Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun dan dibawah lima tahun (Muaris.H, dalam Puspitawati, 2018). Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi badan, Indeks BB/TB berguna untuk mengidentifikasi status gizi saat ini. Indeks BB/TB dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan kurus (Sundaraj, 2015). Permasalahan gizi yang sering terjadi pada Balita salah satunya adalah berat badan berlebih atau obesitas. Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama, banyaknya konsumsi energi dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas sehari hari, kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan (WHO, dalam Riswanti, 2016). Di Indonesia, perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi mengakibatkan pola makan masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol. Beberapa faktor yang menyebabkan obesitas antara lain adalah faktor genetik dan lingkungan. Seseorang tidak dapat mengubah pola genetiknya, namun mereka dapat mencegah dan mengelola obesitas dengan mengendalikan faktor lingkungan, dengan cara mengubah pola makan dengan meminimalisasi makanan tinggi lemak dan kalori. Selain faktor nutrisi, aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor predisposisi terjadinya obesitas (Leonita & Nopriadi, 2010). Salah satu penyebab obesitas adalah perilaku yang menetap, biasanya berupa menonton televisi dan bermain game hingga berjam-jam. Pola hidup keseharian yang kurang aktif tersebut membuat banyak lemak tertimbun dijaringan lemak tubuh. Walaupun penumpukan lemak tubuh ini tidak baik, tetapi sebetulnya lemak tetap diperlukan dalam jumlah tertentu (Sajawandi, 2015). WHO mengungkapkan obesitas merupakan masalah epidemiologi global yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dunia. Sebesar 2,8 juta orang meninggal karena penyakit seperi diabetes dan penyakit jantung sebagai akibat dari obesitas. Penelitian yang dilakukan dengan melakukan pemantauan berkala perubahan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas pada semua populasi didunia dari tahun 1980 hingga 2013 menunjukkan prevalasi penderita obesitas ada didunia tertinggi berada di Uruguay (18,1%), Costa Rica (12,4%), Chili (11,9%) dan Meksiko (10,5%). Obesitas dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari balita hingga dewasa. Di Jawa Barat pada tahun 2016, dengan jumlah balita yang ditimbang sebanyak 3.310.750 orang, Berat Badan Lebih (BBL) sebanyak 70.467 Balita (2,13%), jika dilihat status gizi balita berdasarkan berat badan per tinggi badan didapat kalsifikasi Gemuk 4,30%, sedangkan Prevalensi proporsi kasus gemuk di Indonesia pada balita sebanyak 8% pada tahun 2018 menurut (RISKESDAS, 2018) dan di Sumedang Selatan sendiri 4,4% balita mengalami obesitas. Dampak yang tejadi jika balita mengalami obesitas antara lain dapat menyebabkan berbagai masalah fisik maupun psikis, masalah fisik seperti ortopedik, termasuk nyeri punggung bagian bawah, dan memperburuk osteoarthritis (terutama di daerah pinggul, lutut, dan pergelangan kaki), dengan kata lain obesitas secara langsung dapat membahayakan kesehatan seseorang (Sajawandi, 2015). Obesitas meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun antara lain seperti Diabetes melitus tipe II, meningkatnya nilai kolestrol sehingga mengakibatakan tekanan drarah meningkat dan dapat menyebakan penyakit jantung, nafas berhenti saat tidur (sleep apnue), gangguan ortopedi, penyakit asma dan hati (Fikawati, dalam .Molintao dkk., 2019). Kebanyakan para ibu menganggap gemuk pada balita merupakan hal yang normal, tetapi ada juga yang sadar bahwa balita yang terkena obesitas adalah sebuah masalah. Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan banyak persepsi bagi para ibu. Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Persepsi dalam kata lain adalah suatu proses mengumpulkan informasi mengenai dunia melalui pengindraan yang kita miliki (Azhar, 2018). Adapun yang dimaksud dengan persepsi dalam tulisan ini adalah tanggapan, sikap, ataupun reaksi seorang ibu yang terlihat dari panca indranya, tentang balita obesitas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Leonita & Nopriadi, 2010) Setiap ibu memiliki persepsi yang berbeda tentang kondisi obesitas pada anak. Sebagian ibu tidak suka dengan obesitas, karena menurut ibu tidak enak dilihat. Berat badan yang berlebih itu disebabkan kelebihan makanan berlemak, banyak ngemil, dan faktor keturunan. Walaupun tidak setuju dengan obesitas, sebagian ibu menganggap wajar saja bila kondisi gemuk itu dialami oleh balita karena belum banyak bergerak dan banyak minum susu, serta di atas usia balita dan remaja anak akan mengalami penurunan berat badan dikarenakan banyak bergerak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nurbadriyah, 2018) Sikap dianggap sebagai penyebab utama dari perilaku, perilaku seseorang tidak akan lepas dari bagaimana ia menyikapinya. Orang tua akan menunjukan perilaku positif untuk mencegah obesitas pada anaknya jika mereka beranggapan obesitas adalah hal yang dapat mengancam jiwa anaknya. Sebaliknya orang tua yang berprilaku negatif dengan membiarkan obesitas kepada anaknya cenderung memiliki persepsi bahwa obesitas dikalangan anak adalah hal yang wajar. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 20 Februari 2020 di wilayah kerja Puskesmas Sumedang Selatan diperoleh data obesitas pada tahun 2019 sebanyak 167 dari 3767 balita mengalami obesitas. Dari data yang diperolah Desa yang memiliki jumlah balita obesitas terbanyak berada di Desa Ciherang dengan 35 balita. Selain hasil data tersebut, peneliti juga melakukan wawancara kepada 2 partisipan yang dilakukan pada 29 Februari 2020. Pertanyan pada partisipan 1 berumur 28 tahun sebagai berikut : “ Bagaimana pandangan ibu tentang balita obesitas ?” Informasi yang diperoleh dari partisipan 1 adalah : “ Ya, biasa saja, selagi anaknya aktif dan ceria tidak ada yang perlu dikhawatirkan mungkin hanya perlu memperhatikan porsi makannya saja, tapi kalo si anak sudah susah berjalan dan sulit bergerak mungkin harus segera dibawa ke petugas kesehatan” Pertanyaan yang diajukan ke partisipan ke 2 berumur 23 tahun sebagai berikut : “ Bagaimana perasaan ibu merawat balita dengan obesitas?” Informasi yang diperoleh dari partisipan 2 adalah : “ Dari pertama anak saya lahir dia tidak menunjukan bahwa dia memiliki berat badan berlebih, saya hanya merasa anak saya sehat-sehat saja, dengan kenaikan berat badan 1kg setiap bulannya saya merasa senang dan anak saya juga aktif seperti yang lainnya. Banyak ocehan yang bilang bahwa anak saya obesitas tapi saya diamkan saja karena melihat anak saya aktif, tetapi lama kelamaan saya merasa cemas saat seorang bidan berbicara tentang anak saya yang jauh dari kata berat badan bayi yang normal, ada suka dukanya saat saya merawat anak dengan berat badan berlebih karena pasti ada yang berbicara baik ataupun yang nyinyir” Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Persepsi Ibu Tentang Balita Obesitas agar dapat mengeksplorasi persepsi ibu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ bagaimana persepsi ibu tentang balita obesitas?” 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengeksplorasi persepsi ibu tentang balita obesitas diwilayah kerja Puskesma Sumedang Selatan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi institusi pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berkolaborasi dengan gizi baik di puskesmas atau dipelayanan kesehatan lain dalam upaya mencegah obesitas dan dapat menjadi sumber imformasi bagi siapa saja yang membacanya. 1.4.2 Manfaat Pengembangan Hasil penelitian i n i dapat digunakan sebagai pengembangan bagi peneliti selanjutnya mengenai pola asuh ibu terhadap balita obesitas dan diharapkan hasil penilitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keperawatan anak dan menjadi evidence based dalam penelitian yang berkaitan dengan obesitas. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Persepsi
2.1.1 Pengertian persepsi Setiap orang memiliki persepsi sendiri mengenai apa yang dipikirkan, dilihat, maupun dirasakan. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa persepsi menentukan apa yang akan diperbuat seseorang untuk memenuhi berbagai kepentingan baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakat tempat berinteraksi. Persepsi inilah yang membedakan seseorang dengan yang lain. Persepsi dihasilkan dari kongkritisasi pemikiran, kemudian melahirkan konsep atau ide yang berbeda-beda dari masing-masing orang meskipun obyek yang dilihat sama. (Rahmadani, dalam CHABIB, 2017). Persepsi setiap orang terhadap suatu objek berbeda-beda, hal ini sudah sering sekali kita dengar dalam kehidupan umum. Seorang individu dalam memandang sesuatu akan mempunyai pemikiran masing-masing tentang objek yang dilihat dan dinilainya individu tersebut akan menimbulkan persepsi. Persepsi adalah sebagai proses pemilihan, pengorganisasian dan penginterpretasian masukan informasi, sensasi yang diterima melalui penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan untuk menghasilkan makna. Dari pengertian persepsi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses untuk memaknai sesuatu oleh individu yang diterima melalui penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan untuk menghasilkan makna dan mengorganisasi serta menginterpretasi masukanmasukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti dalam (Perdani, 2018) Definisi mengenai persepsi yang sejatinya cenderung lebih bersifat psikologis daripada hanya merupakan proses penginderaan saja, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti perhatian yang selektif, individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Kemudian ciri-ciri rangsang, rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Selanjutnya adalah nilai dan kebutuhan individu, dan yang terakhir pengalaman dahulu. Pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya. persepsi merupakan inti komunikasi. Persepsi memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan komunikasi. Artinya, kecermatan dalam mempersepsikan stimuli inderawi mengantarkan kepada keberhasilan komunikasi. Sebaliknya, kegagalan dalam mempersepsi stimulus, menyebabkan mis-komunikasi (Suranto, 2011). 2.1.2 Macam – macam persepsi Menurut (Sunaryo dalam chabib 2017) persepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu, Eksternal Perseption dan Self Perseption. 1. Eksternal Perseption, yaitu persepsi yang terjadi karena datangnya rangsang dari luar individu. 2. Self Perseption, yaitu persepsi yang terjadi karena datangnya rangsang dari dalam individu. Dalam hal ini obyeknya adalah diri sendiri 2.1.3 Factor-faktor yang mempengaruhi persepsi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal: 1. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang dalam menciptakan dan menemukan sesuatu yang kemudian bermanfaat untuk orang bayak misalnya. Dalam hal ini faktor internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu Usia, pendidikan, dan pekerjaan. a. Usia Usia adalah umur individu yang dihitung mulai saat dilahirkan sampai ulang tahun. Semakin cukup umur, kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping pengetahuan yang diperoleh. Usia sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang dan semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. b. Pendidikan menjelaskan bahwa orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan tanggapan yang lebih rasional dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. c. Pekerjaan, Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Masyarakat yang sibuk bekerja hanya memiliki sedikit waktu untuk memperoleh informasi. Dengan bekerja seseorang dapat berbuat sesuatu yang bernilai, bermanfaat, memperoleh pengetahuan yang baik tentang suatu hal sehingga lebih mengerti dan akhirnya mempersepsikan sesuatu itu positif. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah kebalikan dari faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang dalam menciptakan dan menemukan sesuatu. Dalam hal ini faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, yaitu informasi, dan pengalaman. a. Informasi Semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. b. Pengalaman, pengalaman adalah suatu peristiwa yang pernah dialami seseorang. Tidak hanya suatu pengalaman sama sekali dengan suatu obyek cenderung bersifat negatif terhadap obyek tertentu, untuk jadi suatu dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan lebih mendalam dan membekas, pengalaman yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus yang kita peroleh. Pengalaman masa lalu atau apa yang kita pelajari akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi. Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman dapat bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi. 2.1.4 Proses terjadinya persepsi Proses terjadinya persepsi dimulai dari adanya objek yang menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera. Stimulus yang diterima alat indera diteruskan oleh saraf sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang dirasa. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, dalam (CHABIB, 2017). 2.1.5 Syarat terjadinya persepsi Menurut (Walgito 2010) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi yaitu terjadinya stimulasi alat indera dan ditafsirkan. 1. Obyek yang dipersepsi Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. 2. Alat indera, saraf, dan pusat susunan saraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada saraf sensori sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. 3. Perhatian Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. 2.2 Konsep Balita 2.2.1 Pengertian balita Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun dan dibawah lima tahun (Muaris.H, dalam Puspitawati, 2018). Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi badan, Indeks BB/TB berguna untuk mengidentifikasi status gizi saat ini. Indeks BB/TB dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan kurus (Sundaraj, 2015). Kata balita adalah istilah yang umum digunakan untuk usia anak hingga berusia 5 tahun. Pengelompokan usia anak 1 sampai dengan 3 tahun disebut dengan sebutan batita dan usia 3 sampai 5 tahun dengan sebutan pra sekolah. Anak usia batita masih tergantung penuh dengan orang tua untuk setiap kegiatannya. Pada masa prasekolah lah proses dimana pertumbuhan anak merupakan tahapan yang sangat penting, pada masa ini menjadi penentu agar pertumbuhan anak menjadi lebih baik pada periode berikutnya, the golden age adalah sebutan lain pada masa ini dan tidak akan pernah terulang lagi. (Sutomo & Anggraini, 2010 dalam (Gunawan, 2018)). 2.2.2 Karakteristik balita Balita mempunyai karakteristik yang dikelompokan menjadi dua, pengelompokan usia anak 1 sampai dengan 3 tahun disebut dengan sebutan batita dan usia 3 sampai 5 tahun dengan sebutan pra sekolah. Anak usia batita masih tergantung penuh dengan orang tua untuk setiap kegiatannya, pada masa ini merupakan masa pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga memerlukan kebutuhan gizi paling banyak daripada masa-masa selanjutnya. Anak akan mudah mengalami berbagai masalah nutrisi pada usia ini apabila pemberian nutrisi tidak tepat. Pada masa prasekolah lah proses dimana pertumbuhan anak merupakan tahapan yang sangat penting, pada masa ini menjadi penentu agar pertumbuhan anak menjadi lebih baik pada periode berikutnya, the golden age adalah sebutan lain pada masa ini dan tidak akan pernah terulang lagi. (Sutomo & Anggraini, 2010 dalam (Gunawan, 2018)). 2.3 Konsep Obesitas 2.3.1 Pengertian obesitas Obesitas sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sedemikian sehingga mengganggu kesehatan. Dalam kata lain obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Secara ilmiah obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan tubuh. Dalam melakukan suatu aktifitas sangat dibutuhkan suatu energi. Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok : 1. Obesitas ringan. Kelebihan berat badan 20-40% 2. Obesitas sedang. Kelebihan berat badan 41-100% 3. Obesitas berat. Kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan sebanyak 5%dari antara orang-orang yang gemuk). Penetapan suatu obesitas dengan menggunakan penghitungan dengan cara mengukur BMI (Body Mass Index). BMI untuk melihat status gizi pada orang dewasa yang berhubungan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan yang kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan yang lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. BMI merupakan rasio berat badan dalam kilogram (kg) dengan kuadrat tinggi badan dalam milimeter (mm).(Pujiastuti, 2015) Kegemukan dan obesitas didefinisikan oleh ( WHO dalam Sugiatmi dkk., 2019) sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Indeks massa tubuh (BMI) adalah indeks sederhana berat badan menurut tinggi badan yang biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg / m2). Pada orang dewasa, BMI lebih besar atau sama dengan 25 dikategorikan kelebihan berat badan, sedngakan BMI lebih besar atau sama dengan 30 disebut obesitas (WHO 2019)) BMI memberikan ukuran tingkat kelebihan berat badan dan obesitas yang paling berguna pada populasi karena sama untuk kedua jenis kelamin dan untuk semua usia orang dewasa. Namun, itu harus dianggap sebagai panduan kasar karena mungkin tidak sesuai dengan tingkat kegemukan yang sama pada individu yang berbeda. Kelebihan berat badan dan obesias pada anak-anak dihitung dengan mempertimbangkan usia. WHO mengelompokkan usia anak menjadi dua, yaitu anak dibawah 5 tahun dan anak usia 5-19 tahun. Untuk anak di bawah 5 tahun, kelebihan berat badan adalah untuk tinggi badan lebih dari 2 standar deviasi di atas median Standar Pertumbuhan Anak WHO dan obesitas adalah tinggi badan untuk tinggi lebih dari 3 standar deviasi di atas median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Pada anak-anak berusia antara 5–19 tahun, definisi kelebihan berat badan adalah jika IMT untuk usia lebih dari 1 standar deviasi di atas median Referensi Pertumbuhan WHO; dan obesitas bila IMT lebih besar dari 2 standar deviasi di atas median Referensi Pertumbuhan WHO. 2.3.2 Etiologi obesitas Etiologi dari obesitas ada beberapa faktor yaitu 1. Faktor genetik. Genetik berperan dalam terjadinya obesitas. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anaknya. Dalam satu keluarga untuk menurunkan tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. 2. Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). 3. Faktor psikis. Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa memengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. 4. Faktor kesehatan. Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya: a. Hipotiroidisme b. Sindroma Cushing c. Sindroma Prader-Willi d. Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan. 5. Obat-obatan. Obat-obat tertentu misalnya steroid dan beberapa antidepresi bisa menyebabkan penambahan berat badan. 6. Faktor perkembangan. Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah selsel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel. 7. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas. (Pujiastuti, 2015) 2.3.3 Patofisiologi obesitas Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, lingkungan, dan sinyal psikologis. Mekanisme ini dirangsang oleh respon metabolic yang berpusat pada hipotalamus (Cahyaningrum, 2018).
