STFB
JADWAL PRAKTIKUM
Pertemuan 1 : Responsi
Pertemuan 2 : Modul 1
Pertemuan 3 : Modul 1
Pertemuan 4 : Diskusi Modul 1
Pertemuan 5 : Modul 2
Pertemuan 6 : Diskusi
Pertemuan 7 : UTS (Modul 1 & 2)
Pertemuan 8 : Modul 3
Pertemuan 9 : Modul 4
Pertemuan 10 : Diskusi modul 3 dan 4
Pertemuan 11 : Modul 5
Pertemuan 12 : Diskusi modul 5
Pertemuan 13 : UAS (Modul 3, 4, dan 5)
Modul 1
UJI DISOLUSI SEBAGAI EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN
Modul 2
DISPERSI PADAT
Modul 3
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN VITRO
Modul 4
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN SITU
Modul 5
ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO
MODUL 1
UJI DISOLUSI SEBAGAI EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN
TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa:
1. Memahami disolusi sebagai salah satu evaluasi biofarmasetik suatu sediaan
2. Terampil dan memahami bagaimana melakukan uji disolusi suatu sediaan
berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV
3. Dapat menginterpretasi hasil uji disolusi sediaan
TEORI DASAR
Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat
fisikokimia obat, faktor fisiologi tempat pemberian obat, serta faktor formulasi dan
teknologi pembuatan sediaan obat dengan berbagai proses yang dialami obat dalam
tubuh sampai zat aktif masuk ke dalam sistem peredaran darah atau yang disebut
“ketersediaan hayati” (bioavailability) (Shargel, 2007).
Ketersediaan hayati adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat
yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah
pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau
dari ekskresinya dalam urin. (Anonim, 2005).
Proses biofarmasetik yang dialami sediaan obat dalam tubuh dapat meliputi disintegrasi,
disolusi, difusi, dan absorpsi baik sebagian maupun seluruh proses. Sebagai contoh,
sediaan tablet/kapsul mengalami seluruh proses biofarmasetik (gambar 1) sampai obat
tersebut mencapai sirkulasi darah
Gambar 1 : Proses biofarmasetik sediaan tablet atau kapsul (Shargel,2007)
Berdasarkan proses yang dialami sediaan tablet/kapsul maka salah satu yang
menentukan kecepatan zat aktif mencapai sirkulasi sistemik adalah kecepatan
disolusi. Oleh karena itu salah satu studi biofarmasetik suatu sediaan tablet/kapsul
adalah dengan melakukan uji disolusi. Disolusi (Kecepatan pelarutan) adalah suatu
ukuran yang menyatakan banyaknya zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan
waktu. Hubungan yang menggambarkan proses pelarutan suatu zat padat
dikembangkan oleh Noyes and Whitney dalam persamaan berikut:
dM D S
=
dt (Cs – C)
h
Dan koefisien difusi (D) tergambar pada persamaan Bolztman berikut ini
KT
D=
6ηr
Ketentuan uji disolusi sebagai evaluasi sediaan secara teknis dapat dilihat di Farmakope
Indonesia edisi IV lampiran halaman 1083 - 1085. Hal-hal yang diatur dalam lampiran
tersebut seperti spesifikasi alat, posisi tempat pengambilan sampel dari medium disolusi,
kriteria penerimaan, toleransi dalam parameter seperti waktu uji disolusi, pH media,
suhu, kecepatan pengadukan, dan lain-lain. Dan hal-hal yang diatur dalam masing-masing
monografi sediaan adalah
1. Jenis media disolusi
2. Volume media disolusi
3. Tipe alat yang digunakan dan kecepatannya
4. Prosedur penetapan kadar yang terlarut
5. Waktu uji disolusi
6. Persyaratan Q
Berikut adalah contoh monografi sediaan tablet parasetamol dari Farmakope Indonesia
edisi IV (hal 650) dalam hal uji disolusinya:
: 50 rpm
ut dengan mengukur serapan filtrate larutan uji, jika perlu diencerkan dengan Media disolusi dan serapan larutan baku Parasetamol BPFI dalam media yang sama pa
8. Nyatakan apakah tablet tersebut memenuhi syarat uji disolusi atau tidak
berdasarkan tabel kriteria penerimaan (Tuliskan tabel penerimaan yang
terdapat di Farmakope Indonesia edisi IV Hal 1085 di jurnal praktikum)
MODUL 2
DISPERSI PADAT
TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa:
1. Memahami tujuan pembuatan dispersi padat
2. Mengetahui metode-metode pembuatan dispersi padat dan evaluasinya
TEORI DASAR
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah
lama menjadi masalah pada insustri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami
proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat
terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya.
Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Umumnya absorpsi
obat di saluran cerna terjadi secara difusi pasif. Agar dapat diabsorpsi, obat harus larut
dalam cairan pencernaan. Sebelum absorpsi terjadi, suatu bentuk sediaan tablet
mengalami disintegrasi, deagregasi, dan disolusi. Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi
dapat berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana
obat tersebut diberikan. Proses disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna
suatu obat. Partikel-partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi atau laju
pelarutan obat dalam saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting
step) absorpsi sistemik. (Abdou, 1989)
Upaya untuk meningkatkan laju disolusi bahan obat telah banyak dikembangkan, baik
dengan mengubah sifat fisika bahan obat, menambahkan bahan pembantu,
menambahkan bahan peningkat kelarutan, membentuk senyawa ester atau garam dan
sistem dispersi padat.
Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert
atau matriks pada keadaan padat. Dispersi padat diklasifikasikan dalam enam tipe yaitu
campuran eutektik sederhana, larutan padat, larutan dan suspensi gelas, pengendapan
amorf dalam pembawa kristal, pembentukan senyawa kompleks dan kombinasi dari lima
tipe di atas. Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method), dan
metode campuran (melting-solvent method) (Chiou et al, 1971).
Salah satu pembawa yang umum digunakan pada pembuatan dispersi padat adalah
polietilen glikol (PEG). Polietilen glikol disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik
dari oksietilen dengan rumus struktur H(OCH 2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata
gugus oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara 200 – 300.000.
Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul
rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot
molekul 200 – 600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semipadat, dan PEG 3000 –
20000lebih berupa padatan semikristalin. PEG dengan bobot molekul lebih besar dari
100000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar. Umumnya dengan bobot molekul
1500-20000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat (Fikri Alatas, 2006). PEG
4000 dan 6000 paling sering digunakan dalam pembuatan dispersi padat. Proses
pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000 umumnya menggunakan metode peleburan,
karena lebih mudah dan murah (Alatas, 2006)
Asam nalidiksat mempunyai kelarutan yang praktis tidak larut dalam air. Bahan obat yang
mempunyai kelarutan rendah dalam air dan kecepatan melarut obat yang rendah dalam
saluran cerna sering menyebabkan masalah di dalam ketersediaan hayati karena
sedikitnya zat aktif di dalam saluran cerna yang diabsorbsi.
Apabila kecepatan melarut suatu obat merupakan faktor utama pada proses disolusi dan
selanjutnya berpengaruh terhadap proses absorpsi maka suatu bahan obat yang
mempunyai kelarutan rendah harus diperbaiki sifat fisika dan kimianya sehingga
kelarutannya dapat ditingkatkan. Salah satunya caranya adalah dengan cara dibuat
dispersi padat. Pembawa yang telah banyak digunakan dalam dispersi padat adalah PEG
khususnya PEG 4000. Dalam percobaan ini akan diteliti pengaruh konsentrasi PEG 4000
dalam sistem dispersi padat PEG 4000-asam nalidiksat terhadap laju disolusi asam
nalidiksat.
ALAT DAN BAHAN
Alat :
Dissolution tester, Filter holder, spektrofotometer UV-VIS, kuvet , cawan penguap, gelas
kimia, batang pengaduk, timbangan digital, ayakan mesh 80, desikator, pipet ukur, labu
ukur, dan alat-alat lain yang diperlukan
Bahan :
Asam nalidiksat, PEG 4000, akuades, kertas whatman, kertas lensa
PROSEDUR
Petunjuk Umum
Buat dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000 dan evaluasinya (disolusi) dengan
memvariasikan konsentrasi PEG 4000 menggunakan metode peleburan.
