Anda di halaman 1dari 27

A.

    FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH


1.      Faktor Internal (dari dalam diri umat Islam sendiri)
a)      Sikap Beragama Umat Islam
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk.
  Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat
terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan
ijtihad dan pembaharuan – pembaharuan dalam bidang agama.  Paham dan praktek agama seperti
ini mempersulit agenda umat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang banyak
datang dari luar (barat).  Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi itu
termanifestasikan dalam bentuk – bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan kemudian
berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.
  Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal disanping telah memperkaya khasanah budaya Islam, pada
sisi lainnya telah melahirkan format-format sinkretik, percampuradukkan antara sistem
kepercayaan asli masyarakat-masyarakat budaya setempat.  Sebagai proses budaya,
percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang – kadang menimbulkan
persoalan ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam tinjauan aqidah Islam.  Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai
muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistik tidak
berubah.  Kepercayaan terhadap roh – roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada
yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa.  Islam, Hindu, Budha,
dan animisme hadir secara bersama – sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam
aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
b)     Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan siste pendidikan Islam yang khas
Indonesia. Transformasi nilai – nilai keIslamaan ke dalam pemahaman dan kesadran umat secara
institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini.  Namun terdapat kelemahan dalam sistem
pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan kader – kader umat Islam
yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman.  Salah satu kelemahan itu terletak
pada mmateri pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir,
Hadist, Ilmu Kalam, Tasawuf dan ilmu falak.  Pesantren tidak mengajarkan materi – materi
pendidikan umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang
justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam
rangka menunaikan tugas sebagai khalikfah di muka bumi. Ketiadaan lembaga pendidikan yang
mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan sebab kenapa K.H.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat terhadap
ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.

2.      Faktor Eksternal
a)      Kristenisasi
Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah
Kristenisasi, yakni kegiatan – kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama
penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi Kristen.  Kristenisasi ini mendapatkan
peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda.  Misi Kristen,
baik Katholik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi
Belanda.  Bahkan kegiatan – kegiatan Kristenisasi ini didukung dan dibantu dana – dana negara
Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristenisasi inilah yang terutama menggugah K.H.
Ahmad Dahlan untuk membentengi umat Islam dari pemurtadan.
b)     Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di
wilayah Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi maupun kebudayaan.  Ditambah
dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan
perlawanan.  Menyikapi hal ini, K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah
berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural,
terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c)      Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari
sejarah panjang gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim,
Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al - Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
lain sebagainya.  Persentuhan itu terutama diperoleh melalui tulisan – tulisan Jamaluddin al –
Afgani yang dimuat dala majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh K.H. Ahmad
Dahlan. Tulisan – tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan – gagasan pembaharuan ke
dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga. Dalam melihat seluruh latar belakang kelahiran
Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar
dalam beritijhad.  Prinsip – prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada
Al-Quran dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memiliki karakter
dinamis dan terus berubah – ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak
memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka ( misalnya sistem kerja organisasi
yang banyak diilhami dari yayasan – yayasan Katolik dan Protestan yang ba;nyak muncul di
Yogyakarta waktu itu).
B.     Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah
     Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah dituntut
untuk mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah pengetahuan
melalui jalur pendidikan. Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata pelajaran Al-
Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di semua lembaga pendidikan (formal) milik Muhammadiyah.
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan Islam modern.
Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah ketidak efektifan
lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan Belanda, sehingga Muhammadiyah
memelopori pembaruan dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Kini
pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi
masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal bahkan dikritik kalah bersaing
dengan pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh subtansi
yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus diterima untuk perbaikan dan pembaharuan.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan
Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah.
Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan :
         Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama Islam dan
mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
         Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh dan
sekaligus mengamalkannya, dan.
         Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan
Muhammadiyah

1.      KEYAKINAN DAN CITA CITA HIDUP MUHAMMADIYAH


a.       Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah
Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi
manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi
b.      Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada
Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi
penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang
masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
c.       Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
d.      Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
Aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-
gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran
Islam.
e.        Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
f.        Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa
tambahan dan perubahan dari manusia.

2.      Visi Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan
watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma'ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil'alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
3.      Misi Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma'ruf nahi munkar memiliki misi :
1.      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh
para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
2.      Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3.      Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an sebagai kitab Allah terakhir
dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4.      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. 

C.    REVITASI PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH


1.      Revitalisasi
           Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital”
bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau
usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari
beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya. Perbaikan, maksud arti dari kata
revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata.
Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain. Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya kurang terberdaya.

