Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

AIK II

DISUSUN OLEH:
MAYA NOVIASARI

LINA NUR KHOVIFAH

NIA SAGITA SAFITRI

PULUNG LUKITO AJI

RACHMAD

TITIK PURDIYANTI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2017/2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat,serta penyertaan-Nya,sehingga makalah “MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN
PENDIDIKAN” ini dapat kami selesaikan. Dalam penulisan makalah ini kami berusaha
menyajikan bahan dan bahasa  yang sederhana, singkat serta mudah dicerna isinya oleh para
pembaca.

     Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat kekurangan
dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami berharap adanya masukan dari berbagai
pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang.

     Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dipergunakan
dengan layak sebagaimana mestinya.

                                                            Pringsewu, Juni 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H
bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan
tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah
merintis pendidikan modern yang  memadukan antara pendidikan Barat yang hanya
mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu
agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan
pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang
dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang takut karena adanya
dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling
bertolak belakang. Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami
kemunduran  karena terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan
masyarakat modern, di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan nasional
mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena dijauhkan dari agama dan budaya
negerinya.
Sejarah perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi
yang memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangan yang
terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu lembaga atau
suatu masa dalam berbagai proyeksi berbagai macam tujuan mereka, pendidikan bahkan
telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara massal, karenanya pendidikan yang diterima
oleh manusia hendaknya pendidikan yang seimbang antara pendidikan lahir dan batin, antara
pendidikan dunia dan akhirat, sehingga manusia dalam memperoleh pendidikan tersebut
memiliki keseimbangan dalam mengelola kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan yang
ideal yakni “fi al-dunya hasanatan wa fi al-akhirati hasanatan”. Tujuan ideal inilah yang
digagas oleh KH. Ahmad Dahlan dalam hal perjuangan di bidang pendidikan yang menjadi
warna pendidikan Muhammadiyah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah faktor yang melatarbelakangi gerakan muhammadiyah?
2. Apa sajakah bidang pendidikan yang digerakan muhammadiyah ?
3. Apa sajakah cita-cita pendidikan muhammadiyah?
4. Bagaimanakah bentuk dan model pendidikan di muhammadiyah ?
5. Apakah tujuan pendidikan muhammadiyah ?
6. Apa saja yang menjadi pemikiran dan praksis di bidang pendidikan muhammadiyah?
7. Apa saja yang menjadi tantangan dan revitalisasi pendidikan muhammadiyah?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami faktor yang melatarbelakangi gerakan muhammadiyah?
2. Mengetahui bidang pendidikan yang digerakan muhammadiyah ?
3. Mengetahui cita-cita pendidikan muhammadiyah?
4. Memahami bentuk dan model pendidikan di muhammadiyah ?
5. Memahami tujuan pendidikan muhammadiyah ?
6. Mengetahui pemikiran dan praksis di bidang pendidikan muhammadiyah?
7. Mengetahui tantangan dan revitalisasi pendidikan muhammadiyah?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Pendidikan Muhammadiyah


