLB
5
10
20
30
Keterangan
Abs/Y: didapat dari hasil pengukuran
C = Konsentrasi parasetamol  X = (Y-A)/B (gunakan persamaan kurva kalibrasi yang CUB
untuk percobaan yang CUB dan persamaan kurva kalibrasi yang CLB untuk yang percobaan
yang CLB
Qb’= jumlah obat yang diabsorpsi  Qb’ = C x Volume serosal yang
tercatat Fk = Faktor koreksi  Fk = C x 1,5 mL (Volume sampel)
Qb = Jumlah obat yang diabsorpsi setelah dikoreksi  Qb = Qb’ + Fk kumulatif
15. Buat grafik hubungan Qb (sumbu Y) terhadap waktu (sumbu X) untuk kedua kondisi
percobaan dalam satu grafik sehingga didapat dua garis
16. Buat persamaan regresi linier antara Qb (sebagai Y) dan waktu (sebagai X) untuk dua
kondisi percobaan sehingga didapat dua persamaan Y = BX + A
17. Dari persamaan yang didapat hitunglah
17.1 Tetapan absorpsi / K (tetapan absorpsi adalah nilai B dari persamaan
17.2 Tetapan permiabilitas / Pm (Pm = B/kosentrasi parasetamol dalam cairan
mukoasal
17.3 lag time (X) untuk kedua kondisi percobaan dengan memasukkan nilai Y = 0
(Qb = 0)
18. Catat hasil perhitungan mengikuti format tabel 6
Tabel 6. Rekap hasil perhitungan parameter absorpsi dari percobaan

Parameter Pada kondisi percobaan


absorpsi CUB CLB
K
Pm
lag time
MODUL 4
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN SITU

TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami pengaruh pH terhadap absorpsi
obat melalui saluran pencernaan secara in situ.

TEORI DASAR
Percobaan obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan
hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu dilewatkan
melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini dikenal dengan
nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian
ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk
keluarnya cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, ridak mengalami
metabolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam
darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut
adalah karena proses absorpsi.
Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh pH terhadap kecepatan
absorpsi sangat besar, karena pH akan menentukan besarnya fraksi obat dalam bentuk tak
terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorpsi secara baik melalui mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yag dapat berpengaruh pada
permeabilitas dinding usus dari berbagai macam obat pengembangan lebih lanjut dapat
digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorpsinya melalui
pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat
terabsorpsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran
usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer.
Metode Through and Through merupakan salah satu cara percobaan in situ. Cara ini dilakukan
dengan menentukan fraksi obat yang terabsorpsi, setelah larutan obat dialirkan melalui lumen
intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu pula.
Dalam keadaan tunak proses absorpsi dapat dinyatakan dengan persamaan :

𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
1 – 𝐶 (0) = 1- exp (- 𝒬 𝑥 1+
𝑃 𝑃𝑎𝑞𝑎𝑞
𝑃 0𝑋𝑠 +𝑃𝑝

= 1- exp (- 2.𝑟𝑙
𝒬 𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝)

𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
In 𝐶 (0) = 𝐼𝑛 𝑒 𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝
𝒬

𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
In 𝐶 (0) = − 𝒬
𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝

Dengan , C(0) = Kadar larutan obat mula-mula


C(1) = Kadar larutan obat setelah dialirkan melalui lumen intestin sepanjang 1 cm
l = panjang usus dalam cm
r = jari-jari penampang lintang intestin
𝒬 = kecepatan alir larutan obat dalam ml menit-1
Papp = tetapan permeabilitas semu

(Gozali, 2000)

ALAT DAN BAHAN


Alat :
seperangkat alat infus beserta tiangnya, seperangkat alat bedah, benang, spektrofotometer UV-
VIS, Kuvet, dan alat gelas yang biasa digunakan di labroratorium
Bahan :
parasetamol, KH2PO4, NaOH, HCl, NaCl, asam sulfamat, NaNO2, kertas lensa
Hewan :
Tikus putih jantan putih