2.      Pendidikan
             Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami
oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan
pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan
tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan
pendidik. Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau
pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik
menuju kepribadian yang utama. Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan
penuh sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3.      Pendidikan Muhammadiyah
           Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya. Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga
pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah
suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin
kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan
dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran
filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan
di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini
ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu
umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang
tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian,
sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu
alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
4.      Problem Pendidikan Muhammadiyah
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni :
  problem ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan lainnya yang
tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut tentu saja disebabkan
karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu,
menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang
pintu masuknya paham-paham keagamaan non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang
dipimpinnya.
  problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan Muhammadiyah.
“Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam memaknai sejarah. Para
pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali
terjebak pada romantisme sejarah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah,
terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai
epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa
depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi pendidikan
Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-dampak pada
keringnya inovasi untuk mengembangkan dirim . Di samping itu, problem paradigmatik juga
dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsir
ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis dengan visi lembaga yang
dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara keduanya justru berlainan, dan
bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak
sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-program
masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha yang memiliki
anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA di-tempatkan sebagai
pelengkap .
  problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha pendidikan
Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root), seperti
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga jelas,
di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai
sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu .
  problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya menjadi
tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah. Dalam hal ini,
problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas
mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah . Kerja-kerja praktis (untuk tidak
dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan. Dalam keseharian, pihak
penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding
melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan
Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak pelaksana
pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu pendidikan,
seperti deschoolingsociety, sekolah gratis, dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Sairin, Weinata , Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: PT Fajar


Interpratama, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.
Asrofie, M Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya,
Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
Mulkhan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah Cet I, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan, 1990.
Anshoriy Ch, Nasruddin, Matahari Pembaharuan, Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher,
2010.
Jatmika. Sidik, Kauman; Muhammadiyah Undercover, Yogyakarta: Ge

Pendidikan Muhammadiyah

Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya.

Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya
mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut
bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”,
yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak
menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah
tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.

Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan
merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah
itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung
besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai
Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan
tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.

D. Problem Pendidikan Muhammadiyah

Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah inilah yang dengan
serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku
“Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu
mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman
ke halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak
“segan-segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan
epilog.

Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, seperti Dr. Abdul
Mu’ti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Dr. Tasman Hamami,
M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari
“rekomendasi kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini
hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan
secara umum agar selalu memperhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga
Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi
ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah
sudah sedemikian kritis.

Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem
paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem
ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan
aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah
(hal: 58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting.
Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi
profesional seseorang.

Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat
berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas
semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan
amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun
problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan
tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha
pendidikan terhadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.

Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir
Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Menggugat Muhammadiyah (2000)”. Menurut
Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus
berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk
menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Muhammadiyah dadakan tersebut
justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan
Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20).

Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi
wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar
ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya
paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-
paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan
terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah
dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan
non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan
sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan
lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan
bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan
institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal
itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).

Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara
keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan
istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan
pelbagai program-program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal
usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA
di-tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).

Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha


pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root),
seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun
juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah
masyarakat.

Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).

Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya


menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah.
Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas
mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah (hal: 180). Kerja-kerja praktis (untuk
tidak dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.

Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban
struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai
pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan
pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.

Dalam bidang pendidikan usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:


a.       Mendirikan sekolah – sekolah umum dengan memasukkannya ke dalamnya ilmu – ilmu
agama.
b.      Mendirikan madrasah – madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu – ilmu
pengetahuan umum.
Dengan perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu
umum.  Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
                                                  