a. Faktor Internal (dari dalam diri umat Islam sendiri)
1. Sikap Beragama Umat Islam
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk.
 Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan
pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan
menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan –
pembaharuan dalam bidang agama.  Paham dan praktek agama seperti ini
mempersulit agenda umat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru
yang banyak datang dari luar (barat).  Tidak jarang, kegagalan dalam
melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk – bentuk sikap
penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran
tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.
 Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal disanping telah memperkaya khasanah
budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format-format sinkretik,
percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-masyarakat
budaya setempat.  Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini tidak
dapat dihindari, namun kadang – kadang menimbulkan persoalan ketika
percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam tinjauan aqidah Islam.  Orang Jawa misalnya, meski secara formal
mengaku sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka
yang animistik tidak berubah.  Kepercayaan terhadap roh – roh halus,
pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan
sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa.  Islam, Hindu, Budha, dan
animisme hadir secara bersama – sama dalam sistem kepercayaan mereka,
yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
secara Tauhid.
2. Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan siste pendidikan Islam
yang khas Indonesia. Transformasi nilai – nilai keIslamaan ke dalam pemahaman dan
kesadran umat secara institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini.  Namun
terdapat kelemahan dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk
mempersiapkan kader – kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan zaman.  Salah satu kelemahan itu terletak pada mmateri pelajaran yang hanya
mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam,
Tasawuf dan ilmu falak.  Pesantren tidak mengajarkan materi – materi pendidikan
umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang
justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan
dalam rangka menunaikan tugas sebagai khalikfah di muka bumi. Ketiadaan lembaga
pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar
belakang dan sebab kenapa K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni
untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara
ilmu agama dan ilmu duniawi.
b. Faktor Eksternal
 Kristenisasi
Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah
adalah Kristenisasi, yakni kegiatan – kegiatan yang terprogram dan sistematis
untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi
Kristen.  Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh
pemerintah Kolonialisme Belanda.  Misi Kristen, baik Katholik maupun Protestan
di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda.  Bahkan
kegiatan – kegiatan Kristenisasi ini didukung dan dibantu dana – dana negara
Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristenisasi inilah yang terutama
menggugah K.H. Ahmad Dahlan untuk membentengi umat Islam dari
pemurtadan.
 Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi
perkembangan Islam di wilayah Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi
maupun kebudayaan.  Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia
Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam,
semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.  Menyikapi hal
ini, K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya
melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan
kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
jalur pendidikan.
 Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata
rantai dari sejarah panjang gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu
Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al - Afgani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya.  Persentuhan itu terutama
diperoleh melalui tulisan – tulisan Jamaluddin al – Afgani yang dimuat dala
majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tulisan –
tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan – gagasan
pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga. Dalam melihat
seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa K.H.
Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam beritijhad.  Prinsip –
prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada Al-Quran dan
Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memiliki karakter
dinamis dan terus berubah – ubah sesuai dengan perkembangan zaman
Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara
terbuka ( misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan –
yayasan Katolik dan Protestan yang ba;nyak muncul di Yogyakarta waktu itu).

2. Bidang Pendidikan Di Gerakan Muhammadiyah

Dalam bidang pendidikan usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:


a. Mendirikan sekolah – sekolah umum dengan memasukkannya ke dalamnya ilmu –
ilmu agama.
b. Mendirikan madrasah – madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu –
ilmu pengetahuan umum.
c. Dengan perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu
umum.  Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
3. Cita-Cita Pendidikan Muhammadiyah

Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru
yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan
sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam
lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu
melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan
integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan
konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.Dalam rangka menjamin
kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan
akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik
adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-
ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan
dan menolong fakir miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang mesti
dikembangkan oleh pendidikan  Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem
pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana dipraktekkan Kyai Dahlan.Anehnya, yang diwarisi
oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya bukan cita-cita pendidikan,
sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi
pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan
adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil
ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-
profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak.

Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling
baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya
diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem
pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak
terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul
benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah.Lembaga pendidikan
Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan
berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi
sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah
unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang
dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada
umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang
tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang
lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Apabila Muhammadiyah benar-benar  mau membangun sekolah/universitas unggul maka
harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya
sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan
Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah
Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus
mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis
yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada
pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah.Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan
kebebasan berpikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia
yang unggul. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi
yang akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah
berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logika, Muhammadiyah berusaha
dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat
yang diyakini dan dianutnya.

Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah dituntut untuk
mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah pengetahuan melalui
jalur pendidikan.Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata pelajaran
AIK/lsmuba di semua lembaga pendidikan (formal) milik Muhammadiyah. Hal tersebut
sebagai salah satu upaya Muhammadiyah agar setiap individu senantiasa menyadari bahwa ia
diciptakan oleh Allah semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.Usaha Muhammadiyah
mendirikan dan menyelenggarakan sistem pendidikan modern, karena Muhammadiyah yakin
bahwa Islam bisa menjadirahmatan lil-‘alamin, menjadi petunjuk dan rahmat bagi hidup dan
kehidupan segenap manusia jika disampaikan dengan cara-cara modern.Dasarnya adalah
Allah berfirman: “Wahai jama’ah jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi)
pejuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu sekalian tidak akan sanggup melakukannya
melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan)”(QS. Ar-rahman/55:33).
Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur pendidikan. Ada
beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:
a. Tipe Muallimin/Mualimat Yogyakarta (pondok pesantren)
b. Tipe madrasah/Depag; Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
c. Tipe sekolah/ Diknas; TK, SD, SMP, SMA/ SMK, Universitas/ST/ Politeknik/ Akademi
d. Madrasah Diniyah, dan lain-lain
Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin dicapai oleh
Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam Muhammadiyah, untuk
mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah, sebagai berikut:
a. Memiliki jiwa Tauhid yang murni
b.  Beribadah hanya kepada Allah
c. Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
d.  Memiliki akhlaq yang mulia
e. Berpengetahuan luas serta memiliki kecakapan, dan
f. Berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama

4. Bentuk dan Model pendidikan muhammadiyah


Pendidikan, menurut KH. Ahmad Dahlan, hendaknya diarahkan pada usaha membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pandangan pendidikan yang
diinginkan oleh KH. Ahmad Dahlan inilah yang sekarang akan digunakan sebagai
pendidikankarakter.
Sebenarnya, pendidikan karakter sudah ada sejak organisasi Muhammadiyah berdiri.
Mengapa pendidikan Muhammadiyah dapat berkembang dengan pesat ? Sebab,
Muhammadiyah memiliki model yang berbeda dalam kemasannya.Mulai sistem
pembelajaran hingga sistem administatif yang tertata rapi.
Model pendidikan Muhammadiyah yang didasarkan atas nilai-nilai tertentu. Pertama,
pendidikan Muhammadiyah merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi sebagai sumber sepanjang masa. Kedua, ikhlas dan inspiratif dalam ikhtiar
menjalankan tujuan pendidikan. Ketiga, menerapakan prinsip musyawarah dan kerjasama
dengan tetap memelihara sikap kritis. Keempat, selalu memelihara dan menghidupkan
prinsip inovatif dalam menjalankan tujuan pendidikan. Kelima, memiliki kultur atau budaya
memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan dengan melakukan proses-proses
kreatif. Hal tersebut, sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada
masyarakat Indonesia.Keenam, memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan
dalam mengelolah lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati.
Dalam penyelenggaraannya pendidikan Muhammadiyah memiliki model yang tidak
selebihnya mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah atau sekolah umum
lainnya. Model pendidikan Muhammadiyah lebih cenderung pada sistem pendidikan moral
atau yang sekarang lebih dikenal dengan pendidikan berbasis karakter.Sejak awal,
pendidikan Muhammadiyah bukan lagi berpatokan dengan pendidikan berbasis
kognitif.Pendidikan Muhammadiyah sudah sejak awal berpatokan pada sistem pendidikan
moral. Moral akan menjadikan sebuah pendewasaan diri setiap siswa-siswi untuk bisa
menghadapi masa depan. Justru dengan adanya sistem pendidikan moral siswa-siswi akan
tertantang untuk maju menghadapi sistem pendidikan akademis dengan mudah.
Model icon adalah salah satu model yang dimiliki pendidikan Muhammadiyah.Mulai dari
ramah anak, ramah otak, ramah lingkungan, ramah moral yangakan terus dikembangkan
untuk kekhasan pendidikan Muhammadiyah.

5. Pendidikan Muhammadiyah
 Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu
sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga
muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga
sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum
sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan
lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab
hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah
ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus
ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena
belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan
modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa
atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang
mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya. Dalam usia
Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-
pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan
upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini
ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu
umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda
yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan
demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan
munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan
baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum
memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu.
Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan
Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai dengan temanya, Maarif hanya
menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi
filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad
Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an dan
mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir
yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah.
Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan
teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak
apapun yang bukan berasal dari Islam.