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan kurva kalibrasi asam nalidiksat
1. Buat larutan induk asam nalidiksat 1000 bpj dalam larutan NaOH encer (0,01)
sebanyak 50 mL (Tuliskan perhitungan penimbangan asam nalidiksat dalam
jurnal praktikum)
2. Buat 6 larutan dengan seri konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12 bpj sebanyak
10,00 mL yang diencerkan dari larutan induk (Tuliskan perhitungan
pengenceran pada jurnal praktikum)
3. Ukur absorbansi masing 6 larutan tersebut pada panjang gelombang serapan
maksimumnya (Cari data panjang gelombang serapan masksimum asam
nalidiksat dan tulisakan pada jurnal praktikum) dan isi data mengikuti format
tabel 2
Tabel 2. Data persamaan kurva kalibrasi asam nalidiksat NaOH encer
Kadar (bpj) Absorban
2
4
6
8
10
12
4. Tentukan persamaan kurva kalibrasi yang didapat (Y = BX + A)
b. Pembuatan dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000
1. Buat 3 formula dispersi padat asam nalidiksat-PEG 4000 masing-masing
sebanyak 10 g (perbandingan asam nalidiksat-PEG 4000 pada F1, F2, dan F3
berturut-turut 1:1 ; 1:2 ; 1:3)
2. Hitung penimbangan asam nalidiksat dan PEG 4000 untuk 10 g dispersi padat
untuk masing-masing formula (Tuliskan perhitungan penimbangannya pada
jurnal praktikum)
3. Timbang asam nalidiksat dan PEG yang diperlukan dan masukkan ke dalam
cawan penguap
4. Panaskan cawan penguap di atas hot plate stirrer
5. Biarkan campuran sampai meleleh kemudian aduk rata
6. Setelah meleleh dengan segera campuran disebarkan tipis di atas plat besi
dingin sampai memadat
7. Campuran padat digerus kemudian diayak menggunakan mesh 80
8. Campuran hasil ayakan dibungkus dalam kertas perkamen kemudian disimpan
di desikator sebelum dievaluasi
c. Evaluasi dispersi padat (disolusi)
1. Lakukan uji disolusi terhadap asam nalidiksat murni dan dispersi padat dari
ketiga formula
2. Timbang dengan seksama sebanyak 500 mg asam nalidiksat murni.
3. Timbang dengan seksama dispersi padat setara dengan 500 mg asam
nalidiksat (Hitung penimbangan dispersi padat untuk masing-masing formula
dan tuliskan perhitungannnya dalam jurnal)
4. Pada saat yang sama, masukkan 4 @ 900 ml air ke dalam masing-masing 4
chamber disolusi.
5. Biarkan air sampai mencapai suhu 37oC ± 0,5
6. Setelah air mencapai suhu 37oC, masukkan asam nalidiksat murni, DP F1, DP
F2, DP F3, yang telah ditimbang ke alat tipe 1 (basket) yang dasarnya diberi
alas kertas perkamen.
7. Turunkan pengaduknya
8. Nyalakan alat dan atur kecepatnnyap pada 100 rpm
9. Ambil sampel dari masing-masing chamber sebanyak 10 mL menggunakan
filter holder pada menit ke 5, 10, 20, 40. Dan ganti dengan jumlah sampel yang
diambil dengan air yang bersuhu 37oC sehingga selam percobaan volume
medium disolusi tetap 900 mL
10. Ukur absorban sampel pada panjang gelombang serapan maksimummnya
menggunakan spektrofotometer ultraviolet, bila perlu diencerkan terlebih
dahulu
11. Hitung persen yang terdisolusi mengikuti format tabel 3
12. Buat grafik persen obat terdisolusi terhadap waktu dalam kertas milimiter blok
PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASI 14
STFB
Tabel 3. Hasil uji disolusi asam nalidiksat murni dan DP 1, DP2, serta DP3
10
20
40
Keterangan
M : Asam nalidiksat murni
DP1 : Dispersi padat formula 1 (1 : 1)
DP2 : Dispersi padat formula 2 (1 : 2)
DP3 : Disepersi padat formula 3 (1: 3)
Fp : Faktor pengenceran jika
dilakukan
C’ : Konsentrasi asam nalidiksat X = (Y-A)/B
C : Konsentrasi asam nalidiksat sebelum pengenceran C = C’ x
Fp D’ : Jumlah obat yang terlarut D’ = (C x 900 mL) / 1000
Fk : Faktor koreksi Fk = (C x 10 mL) / 1000
D : Jumlah obat terlarut setelah dikoreksi D = D’ + Fk
kumulatif D (%) : Persen terdisolusi D(%) = (D/500 mg) x 100
MODUL 3
ABSORPSI OBAT PER ORAL SECARA IN VITRO
TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami pengaruh pH terhadap absorpsi
obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.