PROSEDUR
Petunjuk Umum
Lakukan percobaan absorpsi obat (parasetamol) per oral secara in situ. Percobaan dilakukan
dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang berbeda yaitu menggunakan cairan lambung
buatan (CLB) yang mempunyai pH 1,2 dan cairan usus buatan (CUB) yang mempunyai pH 7,4.
Penetapan kadar parasetamol menggunakan metode kolorimetri

Petunjuk Khusus
a. Pembuatan CUB dan CLB
Buatlah CUB dan CLB tanpa enzim sebanyak 1 Liter. Ikuti cara pembuatan seperti pada
modul 3
b. Pembuatan larutan parasetamol dalam CUB dan CLB
Larutkan sebanyak 2 x 500 mg parasetamol dalam masing-masing 500 mL CUB dan CLB
c. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB dan CLB sebagai konsentrasi awal (C0)
1. Pipet masing-masing 1,0 mL larutan parasetamol dari pekerjaan point b dan
masukkan ke dalam tabung reaksi dan beri label
2. Tambahkan kedalamnya pereaksi warna seperti prosedur yang terdapat di modul 3
3. Ukur absorbannya pada panjang gelombang 435 nm
4. Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kalibrasi yang didapat
dari pekerjaan modul 3
d. Percobaan absorpsi (CATATAN : Hewan percobaan harus tetep hidup selama percobaan
dan pembuluh darah terutama yang melewati usus tikus tidak putus)
1. Gunakan dua tikus putih jantan.
2. Tikus pertama dan kedua masing-masing untuk percobaan menggunakan CUB dan
CLB
3. Puasakan tikus tersebut selama 20 – 24 jam dengan tetap memberinya minum
4. Bius tikus menggunakan eter atau dengan cara lain.
5. Bedah perut tikus di sepanjang linea mediana sampai jelas terlihat bagian ususnya
6. Cari bagian lambung
7. Ukur 15 dari dari lambung ke arah anal dengan bantuan benang
8. Dari tempat itu, dengan hati-hati, lubangi usus menggunakan selang infus yang
terhubung dengan labu infus berisi CUB atau CLB ke arah anal dan ikat
menggunakan benang.
9. Sekitar 20 cm dari lokasi tersebut, buat lubang kembali menggunakan selang infus
yang terhubung ke dalam gelas kimia ke arah lambung, kemudian ikat.
10. Buka kran infus dan biarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar sampai
ke gelas kimia, sampai cairan yang keluar jernih
11. Ganti labu infus menggunakan CUB atau CLB yang mengandung parasetamol
12. Aliri usus selama 30 menit
13. Catat volume CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia dan tentukan
kecepatan alirnya (Q) = volume terukur / 30 menit
14. Potong usus tikus antara kedua ujung dan ukur panjangnya menggunakan penggaris.
Data yang terukur sebagai l
15. Ikat ujung usus dan masukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus
menggelembung
16. Ukur diameter usus menggunakan jangka sorong dan tentukan jari-jarinya (r)
e. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB atau CLB yang tertampung sebagai
konsentrasi akhir (C1)
1. Pipet sebanyak 1,0 mL CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia
2. Tambahkan kedalamnya pereaksi warna seperti prosedur yang terdapat di modul 3
3. Ukur absorbannya pada panjang gelombang 435 nm
4. Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kalibrasi yang didapat
dari pekerjaan modul 3
f. Perhitungan Papp
1. Hitung Papp (CUB) dan Papp (CLB) menggunakan data yang telah didapat dengan
memasukkan pada persamaan yang tertera pada teori dasar.
2. Bandingkan kedua Papp tersebut
3. Analisis data tersebut
MODUL 5
ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO

TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui cara evaluasi sediaan yang
diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi franz.

TEORI DASAR

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar, baik
pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Kulit merupakan jaringan yang lentur dan elastis,
menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 5% berat tubuh. Kulit dibentuk dari tiga
lapisan berbeda yang berurutan dari luar ke dalam (gambar 4) yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening, dan lapisan
hypodermis yang merupakan jaringan di bawah kulit yang berlemak. (Aiache, 1982)

Gambar 4. Penampang melintang kulit


Istilah absorpsi “perkutan” menunjukkan bahwa penembusan obat terjadi pada lapisan
epidermis kulit dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (gambar 5)
yang terdiri dari berurutan dari luar ke dalam stratum corneum, stratum lucidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.