KONSEP PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah diasaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November
1912.  Muhammadiyah didirikan sebagai reaksi terhadap  kondisi umat Islam Hindia Belanda
terutama di Jawa ketika itu berada dalam keadaan lemah hingga tak mampu menghadapi
tantangan zaman ( Ahmad Syafi’i Maarif,1985).  Khusus dalam bidang pendidikan dan
pengajaran pondok pesantren yang lebih menitik beratkan pengembangan “ilmu pengetahuan
Islam” yang berorientasi kepada keakhiratan, sementara pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah Hindia Belanda menitik beratkan pada “ilmu pengetahuan umum” yang berorientasi
pada maslaha keduniaan(sekuler) yang dipersiapkan untuk membantu memantapkan kakuatan
kolonial di Indonesia.
Polarisasi yang diametral ini sebagai akibat sistem dan politik pendidikan yang
diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang lebih memantapkan politik devide et
impera .  penyelenggaraan pengajaran dalam sistem persekolahan oleh peerintah Hindia Belanda
mengambil sistem pendidikan pengajaran persekolahan barat (Eropa) dengan menggunakan
kelas dan bangku, sementara sistem pendidikan Pesantren tetap menggunakan sistem tradisional.
Keadaan pendidikan dan pengajaran yang berkutuk dengan segala aspek dan prospeknya
yang tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia merupakan salah satu dorongan yang kuat
bagi kelahiran pergerakan Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad
Dalan. Ada beberapa faktor yang diasaskan oleh Muhammadiyah, yaitu: Umat Islam berada
dalam keadaan jumud karena sudah banyak  menyimpang dari tuntutan agama berdasarkan Al-
Quran dan Sunnah.  Keadaan umat Islam yang lemah dalam berbagai aspek kehidupan sebagai
akibat penjajahan.
Akibat sikap menutup diri dari perkembangan luar.  Persatuan dan kesatuan umat Islam
melemmah sebagai akibat dari kondisi organisasi Islam yang ada.  Munculnya tantangan dari
kegiatan misi zending dinilai dapat mengancam masa depan kehidupan agama Islam.  Selain dari
adanya faktor sebagai kenyataan yang diamati K.H. Ahmad Dahlan, beberapa kalangan menilai
pemikiran Muhamad Abduh mempunyai peran besar dalam mendorongnya untuk mengadakan
pembaharuan.  K.H. Ahmad Dahlan memprioritaskan bidang pendidikan sebagai aktivitas
pembaharuannya  (Amurah,1990, ms :15).
Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh di dunia Islam ketika itu cukup luas.  Gagasan
dan pemikiran tentang pembaharuan dalam Islam tersiar melalui majalah Al- Manar.  Majalah itu
menjadi bacaan para tokoh pembaharu termasuk di Indonesia (Harun Nasution,1979).  Pemikiran
Muhammad Abduh diserap oleh tokoh – tokoh Islam pembaharu di Indonesia , seperti K.H.
Ahmad Dahlan.  Walaupun bagaimanapun, kondisi masyaravkat dan umat Islam di tanah air tak
mungkin dapat di lepaskan dari hubungannya sebagai faktor penyebab diasasnya
Muhammadiyah.

KURIKULUM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH


Muhammadiyah telah menyusun kurikulum pendidikan di sekolah – sekolah yang
mendekati rencana pelajaran sekolah – sekolah kerajaan.  Di pusat – pusat pendidikan
Muhammadiyah, disiplin – sisiplin sekuler (ilmu umum) diajarkan meskipun Muhammmadiyah
memberi dasar sekolah – sekolahnya pada masalah masalah agama.
Dalam penyusunan kurikulum, terlihat adanya pemisahan kedua macam disiplin ilmu,
sehingga antara keduanya terinci dalam pembagian. Misalnya : Kurikulum Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah terdiri atas 26 mata pelajaran (M.Said,1959).  Mata pelajaran tersebut
dipisahkan menjadi mata pelajaran umum sebanyak 21 mata pelajaran dan mata pelajaran agama
sebanyak 5 mata pelajaran.  Hal ini agar mampu menciptakan pribadi muslim yang baik,
semacam kombinasi antara seorang alim dan seorang intelektual, terkesan tidak akan timbul
kesulitan untuk dapat direalisasikan.
Menilik konsep mata pelajaran yang ada dalam kurikulum pendidikan, mata pelajaran
umum  sebesar 80% dan mata pelajaran agama 20%.  Perbandingan antara mata pelajaran umum
dan mata pelajaran agama adalah 4:1 bukan 1:1.  Komposisi ini dapat menimbulkan kesan bahwa
pada dasarnya pendidikan di sekolah – sekolah Muhammadiyah cenderung mengarah kepada
pendidikan umum.  Dan yang membedakan antara sekolah – sekolah Muhammadiyah dengan
sekolah kerajaan hanya terletak pada adanya mata pelajaran agama.  Dalam pelaksanaan
pendidikannya Muhammadiyah merupakan sistem pendidikan yang memadukan antara sistem
pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan sekolah, mmenjadi sistem pendidikan
mmadrasah atau sekolah agama.  Sistem seperti ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan
oleh jami’ah Al- Khair sebelumnya. Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut,
Muhammadiyah lebih memperbanyak model sekolah agama dibanding madrasah.
Dari segi keberhasilan tersebut, ada benarnya sifat kooperatif yang dipilih
Muhammadiyah, atau minimal akan timbul suatu pandangan baru bahwa tindakan yang
dimaksud lebih mengarah kepada kepentingan strategis suatu perjuangan, bukan semata mata
sebagai wujud dari sikap kompromistis terhadap kolonial Belanda.  Sikap kooperatif tersebut
dipilih oleh K.H. Ahmad Dahlan di dasarkanlatar belakang sejarah organisasi dan perkumpulan
Islam, Al- Irsyad dan lain – lainnya memilih sikap non kooperatif, ternyata susah untuk
mengembangkan diri.  Dan alasan inilah Muhammadiyah mengarahkan pembaharuan di bidang
institusi pendidikan, terutama mendirikan sekolah agama yang lebih sesuai keperluan
pendidikan.
 