TEORI DASAR
Absorpsi obat adalah suatu proses pergerakan obat yang sudah terlarut dari tempat pemberian
ke dalam sirkulasi darah melalui membran pada tempat pemberian obat. Mekanisme absorpsi
terdiri dari tiga macam yaitu (1) difusi pasif, (2) transport menggunakan protein yang dapat
berupa saluran (channel), difusi terfasilitasi oleh pembawa (carrier) dan transport aktif oleh
sistem pompa (pumps). Sebagian besar obat melalui meknisme difusi pasif, serta (3) pinositosi
dan endositosis (Wellong, 2007)
𝑑𝒬𝑏 1
= Dm. Am.Pm/s (Cg – Cb )
𝑑𝑡 𝛿𝑋𝑚
Dengan 𝑑𝒬𝑏
𝑑𝑡
= Kecepatan transpor obat ke kompartemen dalam (darah)
Untuk obat-obat yang strukturnya tertentu dan tempat absorpsinya sudah tertentu pula, maka
kecepatan absorpsinya hanya ditentukan oleh gradien kadar obat di antara kedua permukaan
membran, yang memisahkan lumen saluran pencernaan dengan (plasma) darah, sehingga
persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :
d𝒬b
= 𝑃𝑚 (C – C )
dt g b
1
Dengan : Pm = Dm.Am.Pm/s. Disebut sebagai permeabilitas membran.
𝛿𝑋𝑚
Jika Cb dapat diabaikan karena Cb << Cg maka persamaan tersebut dapat disederhanakan
Menjadi :
d𝒬b
= 𝑃𝑚 .C g
dt
PROSEDUR
Petunjuk Umum
Lakukan percobaan absorpsi obat (parasetamol) per oral secara in vitro menggunakan alat
Tabung Crane and Wilson yang telah dimodifikasi (gambar 3) yang di dalamnya terpasang usus
tikus yang sudah dibalik. Percobaan dilakukan dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang
berbeda yaitu menggunakan cairan lambung buatan (CLB) yang mempunyai pH 1,2 dan cairan
usus buatan (CUB) yang mempunyai pH 7,4. Penetapan kadar parasetamol menggunakan
metode kolorimetri
Gas O2 masuk
kanula berisi
cairan serosal
kanula untuk
keluar gas
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan cairan mukosal dan cairan serosal
1. Cairan mukosal dibuat untuk menggambarkan cairan saluran cerna. Buatlah 2 (dua)
macam cairan mukosal yaitu CLB dan CUB tanpa enzim sebanyak 1 Liter. Tuliskan
cara pembuatan CUB dan CLB dalam jurnal (Cara pembuatan CLB dan CUB dapat di
lihat di Farmakope Indonesia edis IV).
2. Cairan serosal dibuat untuk menggambarkan cairan darah. Dalam percobaan ini
cairan serosal direpresentasikan oleh larutan NaCl 0,9% (b/v) yang isotonis dengan
cairan darah. Buatlah larutan NaCl 0,9% (b/v) sebanyak 100 mL atau langsung
menggunakan cairan infus.
b. Pembuatan larutan parasetamol dalam CUB dan CLB
Larutkan sebanyak masing-masing 500 mg parasetamol dalam masing-masing 100 ml
CUB dan CLB
c. Pembuatan pereaksi warna
Buat larutan HCl 6 N, NaNO2 10%, asam amidosulfonat 15%, dan NaOH 10% masing-
masing 100 mL
d. Pembuatan kurva kalibrasi parasetamol dalam CUB dan CLB
1. Buat dua larutan induk parasetamol 1000 bpj dalam larutan CUB dan CLB sebanyak
50 mL (Tuliskan perhitungan penimbangan parasetamol dalam jurnal praktikum)
2. Buat 2 x 6 larutan dengan seri konsentrasi yaitu 20, 40, 60, 80, 100, 120 bpj sebanyak
10,00 mL yang diencerkan dari larutan induk (Tuliskan perhitungan pengenceran
pada jurnal praktikum). Gunakan pelarut CUB dan CLB untuk mengencerkan.
