Anda di halaman 1dari 9

“Konsep Dasar Kepemimpinan”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan


Dosen Pengampu :
Dr. Made Surya Putra, S.E.,M.Si.

DISUSUN OLEH :
Anak Agung Ayu Intan Kusuma Wardani ( 1707521074)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2019
Kepemimpinan versus Manajemen 

Terus terjadi perdebatan tentang perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen.


Jelaslah bahwa seseorang bisa menjadi pemimpin tanpa harus menjadi manajer (contohnya
pemimpin informal), dan seseorang bisa menjadi manajer tanpa harus memimpin. Memang ada
beberapa orang dengan jabatan "manajer" tetapi tidak mempunyai bawahan (contoh manajer
bagian keuangan). Tidak seorang pun yang menyatakan bahwa mengelola dan memimpin
merupakan hal yang sama, tetapi tingkat kesamaan antara keduanya menjadi titik
ketidaksepakatan yang sangat tajam.

Beberapa penulis (seperti Bennis &Nanus, 1985; Zaleznik, 1977) berpendapat bahwa
kepemimpinan dan manajemen berbeda secara kualitatif dan tidak dapat digunakan bersama-
sama. Beberapa perbedaan yang paling ekstrem melibatkan asumsi bahwa manajemen dan
kepemimpinan tidak mungkin terjadi pada satu orang yang sama. Dengan kata lain, beberapa
orang adalah manajer dan orang yang lainnya adalah pemimpin. Definisi yang ditawarkan para
pakar kepemimpinan tentang pemimpin dan manajer mengasumsikan bahwa mereka memiliki
nilai dan karakter kepribadian yang berbeda. Manajer menghargai stabilitas, keteraturan, dan
efisiensi. Manajer tidak terpengaruh perasaan pribadi, menghindari risiko, serta fokus pada hasil
jangka pendek Pemimpin menghargai fleksibilitas, inovasi, dan adaptasi. Pemimpin peduli
terhadap orang dan juga manfaat ekonomis, dan mereka memiliki perspektif waktu yang lebih
bersifat jangka panjang. terkait masalah tujuan dan strategi. Manajer sangat memerhatikan
bagaimana sesuatu diselesaikan dan mereka berusaha membuat orang dapat melakukannya
dengan lebih baik. Para pemimpin sangat memerhatikan apa arti berbagai hal bagi orang-orang
dan berusaha agar orang menyepakati hal -hal terpenting yang harus dilakukan.

Bennis dan Nanus (1985, h. 21) berpendapat bahwa "manajer adalah orang yang
melakukan segala sesuatunya dengan benar dan pemimpin adalah orang yang melakukan hal
yang benar." Sayangnya, menghubungkan memimpin dan mengelola dengan jenis orang yang
berbeda tidak didukung penelitian empiris karena orang tidak dapat dibagi secara mudah ke
dalam dua stereotip ekstrem tersebut. Selain itu, stereotip menyiratkan bahwa para manajer
selalu tidak efektif. Istilah manajer digunakan untuk menyatakan jabatan dari banyak orang, dan
istilah ini mencemarkan mereka dengan memberinya stereotip yang negatif.
Rost (1991) mendefinisikan manajemen sebagai hubungan wewenang yang ada antara
manajer dengan bawahannya untuk memproduksi dan menjual barang serta jasa. Rost
mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan pengaruh antara pemimpin dan bawahannya
yang mempunyai tujuan yang sama dalam mencapai perubahan yang sebenarnya. Pemimpin dan
bawahan saling memengaruhi ketika mereka berinteraksi tanpa paksaan untuk menentukan
perubahan apa yang ingin mereka lakukan. Manajer barangkali sekaligus sebagai pemimpin,
tetapi hanya jika mereka memiliki hubungan pengaruh seperti ini. Kepemimpinan didefinisikan
secara luas dengan menggunakan cara yang mempertimbangkan beberapa hal yang menentukan
suksesnya usaha kolektif anggota grup atau organisasi untuk menyelesaikan tugas-tugas penting.
Berikut ini adalah definisi yang digunakan:

Kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui
apa yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dan bagaimana melakukan tugas itu, serta
proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif guna mencapai tujuan bersama.

