Anda di halaman 1dari 15

“Ciri dan Keterampilan Pemimpin”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan


Dosen Pengampu :
Dr. Made Surya Putra, S.E.,M.Si.

DISUSUN OLEH :
Anak Agung Ayu Intan Kusuma Wardani ( 1707521074)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KEPRIBADIAN KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF

Aspek kepribadian yang paling relevan untuk kepemimpinan yang efektif oleh para manajer
dan administrator di organisasi besar yaitu :

a. Tingkat Energi dan Toleransi terhadap tekanan

Penelitian sifat menemukan bahwa tingkat energi, stamina fisik, dan toleransi terhdap
tekanan dikaitkan dengan efektivitas manajerial (Bass, 1990; Howard & Bray, 1988). Tingkat
energi yang tinggi dan toleransi terhadap tekanan membantu manajer mengatasi laju kesibukan,
jam kerja yang panjang, dan tuntutan yang tak henti-hentinya dari sebagian besar pekerjaan
manajerial. Vitalitas fisik dan ketahanan emosi membuatnya lebih mudah untuk mengatasi
situasi antar pribadi yang penuh tekanan, seperti bos yang suka menghukum, bawahan yang
bermasalah, rekan yang tidak kooperatif atau bekerja sama, atau klien yang bermusuhan.
Pemecahan masalah yang efektif membutuhkan kemampuan untuk tetap tenang dan tetap fokus
pada masalah daripada panik, menyangkal ada masalah, atau berusaha mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.

Pekerjaan manajerial sering memiliki tingkat tekanan yang tinggi karena tekanan untuk
membuat keputusan penting tanpa informasi yang memadai dan kebutuhan untuk menyelesaikan
konflik peran dan memenuhi tuntutan yang tidak sesuai yang dibuat oleh berbagai pihak.
Toleransi terhadap tekanan sangat penting bagi para manajer yang harus menghadapi situasi
yang tidak menguntungkan bagi reputasi dan karier pemimpin, atau kehidupan dan pekerjaan
bawahan berada dalam bahaya. Selain membuat keputusan yang lebih baik, seorang pemimpin
dengan toleransi terhdap tekanan dan ketenangan yang tinggi lebih cenderung untuk tetap tenang
dan memberikan arahan yang meyakinkan dan menentukan kepada bawahan dalam suatu krisis.

b. Kepercayaan Diri

Istilah kepercayaan diri didefinisikan secara umum untuk memasukkan beberapa konsep
terkait seperti harga diri dan kapasitas diri. Sebagian besar studi tentang kepercayaan diri atau
efikasi diri pemimpin menemukan bahwa itu berhubungan positif dengan efektivitas dan
kemajuan diri sendiri(lihat Bass, 1990).
Tanpa rasa percaya diri yang kuat, seorang pemimpin kecil kemungkinannya untuk
melakukan upaya mempengaruhi, dan jika upaya mempengaruhi dilakukan, kecil
kemungkinannya untuk berhasil. Pemimpin dengan kepercayaan diri yang tinggi lebih mungkin
untuk mencoba tugas-tugas sulit dan untuk menetapkan tujuan yang menantang bagi diri mereka
sendiri. Pemimpin percaya diri mengambil lebih banyak inisiatif untuk memecahkan masalah
dan memperkenalkan perubahan yang diinginkan (Paglis & Green, 2002). Pemimpin yang
memiliki harapan tinggi untuk diri mereka sendiri cenderung memiliki harapan yang tinggi untuk
bawahan juga (Kouzes & Posner, 1987). Para pemimpin ini lebih gigih dalam mengejar tujuan
yang sulit, meskipun ada masalah dan kemunduran pada awalnya . Optimisme dan kegigihan
mereka dalam upaya untuk menyelesaikan tugas atau misi cenderung meningkatkan komitmen
dari para bawahan, rekan kerja, dan atasan untuk mendukung upaya tersebut. Pemimpin dengan
kepercayaan diri cenderung lebih menentukan dalam masa krisis, dimana pemimpin memiliki
pengetahuan dan keberanian yang diperlukan untuk menangani krisis secara efektif. Akhirnya,
kepercayaan diri berkaitan dengan pendekatan yang berorientasi tindakan untuk menangani
masalah. Pemimpin dengan kepercayaan diri rendah lebih cenderung menunda berurusan dengan
masalah yang sulit atau akan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain (Kipnis & Lane,
1962).