6.  Problem Pendidikan Muhammadiyah


Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni :
a.  problem ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan lainnya
yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut tentu saja
disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal usaha
pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan dapat lebih
leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan non
Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
b. problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah
secara kritis, sehingga seringkali terjebak pada romantisme sejarah itu sendiri. Dalam hal
ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang
dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah
dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi
wajar apabila banyak ditemukan institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung
bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk
mengembangkan dirim . Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada
hilangnya orientasi para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud
dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal
ini yang kadang kala menjadikan visi di antara keduanya justru berlainan, dan bahkan
juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak
sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-
program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha
yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA
di-tempatkan sebagai pelengkap .
c. problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha
pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass
root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar.
Tujuannya pun juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga
pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman
ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Sokongan masyarakat itu juga dapat
berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga pendidikan memiliki kekuatan
besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya sedikit. Semangat yang
tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah melalui jalur
pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga pendidikan
terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik. Hal
inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah
suatu upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah
bersifat konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu .
d. problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga
sekolah. Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih
ditujukan kepada pihak penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen
belum memiliki blue print yang jelas mengenai pola pengembangan pendidikan
Muhammadiyah . Kerja-kerja praktis (untuk tidak dikatakan pragmatis) administratif dan
birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan Muhammadiyah dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan rutinan. Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis
energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding melahirkan karya intelektual
yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum
adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak pelaksana pendidikan terseok-seok,
dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu pendidikan,
seperti deschoolingsociety, sekolah gratis, dan lain-lain.

7. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah


Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan Islam modern.
Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah ketidak
efektifan lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan Belanda, sehingga
Muhammadiyah memelopori pembaruan dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan
pendidikan Islam. Kini pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala
kesuksesannya, tetapi masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal
bahkan dikritik kalah bersaing dengan pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun
dipandang kurang menyentuh subtansi yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus
diterima untuk perbaikan dan pembaharuan.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan
Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah. Jika diukur dari
berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1 Desember 1911) Pendidikan
Muhammadiyah berumur lebih tua ketimbang organisasinya (Adaby Darban,2000 : 13).
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai dalam
menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam pelajaran
yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Lembaga
pendidikan tersebut sejatinya sekolah Muhammadiyah, yakni sekolah agama yang tidak
diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam pada waktu itu, tetapi
bertempat tinggal di dalam sebuah gedung milik ayah KH Dahlan, dengan menggunakan
meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu
umum (Djarnawi Hadikusuma,t.t : 64).