Kepemimpinan dipandang sebagai peran khusus dan sekaligus proses pengaruh sosial.
Setiap orang dapat memerankannya (misalnya kepemimpinan dapat dibagikan atau
didistribusikan), tetapi beberapa diferensiasi peran diasumsikan terjadi dalam berbagai grup atau
organisasi. Baik proses rasional maupun emosional ditinjau sebagai aspek penting dalam
kepemimpinan. Tidak ada asumsi yang dibuat tentang hasil aktual dari proses pengaruh, karena
evaluasi hasil sangat sulit dilakukan dan sangat subjektf. Jadi, definisi kepemimpinan jangan
terbatas pada proses yang pasti selalu mencapai hasil yang "sukses." Bagaimana proses
kepemimpinan memengaruhi hasil merupakan pertanyaan penelitian utama yang seharusnya
tidak boleh bias karena definisi kepemimpinan itu. Fokusnya jelas pada proses bukan pada
orang, dan keduanya tidak bisa dianggap sama. Jadi, istilah pemimpin (leader), manajer, dan bos
digunakan secara bergantian dalam buku ini untuk mengindikasikan orang yang menjabat posisi
yang di situ mereka diharapkan melakukan peran kepemimpinan, tetapi tanpa asumsi tentang
perilaku atau kesuksesan mereka yang sebenarnya.
Istilah bawahan (subordinate) dan laporan langsung digunakan secara bergantian untuk
menujukkan seseorang yang aktivitas kerja utamanya diarahkan dan dievaluasi oleh pemimpin
utama. Beberapa penulis menggunakan istilah staf untuk menggantikan istilah bawahan, tetapi
praktik ini mengakibatkan kebingungan yang tidak perlu. Staf memiliki konotasi jenis khusus
posisi penasihat dan banyak bawahan bukanlah staf penasihat

Istilah rekanan (associates) menjadi populer pada kalangan organisasi bisnis sebagai
pengganti lain dari istilah bawahan. Ini dikarenakan istilah rekanan memperlihatkan hubungan
yang di situ karyawan dihargai dan diberdayakan. Namun, istilah yang tidak jelas ini gagal
membedakan antara hubungan wewenang langsung dan jenis hubungan formal lainnya (seperti
rekan sebaya dan rekanan/partner). Agar komunikasinya menjadi jelas, buku ini menggunakan
istilah bawahan untuk menunjukkan hubungan wewenang yang formal.

Istilah pengikut (follower) digunakan untuk menjelaskan orang yang mengakui


pemimpin sebagai sumber utama yang memberikan pedoman kerja, tanpa melihat seberapa besar
wewenang formal yang dimiliki oleh pemimpin itu. Tidak seperti isitilah bawahan, istilah
pengikut tidak mencegah adanya proses kepemimpinan yang dapat terjadi meskipun tanpa
keberadaan hubungan wewenang formal. Istilah pengikut juga mencakup orang yang tidak harus
melapor langsung (seperti teman sekerja, anggota tim, rekanan, orang luar). Tetapi, istilah
pengikut tidak digunakan untuk menggambarkan bawahan yang sepenuhnya menolak pemimpin
formalnya dan berusaha mengeluarkan orang itu dari kantor. Orang seperti ini disebut sebagai
"pemberontak (rebels)" atau "pengacau (insurgents)."