Gambar 5. Penampang melintang lapisan epidermis

Terdapat 2 (dua) rute absoprsi perkutan (gambar 6) yaitu trascellular route (rute menembus
sel) dan intercellular route (rute menembus ruang antar sel).
Sediaan yang diaplikasikan di kulit bisa bertujuan lokal atau sistemik. Untuk sediaan yang
bertujuan lokal, obat tidak diharapkan sampai ke pembuluh darah yang ada di lapisan dermis.
Untuk sediaan yang bertujuan sistemik, obat diharapkan sampai menembus ke pembuluh
darah yang ada di dermis dan akan dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh, sediaan ini disebut
dengan istilah sediaan transdermal.
Gambar 6. Rute absorpsi perkutan

Dalam formulasi sediaan transdermal biasanya ditambahkan zat peningkat penetrasi


(absorption enhencher). Golongan-golongan senyawa yang dapat digunakan sebagai absorption
enhancher adalah alkohol dan poliol, amin dan amida, asam lemak, terpen, ester, sulfoksid,
siklodekstrin, dan surfaktan (Remon, 2007)
Evaluasi biofarmasetik sediaan yang diaplikasikan di kulit diperlukan baik untuk sediaan yang
bertujuan lokal maupun yang sistemik. Terdapat dua teknik evaluasi sediaan yang diberikan
secara perkutan (gambar 7) yaitu menggunakan teknik sel difusi Franz dan sel difusi “Flow-
Through” (Addicks, 1987)
Sel difusi Franz Sel difusi flow through

Gambar 7. Skema alat sel difusi Franz dan sel flow through
Keterangan:
a. Membran e. Pelarut masuk
b.Kompartemen donor f. Pelarut keluar
c. Kompartemen reseptor g. Tempat sampling
d.Water jacket h. Batang pengaduk magnet

ALAT DAN BAHAN


Alat :
Sel difusi Franz, spektrofotometer UV-VIS, kuvet, dan alat gelas yang biasa digunakan di
labroratorium
Bahan :
Parasetamol, KH2PO4, NaOH, kertas lensa, Viscolam, sodium lauri sulfat (Texapon), trieanolamin
(TEA)

PROSEDUR
Petunjuk Umum
Buat 2 (dua) formula gel. Gel pertama tanpa mengandung sodium lauril sulfat sedangkan gel
kedua mengandung sodium lauril sulfat sebagai peningkat penetrasi (skin penetrant). Evaluasi
kedua sediaan tersebut menggunakan teknik sel difusi Franz. Gunakan parasetamol sebagai
model zat aktif.