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN DI MUHAMMADIYAH
Sejalan dengan tujuan untuk membina umat, kegiatan Muhamadiyah sebagai organisasi
Islam antara lain : mendirikan sekolah, memodernisasi pesantren, menggiatkan tabligh, serta
kegiatan sosial lainnya termasuk yang bersifat insidental, seperti membantu korban bencana alam
dan sebagainya. Muhamadiyah menegaskan dua macam lembaga pendidikan, yaitu madrasah
diniyat yang khusus memberikan pelajaran agama dan sekolah-sekolah yang memberikan
pelajaran umum. Madrasah diniyat berbeda dengan madrasah yang lain ketika itu, masih
menerapkan metode pengajaaran sistem khalaqah (belum menggunakan bangku dan meja).
Muhamadiyah mendirikan sekolah-sekolah umum model sekolah kerajaan Hindia Belanda yang
tetap memberikan pelajaran agama Islam sebagai salah satu kurikulumnya.
Materi yang disampaikan pada pendidikan muhammadiyah adalah pendidikan agama
yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, fikih, tarikh, bahasa, al-quran dan
kemuhammadiyahan. Selain pendidikan agama juga terdapat pendidikan umum seperti IPA, IPS,
Ilmu tekhnik, Olahraga, Matematika dan lain-lain.
Bahan pelajaran tersebut diberikan secara berencana. Artinya, bahan pelajaran tertentu
diberikan di kelas tertentu dengan waktu atau lama belajar yang telah ditetapkan.
Metode yang digunakan di Muhammadiyah yaitu metode ceramah, diskusi, tanya jawab,
pemberian tugas, metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama, metode karya wisata
atau belajar di alam.

1. Cita-cita Pendidikan Muhammadiyah


Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah dituntut untuk
mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah pengetahuan melalui
jalur pendidikan.
Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tetap
dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata pelajaran AIK/lsmuba di semua lembaga
pendidikan (formal) milik Muhammadiyah. Hal tersebut sebagai salah satu upaya
Muhammadiyah agar setiap individu senantiasa menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah
semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.
Usaha Muhammadiyah mendirikan dan menyelenggarakan sistem pendidikan modern, karena
Muhammadiyah yakin bahwa Islam bisa menjadi rahmatan lil-‘alamin, menjadi petunjuk dan
rahmat bagi hidup dan kehidupan segenap manusia jika disampaikan dengan cara-cara modern.
Dasarnya adalah Allah berfirman: “Wahai jama’ah jin dan manusia, jika kalian sanggup
menembus (melintasi) pejuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu sekalian tidak akan
sanggup melakukannya melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan)”(QS. Ar-rahman/55:33).
Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur pendidikan. Ada
beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:
1. Tipe Muallimin/Mualimat Yogyakarta (pondok pesantren)
2. Tipe madrasah/Depag; Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
3. Tipe sekolah/Diknas; TK, SD, SMP, SMA/SMK, Universitas/ ST/ Politeknik/ Akademi
4. Madrasah Diniyah, dan lain-lain
Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin dicapai oleh
Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam Muhammadiyah, untuk
mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah, sebagai berikut:
1. Memiliki jiwa Tauhid yang murni
2. Beribadah hanya kepada Allah
3. Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
4. Memiliki akhlaq yang mulia
5. Berpengetahuan luas serta memiliki kecakapan, dan
6. Berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah diwajibkan
memasukkan mata pelajaran Al-Islam / Kemuhammadiyahan (AIK) sebagai bagian integral dari
kurikulum dengan harapan dapat mempengaruhi karakter para peserta didik baik selama proses
pendidikan berlangsung terlebih setelah mereka lulus.
Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan:
1. Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama Islam
dan mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
2. Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh dan
sekaligus mengamalkannya, dan.
3. Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan
Muhammadiyah
1. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan Islam modern.
Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah ketidak efektifan
lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan Belanda, sehingga Muhammadiyah
memelopori pembaruan dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Kini
pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi
masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal bahkan dikritik kalah bersaing
dengan pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh subtansi
yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus diterima untuk perbaikan dan pembaharuan.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan
Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah. Jika diukur dari berdirinya
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1 Desember 1911) Pendidikan Muhammadiyah
berumur lebih tua ketimbang organisasinya (Adaby Darban,2000 : 13). Sekolah tersebut
merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam pelajaran yang mengandung ilmu agama
Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Lembaga pendidikan tersebut sejatinya
sekolah Muhammadiyah, yakni sekolah agama yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnya kegiatan umat Islam pada waktu itu, tetapi bertempat tinggal di dalam sebuah gedung
milik ayah KH Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama
dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum (Djarnawi Hadikusuma,t.t : 64).