Ada beberapa keuntungan yang jelas dari memiliki rasa percaya diri, tetapi jika menjadi
berlebihan beberapa perilaku disfungsional dapat terjadi. Kepercayaan diri yang berlebihan
dapat membuat seorang pemimpin terlalu optimis tentang kemungkinan keberhasilan suatu usaha
yang berisiko, dan itu dapat mengakibatkan keputusan yang terburu-buru dan penolakan bukti
bahwa suatu rencana cacat. Seorang manajer dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi
cenderung menjadi arogan, otokratis, dan tidak toleran terhadap perbedaan pendapat, terutama
jika manajer tersebut tidak matang secara emosional. Sikap arogansi dan sok tahu yang terkait
dengan rasa percaya diri yang berlebihan memiliki efek samping negatif lainnya. Manajer yang
arogan akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan hubungan kerja sama dengan orang-
orang yang tidak bergantung pada keahlian khusus manajer. Bertindak arogan terhadap orang-
orang yang memiliki keahlian lebih dari manajer dapat menciptakan musuh yang mampu
menggagalkan karier manajer.

c. Pusat Kendali Internal (Internal Locus Of Control)


Ciri lain yang tampaknya relevan dengan efektivitas manajerial disebut orientasi pusat
kendali internal, yang diukur dengan skala kepribadian yang dikembangkan oleh Rotter (1966).
Orang-orang dengan orientasi pusat kendali internal yang kuat (disebut "internal") percaya
bahwa peristiwa dalam kehidupan mereka lebih ditentukan oleh tindakan mereka sendiri
daripada oleh kekuatan kebetulan atau tidak terkendali. Sebaliknya, orang-orang dengan orientasi
kontrol eksternal yang kuat (disebut "eksternal") percaya bahwa peristiwa sebagian besar
ditentukan oleh kebetulan atau nasib dan mereka tidak dapat berbuat banyak untuk memperbaiki
kehidupan mereka. Karena orang internal percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi nasib
mereka sendiri, mereka mengambil lebih banyak tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri
dan untuk kinerja organisasi mereka. Internal memiliki perspektif yang lebih berorientasi masa
depan, dan mereka lebih cenderung merencanakan secara proaktif bagaimana mencapai tujuan.
Mereka mengambil lebih banyak inisiatif daripada para eksternal dalam menemukan dan
memecahkan masalah. Mereka yakin akan kemampuan mereka untuk memengaruhi orang dan
lebih cenderung menggunakan bujukan daripada taktik yang mempengaruhi dengan cara paksaan
(Goodstadt & Hjelle, 1973). Mereka lebih fleksibel, adaptif, dan inovatif dalam menanggapi
masalah dan strategi manajemen mereka (Miller, Kets de Vries, & Toulouse, 1982). Ketika
terjadi kemunduran atau kegagalan, mereka lebih cenderung belajar dari hal tersebut daripada
menganggapnya sebagai nasib buruk.

d. Kestabilan dan Kematangan Emosi

Istilah kematangan emosi (emotional maturity) dapat didefinisikan secara luas agar
mencakup berbagai motif, ciri, dan nilai yang saling berhubungan. Seseorang yang matang emosi
dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat.
Orang yang matang emosi memiliki kesadaran yang lebih tepat mengenai kekuatan dan
kelemahan mereka, dan mereka berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya menolak adanya
kelemahan dan memfantasikan keberhasilan. Orang dengan kematangan emosi yang tinggi tidak
terlalu egosentris (mereka lebih memerhatikan orang lain), mereka lebih banyak memiliki
kendali terhadap diri sendiri (tidak impulsif, lebih stabil untuk melawan godaan yang hedonistis),
memiliki lebih banyak emosi yang stabil (tidak mudah berpindah dari keadaan jiwa yang ekstrem
atau sentakan kemarahan), dan mereka tidak terlalu bersikap defensif (mereka lebih dapat
menerima kritik, lebih bersedia belajar dari pengalaman). Besar kemungkinannya bahwa orang
demikian juga berada pada tingkat perkembangan moral kognisi yang tinggi. Hasilnya, para
pemimpin dengan kematangan emosi yang tinggi memiliki hubungan yang lebih kooperatif
dengan para bawahan, rekan sejawat, dan atasan.