Petunjuk Khusus
a. Pembuatan cairan reseptor (menggambarkan cairan tubuh)
Buat larutan dapar posfat pH 7,4 sebanyak 500 mL
Cara pembuatan dapar posfat pH 7,4 dapat dilihat di Farmakope Indonesia edisi 3
(Tugas: tuliskan cara pembuatan dapar posfat pH 7,4 tersebut pada jurnal)
b. Penyiapan membran
Gunakan membran buatan yang terbuat dari kertas Whatman yang dibacem dalam
cairan Spangler (cara pembuatan dapat dilihat di penuntun praktikum Farmasi Fisik II ,
Catat cara pembuatannya dalam jurnal praktikum)
Pada prakteknya sebaiknya bobot dua membran yang digunakan relatif sama (Bahas
mengapa demikian)
c. Pembuatan gel
1. Timbang parasetamol sebesar 2 x 500 mg
2. Timbang viscolam sebesar 2 x 10 gram
3. Timbang sodium lauril sulfat sebesar 2,5 gram
4. Masukkan parasetamol masing-masing kedalam gelas kimia 100 mL yang telah berisi
50 mL akuades, aduk sampai larut
5. Masukkan viscolam masing-masing ke dalam gelas kimia tersebut kemudian tetesi
dengan trietanolamin sedikit demi sedikit sampai terbentuk massa gel.
6. Ke dalam gelas kimia pertama masukkan sodium lauril sulfat
7. Tambahkan aquades pada kedua gelas kimia tersebut sampai tanda batas 100 mL
8. Aduk
9. Beri label gel tanpa sodium laurel sulfat sebagai F0, dan gel mengandung sodium
laurel sulfat sebagai F1
d. Evaluasi sediaan gel
1. Aliri alat dengan air yang bersuhu 37oC
2. Masukkan cairan reseptor ke dalam kompartemen reseptor, dan catat volumenya
3. Letakkan membran yang telah disiapkan pada alat, pastikan cairan reseptor
bersentuhan dengan membrane
4. Adaptasika alat selama 10 menit
5. Oleskan gel masing-masing sebanyak 1 gram di atas membran
6. Ambil sampel dari cairan reseptor pada menit ke 5, 15, 30, 60, 120 sebanyak 3 mL
7. Setiap pengambilan sampel, ganti cairan reseptor yang diambil dengan volume yang
sama menggunakan cairan reseptor yang bersuhu 37oC.
8. Ukur absorban sampel menggunakan spektrofotometer UV pada panjang
gelombang 243
9. Isi data mengikuti format tabel 7
Tabel 7. Hasil absorpsi perkutan menggunakan teknik sel difusi Franz
Absorban / Y C (bpj) / X Qb’ (µg) Fk Qb
Menit ke
F0 F1 F0 F1 F0 F1 F0 F1 F0 F1
5
15
30
60
Keterangan
F0 : gel tanpa peningkat penetrasi
F1 : gel mengandung peningkat
penetrasi Absoran : didapat dari pengukuran
C : Konsentrasi parasetamol  X = (Y-A)/B (gunakan persamaan kurva kalibrasi
yang didapat dari modul 3 dalam CUB)
Qb’ : jumlah obat yang terabsorpsi Qb’ C x volume cairan
reseptor Fk : Faktor koreksi  Fk = C x volume sampling (3 mL)
Qb : jumlah obat yang terabsorpsi setelah dikoreksi  Qb’ + kumulatif Fk

10. Buat grafik Qb (sumbu Y) terhadap waktu (sumbu X) dalam satu grafik,
sehingga terdapat dua garis untuk F0 dan F1
11. Analisis data dan grafik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H.M., 1989, Dissolution, Bioavalability, and Bioequivalence, Mack Publishing


Company, Pennsylvania, 53-72

Addicks, W.J., et. al., (1987), Validation of a Flow-Through Diffusion Cell for Use in Transdermal
Research, Pharmaceutical Research, Vol.4 No.4. 338.

Aiche, J.M., and Herman, A. M. G., (1982), Farmasetika & Biofarmasi, edisi 2, Technique et
Documentation, Paris, 443.

Alatas, F., 2006, Pengaruh konsentrasi PEG 4000 terhadap laju disolusi ketoprofen dalam
sistem dispersi padat ketoprofen-PEG 4000, Majalah Farmasi Indonesia, 17(20), 57-62.

Anonim, (1995), Farmakope Indonesia, edisi IV, Ditjen POM, Jakarta.

Anonim, (2005), Pedoman Uji Bioekivalensi, Badan POM, Jakarta.

Chiou, WL., and Riegelman S., 1971, Preparation and Dissolution Characteristics of Several Fast-
Release Solid Dispersion of Gliseofulvin, Journal of Pharmaceutical Sciences, vol 58 number 12.
1505-1506.

Gozali, D., (2000), Penuntun Praktikum Biofarmasi, STFB, Bandung.

Remon J.P., (2007), Absorption Enhancher, in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology,


Swarbrick J. (Ed.), Pharmaceutech Inc., North Carolina, 13-17.

Shargel, L., (2007), Biopharmaceutic, in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology,


Swarbrick J. (Ed.), Pharmaceutech Inc., North Carolina, 13-17

Wellong P. G., (2007), Absorption of Drugs in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology,


Swarbrick J. (Ed.), Pharmaceutech Inc., North Carolina, 25.

Anda mungkin juga menyukai