3. Ambil masing-masing 1,0 ml dan masukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi
(jangan lupa masing-masing tabung reaksi diberi label)
4. Tambahkan pereaksi warna ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut
4.1 Tambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan 1,0 mL NaNO 2 10% campur baik-baik diamkan
selama 5 (lima) menit.
4.2 Dengan hati-hati tambahkan 1,0 mL asam amidosulfonat 15%, dan kemudian 2,5
mL NaOH 10% diamkan tiga menit sambil direndam di air es.
5. Ukur absorbansi masing 2 x 6 larutan tersebut pada panjang gelombang serapan
maksimumnya yaitu 435 nm dan isi data mengikuti format tabel 4 dan 5
Tabel 4. Data persamaan kurva kalibrasi parasetamol dalam CUB
Kadar (bpj) Absorban
20
40
60
80
100
120
Tabel 4. Data persamaan kurva kalibrasi parasetamol dalam CLB
TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami pengaruh pH terhadap absorpsi
obat melalui saluran pencernaan secara in situ.
TEORI DASAR
Percobaan obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan
hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu dilewatkan
melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini dikenal dengan
nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian
ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk
keluarnya cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, ridak mengalami
metabolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam
darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut
adalah karena proses absorpsi.
Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh pH terhadap kecepatan
absorpsi sangat besar, karena pH akan menentukan besarnya fraksi obat dalam bentuk tak
terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorpsi secara baik melalui mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yag dapat berpengaruh pada
permeabilitas dinding usus dari berbagai macam obat pengembangan lebih lanjut dapat
digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorpsinya melalui
pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat
terabsorpsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran
usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer.
Metode Through and Through merupakan salah satu cara percobaan in situ. Cara ini dilakukan
dengan menentukan fraksi obat yang terabsorpsi, setelah larutan obat dialirkan melalui lumen
intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu pula.
Dalam keadaan tunak proses absorpsi dapat dinyatakan dengan persamaan :
𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
1 – 𝐶 (0) = 1- exp (- 𝒬 𝑥 1+
𝑃 𝑃𝑎𝑞𝑎𝑞
𝑃 0𝑋𝑠 +𝑃𝑝
= 1- exp (- 2.𝑟𝑙
𝒬 𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝)
𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
In 𝐶 (0) = 𝐼𝑛 𝑒 𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝
𝒬
𝐶 (1) 2.𝑟𝑙
In 𝐶 (0) = − 𝒬
𝑥 𝑃𝑎𝑝𝑝
(Gozali, 2000)
PROSEDUR
Petunjuk Umum
Lakukan percobaan absorpsi obat (parasetamol) per oral secara in situ. Percobaan dilakukan
dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang berbeda yaitu menggunakan cairan lambung
buatan (CLB) yang mempunyai pH 1,2 dan cairan usus buatan (CUB) yang mempunyai pH 7,4.
Penetapan kadar parasetamol menggunakan metode kolorimetri
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan CUB dan CLB
Buatlah CUB dan CLB tanpa enzim sebanyak 1 Liter. Ikuti cara pembuatan seperti pada
modul 3
b. Pembuatan larutan parasetamol dalam CUB dan CLB
Larutkan sebanyak 2 x 500 mg parasetamol dalam masing-masing 500 mL CUB dan CLB
c. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB dan CLB sebagai konsentrasi awal (C0)
1. Pipet masing-masing 1,0 mL larutan parasetamol dari pekerjaan point b dan
masukkan ke dalam tabung reaksi dan beri label
2. Tambahkan kedalamnya pereaksi warna seperti prosedur yang terdapat di modul 3
3. Ukur absorbannya pada panjang gelombang 435 nm
4. Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kalibrasi yang didapat
dari pekerjaan modul 3
d. Percobaan absorpsi (CATATAN : Hewan percobaan harus tetep hidup selama percobaan
dan pembuluh darah terutama yang melewati usus tikus tidak putus)