e. Motivasi Kekuasaan

Seseorang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi senang memengaruhi orang dan
peristiwa serta lebih mungkin mencari posisi yang memiliki otoritas. Manajer dalam organisasi
besar harus menggunakan kekuatan untuk memengaruhi bawahan, rekan kerja, dan atasan.
Orang-orang yang kurang membutuhkan kekuasaan biasanya tidak memiliki keinginan dan
ketegasan yang diperlukan untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan kelompok, untuk
menegosiasikan perjanjian yang menguntungkan, untuk melobi sumber daya yang diperlukan,
untuk mengadvokasi dan mempromosikan perubahan yang diinginkan, dan untuk memaksakan
disiplin yang diperlukan.

f. Integritas Pribadi

Integritas berarti bahwa perilaku seseorang konsisten dengan nilai-nilai yang dianut, dan
orang itu jujur, etis, dan dapat dipercaya. Integritas adalah penentu utama kepercayaan
antarpribadi. Kecuali seseorang dianggap dapat dipercaya, sulit untuk mempertahankan kesetiaan
pengikut atau untuk mendapatkan kerja sama dan dukungan dari teman sebaya dan atasan

Salah satu indikator penting integritas adalah sejauh mana seseorang jujur dan dapat
dipercaya. Para pemimpin kehilangan kredibilitas ketika orang-orang menemukan bahwa mereka
telah berbohong atau membuat klaim yang sangat menyimpang. Indikator integritas lainnya
adalah kemampuan menepati janji. Orang-orang enggan untuk menegosiasikan perjanjian dengan
seorang pemimpin yang tidak dapat dipercaya untuk menepati janji. Indikator integritas ketiga
adalah sejauh mana seorang pemimpin memenuhi tanggung jawab pelayanan dan kesetiaan
kepada para pengikut. Kepercayaan pengikut akan hilang jika mereka menemukan pemimpin
yang telah mengeksploitasi atau memanipulasi mereka untuk mengejar kepentingan pribadi.

g. Narsisisme

Narsisme adalah sindrom kepribadian yang mencakup beberapa sifat yang relevan dengan
kepemimpinan yang efektif, seperti kebutuhan luar biasa akan harga diri (misalnya, prestise,
status, perhatian, kekaguman, pujian), kebutuhan pribadi yang kuat akan kekuasaan, serta
kematangan emosi dan integritas rendah. Mereka memiliki perasaan yang berlebihan mengenai
pentingnya diri mereka dan bakat unik yang mereka miliki. Untuk mendukung penipuan diri
tersebut, mereka mencari perhatian dan kekaguman dari orang lain.

Karena mereka begitu sibuk dengan kebutuhan ego mereka sendiri, para penganut narsisme
ini hanya memiliki sedikit empati atau kepedulian terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
Mereka mengharapkan bantuan khusus dari orang lain tanpa merasa perlu membalasnya.
Narsisme dapat menjadi menarik dan bermanfaat ketika mereka ingin mengesankan seseorang
yang penting, tetapi mereka cenderung agresif dan kejam dengan orang-orang yang memiliki
sedikit kekuatan, terutama seseorang yang menentang mereka atau berdiri di jalan mereka.
Contoh berikut menggambarkan manajer narsis:

Dia sangat berbakat dalam menangani masalah teknis, tetapi hasil yang luar biasa dicapai
dengan biaya yang mengerikan bagi orang lain. Dia murung, mudah marah, dan sama sekali
tidak memiliki kepekaan, kebaikan, atau kesabaran. Setiap bawahan yang melakukan kesalahan
serius dikritik keras di depan orang lain dengan komentar pedas atau pertanyaan seperti,
"Bagaimana kamu bisa sebodoh itu?" Dia tidak mentolerir perbedaan pendapat, dan bawahan
takut menyarankan perubahan yang akan membuat unit lebih efektif. Ironisnya, dia bisa menarik
dan menyenangkan ketika itu sesuai dengan tujuannya, yang biasanya ketika berinteraksi dengan
manajemen puncak.

h. Berorientasi pada pencapaian

Orientasi pencapaian mencakup serangkaian kebutuhan dan nilai yang terkait: kebutuhan
untuk pencapaian, kesediaan untuk memikul tanggung jawab, orientasi kinerja, dan kepedulian
terhadap tujuan tugas. Banyak penelitian telah dilakukan pada hubungan orientasi pencapaian
dengan kemajuan dan efektivitas manajerial (lihat Bass, 1990).