BAB III
KESIMPULAN
 
 
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah adalah salah satu gerakan
dakwah Islam yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Salah satu
buktinya Muhammadiyah membangun pondok pesantren dengan sistem pembelajaran yang
modern. Muhammadiyah sampai saat ini tetap konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik
lewat jalur pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amien,Saiful. 2012.AIK(Al Islam Kemuhammadiyahan).Malang:UMM Press

1.
Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital” bisa
diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha.
Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa
kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang
tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami oleh
peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan pendidikan
dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan tingkah laku,
sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau
pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik
menuju kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di
tengah-tengah masyarakat.
C. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya
mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut
bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”,
yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak
menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah
tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan
merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah
itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung
besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai
Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan
tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.
D. Problem Pendidikan Muhammadiyah
Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah inilah yang dengan
serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku
“Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu
mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman
ke halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak
“segan-segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan
epilog.
Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, seperti Dr. Abdul
Mu’ti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Dr. Tasman Hamami,
M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari
“rekomendasi kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini
hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan
secara umum agar selalu memperhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga
Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi
ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah
sudah sedemikian kritis.
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem
paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem
ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan
aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah
(hal:58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting.
Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi
profesional seseorang.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat
berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas
semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan
amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun
problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan
tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha
pendidikan terhadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.
Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir
Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Menggugat Muhammadiyah (2000)”. Menurut
Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus
berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk
menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Muhammadiyah dadakan tersebut
justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan
Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20).
Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi
wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar
ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya
paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-
paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan
terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah
dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan
non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan
sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan
lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan
bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan
institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal
itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).
Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara
keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan
istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan
pelbagai program-program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal
usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA
di-tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).
Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha
pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root),
seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun
juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah
masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).
Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah.
Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas
mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah (hal: 180). Kerja-kerja praktis (untuk
tidak dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.
Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban
struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai
pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan
pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.
 
D. Penutup
Pemikiran pendidikan itu mandeg, terhenti. Penyebab kemandegan itu adalah miskinnya
pemikiran dan filsafat pendidikan di kalangan pengambil kebijakan (hulu) dan praktisi
pendidikan (hilir) di satu sisi. Dan dominannya intervensi politik dan tarikan ekonomi pasar di
sisi yang lain. Dalam situasi demikian, pendekatan filosofi dalam memahami dan menangani
masalah-masalah pendidikan dirasakan amat mendesak agar bisa terhindar dari berbagai godaan
yang menghalangi tumbuhnya pemikiran pendidikan.
Mohammad Abduhzan (kompas, 28/12/2006) menengarai ada tiga hal yang membuat pemikiran
(filsafat) pendidikan kita tidak berkembang. Ketiga hal itu adalah dominannya kepentingan
politik, miskin pendekatan dan metodologi pembelajaran, serta kuatnya jiwa korupsi dalam
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Padahal, dalam konteks pendidikan, filsafat masuk
pemikiran tinggkat tinggi sehingga sedikit sekali praktisi dan pengambilan kebijakan yang
menyadari manfaatnya dalam pengembangan pendidikan.
Iklan

