LOKAKARYA KELOMPOK 5
“KESEHATAN”
Regine M. E. N. Pandy
Risky H. Taopan
Siska Faot
Tesya L. Julianti
Kenrick dkk (2002: 3) menyatakan bahwa "psikologi sosial adalah studi ilmiah tentang
bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku orang dipengaruhi oleh orang lain". Definisi ini dapat
diartikan sebagai psikologi sosial yang merupakan studi ilmiah tentang seseorang yang berpikir,
berperasaan, dan berpikir yang digunakan oleh orang lain.1
Kesehatan jiwa merupakan kondisi permanen yang bersifat relatif. Maksudnya, kesehatan
jiwa bukanlah kondisi yang bersifat statis melainkan kondisi yang bersifat dinamis dan terus
bergerak aktif dan relatif, dapat berubah-ubah dari satu individu ke individu yang lain, layaknya
perbedaan karakter (seperti tinggi badan dan kecerdasan). Dapat juga berubah-ubah dari waktu
ke waktu dalam satu individu kendati dalam batasan yang lemah. Orang yang memiliki
kesehatan jiwa yang baik mengindikasikan kepercayaan diri yang tinggi, sedangkan orang yang
memiliki kesehatan jiwa yang rendah mengindikasikan ketidakstabilan dan keraguaan mental
atau jiwa dari waktu ke waktu. Ciri-ciri karakter jiwa yang sehat adalah menerima dan
menghargai diri sendiri, perasaan bebas, spontan, berkepribadian sempurna, fleksibel, percaya
diri, mempunyai sensivitas sosial, mampu bekerja dan beradaptasi, mampu membangun
hubungan interpersonal, mampu menghadapi tekanan dan menghadapi kegelisahan.2
Kondisi kesehatan jiwa dan kondisi optimal dari psikososial dalam pandemi seperti ini dapat
tingkatkan melalui:
Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukan kegiatan dan hobby yang
disukai, baik sendiri maupun bersama keluarga atau teman;
Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax, mengenang semua pengalaman yang
menyenangkan, bicara pada diri sendiri tentang hal yang positif (positive self-talk ),
responsif (mencari solusi) terhadap kejadian, dan selalu yakin bahwa pandemi akan
segera teratasi;
Hubungan sosial yang positif: memberi pujian, memberi harapan antar sesama, saling
mengingatkan cara-cara positif, meningkatkan ikatan emosi dalam keluarga dan
kelompok, menghindari diskusi yang negatif, dan saling memberi kabar dengan rekan
kerja, teman atau seprofesi;
Secara rutin tetap beribadah di rumah atau secara daring.
1
Suryanto, dkk, Pengantar psikologi sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan Dan Percakapan Unair, 2012), hlm. 4-10
2
Abdul Ahzis, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Pustaka Ahzzam, 2005), hlm. 42
Pencegahan masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial (Pencegahan Masalah Kesehatan)
1. Pencegahan penularan
Jarak sosial (Social distancing): Jarak sosial adalah jarak interaksi sosial
minimal 2 meter, tidak berjabat tangan, dan tidak berpelukan sehingga penularan
virus dapat dicegah. Jarak sosial ini sepertinya membuat interaksi menjadi semakin
jauh, rasa sepi dan terisolasi. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan intensitas
interaksi sosial melalui media sosial yang tidak berisiko terkena percikan ludah.
Jarak fisik (Physical distancing): Jarak fisik adalah jarak antar orang dimanapun
berada minimal 2 meter, artinya walaupun tidak berinteraksi dengan orang lain
jarak harus dijaga dan tidak bersentuhan. Tidak ada jaminan baju dan tubuh orang
lain tidak mengandung virus COVID-19 sehingga jarak fisik dapat mencegah
penularan.
Cuci tangan dengan sabun pada air yang mengalir sebelum dan sesudah memegang
benda. Tangan yang memegang benda apa saja mungkin sudah ada virus COVID-
19, sehingga cuci tangan pakai sabun dapat menghancurkan kulit luar virus dan
tangan bebas dari virus. Hindari menyentuh mulut, hidung dan mata, karena tangan
merupakan cara penularan yang paling berbahaya.
Pakai masker kain yang diganti setiap 4 jam. Pada situasi pandemi tidak
diketahui apakah orang lain sehat atau OTG (yang tidak memperlihatkan tanda dan
gejala pada hal sudah mengandung virus corona), jadi pemakaian masker kain
bertujuan tidak menularkan dan tidak ketularan.