Penelitian mengenai perilaku yang berhubungan dengan orientasi pencapaian masih amat
terbatas, namun kelihatannya terdapat beberapa hubungan. Dibandingkan dengan para manajer
dengan orientasi pencapain yang rendah, para manajer dengan orientasi pencapaian yang tinggi
kemungkinan akan memiliki perhatian yang tinggi terhadap tujuan tugas, lebih bersedia
menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan tugas, lebih
besar kemungkinannya akan mengambil inisiatif dalam menemukan masalah tersebut dan
bertindak tegas untuk memecahkannya, serta lebih menyukai pemecahan dengan risiko sedang
daripada solusi yang terlalu berisiko. Para manajer ini lebih besar kemungkinannya terlibat
dalam perilaku tugas seperti menetapkan sasaran dan tenggat waktu yang menantang tetapi
realistis, mengembangkan pekerjaan. Sebaliknya, manajer dengan orientasi pencapain yang
rendah tidak termotivasi untuk mencari kesempatan atau sasaran yang menantang dan tidak
terlalu bersedia mengambil inisiatif untuk mengenali masalah maupun memecahkan masalah
tersebut,

i. Kebutuhan akan Afiliasi (Need for Affiliation)

Para manajer ini lebih mementingkan hubungan interpersonal dari pada tugas, dan mereka
tidak mau membiarkan pekerjaan mengganggu hubungan harmonis (Litwin & Stringer, 1966;
McClelland, 1975). Mereka berusaha menghindari konflik atau memperhalusnya alih-alih
menghadapi perbedaan yang nyata. Mereka memberikan imbalan dengan cara yang dirancang
untuk mendapatkan persetujuan, daripada menghargai kinerja yang efektif. Kebutuhan yang
sangat rendah untuk afiliasi juga dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Seseorang
dengan kebutuhan rendah untuk berafiliasi cenderung menjadi "penyendiri" yang tidak suka
bersosialisasi dengan orang lain, kecuali mungkin keluarga dekat atau beberapa teman dekat.
Tipe orang ini mungkin kurang memiliki motivasi untuk terlibat dalam banyak aktivitas
hubungan sosial dan hubungan masyarakat yang penting bagi seorang manajer, termasuk yang
terlibat dalam membangun hubungan interpersonal yang efektif dengan bawahan, atasan, dan
rekan kerja. Akibatnya, tipe orang ini mungkin gagal mengembangkan keterampilan
interpersonal yang efektif dan mungkin kurang percaya diri untuk dapat mempengaruhi orang
lain. Dengan demikian, kemungkinan tingkat motivasi afiliasi yang optimal adalah cukup rendah
daripada tinggi atau sangat rendah.

KETERAMPILAN DAN KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF

Penelitian awal tentang karakteristik pemimpin mengidentifikasi beberapa keterampilan


yang terkait dengan kemajuan dan efektivitas pemimpin. Tiga kategori keterampilan luas yang
telah didefinisikan di bab ini akan digunakan untuk mengelompokkan temuan tentang jenis
keterampilan tertentu.
1. Keterampilan teknis

Keterampilan teknis mencakup pengetahuan tentang metode, proses, dan peralatan untuk
melakukan kegiatan khusus dari unit organisasi manajer. Keterampilan teknis juga mencakup
pengetahuan faktual tentang organisasi (aturan, struktur, sistem manajemen, karakteristik
karyawan), dan pengetahuan tentang produk dan layanan organisasi (spesifikasi teknis, kekuatan,
dan pembatasan). Jenis pengetahuan ini diperoleh dengan kombinasi pendidikan formal,
pelatihan, dan pengalaman kerja. Manajer yang efektif dapat memperoleh informasi dan ide-ide
dari banyak sumber dan menyimpannya dalam memori mereka untuk digunakan ketika mereka
membutuhkannya.

Manajer yang mengawasi pekerjaan orang lain membutuhkan pengetahuan luas tentang
teknik dan peralatan yang digunakan oleh bawahan untuk melakukan pekerjaan itu. Pengetahuan
teknis tentang produk dan proses diperlukan untuk merencanakan dan mengatur operasi kerja,
untuk mengarahkan dan melatih bawahan dengan kegiatan khusus, melakukan penilaian dan
mengevaluasi kinerja mereka. Keahlian teknis digunakan untuk menangani gangguan dalam
pekerjaan yang disebabkan oleh kerusakan peralatan, kualitas yang tidak sempurna, kecelakaan,
bahan yang tidak cukup, dan masalah koordinasi.