C.  Tantangan yang Dihadapi Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan


1.    Masalah Kualitas Pendidikan
Perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang pendidikan yang
sangat pesat secara kuantitatif belum diimbangi peningkatan kualitas yang sepadan, sehingga
sampai batas tertentu kurang memiliki daya saing yang tinggi, serta kurang memberikan
sumbangan yang lebih luas dan inovatif bagi pengembangan kemajuan umat dan bangsa.
Bahwa amal usaha Muhammadiyah dalam hal kualitas mengalami dua masalah sekaligus,
yaitu, pertama, terlambatnya pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan penambahan jumlah
yang spektakuler, sehingga dalam beberapa hal kalah bersaing dengan pihak lain. Kedua, tidak
meratanya pengembangan mutu lembaga pendidikan. Dalam sejumlah aspek banyak disoroti
kelemahan amal usaha khususnya di bidang pendidikan yang kurang mampu menunjukkan daya
saing di tingkat nasional apalagi internasional. Amal usaha Muhammadiyah tidak mengalami
proses inovasi yang merata dan signifikan, sehingga cenderung berjalan di tempat, kendati
beberapa lainnya mulai bangkit mengembangkan ide-ide dan metode baru dalam peningkatan
kualitas dan keberadaan amal usaha Muhammadiyah.
Kedepan diperlukan peningkatan kualitas yang lebih inovatif, sehingga amal usaha
Muhammadiyah khususnya bidang pendidikan dapat lebih unggul serta mampu mengemban misi
dakwah dan tajdid Muhammadiyah.
Dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang
keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada
keunggulan kompetitif (competitive advantage).
 Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
artinya dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan
menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan
pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan
semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah
di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam
negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Inilah salah satu dari sekian
tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
2.    Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah
pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu
untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat
tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto, “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi
seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis yang
kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera
ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “di ditiru”
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau
pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan
adanya guru terlebih-lebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka
memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia
pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak
profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi
pendidikan Muhammadiyah masa kini.
3.    Masalah kebudayaan (alkulturasi)
Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun mental
spiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu perkembangan kebudayaan
dalam abad moderen saat ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayan bangsa lain.
Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses alkulturasi yaitu pertukaran dan saling
berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
Dari sinilah terdapat tantangan bagi pendidikan-pendidikan islam yaitu dengan adanya
alkulturasi tersebut maka akan mudah masuk pengaruh negatif bagi kebudayaan, moral dan
akhlak anak. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi pendidikan islam untuk memfilter
budaya-budaya yang negatif yang diakibatkan oleh pengaruh budaya-budaya barat. (Arifin,
1994:42)
4.    Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan
terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global
telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma
pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada
guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa
pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional
ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak
menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan
erat dengan rendahnya professionalisme guru.
5.    Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari pada kemajuan
teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Teknologi menawarkan berbagai
kesantaian dan ketenangan yang semangkin beragam.
Dampak negatif dari teknologi moderen telah mulai menampakan diri di depan mata kita,
yang pada prinsipnya melemahkan daya mental-spiritual / jiwa yang sedang tumbuh berkembang
dalam berbagai bentuk penampilannya.  Pengaruh negatif dari teknologi elektronik dan
informatika dapat melemahkan fungsi-fungsi kejiwaan lainya seperti kecerdasan pikiran, ingatan,
kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologi-
elektronis dan informatika seperti Komputer, foto copy dan sebagainya.(Arifin,1991,hal: 9 )
Alat-alat diatas dalam dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu dampak
positif  dan juga dampak negatif. Misalnya pada pelajaran bahasa asing anak didik tidak lagi
harus mencari terjemah kata-kata asing dari kamus, tapi sudah bisa lewat komputer penerjemah
atau hanya mengcopy lewat internet. Nah dari sinilah nampak jelas bahwa pengaruh teknologi
dan informasi memiliki dampak positif dan negatif
6.    Tantangan era globalisasi terhadap pendidikan agama Islam di antaranya, krisis moral.
Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, yang
menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika, perselingkuhan,
pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada perbuatan negatif generasi
muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan, pencopetan,
penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan tidak punya integritas dan krisis akhlaq
lainnya.
7.    Dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian.
Diera globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia sedang mengalami sebuah perubahan