Setelah pulang ke rumah. Pada situasi yang terpaksa harus ke luar rumah,
maka saat pulang ke rumah upayakan meninggalkan sepatu di luar rumah, lalu
segera mandi dan pakaian segera dicuci.
Oleh karena itu setiap orang diminta tinggal di rumah (stay at home) artinya
bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah, dan semua
aktifitas dilakukan di rumah. Hindari pertemuan-pertemuan seperti pesta ulang
tahun, pesta perkawinan, ibadah berjamaah, dan kerumunan orang banyak.
2. Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial
Masalah kesehatan jiwa dan psikososial dapat berupa ketakutan, cemas, dan panik
terhadap kejadian COVID-19. Orang semakin enggan bertemu dengan orang lain dan
muncul curiga orang lain dapat menularkan. Perasaan ini akan memberikan respons pada
tubuh untuk cepat melakukan perlindungan untuk memastikan keamanan. Gejala awal
yang terjadi adalah khawatir, gelisah, panik, takut mati, takut kehilangan kontrol, takut
tertular, dan mudah tersinggung. Jantung berdebar lebih kencang, nafas sesak, pendek
dan berat, mual, kembung, diare, sakit kepala, pusing, kulit terasa gatal, kesemutan, otot
otot terasa tegang, dan sulit tidur yang berlangsung selama dua minggu atau lebih.
3. Refleksi
Kami kelompok ingin menyajikan refleksi berdasarkan pandemi COVID-19 melalui lima
aspek, yaitu :
1. Jangan Stress
Situasi resesi ekonomi karena pandemic COVID 19 menggerus banyak hal dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aktivitas ekonomi terhambat, pendapatan
ekonomi bulanan menurun, hilangnya pekerjaan karena PHK dan melonjaknya harga
barang konsumsi. Semua situasi ini sangat berpotensi membuat kita stress. Ketika kita
menjadi stress, maka tubuh kita akan memproduksi hormon kortisol. Hormon ini
mengatur tekanan darah dan kekebalan tubuh saat kondisi fisik dan emosional berada
dalam keadaan tidak stabil. Hormon ini juga berperan dalam membentuk cadangan energi
dan meningkatkan kemampuan tubuh melawan infeksi. Hormon diproduksi secara
otomatis ketika seorang mengalami stress, makan tinggi tingkat stress seseorang maka
makin tinggi pula produksi hormon kortisol dalam tubuh. Tapi hormon ini hanya bentuk
respon proteksi normal ketika manusia mengalami stress, jika hormon kortisol berada di
tubuh dalam waktu yang lama dengan jumlah berlebihan memicu gangguan kesehatan
yang serius, misalnya kadar gula darah yang tidak seimbang, gangguan pembuluh darah
yang bisa memicu gangguan jantung, melemahnya sistem imun dan ganggan kognifitif.
Yang dimaksud dengan gangguan kognitif adalah tidak bekerjanya otak dengan
optimal yang popular disebut dengan “brain fog”. Brain fog adalah kondisi di mana otak
sulit berkonsentrasi, tidak fokus, mudah terdistraksi, pelupa dan gangguan berpikir
lainnya. Brain fog adalah gejala yang menunjukan fungsi dan kapasitas otak. Tidak heran
jika seseorang dalam keadaan stress sangat mudah terpengaruh dengan provokasi dan
hoax. Seharusnya momen perayaan paskah membuat kita memiliki semangat hidup yang
bergelora karena kita disadarkan bahwa penyertaan Tuhan atas hidup kita terlalu
sempurna adanya (Yeremia 29:11). Dalam situasi krisis hari ini, respon panik dan stress
hanya akan membuat kita dan orang lain dirugikan. Sekalipun kita melihat di depan mata
kita akan datangnya masa resesi ekonomi, kita seharusnya tidak kehilangan semangat
hidup untuk terus berjuang. Saat Yesus berdoa di taman Getsemani yang tertulis dalam
Lukas 22:44, keringat saat Yesus berdoa menetes seperti titik-titik darah. Kondisi fisik
Yesus saat itu benar-benar tertekan secara manusia dengan penderitaan dan kematian
yang akan Ia jalani. Tapi karena kasihNya, Ia tidak mundur! Kata “ titik darah” pada
kutipan ayat alkitab tersebut berasal dari bahasa yunani di sebut “thrombos aima”. Kata
“thrombos” yang kemudian popular dalam dunia medis di sebut “trombosit”. Trombosit
adalah keping darah merah yang vital di butuhkan tubuh dalam fungsi pembekuan darah,
penyembuhan luka dan anti virus. Ini adalah analogi teologis bahwa pengorbanan Kristus
atas hidup kita mencurahkan “trombosit Ilahi” yang sanggup menyembuhkan luka-luka
kehidupan kita.
2. Jangan Putus asa
Tidak mudah untuk belajar optimis ketika kehidupan kita hari ini babak belur karena
dikepung dengan berbagai masalah dan kebuntuan, entah itu masalah keluarga, masalah
pekerjaan atau masalah lainnya. Respon lanjutan secara umum ketika orang mengalami
stress adalah menjadi putus asa. Akibatnya, segala sesuatu dipandang dengan penuh
pesimisme. Menyerah dengan keadaan karena sulitnya mewujudkan impian dalam alam
kenyataan. Di tengah situasi krisis dan harus kehilangan pekerjaan bukan suatu hal
mudah untuk di jalani karena akan di hadapkan dengan berbagai kebutuhan keluarga
secara rutin. Kondisi ini membuat perjalanan hidup terasa berat di jalani tapi tidak
seharusnya kita menjadi putus asa.
Dalam Lukas 22:44, saat Yesus berdoa di taman Getsemani, keringatNya menetes
seperti titik darah ke tanah. Ingatkah kita bahwa karena kejatuhan manusia dalam dosa
sehingga tanah akhirnya di kutuk, dan hal ini juga yang membuat Adam dan Hawa harus
menguras keringat membanting tulang untuk hidup dalam segala kesusahan (Kejadian
3:17-19). Tapi karya penebusan Yesus atas dosa dan hidup manusia melalui paskah
teramat luar biasa! Manusia di bangun dalam masa penciptaan dari bahan baku tanah juga
(Kejadian 2:7), tidak heran jika dosa menjeremuskan manusia dalam jerat kutuk kematian
kekal (Roma 6:23). Tapi bagi kita umat yang sudah di tebus oleh darah pengorbanan
Kristus, kita memiliki pengharapan akan sebuah penyertaan Tuhan yang sempurna.
Tanah yang dulunya di kutuk karena dosa, dalam Lukas 22:44 telah bersenyawa dengan
darah Yesus yang penuh kehidupan. Kutuk dalam tanah tersebut telah di lenyapkan oleh
kuasa penebusan darah Yesus. Di dalam Tuhan, kita memiliki sebuah garansi ilahi bahwa
kita tidak berjalan sendiri di tengah situasi penuh resesi hari ini, ada Tuhan yang maha
ajaib menyertai kita senantiasa (Mazmur 121:3-4). Kesadaran akan kehadiran dan
penyertaan Tuhan tidak seharusnya membuat kita menjadi pesimis akan masa depan.
Sekalipun dengan segala keterbatasan, kita akan memiliki daya juang yang tidak pernah
surut (1 Korintus 15:10). Hal ini di dasari pada keyakinan dan pengharapan iman bahwa
Tuhan akan selalu menyertai anak-anakNya (Mazmur 23:4).
3. Belajarlah Bijak
Kita harus menyadari bahwa masyarakat kita di tengah era modern memiliki angka
literasi yang sangat minim. World Economic Forum pada tahun 2015 sepakat dalam
pengelompokan enam literasi dasar yang memiliki segment-segment yang spesifik yaitu
literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi financial, literasi
budaya dan literasi kewarga negaraan. Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD
(Organisation For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For
International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada
tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki
skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495
dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indicator kualitas
pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca. Tidak heran jika
masyarakat kita hari ini sangat mudah dipengaruhi oleh berita-berita menyesatkan melalui
media social karena lamban dalam memilah antara fakta obyektif, asumsi subyektif dan
hoaks terkait COVID 19. Kesadaran akan realitas ini harusnya menjadi dorongan bagi kita
supaya belajar menjadi masyarakat yang lebih bijak dalam mengkonsumsi informasi di
sekitar kita. Bahkan firman Tuhan pun menegaskan akan hal ini (Ibrani 2:1). Jika kita
merujuk pada catatan Alkitab tentang konteks pengenalan akan Tuhan yang sempurna, maka
kita akan menemukan dua unsur penting yang saling terkait satu dengan lainnya. Dalam
catatan Alkitab dalam Efesus 1:17, pengenalan akan Tuhan yang benar di bangun atas
“wahyu” dan “hikmat. Kegagalan dalam membangun kemanunggalan dari dua unsur ini yang
kadang menciptakan kekristenan yang utopis dan kebablasan. Wahyu adalah pengertian
supranatural yang bersifat hubungan secara vertical dan personal antara manusia dengan
Tuhan (Matius 16:15-17). Sedangkan hikmat adalah hasil dari proses kontemplasi dari wahyu
(pengertian supranatural secara vertical dan personal) yang akan memberikan pengertian
natural bagi manusia dalam menjalani segala interaksi yang sifatnya horizontal dan komunal.