1. Gunakan dua tikus putih jantan.
2. Tikus pertama dan kedua masing-masing untuk percobaan menggunakan CUB dan
CLB
3. Puasakan tikus tersebut selama 20 – 24 jam dengan tetap memberinya minum
4. Bius tikus menggunakan eter atau dengan cara lain.
5. Bedah perut tikus di sepanjang linea mediana sampai jelas terlihat bagian ususnya
6. Cari bagian lambung
7. Ukur 15 dari dari lambung ke arah anal dengan bantuan benang
8. Dari tempat itu, dengan hati-hati, lubangi usus menggunakan selang infus yang
terhubung dengan labu infus berisi CUB atau CLB ke arah anal dan ikat
menggunakan benang.
9. Sekitar 20 cm dari lokasi tersebut, buat lubang kembali menggunakan selang infus
yang terhubung ke dalam gelas kimia ke arah lambung, kemudian ikat.
10. Buka kran infus dan biarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar sampai
ke gelas kimia, sampai cairan yang keluar jernih
11. Ganti labu infus menggunakan CUB atau CLB yang mengandung parasetamol
12. Aliri usus selama 30 menit
13. Catat volume CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia dan tentukan
kecepatan alirnya (Q) = volume terukur / 30 menit
14. Potong usus tikus antara kedua ujung dan ukur panjangnya menggunakan penggaris.
Data yang terukur sebagai l
15. Ikat ujung usus dan masukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus
menggelembung
16. Ukur diameter usus menggunakan jangka sorong dan tentukan jari-jarinya (r)
e. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB atau CLB yang tertampung sebagai
konsentrasi akhir (C1)
1. Pipet sebanyak 1,0 mL CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia
2. Tambahkan kedalamnya pereaksi warna seperti prosedur yang terdapat di modul 3
3. Ukur absorbannya pada panjang gelombang 435 nm
4. Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kalibrasi yang didapat
dari pekerjaan modul 3
f. Perhitungan Papp
1. Hitung Papp (CUB) dan Papp (CLB) menggunakan data yang telah didapat dengan
memasukkan pada persamaan yang tertera pada teori dasar.
2. Bandingkan kedua Papp tersebut
3. Analisis data tersebut
MODUL 5
ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO
TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui cara evaluasi sediaan yang
diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi franz.
TEORI DASAR
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar, baik
pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Kulit merupakan jaringan yang lentur dan elastis,
menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 5% berat tubuh. Kulit dibentuk dari tiga
lapisan berbeda yang berurutan dari luar ke dalam (gambar 4) yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening, dan lapisan
hypodermis yang merupakan jaringan di bawah kulit yang berlemak. (Aiache, 1982)
Terdapat 2 (dua) rute absoprsi perkutan (gambar 6) yaitu trascellular route (rute menembus
sel) dan intercellular route (rute menembus ruang antar sel).
Sediaan yang diaplikasikan di kulit bisa bertujuan lokal atau sistemik. Untuk sediaan yang
bertujuan lokal, obat tidak diharapkan sampai ke pembuluh darah yang ada di lapisan dermis.
Untuk sediaan yang bertujuan sistemik, obat diharapkan sampai menembus ke pembuluh
darah yang ada di dermis dan akan dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh, sediaan ini disebut
dengan istilah sediaan transdermal.
Gambar 6. Rute absorpsi perkutan
Gambar 7. Skema alat sel difusi Franz dan sel flow through
Keterangan:
a. Membran e. Pelarut masuk
b.Kompartemen donor f. Pelarut keluar
c. Kompartemen reseptor g. Tempat sampling
d.Water jacket h. Batang pengaduk magnet
PROSEDUR
Petunjuk Umum
Buat 2 (dua) formula gel. Gel pertama tanpa mengandung sodium lauril sulfat sedangkan gel
kedua mengandung sodium lauril sulfat sebagai peningkat penetrasi (skin penetrant). Evaluasi
kedua sediaan tersebut menggunakan teknik sel difusi Franz. Gunakan parasetamol sebagai
model zat aktif.