8. Tantangan dan revitalisasi yang Dihadapi Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan


a. Masalah Kualitas Pendidikan
Perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang pendidikan yang
sangat pesat secara kuantitatif belum diimbangi peningkatan kualitas yang sepadan,
sehingga sampai batas tertentu kurang memiliki daya saing yang tinggi, serta kurang
memberikan sumbangan yang lebih luas dan inovatif bagi pengembangan kemajuan
umat dan bangsa.
Bahwa amal usaha Muhammadiyah dalam hal kualitas mengalami dua masalah
sekaligus, yaitu, pertama, terlambatnya pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan
penambahan jumlah yang spektakuler, sehingga dalam beberapa hal kalah bersaing
dengan pihak lain. Kedua, tidak meratanya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Dalam sejumlah aspek banyak disoroti kelemahan amal usaha khususnya di bidang
pendidikan yang kurang mampu menunjukkan daya saing di tingkat nasional apalagi
internasional. Amal usaha Muhammadiyah tidak mengalami proses inovasi yang
merata dan signifikan, sehingga cenderung berjalan di tempat, kendati beberapa
lainnya mulai bangkit mengembangkan ide-ide dan metode baru dalam peningkatan
kualitas dan keberadaan amal usaha Muhammadiyah.
Kedepan diperlukan peningkatan kualitas yang lebih inovatif, sehingga amal usaha
Muhammadiyah khususnya bidang pendidikan dapat lebih unggul serta mampu
mengemban misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah.
Dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output
pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif
(Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas artinya dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut,
pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena
harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana
anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai
tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri
secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Inilah salah satu dari sekian
yang harus dihadapi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
b. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran
adalah pendidik atau guru.
Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk
meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya
dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan
pendidikan.
Menurut Suyanto, “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi
seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca
tulis yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan
bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru
sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “di
ditiru”
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau
pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan
menunjukkan adanya guru terlebih-lebih guru honorer, yang tidak berasal dari
pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system
seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak
mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu
permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan
Muhammadiyah masa kini.
c. Masalah kebudayaan (alkulturasi)
Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun
mental spiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu perkembangan
kebudayaan dalam abad moderen saat ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh
kebudayan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses alkulturasi
yaitu pertukaran dan saling berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang
lainnya.Dari sinilah terdapat tantangan bagi pendidikan-pendidikan islam yaitu
dengan adanya alkulturasi tersebut maka akan mudah masuk pengaruh negatif bagi
kebudayaan, moral dan akhlak anak. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan
bagi pendidikan islam untuk memfilter budaya-budaya yang negatif yang diakibatkan
oleh pengaruh budaya-budaya barat. (Arifin, 1994:42)
d. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta
didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma
pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan
paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan
pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model
tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek
pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari
pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya
professionalisme guru.
e. Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari pada kemajuan
teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Teknologi
menawarkan berbagai kesantaian dan ketenangan yang semangkin beragam.
Dampak negatif dari teknologi moderen telah mulai menampakan diri di depan mata
kita, yang pada prinsipnya melemahkan daya mental-spiritual / jiwa yang sedang
tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilannya.  Pengaruh negatif dari
teknologi elektronik dan informatika dapat melemahkan fungsi-fungsi kejiwaan
lainya seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah
kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologi-elektronis dan informatika seperti
Komputer, foto copy dan sebagainya.(Arifin,1991,hal: 9 )
Alat-alat diatas dalam dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu dampak
positif  dan juga dampak negatif. Misalnya pada pelajaran bahasa asing anak didik
tidak lagi harus mencari terjemah kata-kata asing dari kamus, tapi sudah bisa lewat
komputer penerjemah atau hanya mengcopy lewat internet. Nah dari sinilah nampak
jelas bahwa pengaruh teknologi dan informasi memiliki dampak positif dan negatif
f. Tantangan era globalisasi terhadap pendidikan agama Islam di antaranya, krisis
moral.
Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, yang
menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika,
perselingkuhan, pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada
perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah,
penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan
tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya.
g.  Dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian.
Diera globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia sedang mengalami sebuah perubahan
yang besar disegala sektor. Ini dibuktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu cepat.
Dengan kemajuan teknologi dan informasi seperti televisi, komputer, internet, media
cetak dan elektronik mengakibatkan bangsa Indonesia dapat dengan mudah
mengakses informasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Selain itu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat
menimbulkan kemerosotan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat,
kebobokran akhlak (perilaku), serta bentuk penyimpangan lainnya yang kini telah
merebak dalam masyarakat Indonesia khususnya generasi muda dalam hal ini pelajar
atau mahasiswa. Mereka lebih mementingkan urusan duniawi daripada urusan
akhirat.Dari semua bentuk penyimpangan ini membutuhkan suatu upaya yang sangat
serius untuk mengatasinya. Salah satu cara mengatasinya adalah melalui pendidikan,
dalam hal ini pendidikan kemuhammadiyahan. Dengan kemuhammadiyahan dampak-
dampak buruk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa di minimalisir.
Jadi ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
begitu cepat telah memberikan dampak-dampak bagi kehidupan kita, baik itu dampak
positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut  menyebabkan bangsa Indonesia
melakukan banyak penyimpangan. Di dalam pendidikan, kemuhammadiyahan adalah
salah satu upaya yang diperlukan. Kemuhammadiyahan berperan aktif untuk
mengelola dan memanage dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi minimalisir.