2. Keterampilan Konseptual

Keterampilan konseptual sangat penting untuk perencanaan, pengorganisasian, dan


pemecahan masalah yang efektif. Keterampilan Konseptual adalah kemampuan manajer untuk
melihat keseluruhan organisasi sebagai suatu entitas yang lengkap. Keterampilan Konseptual ini
meliputi pemahaman tentang kerjasama setiap unit kerja dalam organisasi beserta pemahaman
tentang ketergantungan satu unit kerja dengan unit kerja lainnya, perubahan pada suatu unit kerja
juga akan mempengaruhi unit kerja atau bagian lainnya.Seorang manajer perlu memahami
bagaimana berbagai bagian organisasi saling berhubungan dan bagaimana perubahan dalam satu
bagian sistem mempengaruhi bagian yang lain. Manajer juga harus dapat memahami bagaimana
perubahan dalam lingkungan eksternal akan memengaruhi organisasi. Keterampilan ini meliputi
pemahaman tentang hubungan antar institusi, industri dan masyarakat serta pemahaman tentang
pengaruh faktor-faktor politik, sosial dan kondisi ekonomi suatu negara terhadap bisnis
perusahaannya. Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, seorang manajer dapat memahami
kondisi bisnis secara keseluruhan dan mengambil tindakan yang tepat untuk kesuksesan
organisasinya.

3. Keterampilan interpersonal

Keterampilan interpersonal (atau sosial) meliputi pengetahuan tentang perilaku manusia


dan proses kelompok, kemampuan untuk memahami perasaan, sikap, dan motif orang lain, dan
kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan persuasive. Keterampilan ini akan
memungkinkan para manajer untuk menjadi pemimpin dan memotivasi karyawannya untuk
mendapatkan prestasi kerja yang lebih baik. Selain itu, para Manajer juga harus dapat
memanfaatkan potensi karyawannya secara efektif di perusahaan.Komunikasi juga merupakan
salah satu bagian yang terpenting dalam Keterampilan ini. Komunikasi yang baik dan efektif
akan memberikan dampak positif terhadap karir manajer yang bersangkutan dan juga dalam
pencapain tujuan organisasi.

KOMPETENSI MANAJERIAL

Meskipun kompetensi umumnya dianggap sebagai keterampilan, mereka biasanya


melibatkan kombinasi keterampilan tertentu dan sifat yang saling melengkapi. Kompetensi
sering digunakan untuk menggambarkan atribut yang diinginkan untuk manajer di perusahaan
atau profesi tertentu, tetapi beberapa sarjana telah mengusulkan kompetensi yang secara umum
relevan untuk manajer. Contohnya termasuk kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan
kemampuan belajar.

1. Kecerdasan emosional

Emosi adalah perasaan kuat yang menuntut perhatian dan cenderung memengaruhi proses
dan perilaku kognitif. Beberapa contoh emosi termasuk kemarahan, ketakutan, kesedihan,
kegembiraan, rasa malu, rasa terkejut dan rasa cinta. Bahkan setelah intensitas emosi memudar,
kemungkinan untuk berlama-lama sebagai suasana positif atau negatif, yang juga dapat
mempengaruhi perilaku kepemimpinan (George, 1995). Kecerdasan emosional mencakup
beberapa keterampilan komponen yang saling terkait. Empati adalah kemampuan untuk
mengenali suasana hati dan emosi pada orang lain, untuk membedakan antara ekspresi emosi
yang asli dan salah, dan untuk memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap emosi dan
perilaku Anda. Pengaturan diri (self-regulation) adalah kemampuan untuk menyalurkan emosi ke
dalam perilaku yang sesuai untuk situasi tersebut, daripada merespons dengan perilaku impulsif
(mis., Menyerang seseorang yang membuat Anda marah, atau menarik diri ke dalam keadaan
depresi setelah mengalami kekecewaan). Kesadaran diri (self-awareness) adalah pemahaman
tentang suasana hati dan emosi seseorang, bagaimana suasana hati itu berubah dari waktu ke
waktu, dan implikasi suasana hati itu pada kinerja tugas dan hubungan antarpribadi. Aspek lain
dari kecerdasan emosional yang membutuhkan kesadaran diri dan keterampilan komunikasi
adalah kemampuan untuk secara akurat mengungkapkan perasaan seseorang kepada orang lain
dengan bahasa dan komunikasi nonverbal (mis., Ekspresi wajah, gerak tubuh).