yang besar disegala sektor. Ini dibuktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu cepat. Dengan kemajuan teknologi dan informasi seperti televisi, komputer, internet,
media cetak dan elektronik mengakibatkan bangsa Indonesia dapat dengan mudah mengakses
informasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga dapat menimbulkan kemerosotan norma-norma dalam
kehidupan bermasyarakat, kebobokran akhlak (perilaku), serta bentuk penyimpangan lainnya
yang kini telah merebak dalam masyarakat Indonesia khususnya generasi muda dalam hal ini
pelajar atau mahasiswa. Mereka lebih mementingkan urusan duniawi daripada urusan akhirat.
Dari semua bentuk penyimpangan ini membutuhkan suatu upaya yang sangat serius
untuk mengatasinya. Salah satu cara mengatasinya adalah melalui pendidikan, dalam hal ini
pendidikan kemuhammadiyahan. Dengan kemuhammadiyahan dampak-dampak buruk dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa di minimalisir.
Jadi ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
cepat telah memberikan dampak-dampak bagi kehidupan kita, baik itu dampak positif maupun
dampak negatif. Dampak tersebut  menyebabkan bangsa Indonesia melakukan banyak
penyimpangan. Di dalam pendidikan, kemuhammadiyahan adalah salah satu upaya yang
diperlukan. Kemuhammadiyahan berperan aktif untuk mengelola dan memanage dampak-
dampak buruk yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
minimalisir.
D.  Solusi atas Tantangan yang Dihadapi Muhammadiyah dalm Bidang Pendidikan
Menjawab tantangan yang dihadapi muhammadiyah dalam bidang pendidikan seperti
yang disebutkan diatas, Achmad Charis Zubai Sekretaris II Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah periode 1995-2000 mengemukakan bahwa kendatipun
jumlah umat islam mayoritas (88,2%) di Indonesia namun kualitasnya cukup memprihatinkan
dibanding umat lain. Karena beberapa fakor seperti tidak mencerminkan homogenitas dalam
kualitas tetapi heterogenitas baik dalam kualitas, intensitas, maupun paham-paham dan persepsi
keagamaannya. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya umzt islam juga melatarbelakangi
mengapa umat islam tidak memiliki peran yang setaraf dengan kuantitasnya.
Menjawab tantangan yang dihadapi Muhammadiyah bahwa Kualitas lembaga pendidikan
yang dimiliki Muhammadiyah belum setara dengan kuantitasnya yang senantiasa mengalami
perkembangan yang spektakuler, Muhammadiyah perlu melakukan upaya pengesyahan dan
penghidupan kembali Muhammadiyah sebagai gerakan pendidikan dan gerakan pengembangan
dan pengelolaan. Dalam aspek filosofik, Muhammadiyah perlu merumuskan kembali ide dasar
pendidikan muhammadiyah sebagai matra keimanan dan ketaqwaaan yang tercemin dalam
relijiulitas serta akhlaq manusianya. Dalam aspek kebijakan pengembangan dan pengelolaan,
dilakukan dengan penyegaran dan perubahan orientasi yang meliputi :
1.    Dari orientasi status ke orientasi kompetensi
2.    Dari orientasi Input ke output
3.    Dari orientasi kekinian ke orientasi masa depan
4.    Dari orientasi kuantitatif ke orientasi kualitatif
5.    Dari orientasi kepemimpinan individu ke orientasi sistem
6.    Dari orientasi ketergantungan ke orientasi kemandirian
7.    Ari orientasi fisik ke orientasi nilai
Disamping itu perencanaan dan pengelolaan muhammadiyah perlu dikembangkan dengan
wawasn keunggulan dengan memacu kreativitas disegala bidang seperti iptek, kewirausahaan,
seni, dan sebagainya. Sehingga dapat meningkatkan daya saing umat dan bangsa dalam
percaturan nasional dan bangsa.
Menjawab tantangan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun yang
berkaitan dengan sejauh mana sekolah-sekolah Muhammadiyah mampu mengaktualisasikan
misinya sebagai sekolah islam ditengah perubahan dan globalisasi. Sehingga diperlukan proses
belajar yang sejalan dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga
membawa siswa menyadari kebesaran Alloh Swt. Itu semua barangkali dapat digunakan sebagi
prinsip moral dan peningkatan kualitas pendidikan Muhammadiyah bagi pengembangan kualitas
sumberdaya manusia.
Tantangan Muhammadiyah yang kedua dalam bidang pendidikan adalah masalah
berkurangnya profesionalisme guru. Hal ini harus segera ditemukan solusinya oleh
muhammadiyah untuk menghindari dampak negatif terhadap kualitas peserta didik dengan terus
meningkatkan kualitas Sumber daya pendidik dan terus menanamkan etos keikhlasan kepada
para pendidik dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai gerakan pendidikan juga harus mampu menghadapi
perubahan dan arus globalisasi yang ada terhadap kemungkinan dampak buruk yang bisa dialami
peserta didiknya. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
pesat maka budaya asing akan dengan mudahnya masuk ke dalam kebudayaan Indonesia.
Muhammadiyah harus dapat menjadi filter atau penyaring agar kebudayaan asing yang
bersifat negatif tidak ikut masuk dan pada kahirnya akan merusak moral dan kepribadian pelajar
Muhammadiyah. Salah satu yang perlu terus dikembangkankan adalah dengan terus memberikan
materi Al islam Kemuhammadiyahan yang diharapkan dapat menjadi pencerah bagi para pelajar
Muhammadiyah serta terus mengembangkan strategi pembelajaran yang kaya materi namun juga
kaya motivasi. Hal ini dikarenakan selama ini pendidikan di Indonesia adalah pendidikan dimana
peserta didik terus disuapi dengan seabreg materi namun miskin motivasi.
Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, sumberdaya manusia yang berkualitas,
kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi, pengalaman sosial yang panjang, dan modal sosial
yang luar biasa Muhammadiyah akan mampu menjadi kekuatan pencerahan di negeri ini. Kini
dalam memasuki perjalanan abad kedua tuntutannya ialah bagaimana segenap anggota terutama
kader pimpinan Muhammadiyah, memanfaatkan dan memobilisasi seluruh potensi dan sistem
gerakannya untuk tampil menjadi gerakan Islam modern yang unggul di segala lapangan
kehidupan salah satunya adalah untuk terus melakukan pengembangan dan perbaikan dalam
bidang pendidikan.
Transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain
yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan
inovatif. Pembaruan gelombang kedua menjadi keniscayaan bagi Muhammadiyah dalam
memasuki fase itu.