b. Solusi atas Tantangan yang Dihadapi Muhammadiyah dalm Bidang Pendidikan


Menjawab tantangan yang dihadapi muhammadiyah dalam bidang pendidikan seperti
yang disebutkan diatas, Achmad Charis Zubai Sekretaris II Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah periode 1995-2000
mengemukakan bahwa kendatipun jumlah umat islam mayoritas (88,2%) di Indonesia
namun kualitasnya cukup memprihatinkan dibanding umat lain. Karena beberapa
fakor seperti tidak mencerminkan homogenitas dalam kualitas tetapi heterogenitas
baik dalam kualitas, intensitas, maupun paham-paham dan persepsi keagamaannya.
Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya umzt islam juga melatarbelakangi
mengapa umat islam tidak memiliki peran yang setaraf dengan
kuantitasnya.Menjawab tantangan yang dihadapi Muhammadiyah bahwa Kualitas
lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah belum setara dengan kuantitasnya
yang senantiasa mengalami perkembangan yang spektakuler, Muhammadiyah perlu
melakukan upaya pengesyahan dan penghidupan kembali Muhammadiyah sebagai
gerakan pendidikan dan gerakan pengembangan dan pengelolaan.

Dalam aspek filosofik, Muhammadiyah perlu merumuskan kembali ide dasar


pendidikan muhammadiyah sebagai matra keimanan dan ketaqwaaan yang tercemin
dalam relijiulitas serta akhlaq manusianya. Dalam aspek kebijakan pengembangan
dan pengelolaan, dilakukan dengan penyegaran dan perubahan orientasi yang
meliputi :
a. Dari orientasi status ke orientasi kompetensi
b.  Dari orientasi Input ke output
c. Dari orientasi kekinian ke orientasi masa depan
d. Dari orientasi kuantitatif ke orientasi kualitatif
e. Dari orientasi kepemimpinan individu ke orientasi system
f. Dari orientasi ketergantungan ke orientasi kemandirian
g. Ari orientasi fisik ke orientasi nilai
Disamping itu perencanaan dan pengelolaan muhammadiyah perlu dikembangkan
dengan wawasn keunggulan dengan memacu kreativitas disegala bidang seperti iptek,
kewirausahaan, seni, dan sebagainya. Sehingga dapat meningkatkan daya saing umat
dan bangsa dalam percaturan nasional dan bangsa.
Menjawab tantangan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun yang
berkaitan dengan sejauh mana sekolah-sekolah Muhammadiyah mampu
mengaktualisasikan misinya sebagai sekolah islam ditengah perubahan dan
globalisasi. Sehingga diperlukan proses belajar yang sejalan dengan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga membawa siswa
menyadari kebesaran Alloh Swt. Itu semua barangkali dapat digunakan sebagi prinsip
moral dan peningkatan kualitas pendidikan Muhammadiyah bagi pengembangan
kualitas sumberdaya manusia.Tantangan Muhammadiyah yang kedua dalam bidang
pendidikan adalah masalah berkurangnya profesionalisme guru. Hal ini harus segera
ditemukan solusinya oleh muhammadiyah untuk menghindari dampak negatif
terhadap kualitas peserta didik dengan terus meningkatkan kualitas Sumber daya
pendidik dan terus menanamkan etos keikhlasan kepada para pendidik dalam lembaga
pendidikan Muhammadiyah.Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai gerakan
pendidikan juga harus mampu menghadapi perubahan dan arus globalisasi yang ada
terhadap kemungkinan dampak buruk yang bisa dialami peserta didiknya. Dengan
adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat maka
budaya asing akan dengan mudahnya masuk ke dalam kebudayaan
Indonesia.Muhammadiyah harus dapat menjadi filter atau penyaring agar kebudayaan
asing yang bersifat negatif tidak ikut masuk dan pada kahirnya akan merusak moral
dan kepribadian pelajar Muhammadiyah. Salah satu yang perlu terus
dikembangkankan adalah dengan terus memberikan materi Al islam
Kemuhammadiyahan yang diharapkan dapat menjadi pencerah bagi para pelajar
Muhammadiyah serta terus mengembangkan strategi pembelajaran yang kaya materi
namun juga kaya motivasi. Hal ini dikarenakan selama ini pendidikan di Indonesia
adalah pendidikan dimana peserta didik terus disuapi dengan seabreg materi namun
miskin motivasi.Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, sumberdaya manusia
yang berkualitas, kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi, pengalaman sosial yang
panjang, dan modal sosial yang luar biasa Muhammadiyah akan mampu menjadi
kekuatan pencerahan di negeri ini. Kini dalam memasuki perjalanan abad kedua
tuntutannya ialah bagaimana segenap anggota terutama kader pimpinan
Muhammadiyah, memanfaatkan dan memobilisasi seluruh potensi dan sistem
gerakannya untuk tampil menjadi gerakan Islam modern yang unggul di segala
lapangan kehidupan salah satunya adalah untuk terus melakukan pengembangan dan
perbaikan dalam bidang pendidikan.Transformasi di bidang pemikiran, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan,
Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Pembaruan
gelombang kedua menjadi keniscayaan bagi Muhammadiyah dalam memasuki fase
itu.
2. Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital”
bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya
atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan
(pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui
sebelumnya.Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan
untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang
lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan
perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
3. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami
oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan
pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju
perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang
diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau
pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani
peserta didik menuju kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.

4. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya
Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan
mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan
Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam
dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke
batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah
kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik
tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji
guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan
menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar
permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi
pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat
disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi
oleh perangkat konsep yang mendasarinya.Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu
abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan
Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai
filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu
panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam
rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini,
menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis
ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan
“ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang
berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh”
dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba
menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah
sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa
pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada
sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan
Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung
pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii
Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah
(aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan
Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an
yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-
teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya
Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan
intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim
akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan
berasal dari Islam.Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat
pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat
kurikulum pendidikan.
Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat
pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak
gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari
pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak
perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.
BAB III

PENUTUP
1. KESIMPULAN
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia
adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan
tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah
merintis pendidikan modern yang  memadukan antara pendidikan Barat yang hanya
mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-
ilmu agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk
gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika
obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang
takut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan
kepribadian yang saling bertolak belakang
2. SARAN
Dari kesimpulan di atas,dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
a. Sebagai warga umat Islam Muhammadiyah, kita harus mempertahankan dan
meneruskan perjuangan Ahmad Dahlan dari segala bentuk yang dapat
menghancurkan agama Islam.
b. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa pada-Nya, kita tidak seharusnya
melakukan hal-hal yang dilarang Islam seperti tahayul, bid’ah, khurofat .Kita harus
menjalankan dan mengamalkan seperti apa yang diajarkan dalam al quran dan al
hadist.
c. Sebagai umat Islam yang berilmu, kita harus memperdalam ilmu dalam segala bidang
seperti IPTEK dan ilmu yang lainnya tanpa membedakan, dengan syarat kita tahu apa
yang kita pelajari sesuai dengan ajaran Islam.
d. Untuk menjaga agama Islam dari pemusnahan orang-orang kafir, kita sebagai umat
Islam harus bersatu melindungi agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Sairin, Weinata , Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: PT Fajar
Interpratama, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.
Asrofie, M Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya,
Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
Mulkhan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah Cet I, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan, 1990.
Anshoriy Ch, Nasruddin, Matahari Pembaharuan, Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher,
2010.
Jatmika. Sidik, Kauman; Muhammadiyah Undercover, Yogyakarta: Ge

Anda mungkin juga menyukai