Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PENDAHULUAN

ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM)


A. Pengertian
ARDS merupakan keadaan gagal napas mendadak yang timbul pada
klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sulit untuk
membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum jelas dan
terdapat banyak faktor predisposisi, seperti syok karena perdarahan,
sepsis, rudapaksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pancreatitis
akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin atau metadon (Mutaqin
Arif, 2008).
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru
nonkardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai
dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi
setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan
ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal.
Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya
ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau
gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

B. Etiologi
1. Kerusakan paru akibat inhalasi (mekanisme tidak langsung)
Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas oksigen, aspirasi asam
lambung, tenggelam, sepsis, syok (apapun penyebabnya), koagulasi
intravaskular tersebar (disseminated intravascular coagulation-DIC)
dan pancreatitis idiopatik.
2. Obat-obatan
Heroin dan salisilat.
3. Infeksi
Virus, bakteri, jamur dan TB Paru.
4. Sebab lain
Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli paru thrombosis,
rudapaksa (trauma) paru, radiasi, keracunan oksigen, transfuse massif,
kelainan metabolik (uremia), bedah mayor.

C. Tanda dan Gejala


ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 jam hingga 48 jam setelah
kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea,
kemudian biasanya diikuti dengan pernapasa yang cepat dan dalam.
Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada
ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi
oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar serta
kadang wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea,
sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada
awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2
normal atau rendah, serta peningkatakn pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrate alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema
paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal.
Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan
perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada
gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi
yang sudah lebih dahulu terjadi.
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini
merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis
dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang
menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor disana-sini,
bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya
ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya
gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat
bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah
(<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal
jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS mesti
dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber thrombus yang
mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT, Pneumosystis carinii
dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial,
terutama pada pasien-pasien imunokompromais.

D. Komplikasi
1. Kegagalan pernapasan
Dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan individu
harus bekerja lebih kerasa untuk mengatasi penurunan compliance paru.
Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini
menimbulkan asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan
karbondioksida di dalam radah. Melambatnya pernapasan dan
penurunan pH arteri adalah indikasi datangnya kegagalan pernapasan
dan mungkin kematian.

2. Pneumonia
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan
cairan di paru dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat
terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena stress. Koagulasi
intreavaskular diseminata akibat banyaknya jaringan yang rusak pada
ARDS.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gagal napas akut.
2. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran rontgen thoraks.
3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi
oksigen yang dihirup)
4. Chest X-Ray
5. ABGs
6. Pulmonary Function Test

F. Penatalaksanaan Medis
Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada
pengobatan. Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan
pencegahan terhadap kemunculan ARDS. Hal-hal penting yang perlu
diketahui dan dipahami dengan baik adalah faktor-faktor predisposisi
seperti sepsis, pneumonia aspirasi dan deteksi dini ARDS. Pengobatan
dalam masa laten lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada jika
dilakukan ketika sudah timbul gejala ARDS.
Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu
mengembankan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah
arteri dan oksigenisasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa
dan sirkulasi dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai membran alveoli
kapiler utuh kembali.
Pemberian cairan harus dilakukan secara saksama, terutama jika ARDS
disertai kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan
permeabilitas kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan
interstisial dan memperberat edema paru. Cairan yang diberikan harus
cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung yang
tidak cepat, ekstremitas hangat dan dieresis yang baik) tanpa menimbulkan
edema atau memperberat edema paru. Jika perlu diimonitor dengan kateter
Swan-Ganz dan teknik thermodelution untuk mengukur curah jantung.
Pemberian albumi tidak terbukti efektif pada ARDS, sebab pada
kelainan permeabilitas yang luas, albumi akan ikut masuk ke ruang
ekstravaskular. Peranan korikosteriod pada ARDS masih diperdebatkan.
Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, pemberian
metilprednisolon 30mmg/kgBB secara intravena setiap 6 jam sekali lebih
disukai, kortikosteroid terutama diberikan pada syok sepsis.

G. Pencegahan
Pada klien dengan ARDS, posisi semifowler dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada klien dengan
ARDS yang mendapat makanan melalui pipa nasogastrik (NGT), penting
untuk berpuasa 8 jam sebelum operasi yang akan mendapat anstesia umum
agar lambung kosong. Selain berpuasa selama 8 jam, pemberian antasida
dan simetidine sebelum operasi pada klien yang akan mendapat anesthesia
umum dilakukan untuk menurunkan keasaman lambung sehingga jika
terjasi aspirasi, kerusakan paru akan lebih kecil. Setiap keadaan syok,
harus diatasi secepatnya dan harus selalu memakai filter untuk transfusi
darah, menanggulangi sepsis dengan antibiotik yang adekuata dan jika
perlu hilangkan sumber infeksi dengan tindakan operasi. Pengawasan yang
ketat harus dilakukan pada klien dengan risiko ARDS selama masa laten,
jika klien mengalami sesak napas, segera lakukan pemeriksaan gas darah
arteri.

Anda mungkin juga menyukai