E.  Program Pengembangan Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan, Iptek dan


Litbang
Dalam rangka menjawab kritikan dan untuk mengembangkan Pendidikan, Iptek dan
Litbang maka Muhammadiyah menetapkan Program Kerja dalam bidang Pendidikan yang
tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang isinya sebagai
berikut :
a.    Visi Pengembangan
Berkembangnya kualitas dan ciri khas muhammadiyah yang unggul, holistik dan
bertatakelola baik yang didukung oleh pengembangan Iptek dan litbang sebagai wujud
aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid dalam membentuk manusia yang utuh sebagaimana tujuan
pendidikan muhammadiyah.
b.    Program Pengembangan
1)   Mengembangkan sistem pendidikan Muhammadiyah yang holistik atau menyeluruh sebagai
kelanjutan dari konsep blueprint pendidikan Muhammadiyah menuju pencapaian pendidikan
yang unggul dan utama dimasa depan.
2)   Menyusun Roadmap keunggulan pendidikan Muhammadiyah baik tingkat dasar dan
menengah maupun perguruan tinggi dalam berbagai aspeknya, termasuk pemetaan sumberdaya
insani, pusat-pusat keunggulan, fasilitas, tata kelola, kepemimpinan, dan lain-lain yang
mendukung pengembangan kualitas/ keunggilan pendidikan Muhammadiyah ditengah
persaingan yang tinggi.
3)   Meningkatkan peran dan fungsi Muhammadiyah sebagai lembaga pelayan masyarakat
dengan membuka dan memperluas akses dan kesempatan bagi seluruh masyarakat tanpa
memandang suku, bangsa, agama dan kelas sosial untuk memperoleh pendidikan yang bermakna
bagi diri, keluarga dan masyarakat.
4)   Mengembangkan model-model pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan diseluruh
jenjang pendidikan yang memberikan pencerahan paham islam dan komitmen gerakan
Muhammadiyah yang berkemajuan.
5)   Mengembangkan kualitas kepemimpinan, tatakelola termasuk tatakelola keuangan,
peraturan-peraturan yang terpadu dan standar, pemanfaatan IT, penjaminan mutu dan berbagai
aspek penting lainnya yang mendukung pengembangan keunggulan pendidikan Muhammadiyah
ditingkat perguruan tinggi maupun dasar dan menengah.
Itulah 5 dari 31 poin Program pengembangan pendidikan Muhammadiyah yang tertuang
dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Semuanya mengarah pada
perbaikan dan pengembangan pendidikan Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai