Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun dan dibawah lima tahun
(Muaris.H, dalam Puspitawati, 2018). Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan, Indeks BB/TB berguna untuk mengidentifikasi
status gizi saat ini. Indeks BB/TB dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan
kurus (Sundaraj, 2015). Permasalahan gizi yang sering terjadi pada Balita salah satunya
adalah berat badan berlebih atau obesitas.
Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan
energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama, banyaknya konsumsi energi dari
makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas
sehari hari, kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak
sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan (WHO, dalam Riswanti, 2016). Di
Indonesia, perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi mengakibatkan pola
makan masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol.
Beberapa faktor yang menyebabkan obesitas antara lain adalah faktor genetik dan
lingkungan. Seseorang tidak dapat mengubah pola genetiknya, namun mereka dapat
mencegah dan mengelola obesitas dengan mengendalikan faktor lingkungan, dengan cara
mengubah pola makan dengan meminimalisasi makanan tinggi lemak dan kalori. Selain
faktor nutrisi, aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor predisposisi terjadinya obesitas
(Leonita & Nopriadi, 2010). Salah satu penyebab obesitas adalah perilaku yang menetap,
biasanya berupa menonton televisi dan bermain game hingga berjam-jam. Pola hidup
keseharian yang kurang aktif tersebut membuat banyak lemak tertimbun dijaringan lemak
tubuh. Walaupun penumpukan lemak tubuh ini tidak baik, tetapi sebetulnya lemak tetap
diperlukan dalam jumlah tertentu (Sajawandi, 2015).
WHO mengungkapkan obesitas merupakan masalah epidemiologi global yang menjadi
ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dunia. Sebesar 2,8 juta orang meninggal karena
penyakit seperi diabetes dan penyakit jantung sebagai akibat dari obesitas. Penelitian yang
dilakukan dengan melakukan pemantauan berkala perubahan prevalensi kelebihan berat
badan dan obesitas pada semua populasi didunia dari tahun 1980 hingga 2013
menunjukkan prevalasi penderita obesitas ada didunia tertinggi berada di Uruguay
(18,1%), Costa Rica (12,4%), Chili (11,9%) dan Meksiko (10,5%). Obesitas dapat terjadi
pada siapa saja, mulai dari balita hingga dewasa. Di Jawa Barat pada tahun 2016, dengan
jumlah balita yang ditimbang sebanyak 3.310.750 orang, Berat Badan Lebih (BBL)
sebanyak 70.467 Balita (2,13%), jika dilihat status gizi balita berdasarkan berat badan per
tinggi badan didapat kalsifikasi Gemuk 4,30%, sedangkan Prevalensi proporsi kasus
gemuk di Indonesia pada balita sebanyak 8% pada tahun 2018 menurut (RISKESDAS,
2018) dan di Sumedang Selatan sendiri 4,4% balita mengalami obesitas.
Dampak yang tejadi jika balita mengalami obesitas antara lain dapat menyebabkan
berbagai masalah fisik maupun psikis, masalah fisik seperti ortopedik, termasuk nyeri
punggung bagian bawah, dan memperburuk osteoarthritis (terutama di daerah pinggul,
lutut, dan pergelangan kaki), dengan kata lain obesitas secara langsung dapat
membahayakan kesehatan seseorang (Sajawandi, 2015). Obesitas meningkatkan resiko
terjadinya sejumlah penyakit menahun antara lain seperti Diabetes melitus tipe II,
meningkatnya nilai kolestrol sehingga mengakibatakan tekanan drarah meningkat dan
dapat menyebakan penyakit jantung, nafas berhenti saat tidur (sleep apnue), gangguan
ortopedi, penyakit asma dan hati (Fikawati, dalam .Molintao dkk., 2019). Kebanyakan
para ibu menganggap gemuk pada balita merupakan hal yang normal, tetapi ada juga yang
sadar bahwa balita yang terkena obesitas adalah sebuah masalah. Pada akhirnya hal
tersebut menimbulkan banyak persepsi bagi para ibu.
Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui
pancaindranya. Persepsi dalam kata lain adalah suatu proses mengumpulkan informasi
mengenai dunia melalui pengindraan yang kita miliki (Azhar, 2018). Adapun yang
dimaksud dengan persepsi dalam tulisan ini adalah tanggapan, sikap, ataupun reaksi
seorang ibu yang terlihat dari panca indranya, tentang balita obesitas. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Leonita & Nopriadi, 2010) Setiap ibu memiliki
persepsi yang berbeda tentang kondisi obesitas pada anak. Sebagian ibu tidak suka dengan
obesitas, karena menurut ibu tidak enak dilihat. Berat badan yang berlebih itu disebabkan
kelebihan makanan berlemak, banyak ngemil, dan faktor keturunan. Walaupun tidak setuju
dengan obesitas, sebagian ibu menganggap wajar saja bila kondisi gemuk itu dialami oleh
balita karena belum banyak bergerak dan banyak minum susu, serta di atas usia balita dan
remaja anak akan mengalami penurunan berat badan dikarenakan banyak bergerak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nurbadriyah, 2018) Sikap dianggap sebagai
penyebab utama dari perilaku, perilaku seseorang tidak akan lepas dari bagaimana ia
menyikapinya. Orang tua akan menunjukan perilaku positif untuk mencegah obesitas pada
anaknya jika mereka beranggapan obesitas adalah hal yang dapat mengancam jiwa
anaknya. Sebaliknya orang tua yang berprilaku negatif dengan membiarkan obesitas
kepada anaknya cenderung memiliki persepsi bahwa obesitas dikalangan anak adalah hal
yang wajar.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 20 Februari
2020 di wilayah kerja Puskesmas Sumedang Selatan diperoleh data obesitas pada tahun
2019 sebanyak 167 dari 3767 balita mengalami obesitas. Dari data yang diperolah Desa
yang memiliki jumlah balita obesitas terbanyak berada di Desa Ciherang dengan 35 balita.
Selain hasil data tersebut, peneliti juga melakukan wawancara kepada 2 partisipan yang
dilakukan pada 29 Februari 2020. Pertanyan pada partisipan 1 berumur 28 tahun sebagai
berikut :
“ Bagaimana pandangan ibu tentang balita obesitas ?”
Informasi yang diperoleh dari partisipan 1 adalah :
“ Ya, biasa saja, selagi anaknya aktif dan ceria tidak ada yang perlu dikhawatirkan
mungkin hanya perlu memperhatikan porsi makannya saja, tapi kalo si anak sudah susah
berjalan dan sulit bergerak mungkin harus segera dibawa ke petugas kesehatan”
Pertanyaan yang diajukan ke partisipan ke 2 berumur 23 tahun sebagai berikut :
“ Bagaimana perasaan ibu merawat balita dengan obesitas?”
Informasi yang diperoleh dari partisipan 2 adalah :
“ Dari pertama anak saya lahir dia tidak menunjukan bahwa dia memiliki berat badan
berlebih, saya hanya merasa anak saya sehat-sehat saja, dengan kenaikan berat badan
1kg setiap bulannya saya merasa senang dan anak saya juga aktif seperti yang lainnya.
Banyak ocehan yang bilang bahwa anak saya obesitas tapi saya diamkan saja karena
melihat anak saya aktif, tetapi lama kelamaan saya merasa cemas saat seorang bidan
berbicara tentang anak saya yang jauh dari kata berat badan bayi yang normal, ada suka
dukanya saat saya merawat anak dengan berat badan berlebih karena pasti ada yang
berbicara baik ataupun yang nyinyir”
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul Persepsi Ibu Tentang Balita Obesitas agar dapat mengeksplorasi persepsi ibu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “ bagaimana persepsi ibu tentang balita obesitas?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengeksplorasi persepsi ibu tentang balita
obesitas diwilayah kerja Puskesma Sumedang Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi institusi
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berkolaborasi dengan gizi baik di puskesmas atau
dipelayanan kesehatan lain dalam upaya mencegah obesitas dan dapat menjadi sumber
imformasi bagi siapa saja yang membacanya.
1.4.2 Manfaat Pengembangan
Hasil penelitian i n i dapat digunakan sebagai pengembangan bagi peneliti
selanjutnya mengenai pola asuh ibu terhadap balita obesitas dan diharapkan hasil
penilitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keperawatan anak
dan menjadi evidence based dalam penelitian yang berkaitan dengan obesitas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Persepsi


2.1.1 Pengertian persepsi
Setiap orang memiliki persepsi sendiri mengenai apa yang dipikirkan,
dilihat, maupun dirasakan. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa persepsi
menentukan apa yang akan diperbuat seseorang untuk memenuhi berbagai
kepentingan baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakat
tempat berinteraksi. Persepsi inilah yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Persepsi dihasilkan dari kongkritisasi pemikiran, kemudian melahirkan
konsep atau ide yang berbeda-beda dari masing-masing orang meskipun obyek
yang dilihat sama. (Rahmadani, dalam CHABIB, 2017).
Persepsi setiap orang terhadap suatu objek berbeda-beda, hal ini sudah
sering sekali kita dengar dalam kehidupan umum. Seorang individu dalam
memandang sesuatu akan mempunyai pemikiran masing-masing tentang objek
yang dilihat dan dinilainya individu tersebut akan menimbulkan persepsi.
Persepsi adalah sebagai proses pemilihan, pengorganisasian dan
penginterpretasian masukan informasi, sensasi yang diterima melalui
penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan untuk
menghasilkan makna. Dari pengertian persepsi diatas dapat disimpulkan bahwa
persepsi merupakan proses untuk memaknai sesuatu oleh individu yang
diterima melalui penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan
untuk menghasilkan makna dan mengorganisasi serta menginterpretasi
masukanmasukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki
arti dalam (Perdani, 2018)
Definisi mengenai persepsi yang sejatinya cenderung lebih bersifat
psikologis daripada hanya merupakan proses penginderaan saja, maka ada
beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti perhatian yang selektif, individu
memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Kemudian
ciri-ciri rangsang, rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan
lebih menarik perhatian. Selanjutnya adalah nilai dan kebutuhan individu, dan
yang terakhir pengalaman dahulu. Pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi
bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya. persepsi merupakan inti
komunikasi. Persepsi memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan
komunikasi. Artinya, kecermatan dalam mempersepsikan stimuli inderawi
mengantarkan kepada keberhasilan komunikasi. Sebaliknya, kegagalan dalam
mempersepsi stimulus, menyebabkan mis-komunikasi (Suranto, 2011).
2.1.2 Macam – macam persepsi
Menurut (Sunaryo dalam chabib 2017) persepsi dibedakan menjadi dua
macam, yaitu, Eksternal Perseption dan Self Perseption.
1. Eksternal Perseption, yaitu persepsi yang terjadi karena datangnya
rangsang dari luar individu.
2. Self Perseption, yaitu persepsi yang terjadi karena datangnya rangsang
dari dalam individu. Dalam hal ini obyeknya adalah diri sendiri
2.1.3 Factor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal:
1. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang dalam menciptakan dan menemukan sesuatu yang kemudian
bermanfaat untuk orang bayak misalnya. Dalam hal ini faktor internal
yang mempengaruhi persepsi, yaitu Usia, pendidikan, dan pekerjaan.
a. Usia Usia adalah umur individu yang dihitung mulai saat
dilahirkan sampai ulang tahun. Semakin cukup umur,
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berpikir dan bekerja. Semakin tua umur seseorang semakin
konstruktif dalam menggunakan koping pengetahuan yang
diperoleh. Usia sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan
pengalaman seseorang dan semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berpikir dan bekerja.
b. Pendidikan menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
pendidikan tinggi akan memberikan tanggapan yang lebih
rasional dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah
atau tidak berpendidikan sama sekali.
c. Pekerjaan, Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah. Masyarakat yang sibuk bekerja hanya memiliki
sedikit waktu untuk memperoleh informasi. Dengan bekerja
seseorang dapat berbuat sesuatu yang bernilai, bermanfaat,
memperoleh pengetahuan yang baik tentang suatu hal sehingga
lebih mengerti dan akhirnya mempersepsikan sesuatu itu
positif.
2. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah kebalikan dari faktor internal,
yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang dalam menciptakan
dan menemukan sesuatu. Dalam hal ini faktor eksternal yang
mempengaruhi persepsi, yaitu informasi, dan pengalaman.
a. Informasi Semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau
menambah pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan
menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
b. Pengalaman, pengalaman adalah suatu peristiwa yang pernah
dialami seseorang. Tidak hanya suatu pengalaman sama sekali
dengan suatu obyek cenderung bersifat negatif terhadap obyek
tertentu, untuk jadi suatu dasar pembentukan sikap pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan
lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan
lebih mendalam dan membekas, pengalaman yang dimiliki
seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam
menginterpretasikan stimulus yang kita peroleh. Pengalaman
masa lalu atau apa yang kita pelajari akan menyebabkan
terjadinya perbedaan interpretasi. Pengalaman mempengaruhi
kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses
belajar formal. Pengalaman dapat bertambah melalui rangkaian
peristiwa yang pernah dihadapi.
2.1.4 Proses terjadinya persepsi
Proses terjadinya persepsi dimulai dari adanya objek yang menimbulkan
stimulus, dan stimulus mengenai alat indera. Stimulus yang diterima alat indera
diteruskan oleh saraf sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak
sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa
yang didengar, atau apa yang dirasa. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat
diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, dalam
(CHABIB, 2017).
2.1.5 Syarat terjadinya persepsi
Menurut (Walgito 2010) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi
yaitu terjadinya stimulasi alat indera dan ditafsirkan.
1. Obyek yang dipersepsi
Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor
stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga
dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung
mengenai saraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
2. Alat indera, saraf, dan pusat susunan saraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di
samping itu juga harus ada saraf sensori sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai
pusat kesadaran.
3. Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi.
2.2 Konsep Balita
2.2.1 Pengertian balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun dan
dibawah lima tahun (Muaris.H, dalam Puspitawati, 2018). Dalam keadaan
normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi badan,
Indeks BB/TB berguna untuk mengidentifikasi status gizi saat ini. Indeks
BB/TB dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan kurus (Sundaraj,
2015). Kata balita adalah istilah yang umum digunakan untuk usia anak hingga
berusia 5 tahun. Pengelompokan usia anak 1 sampai dengan 3 tahun disebut
dengan sebutan batita dan usia 3 sampai 5 tahun dengan sebutan pra sekolah.
Anak usia batita masih tergantung penuh dengan orang tua untuk setiap
kegiatannya. Pada masa prasekolah lah proses dimana pertumbuhan anak
merupakan tahapan yang sangat penting, pada masa ini menjadi penentu agar
pertumbuhan anak menjadi lebih baik pada periode berikutnya, the golden age
adalah sebutan lain pada masa ini dan tidak akan pernah terulang lagi. (Sutomo
& Anggraini, 2010 dalam (Gunawan, 2018)).
2.2.2 Karakteristik balita
Balita mempunyai karakteristik yang dikelompokan menjadi dua,
pengelompokan usia anak 1 sampai dengan 3 tahun disebut dengan sebutan
batita dan usia 3 sampai 5 tahun dengan sebutan pra sekolah. Anak usia batita
masih tergantung penuh dengan orang tua untuk setiap kegiatannya, pada masa
ini merupakan masa pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga memerlukan
kebutuhan gizi paling banyak daripada masa-masa selanjutnya. Anak akan
mudah mengalami berbagai masalah nutrisi pada usia ini apabila pemberian
nutrisi tidak tepat. Pada masa prasekolah lah proses dimana pertumbuhan anak
merupakan tahapan yang sangat penting, pada masa ini menjadi penentu agar
pertumbuhan anak menjadi lebih baik pada periode berikutnya, the golden age
adalah sebutan lain pada masa ini dan tidak akan pernah terulang lagi. (Sutomo
& Anggraini, 2010 dalam (Gunawan, 2018)).
2.3 Konsep Obesitas
2.3.1 Pengertian obesitas
Obesitas sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan
lemak yang serius dalam jaringan adiposa sedemikian sehingga mengganggu
kesehatan. Dalam kata lain obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai
akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Secara ilmiah obesitas
terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan tubuh.
Dalam melakukan suatu aktifitas sangat dibutuhkan suatu energi. Setiap orang
memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi. Rata-rata wanita
memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan
yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30%
pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30%
dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas.
Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran
berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Obesitas
digolongkan menjadi 3 kelompok :
1. Obesitas ringan. Kelebihan berat badan 20-40%
2. Obesitas sedang. Kelebihan berat badan 41-100%
3. Obesitas berat. Kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan
sebanyak 5%dari antara orang-orang yang gemuk).
Penetapan suatu obesitas dengan menggunakan penghitungan dengan
cara mengukur BMI (Body Mass Index). BMI untuk melihat status gizi pada
orang dewasa yang berhubungan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan. Berat badan yang kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit
infeksi, sedangkan berat badan yang lebih akan meningkatkan resiko terhadap
penyakit degeneratif. BMI merupakan rasio berat badan dalam kilogram (kg)
dengan kuadrat tinggi badan dalam milimeter (mm).(Pujiastuti, 2015)
Kegemukan dan obesitas didefinisikan oleh ( WHO dalam Sugiatmi
dkk., 2019) sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang dapat
mengganggu kesehatan. Indeks massa tubuh (BMI) adalah indeks sederhana
berat badan menurut tinggi badan yang biasanya digunakan untuk
mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Ini
didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan
kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg / m2). Pada orang dewasa, BMI lebih
besar atau sama dengan 25 dikategorikan kelebihan berat badan, sedngakan
BMI lebih besar atau sama dengan 30 disebut obesitas (WHO 2019)) BMI
memberikan ukuran tingkat kelebihan berat badan dan obesitas yang paling
berguna pada populasi karena sama untuk kedua jenis kelamin dan untuk
semua usia orang dewasa. Namun, itu harus dianggap sebagai panduan kasar
karena mungkin tidak sesuai dengan tingkat kegemukan yang sama pada
individu yang berbeda. Kelebihan berat badan dan obesias pada anak-anak
dihitung dengan mempertimbangkan usia. WHO mengelompokkan usia anak
menjadi dua, yaitu anak dibawah 5 tahun dan anak usia 5-19 tahun. Untuk anak
di bawah 5 tahun, kelebihan berat badan adalah untuk tinggi badan lebih dari 2
standar deviasi di atas median Standar Pertumbuhan Anak WHO dan obesitas
adalah tinggi badan untuk tinggi lebih dari 3 standar deviasi di atas median
Standar Pertumbuhan Anak WHO. Pada anak-anak berusia antara 5–19 tahun,
definisi kelebihan berat badan adalah jika IMT untuk usia lebih dari 1 standar
deviasi di atas median Referensi Pertumbuhan WHO; dan obesitas bila IMT
lebih besar dari 2 standar deviasi di atas median Referensi Pertumbuhan WHO.
2.3.2 Etiologi obesitas
Etiologi dari obesitas ada beberapa faktor yaitu
1. Faktor genetik.
Genetik berperan dalam terjadinya obesitas. Bila ayah atau ibu memiliki
kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anaknya. Dalam satu
keluarga untuk menurunkan tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan
dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas.
Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik.
2. Faktor lingkungan.
Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas,
tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti.
Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang
dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya).
3. Faktor psikis.
Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa memengaruhi kebiasaan
makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya
dengan makan.
4. Faktor kesehatan.
Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:
a. Hipotiroidisme
b. Sindroma Cushing
c. Sindroma Prader-Willi
d. Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak
makan.
5. Obat-obatan.
Obat-obat tertentu misalnya steroid dan beberapa antidepresi bisa
menyebabkan penambahan berat badan.
6. Faktor perkembangan.
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya)
menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh.
Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak,
bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan
orang yang berat badannya normal. Jumlah selsel lemak tidak dapat
dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan
cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.
7. Aktivitas fisik.
Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab
utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat
yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit
kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi makanan kaya lemak dan
tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas.
(Pujiastuti, 2015)
2.3.3 Patofisiologi obesitas
Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam
bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan
oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan
faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom
atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan keseimbangan energi
diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian
rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasi
sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi
melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah
mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan
otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,
meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal
pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan
waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator
dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived
hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan
energi. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran
darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar
menurunkan produksi Neuro Peptide Y (NPY), sehingga terjadi penurunan
nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari
asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada
orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.
Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga
tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
Pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh
mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,
nutrisi, lingkungan, dan sinyal psikologis. Mekanisme ini dirangsang oleh
respon metabolic yang berpusat pada hipotalamus (Cahyaningrum, 2018).

2.3.4 Dampak obesitas pada balita

Menurut Fruh ( 2017) dan WHO (2019b) kegemukan dan obesitas


merupakan faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular seperti: penyakit
kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), yang merupakan
penyebab utama kematian pada 2012, diabetes, gangguan muskuloskeletal
(terutama osteoartritis - penyakit degeneratif sendi yang sangat melumpuhkan),
beberapa kanker (termasuk endometrium, payudara, ovarium, prostat, hati,
kandung empedu, ginjal, dan usus besar). Obesitas pada anak dikaitkan dengan
kemungkinan obesitas, kematian dini, dan kecacatan yang lebih tinggi pada
usia dewasa. Tetapi di samping peningkatan risiko di masa depan, anak-anak
yang mengalami obesitas mengalami kesulitan bernapas, peningkatan risiko
patah tulang, hipertensi, penanda awal penyakit kardiovaskular, resistensi
insulin dan efek psikologis.
Daftar Pustaka

AZHAR, A. F. (2018). PERSEPSI MAHASISWA TENTANG INFORMASI EKONOMI


PADA PROGRAM ACARA TALKSHOW ECONOMIC CHALLENGES DI METRO
TV (Studi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau).
Cahyaningrum, A. (2018). Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal Kesehatan Prima, 9(1),
1364–1371.
CHABIB, M. (2017). PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG PENYAKIT JANTUNG
KORONER Di Puskesmas Jenangan, Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Gunawan, G. (2018). PENENTUAN STATUS GIZI BALITA BERBASIS WEB
MENGGUNAKAN METODE Z-SCORE. Infotronik: Jurnal Teknologi Informasi dan
Elektronika, 3(2), 118–123.
Leonita, E., & Nopriadi, N. (2010). Persepsi Ibu Terhadap Obesitas pada Anak Sekolah Dasar.
Jurnal Kesehatan Komunitas, 1(1), 39–48.
Molintao, W. P., Sulaeman, S., & Purwanti, N. H. (2019). Hubungan Kompetensi Ibu,
Aktivitas Fisik, dan Konsumsi Junk Food dengan Kejadian Obesitas pada Balita.
Journal of Telenursing (JOTING), 1(1), 119–130.
Nurbadriyah, W. D. (2018). Perilaku Orang Tua dalam Pencegahan Obesitas Anak Pra
Sekolah Berbasis Theory of Planned Behaviour (TPB). Jurnal Ners dan Kebidanan
(Journal of Ners and Midwifery), 5(1), 008–014.
Perdani, N. M. P. (2018). PERSEPSI MAHASISWA JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
POLSRI TERHADAP MINAT MEMBACA SURAT KABAR HALAMAN ZETIZEN
SUMATERA EKSPRES.
Pujiastuti, P. (2015). Obesitas dan Penyakit Periodontal. STOMATOGNATIC-Jurnal
Kedokteran Gigi, 9(2), 82–85.
Puspitawati, S. (2018). PERTUMBUHAN BALITA BERDASARKAN PEMBERIAN ASI
EKSKLUSIF DAN KONSUMSI GIZI SEIMBANG PADA BALITA UMUR 12-59
BULAN DI DESA BELUK WILAYAH PUSKESMAS BELIK KABUPATEN
PEMALANG.
Sajawandi, L. (2015). Pengaruh Obesitas pada Perkembangan Siswa Sekolah Dasar dan
Penanganannya dari Pihak Sekolah dan Keluarga. JPsd (Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar), 1(2), 34–46.
Sugiatmi, S., Rayhana, R., Suryaalamsah, I., Rahmini, R., Akbar, Z., Harisatunnasyitoh, Z.,
Yuliarti, N., Annisa, S., Anandita, K., & Naufal, F. (2019). PENINGKATAN
PENGETAHUAN TENTANG KEGEMUKAN DAN OBESITAS PADA
PENGASUH PONDOK PESANTREN IGBS DARUL MARHAMAH DESA
JATISARI KECAMATAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT.
Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat LPPM UMJ.
Sundaraj, P. (2015). Gambaran karakteristik ibu dan anak terhadap kejadian gizi kurang pada
anak balita di desa Sukawati Gianyar tahun 2014. Intisari Sains Medis, 4(1), 102–112.

Anda mungkin juga menyukai