Indikator Keefektifan Kepemimpinan

Seperti definisi kepemimpinan, konsep keefektifan pemimpin juga berbeda antara pakar
yang satu dan pakar lainnya. Kriteria yang dipilih untuk mengevaluasi keefektifan
kepemimpinan mencerminkan konsep kepemimpinan si peneliti, baik konsep yang eksplisit
maupun implisit Sebagian besar peneliti mengevaluasi keefektifan kepemimpinan menurut
konsekuensi dari pengaruh pada individu, pada tim atau grup, atau pada organisasi. Salah satu
indikator umum keefektifan pemimpin adalah hingga sejauh mana kinerja tim atau unit
organisasi itu meningkat dan sejauh mana pencapaian tujuan difasilitasi. Contoh ukuran
kinerja yang objektif mencakup volume penjualan, laba bersih, margin laba, pangsa pasar,
pengembalian atas investasi, pengembalian atas aset, produktivitas, biaya per unit output, biaya
yang berkaitan dengan pengeluaran yang dianggarkan, dan perubahan nilai saham perusahaan.
Sedangkan ukuran subjektifnya mencakup nilai yang didapat dari atasan, rekan sebaya, atau
bawahan pemimpin itu. Sikap dan persepsi para pengikut terhadap pemimpin adalah
indikator umum lain keefektifan pemimpin, dan hal tersebut biasanya diukur dengan
kuesioner atau wawancara. Seberapa baik pemimpin tersebut memenuhi kebutuhan dan harapan
pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai, menghormati, dan mengagumi pemimpinnya?
Apakah mereka memercayai pemimpin dan menganggap mereka memiliki integritas yang
tinggi? Apakah pengikut benar- benar mau mengerjakan keinginan pemimpin atau apakah
mereka akan menolak, mengabaikan, atau menyingkirkan pemimpinnya? Apakah pemimpin
memperbaiki kualitas kehidupan kerja, membangun keyakinan diri pengikut, meningkatkan
keterampilan mereka, dan berperan serta dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis
pengikut. Sikap, persepsi, dan keyakinan pengikut juga menjadi indikator tidak langsung
dari ketidakpuasan dan permusuhan terhadap pemimpin. Contoh indikator ini adalah
ketidakhadiran, keluarnya karyawan atas keinginan pribadi, sikap yang murung, keluhan pada
manajemen yang lebih tinggi, permintahan untuk pindah, ritme kerja yang melambat, dan
sabotase yang disengaja terhadap peralatan dan fasilitas. Keefektifan pemimpin kadang-
kadang diukur dengan istilah kontribusi pemimpin pada kualitas proses grup yang
dirasakan oleh parapengikut atau pengamat dari luar. Apakah pemimpin mampu
meningkatkan kekompakan anggota grup, kerja sama anggota, komitmen anggota, dan
kepercayaan diri anggota bahwa grup itu dapat mencapai tujuannya? Apakah pemimpin
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan oleh grup dan
membantu mengatasi ketidaksepakatan dan konflik dengan cara yang positif? Apakah pemimpin
berkontribusi terhadap efesiensi pembagian peran, pengelompokan aktivitas, akumulasi sumber
daya, dan kesiapan grup menghadapi perubahan atau krisis? Jenis akhir kriteria keefektifan
kepemimpinan adalah batasan hingga sejauh mana seseorang memiliki karier yang sukses
sebagai pemimpin. Apakah orang itu cepat dipromosikkan ke posisi dengan otoritas yang lebih
tinggi? Apakah orang itu mengabdi hingga masa jabatannya berakhir dalam posisi
kepemimpinan atau apakah orang itu disingkirkan atau dipaksa untuk keluar? Untuk orang yang
menjadi pemimpin di organisasi karena dipilih, apakah pemimpin adalah orang yang sukses
dipilih kembali? Sulit untuk mengevalusi keefektifan pemimpin ketika terdapat banyak alternatif
ukuran keefektifan, dan tidak jelas ukuran mana yang paling relevan.

Berbagai kriteria biasanya menyulitkan ketika ukuran tersebut mempunyai korelasi


negatif. Korelasi negatif artinya terdapat pertukaran antar kriteria, yakni bila yang satu
naik yang lainnya menurun. Sebagai contoh, meningkatkan penjualan dan pangsa pasar
(misalnya dengan menurunkan harga dan menambah periklanan) terkadang menghasilkan laba
yang lebih rendah. Demikian pula, peningkatan output produksi (misalnya dengan mendorong
pegawai untuk bekerja lebih cepat) bisa mengurangi kualitas produksi atau kepuasan karyawan.

ANALISIS KEPEMIMPINAN TOKOH IGNASIUS JONAN

Ignasius Jonan ( lahir di Singapura, 21 Juni 1963; umur 56 tahun) adalah  Direktur


Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) tahun 2009 s.d. 2014. Ignasius Jonan
menjabat sebagai Direktur utama PT KAI (Persero) sesuai dengan penugasan pemerintah
melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN) yang dipimpin
oleh Menteri BUMN Sofyan Djalil, menggantikan Ronny Wahyudi yang menjabat
sejak September 2005 yang kemudian Ronny diangkat kembali oleh pemerintah sebagai anggota
Dewan Komisaris PT Industri Kereta Api (Inka). Kepemirnpinan yang tegas dibutuhkan untuk
rnereforrnasi BUMN sebesar KAI yang rnerniliki kultur dan sejarah panjang, dengan jurnlah
karyawan rnencapai lebih 27 ribu orang. Reforrnasi rnenjadi kebutuhan rnendesak untuk
rnernbangkitkan KAI, terutama di sektor manajernen dan keuangan. Sebagai profesional dari
luar KAI Jonan diyakini bisa rnereforrnasi KAI. Jonan merupakan akuntan lulusan Universitas
Airlangga yang kemudian melanjutkan ke Master of Art Program in International Affairs di The
Fletcher School, Tufts University. Ia juga mengikuti berbagai program pendidikan di
universitasuniversitas terbaik dunia, yaitu Columbia Business School, program Senior Managers
in Government di Kennedy School of Government, Harvard University, dan program Corporate
Governance di Stanford Law School, Stanford University.

