AIK II
DISUSUN OLEH:
MAYA NOVIASARI
RACHMAD
TITIK PURDIYANTI
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat,serta penyertaan-Nya,sehingga makalah “MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN
PENDIDIKAN” ini dapat kami selesaikan. Dalam penulisan makalah ini kami berusaha
menyajikan bahan dan bahasa yang sederhana, singkat serta mudah dicerna isinya oleh para
pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat kekurangan
dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami berharap adanya masukan dari berbagai
pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang.
Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dipergunakan
dengan layak sebagaimana mestinya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H
bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan
tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah
merintis pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya
mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu
agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan
pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang
dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang takut karena adanya
dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling
bertolak belakang. Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami
kemunduran karena terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan
masyarakat modern, di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan nasional
mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena dijauhkan dari agama dan budaya
negerinya.
Sejarah perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi
yang memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangan yang
terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu lembaga atau
suatu masa dalam berbagai proyeksi berbagai macam tujuan mereka, pendidikan bahkan
telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara massal, karenanya pendidikan yang diterima
oleh manusia hendaknya pendidikan yang seimbang antara pendidikan lahir dan batin, antara
pendidikan dunia dan akhirat, sehingga manusia dalam memperoleh pendidikan tersebut
memiliki keseimbangan dalam mengelola kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan yang
ideal yakni “fi al-dunya hasanatan wa fi al-akhirati hasanatan”. Tujuan ideal inilah yang
digagas oleh KH. Ahmad Dahlan dalam hal perjuangan di bidang pendidikan yang menjadi
warna pendidikan Muhammadiyah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah faktor yang melatarbelakangi gerakan muhammadiyah?
2. Apa sajakah bidang pendidikan yang digerakan muhammadiyah ?
3. Apa sajakah cita-cita pendidikan muhammadiyah?
4. Bagaimanakah bentuk dan model pendidikan di muhammadiyah ?
5. Apakah tujuan pendidikan muhammadiyah ?
6. Apa saja yang menjadi pemikiran dan praksis di bidang pendidikan muhammadiyah?
7. Apa saja yang menjadi tantangan dan revitalisasi pendidikan muhammadiyah?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami faktor yang melatarbelakangi gerakan muhammadiyah?
2. Mengetahui bidang pendidikan yang digerakan muhammadiyah ?
3. Mengetahui cita-cita pendidikan muhammadiyah?
4. Memahami bentuk dan model pendidikan di muhammadiyah ?
5. Memahami tujuan pendidikan muhammadiyah ?
6. Mengetahui pemikiran dan praksis di bidang pendidikan muhammadiyah?
7. Mengetahui tantangan dan revitalisasi pendidikan muhammadiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru
yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan
sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam
lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu
melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan
integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan
konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.Dalam rangka menjamin
kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan
akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik
adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-
ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan
dan menolong fakir miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang mesti
dikembangkan oleh pendidikan Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem
pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekkan Kyai Dahlan.Anehnya, yang diwarisi
oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya bukan cita-cita pendidikan,
sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi
pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan
adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil
ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-
profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak.
Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling
baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya
diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem
pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak
terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul
benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah.Lembaga pendidikan
Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan
berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi
sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah
unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang
dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada
umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang
tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang
lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka
harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya
sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan
Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah
Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus
mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis
yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada
pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah.Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan
kebebasan berpikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia
yang unggul. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi
yang akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah
berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logika, Muhammadiyah berusaha
dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat
yang diyakini dan dianutnya.
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah dituntut untuk
mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah pengetahuan melalui
jalur pendidikan.Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata pelajaran
AIK/lsmuba di semua lembaga pendidikan (formal) milik Muhammadiyah. Hal tersebut
sebagai salah satu upaya Muhammadiyah agar setiap individu senantiasa menyadari bahwa ia
diciptakan oleh Allah semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.Usaha Muhammadiyah
mendirikan dan menyelenggarakan sistem pendidikan modern, karena Muhammadiyah yakin
bahwa Islam bisa menjadirahmatan lil-‘alamin, menjadi petunjuk dan rahmat bagi hidup dan
kehidupan segenap manusia jika disampaikan dengan cara-cara modern.Dasarnya adalah
Allah berfirman: “Wahai jama’ah jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi)
pejuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu sekalian tidak akan sanggup melakukannya
melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan)”(QS. Ar-rahman/55:33).
Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur pendidikan. Ada
beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:
a. Tipe Muallimin/Mualimat Yogyakarta (pondok pesantren)
b. Tipe madrasah/Depag; Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
c. Tipe sekolah/ Diknas; TK, SD, SMP, SMA/ SMK, Universitas/ST/ Politeknik/ Akademi
d. Madrasah Diniyah, dan lain-lain
Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin dicapai oleh
Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam Muhammadiyah, untuk
mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah, sebagai berikut:
a. Memiliki jiwa Tauhid yang murni
b. Beribadah hanya kepada Allah
c. Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
d. Memiliki akhlaq yang mulia
e. Berpengetahuan luas serta memiliki kecakapan, dan
f. Berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama
5. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu
sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga
muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga
sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum
sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan
lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab
hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah
ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus
ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena
belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan
modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa
atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang
mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya. Dalam usia
Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-
pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan
upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini
ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu
umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda
yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan
demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan
munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan
baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum
memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu.
Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan
Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai dengan temanya, Maarif hanya
menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi
filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad
Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an dan
mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir
yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah.
Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan
teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak
apapun yang bukan berasal dari Islam.
4. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya
Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan
mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan
Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam
dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke
batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah
kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik
tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji
guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan
menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar
permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi
pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat
disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi
oleh perangkat konsep yang mendasarinya.Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu
abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan
Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai
filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu
panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam
rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini,
menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis
ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan
“ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang
berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh”
dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba
menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah
sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa
pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada
sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan
Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung
pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii
Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah
(aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan
Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an
yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-
teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya
Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan
intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim
akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan
berasal dari Islam.Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat
pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat
kurikulum pendidikan.
Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat
pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak
gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari
pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak
perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia
adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan
tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah
merintis pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya
mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-
ilmu agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk
gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika
obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang
takut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan
kepribadian yang saling bertolak belakang
2. SARAN
Dari kesimpulan di atas,dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
a. Sebagai warga umat Islam Muhammadiyah, kita harus mempertahankan dan
meneruskan perjuangan Ahmad Dahlan dari segala bentuk yang dapat
menghancurkan agama Islam.
b. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa pada-Nya, kita tidak seharusnya
melakukan hal-hal yang dilarang Islam seperti tahayul, bid’ah, khurofat .Kita harus
menjalankan dan mengamalkan seperti apa yang diajarkan dalam al quran dan al
hadist.
c. Sebagai umat Islam yang berilmu, kita harus memperdalam ilmu dalam segala bidang
seperti IPTEK dan ilmu yang lainnya tanpa membedakan, dengan syarat kita tahu apa
yang kita pelajari sesuai dengan ajaran Islam.
d. Untuk menjaga agama Islam dari pemusnahan orang-orang kafir, kita sebagai umat
Islam harus bersatu melindungi agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sairin, Weinata , Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: PT Fajar
Interpratama, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.
Asrofie, M Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya,
Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
Mulkhan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah Cet I, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan, 1990.
Anshoriy Ch, Nasruddin, Matahari Pembaharuan, Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher,
2010.
Jatmika. Sidik, Kauman; Muhammadiyah Undercover, Yogyakarta: Ge