Secara horizontal menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya termasuk berbagai
komunitas sosial dalam lingkungan sekitarnya. Wahyu akan membuat kita semakin dalam
dalam memahami akan aspek hubungan dengan Tuhan. Tetapi hikmat akan membuat kita
semakin peka dengan situasi horizontal dengan sesama. Memiliki wahyu tanpa hikmat akan
menciptakan kekristenan ekslusif yang membangun dikotomi agamawi yang kaku dengan
lokalitas yang harusnya di garami dengan perubahan. Gereja akhirnya ter-alienasi dar
lingkungan lokal yang seharusnya menjadi ladang semai dari benih-benih perubahan yang di
motivasi oleh iman dan kasih. Sebaliknya, memiliki hikmat dan mengabaikan wahyu hanya
akan membuat manusia terjebak dalam “glorifikasi intelektualitas manusia”. Glorifikasi
intelektualitas manusia akan berujung pada penyangkalan eksistensi Tuhan dalam kehidupan
(ateisme). Wahyu dan hikmat harus manunggal dalam pengenalan akan Tuhan dalam hidup
kita. Mari kita menjadi umat yang lebih bijak menyikapi situasi COVID 19 hari ini. Patuhi
setiap protokoler kesehatan yang di tetapkan pemerintah dalam upaya penanggulangan
COVID 19. Jangan mudah termakan hoax seputar COVID 19 yang hanya meresahkan
masyarakat. Tetaplah optimis karena Tuhan akan selalu menuntun kita dengan wahyu-Nya
dan hikmat-Nya atas hidup kita (Yesaya 30:20-25). Sama seperti Yesus yang mengorbankan
diriNya bagi keselamatan umat manusia menyadarkan kita sebuah teladan untuk menjadi
saluran berkat bagi sesame. Hal yang paling hakiki dalam kehidupan adalah kita menjadi
penerima berkat kelimpahan kehidupan di hadapan Tuhan (blessing receiver). Tetapi, di
hadapan sesama kita menjadi penyalur kelimpahan kehidupan (blessing supplier). Oleh
karena itu, tidak seharusnya kita menjadi egois dan serakah dengan selalu berorientasi
mengejar berkat materi dan finansial. Dan kita kehilangan kepekaan terhadap sesama untuk
saling mendorong dan mendukung secara moral. Tuhan memberkati Abraham dengan sebuah
prinsip “di berkati untuk memberkati” (Kejadian 12:2-3). Tuhan memberkati Abraham bukan
hanya untuk membuat Abraham menjadi kaya raya dan termasyur tapi supaya melalui
kehidupan Abraham menjadi saluran berkat bagi banyak orang dan banyak bangsa.
Dalam situasi pandemic COVID 19, di sekitar kita hari ini banyak melihat berbagai
ketimpangan yang menuntut kita untuk saling peduli. Berikan motivasi dan dorongan bagi
mereka yang putus asa, berikan penghiburan dan kekuatan bagi mereka yang depresi. Jika
hari ini kita di beri kesempatan untuk menikmati kelebihan materi di bandingkan yang lain,
maka oleh karena kerelaan hati ulurkanlah tangan untuk membantu mereka yang
berkekurangan. Dalam Matius 25:36-40, kita di ajarkan untuk untuk memberi pakaian
kepada yang telanjang, melawat mereka yang sakit dan mengunjungi mereka yang ada dalam
penjara. Ini merupakan bagian dari ekspresi iman dari umat Tuhan yang telah mengalami
karya penebusan Tuhan dengan sempurna. Perbuatan baik tidak menyelamatkan kita (Efesus
2:8-9), tetapi karena kita sudah mengalami karya penebusan dan keselamatan Kristus maka
perbuatan baik akan memancar dari kehidupan kita kepada orang lain (Efesus 2:10).
Akhir kata, di tengah situasi pandemic COVID 19 mari kita kuatkan iman juga imun kita.
Karena dengan iman yang kian di kokohkan di atas pijakan Firman Tuhan yang alkitabiah
dan imunitas tubuh yang sehat di berkati. Jengan stress dan menjadi pesimis dengan keadaan
yang kita hadapi sekarang. Tetap saling menopang sebagai saudara sebangsa yang di ikat
oleh solidaritas karena kasih yang tulus. Ibaratnya, setelah berlalunya hujan badai maka kita
akan menikmati indahnya pelangi. Tuhan Memberkati!