Petunjuk Khusus
a. Pembuatan cairan reseptor (menggambarkan cairan tubuh)
Buat larutan dapar posfat pH 7,4 sebanyak 500 mL
Cara pembuatan dapar posfat pH 7,4 dapat dilihat di Farmakope Indonesia edisi 3
(Tugas: tuliskan cara pembuatan dapar posfat pH 7,4 tersebut pada jurnal)
b. Penyiapan membran
Gunakan membran buatan yang terbuat dari kertas Whatman yang dibacem dalam
cairan Spangler (cara pembuatan dapat dilihat di penuntun praktikum Farmasi Fisik II ,
Catat cara pembuatannya dalam jurnal praktikum)
Pada prakteknya sebaiknya bobot dua membran yang digunakan relatif sama (Bahas
mengapa demikian)
c. Pembuatan gel
1. Timbang parasetamol sebesar 2 x 500 mg
2. Timbang viscolam sebesar 2 x 10 gram
3. Timbang sodium lauril sulfat sebesar 2,5 gram
4. Masukkan parasetamol masing-masing kedalam gelas kimia 100 mL yang telah berisi
50 mL akuades, aduk sampai larut
5. Masukkan viscolam masing-masing ke dalam gelas kimia tersebut kemudian tetesi
dengan trietanolamin sedikit demi sedikit sampai terbentuk massa gel.
6. Ke dalam gelas kimia pertama masukkan sodium lauril sulfat
7. Tambahkan aquades pada kedua gelas kimia tersebut sampai tanda batas 100 mL
8. Aduk
9. Beri label gel tanpa sodium laurel sulfat sebagai F0, dan gel mengandung sodium
laurel sulfat sebagai F1
d. Evaluasi sediaan gel
1. Aliri alat dengan air yang bersuhu 37oC
2. Masukkan cairan reseptor ke dalam kompartemen reseptor, dan catat volumenya
3. Letakkan membran yang telah disiapkan pada alat, pastikan cairan reseptor
bersentuhan dengan membrane
4. Adaptasika alat selama 10 menit
5. Oleskan gel masing-masing sebanyak 1 gram di atas membran
6. Ambil sampel dari cairan reseptor pada menit ke 5, 15, 30, 60, 120 sebanyak 3 mL
7. Setiap pengambilan sampel, ganti cairan reseptor yang diambil dengan volume yang
sama menggunakan cairan reseptor yang bersuhu 37oC.
8. Ukur absorban sampel menggunakan spektrofotometer UV pada panjang
gelombang 243
9. Isi data mengikuti format tabel 7
Tabel 7. Hasil absorpsi perkutan menggunakan teknik sel difusi Franz
Absorban / Y C (bpj) / X Qb’ (µg) Fk Qb
Menit ke
F0 F1 F0 F1 F0 F1 F0 F1 F0 F1
5
15
30
60
Keterangan
F0 : gel tanpa peningkat penetrasi
F1 : gel mengandung peningkat
penetrasi Absoran : didapat dari pengukuran
C : Konsentrasi parasetamol X = (Y-A)/B (gunakan persamaan kurva kalibrasi
yang didapat dari modul 3 dalam CUB)
Qb’ : jumlah obat yang terabsorpsi Qb’ C x volume cairan
reseptor Fk : Faktor koreksi Fk = C x volume sampling (3 mL)
Qb : jumlah obat yang terabsorpsi setelah dikoreksi Qb’ + kumulatif Fk
10. Buat grafik Qb (sumbu Y) terhadap waktu (sumbu X) dalam satu grafik,
sehingga terdapat dua garis untuk F0 dan F1
11. Analisis data dan grafik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Addicks, W.J., et. al., (1987), Validation of a Flow-Through Diffusion Cell for Use in Transdermal
Research, Pharmaceutical Research, Vol.4 No.4. 338.
Aiche, J.M., and Herman, A. M. G., (1982), Farmasetika & Biofarmasi, edisi 2, Technique et
Documentation, Paris, 443.
Alatas, F., 2006, Pengaruh konsentrasi PEG 4000 terhadap laju disolusi ketoprofen dalam
sistem dispersi padat ketoprofen-PEG 4000, Majalah Farmasi Indonesia, 17(20), 57-62.
Chiou, WL., and Riegelman S., 1971, Preparation and Dissolution Characteristics of Several Fast-
Release Solid Dispersion of Gliseofulvin, Journal of Pharmaceutical Sciences, vol 58 number 12.
1505-1506.