Disini saya dapat menganalisis keefektifan Kepemimpin Ignasius Jonan sebagai Direktur
Utama PT KAI melalui ukuran kinerja yang objektif mencakup volume penjualan (laba) yang
sebelumnya terjadi masalah terhadap kinerja keuangan pada tahun 2007 hingga 2008 , PT KAI
memiliki kerugian 38,6 miliar lalu melonjak hingga lebih seratus persen menjadi Rp 82,6 miliar
Ignasius jonan melakukakan penyelamatan quick wins, untuk mencegah pendarahan keuangan
lebih parah. Hasilnya, dari rugi Rp 82,6 miliar tahun 2008 KA meraup laba bersih Rp 155 miliar
di tahun 2009. Selanjutnya kondisi keuangan dan kesehatan perusahaan terus membaik. Tahun
2007 dan 2008 kondisi kesehatan perusahaan adalah BBB alias kurang sehat. Sejak tahun 2009
Jonan berhasil merubah PT KAI masuk kategori BUMN sehat dengan peringkat A.

Keefektifan kepemimpinan Ignasius Jonan juga dapat dilihat dari kontribusi yang
dilakukan jonan dengan cara menempatkan peningkatan kualitas pelayanan sebagai prioritas,
bersama keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu sebagai empat pilar utama pembenahan
PT Kereta Api. Jonan menyadari sepenuhnya pilihan prioritas ini bukan sesuatu yang mudah
untuk diwujudkan. Sebagai contoh aspek pelayanan. Aspek mendasar dari sebuah service
company itu sudah terlalu lama diabaikan. Yang paling mudah diingat dan sudah melekat di
benak publik adalah pemandangan angkutan masal itu di saat peak season seperti hari raya Idul
Fitri. Arus mudik maupun arus balik. Penumpang berjubel di peron dan mang tunggu,
berdesakan di pintu rangkaian kereta, dan berhimpitan di dalam kereta, adalah pemandangan
yang dianggap sudah lumrah di setiap pelaksanaan angkutan lebaran setiap tahun.

selama dua bulan, Jonan menyimpulkan pembenahan pertama dan terutama adalah
mental karyawan. Jonan melihat kenyataan yang ironis, bahwa pelayanan publik KAI tidak
didukung oleh sumber daya manusia yang paham bagaimana fungsi melayani dijalankan dengan
baik. Mental dan semangat melayani sangat rendah, bahkan bisa dibilang nyaris tidak ada.
Mereka lebih sigap menyiapkan pesta penyambutan pejabat bam dibanding melayani penumpang
dengan baik. Sudah terbangun mental yang kelim, bahwa yang menentu kan karier mereka
adalah seberapa baik mereka melayani pimpinan, bukan seberapa baik melayani pelanggan. Di
kalangan mereka berkembang adagium "USA", kependekan dari Untuk Saya Apa. Artinya
mereka tidak berpikir apa yang terbaik untuk perusahaan dan pengguna jasa kereta api, tapi apa
yang terbaik untuk diri sendiri. Mental seperti itulah yang perlahan-lahan dikikis oleh Jonan dan
jajaran direksi baru.

Orientasi karyawan diubah dari product oriented menjadi customer oriented. Caranya,
dengan keteladanan pemimpin, kesediaan pemimpin untuk setiap saat terjun ke lapangan,
peningkatan kesejahteraan, reward and punishment yang konsisten dan transparan, dan mengirim
sebanyak mungkin karyawan untuk belajar ke luar negeri. Langkah kedua, pembenahan
menyangkut penegakan disiplin dan good corporate governance (GCG). Jonan berprinsip ketika
dua pembenahan itu bisa terlaksanan, aspek-aspek yang lain akan mengikuti. Jonan sadar
sepenuhnya perubahan tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak bisa dalam tempo singkat
terlihat hasilnya. Tantangan yang dihadapi pun tidak ringan, dari dalam dan dari luar. Tapi dia
juga tidak ingin perubahan itu berlangsung terlalu lama. Dia tidak sedang melakukan revolusi,
melainkan evolusi yang terarah dan terencana, dengan target yang terukur dan menunjukkan
improvement yang berkesinambungan. Evolusi ala Ignasius Jonan itu kini sudah membuahkan
hasil. Hari Raya Idul Fitri 2012 menjadi saksi atas buah dari evolusi yang telah berlangsung
simultan sejak 2009 itu. Pada rentang Angkutan Lebaran 2012 tidak ada lagi penumpang
berjejal, berdesakan, berhimpitan di peron, ruang tunggu, di pintu masuk kereta, dan di dalam
rangkaian kereta api. Semua mendapat tempat duduk. Stasiun bersih, rapi, dan nyaman. Toilet di
stasiun dan di setiap rangkaian kereta bersih dan wangi.
DAFTAR PUSTAKA

Djuraid M H. (2013). Jonan & Evolusi Kereta Api Indonesia, BUMN Track, Jakarta

Gary A. Yukl., Leadership in Organizations (8th Edition), Pearson Education

Anda mungkin juga menyukai