2.3.4 Dampak obesitas pada balita
Menurut Fruh ( 2017) dan WHO (2019b) kegemukan dan obesitas
merupakan faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular seperti: penyakit kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), yang merupakan penyebab utama kematian pada 2012, diabetes, gangguan muskuloskeletal (terutama osteoartritis - penyakit degeneratif sendi yang sangat melumpuhkan), beberapa kanker (termasuk endometrium, payudara, ovarium, prostat, hati, kandung empedu, ginjal, dan usus besar). Obesitas pada anak dikaitkan dengan kemungkinan obesitas, kematian dini, dan kecacatan yang lebih tinggi pada usia dewasa. Tetapi di samping peningkatan risiko di masa depan, anak-anak yang mengalami obesitas mengalami kesulitan bernapas, peningkatan risiko patah tulang, hipertensi, penanda awal penyakit kardiovaskular, resistensi insulin dan efek psikologis. Daftar Pustaka
AZHAR, A. F. (2018). PERSEPSI MAHASISWA TENTANG INFORMASI EKONOMI
PADA PROGRAM ACARA TALKSHOW ECONOMIC CHALLENGES DI METRO TV (Studi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau). Cahyaningrum, A. (2018). Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal Kesehatan Prima, 9(1), 1364–1371. CHABIB, M. (2017). PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG PENYAKIT JANTUNG KORONER Di Puskesmas Jenangan, Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Gunawan, G. (2018). PENENTUAN STATUS GIZI BALITA BERBASIS WEB MENGGUNAKAN METODE Z-SCORE. Infotronik: Jurnal Teknologi Informasi dan Elektronika, 3(2), 118–123. Leonita, E., & Nopriadi, N. (2010). Persepsi Ibu Terhadap Obesitas pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Komunitas, 1(1), 39–48. Molintao, W. P., Sulaeman, S., & Purwanti, N. H. (2019). Hubungan Kompetensi Ibu, Aktivitas Fisik, dan Konsumsi Junk Food dengan Kejadian Obesitas pada Balita. Journal of Telenursing (JOTING), 1(1), 119–130. Nurbadriyah, W. D. (2018). Perilaku Orang Tua dalam Pencegahan Obesitas Anak Pra Sekolah Berbasis Theory of Planned Behaviour (TPB). Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 5(1), 008–014. Perdani, N. M. P. (2018). PERSEPSI MAHASISWA JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS POLSRI TERHADAP MINAT MEMBACA SURAT KABAR HALAMAN ZETIZEN SUMATERA EKSPRES. Pujiastuti, P. (2015). Obesitas dan Penyakit Periodontal. STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 9(2), 82–85. Puspitawati, S. (2018). PERTUMBUHAN BALITA BERDASARKAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN KONSUMSI GIZI SEIMBANG PADA BALITA UMUR 12-59 BULAN DI DESA BELUK WILAYAH PUSKESMAS BELIK KABUPATEN PEMALANG. Sajawandi, L. (2015). Pengaruh Obesitas pada Perkembangan Siswa Sekolah Dasar dan Penanganannya dari Pihak Sekolah dan Keluarga. JPsd (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), 1(2), 34–46. Sugiatmi, S., Rayhana, R., Suryaalamsah, I., Rahmini, R., Akbar, Z., Harisatunnasyitoh, Z., Yuliarti, N., Annisa, S., Anandita, K., & Naufal, F. (2019). PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG KEGEMUKAN DAN OBESITAS PADA PENGASUH PONDOK PESANTREN IGBS DARUL MARHAMAH DESA JATISARI KECAMATAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT. Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat LPPM UMJ. Sundaraj, P. (2015). Gambaran karakteristik ibu dan anak terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita di desa Sukawati Gianyar tahun 2014. Intisari Sains Medis, 4(1), 102–112.