2. Kecerdasan Sosial

Kecerdasan sosial didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan persyaratan


kepemimpinan dalam situasi tertentu dan memilih respons yang tepat (Cantor & Kihlstrom,
1987; Ford, 1986; Zaccaro, Gilbert, Thor & Mumford, 1991). Kedua komponen utama
kecerdasan sosial adalah pemahaman sosial (social perceptiveness) dan fleksibilitas perilaku
(behavioral flexibility).

Pemahaman sosial adalah kemampuan untuk memahami kebutuhan, masalah, dan kesem
patan fungsional yang relevan bagi grup atau organisasi tertentu, dan karakteristik anggota,
hubungan sosial, dan proses kolektif yang akan memperkuat atau membatasi upaya
memengaruhi grup atau organisasi. Pemimpin dengan pemahaman sosial yang tinggi memahami
apa yang harus dilakukan agar membuat grup atau organisasi menjadi lebih efektif dan
memahami cara melakukannya. Pemahaman sosial melibatkan keterampilan antarpribadi
(misalnya, empati, sensitivitas sosial, pemahaman akan proses grup) dan pengetahuan tentang
organisasi (struktur, budaya, hubungan kekuasaan), yang bersama-sama menentukan apakah hal
itu layak untuk memulai perubahan dan bagaimana cara terbaik melakukannya.

Fleksibilitas perilaku adalah kemampuan dan kesediaan untuk memvariasikan perilaku


seorang untuk mengakomodasi tuntutan situasi. Pemimpin dengan fleksibilitas perilaku yang
tinggi mengetahui cara menggunakan beragam perilaku yang berbeda dan mampu mengevaluasi
perilakunya sendiri dan memodifikasinya sesuai kebutuhan.

3. Kemampuan belajar
Dalam lingkungan yang bergejolak di mana organisasi harus terus beradaptasi,
berinovasi, dan menemukan kembali diri mereka sendiri, para pemimpin harus cukup fleksibel
untuk belajar dari kesalahan, mengubah asumsi dan keyakinan mereka, dan memperbaiki model
mental mereka. Salah satu kompetensi terpenting untuk kepemimpinan yang sukses dalam situasi
yang berubah adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan beradaptasi dengan
perubahan (Argyris, 1991; Dechant, 1990; Marshall-Mies et al., 2000; Mumford & Connelly,
1991). Kompetensi ini berbeda dari keterampilan konseptual lainnya (mis., Pemikiran verbal,
pemikiran kreatif) dan dari keterampilan sosial. Ini melibatkan "mempelajari caranya belajar,"
yang merupakan kemampuan menganalisi proses kognisi anda sendiri dengan introspeksi (mis.,
Cara Anda mendefinisikan dan memecahkan masalah) dan menemukan cara untuk
memperbaikinya. Keterampilan ni juga melibatkan kesadaran diri, yang merupakan pemahaman
tentang kekuatan dan keterbatasan Anda sendiri (termasuk keterampilan dan emosi).

Kemampuan belajar dari pengalaman dan beradaptasi dengan perubahan mungkin


melibatkan ciri-ciri serta keterampilan (Spreitzer, McCall, & Mahoney, 1997). Ciri-ciri ini
terlihat sama dengan orientasi pencapaian, stabilitas emosi, pemantauan diri, dan orientasi
orientasi pusat kendali internal. Manajer dengan sifat-sifat ini termotivasi untuk mencapai
keunggulan; mereka memiliki keyakinan dan rasa ingin tahu untuk bereksperimen dengan
pendekatan baru; dan mereka secara aktif mencari umpan balik tentang kekuatan dan kelemahan
mereka sendiri.

ANALISIS KETRAMPILAN KEPEMIMPINAN IGNASIUS JONAN


Ignasius Jonan ( lahir di Singapura, 21 Juni 1963; umur 56 tahun) adalah  Direktur
Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) tahun 2009 s.d. 2014. Ignasius Jonan
menjabat sebagai Direktur utama PT KAI (Persero) sesuai dengan penugasan pemerintah
melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN). Kepemimpinan yang tegas
dibutuhkan untuk rnereforrnasi BUMN sebesar KAI yang rnerniliki kultur dan sejarah panjang,
dengan jurnlah karyawan rnencapai lebih 27 ribu orang. Reformasi rnenjadi kebutuhan
rnendesak untuk rnembangkitkan KAI, terutama di sektor manajemen dan keuangan. Sebagai
profesional dari luar KAI Jonan diyakini bisa rnereformasi KAI. Jonan merupakan akuntan
lulusan Universitas Airlangga yang kemudian melanjutkan ke Master of Art Program in
International Affairs di The Fletcher School, Tufts University. Ia juga mengikuti berbagai
program pendidikan di universitas universitas terbaik dunia, yaitu Columbia Business School,
program Senior Managers in Government di Kennedy School of Government, Harvard
University, dan program Corporate Governance di Stanford Law School, Stanford University.

Saya mengalisis keterampilan kepemimpinan yang dimiliki Ignasius Jonan sebagai


Direktur utama PT KAI (Persero) dapat di identifikasikan melalui 3 keterampilan yaitu :

1. Keterampilan teknis

Ignasius Jonan melakukan perubahan pada PT KAI melalui Teknologi , Selama bertahun-
tahun manajemen KAI mencanangkan perang melawan calo. Caranya dengan menggandeng
aparat keamanan dan mengimbau penumpang agar tidak membeli tiket dari calo. Penumpang
diminta melapor ke petugas jika menjumpai calo beroperasi di stasiun. Spanduk imbauan
dipasang di berbagai sudut. Nyatanya "manajemen perang" seperti itu tidak mempan
memberantas calo. Para calo masih bebas berkeliaran, pembelian tiket terkonsentrasi di loket
stasiun, dan adanya oknum KAI yang kongkalikong dengan para calo. Ignasius Jonan pun
mencanangkan perang serupa, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Beliau menanfaatkan
secara maksimal teknologi informasi (TI) sehingga penjualan tiket tidak terkonsentrasi di stasiun.
KAI menjalin kerja sama dengan PT Pos, Alfamart, dan Indomaret sehingga calon penumpang
bisa membeli tiket di mana saja. Pemanfaatan TI disertai dengan kebijakan one seat one
passenger dan boarding system yang mewajibkan nama penumpang sesuai antara yang tertera di
tiket dan di kartu identitas. Pendekatan ini ternyata efektif membuat para calo mati kutu.
Teknologi telah mengusir calo dari stasiun. Stasiun-stasiun menjadi tertib dan nyaman, begitu
juga dengan perjalanan kereta api.

2. Keterampilan konseptual

Pemasalahan kereta api sebelum tahun 2009 amat berat. Bermasalah mulai dari aspek
bisnis, kualitas sarana dan prasarana yang terus menurun, kualitas pelayanan yang rendah, serta
regulasi yang tidak sepenuhnya mendukung pengembangan transportasi massal kereta api
sehingga kinerja operasional tidak maksimal. Jonan mengawali dengan mengungkapkan tiga
mimpinya sebagai CEO tentang PT KAI masa depan yaitu : Better service for customers at
affordable price , Better logistic participation, Sustainable and adaptable organization . Dengan
kata lain, KAI harus terus bergerak ke depan.

Jonan menempatkan peningkatan kualitas pelayanan sebagai prioritas, bersama


keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu sebagai empat pilar utama pembenahan PT
Kereta Api. Jonan menyadari sepenuhnya pilihan prioritas ini bukan sesuatu yang mudah untuk
diwujudkan. Sebagai contoh aspek pelayanan. Aspek mendasar dari sebuah service company itu
sudah terlalu lama diabaikan. Yang paling mudah diingat dan sudah melekat di benak publik
adalah pemandangan angkutan masal itu di saat peak season seperti hari raya Idul Fitri. Arus
mudik maupun arus balik. Penumpang berjubel di peron dan mang tunggu, berdesakan di pintu
rangkaian kereta, dan berhimpitan di dalam kereta, adalah pemandangan yang dianggap sudah
lumrah di setiap pelaksanaan angkutan lebaran setiap tahun.

Selama dua bulan, Jonan menyimpulkan pembenahan pertama dan terutama adalah
mental karyawan. Jonan melihat kenyataan yang ironis, bahwa pelayanan publik KAI tidak
didukung oleh sumber daya manusia yang paham bagaimana fungsi melayani dijalankan dengan
baik. Mental dan semangat melayani sangat rendah, bahkan bisa dibilang nyaris tidak ada. Di
kalangan mereka berkembang adagium "USA", kependekan dari Untuk Saya Apa. Artinya
mereka tidak berpikir apa yang terbaik untuk perusahaan dan pengguna jasa kereta api, tapi apa
yang terbaik untuk diri sendiri. Mental seperti itulah yang perlahan-lahan dikikis oleh Jonan dan
jajaran direksi baru.

Orientasi karyawan diubah dari product oriented menjadi customer oriented. Caranya,
dengan keteladanan pemimpin, kesediaan pemimpin untuk setiap saat terjun ke lapangan,
peningkatan kesejahteraan, reward and punishment yang konsisten dan transparan, dan mengirim
sebanyak mungkin karyawan untuk belajar ke luar negeri. Langkah kedua, pembenahan
menyangkut penegakan disiplin dan good corporate governance (GCG). Jonan berprinsip ketika
dua pembenahan itu bisa terlaksanan, aspek-aspek yang lain akan mengikuti. Jonan sadar
sepenuhnya perubahan tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak bisa dalam tempo singkat
terlihat hasilnya. Tantangan yang dihadapi pun tidak ringan, dari dalam dan dari luar. Tapi dia
juga tidak ingin perubahan itu berlangsung terlalu lama. Dia tidak sedang melakukan revolusi,
melainkan evolusi yang terarah dan terencana, dengan target yang terukur dan menunjukkan
improvement yang berkesinambungan. Evolusi ala Ignasius Jonan itu kini sudah membuahkan
hasil. Hari Raya Idul Fitri 2012 menjadi saksi atas buah dari evolusi yang telah berlangsung
simultan sejak 2009 itu. Pada rentang Angkutan Lebaran 2012 tidak ada lagi penumpang
berjejal, berdesakan, berhimpitan di peron, ruang tunggu, di pintu masuk kereta, dan di dalam
rangkaian kereta api. Semua mendapat tempat duduk. Stasiun bersih, rapi, dan nyaman. Toilet di
stasiun dan di setiap rangkaian kereta bersih dan wangi.

3. Keterampilan Interpersonal

Ignasius jonan selalu menyempatkan untuk berbincang dengan para karyawan. Jonan bisa
menjadi bos yang tegas, menjadi bapak yang mengayomi, atau kawan yang enak diajak bicara
dan diskusi. Beliau menghilangkan sekat-sekat birokrasi dan formalitas. Ke mana pergi beliau
hanya sendiri. Tidak ada ajudan atau staf khusus. Untuk bisa menggugah semangat serta
motivasi karyawan, Jonan tak hanya bertutur tentang pekerjaan. Sebagai bapak ia kerap memberi
wejangan kepada seluruh jajarannya, hingga ke level terbawah.

Salah satu cara Jonan untuk membangun kebersamaan adalah dengan membentuk
Executive Committee atau Excom. Beranggotakan 50 orang, terdiri dari seluruh direksi, EVP, Ka
Daop, Ka Divre, Kepala Balai Yasa Sarana, serta direksi anak perusahaan. Regular Executive
Commitee Meeting diselenggarakan sebulan sekali. Inilah forum yang membahas seluruh
persoalan secara terbuka, dan mengambil keputusan. Semua peserta memiliki hak sama untuk
mengemukakan pendapat dan urun rembuk untuk memecahkan persoalan yang terlontar. Sebuah
ajang komunikasi yang efektif antarbidang, antarunsur, dan antarkorsa di tubuh KAI. Jonan
mencermati semua pembicaraan, mencatat sendiri di buku agendanya, sekaligus moderator yang
mengatur lalu lintas pembicaraan. Selain menjadi forum pengambilan keputusan, Excom juga
menjadi media bagi Jonan menagih implementasi keputusan yang telah diambil sebelumnya.
Jonan sebagai pemimpin rapat mengenal dengan baik semua peserta yang hadir. Dia hafal semua
nama, paham latar belakangnya, sehingga bisa berkomunikasi dengan enak diselingi joke-joke
segar. Dia tidak membedakan siapa lawan bicaranya, baik yang berasal dari jajaran direksi,
manager, maupun pelaksana lapangan. Sentuhan personal ini membuat semua orang merasa
"diorangkan" secara wajar dan tanpa jarak dengan pucuk pimpinan. Inilah cara Jonan membuat
seluruh unsur pimpinan faham secara utuh persoalan yang ada di perusahaan, sekaligus
membangun komitmen bersama untuk hal-hal penting dan mendasar yang menyangkut nasib
perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Djuraid M H. (2013). Jonan & Evolusi Kereta Api Indonesia, BUMN Track, Jakarta

Gary A. Yukl., Leadership in Organizations (8th Edition), Pearson Education

Anda mungkin juga menyukai