2. Faktor Eksternal
a) Kristenisasi
Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah
Kristenisasi, yakni kegiatan – kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama
penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi Kristen. Kristenisasi ini mendapatkan
peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Misi Kristen,
baik Katholik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi
Belanda. Bahkan kegiatan – kegiatan Kristenisasi ini didukung dan dibantu dana – dana negara
Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristenisasi inilah yang terutama menggugah K.H.
Ahmad Dahlan untuk membentengi umat Islam dari pemurtadan.
b) Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di
wilayah Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah
dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan
perlawanan. Menyikapi hal ini, K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah
berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural,
terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c) Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari
sejarah panjang gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim,
Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al - Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperoleh melalui tulisan – tulisan Jamaluddin al –
Afgani yang dimuat dala majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh K.H. Ahmad
Dahlan. Tulisan – tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan – gagasan pembaharuan ke
dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga. Dalam melihat seluruh latar belakang kelahiran
Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar
dalam beritijhad. Prinsip – prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada
Al-Quran dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memiliki karakter
dinamis dan terus berubah – ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak
memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka ( misalnya sistem kerja organisasi
yang banyak diilhami dari yayasan – yayasan Katolik dan Protestan yang ba;nyak muncul di
Yogyakarta waktu itu).
B. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah dituntut
untuk mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah pengetahuan
melalui jalur pendidikan. Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata pelajaran Al-
Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di semua lembaga pendidikan (formal) milik Muhammadiyah.
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan Islam modern.
Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah ketidak efektifan
lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan Belanda, sehingga Muhammadiyah
memelopori pembaruan dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Kini
pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi
masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal bahkan dikritik kalah bersaing
dengan pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh subtansi
yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus diterima untuk perbaikan dan pembaharuan.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan
Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah.
Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan :
Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama Islam dan
mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh dan
sekaligus mengamalkannya, dan.
Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan
Muhammadiyah
2. Visi Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan
watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma'ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil'alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
3. Misi Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma'ruf nahi munkar memiliki misi :
1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh
para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
2. Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3. Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an sebagai kitab Allah terakhir
dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4. Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami
oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan
pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan
tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan
pendidik. Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau
pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik
menuju kepribadian yang utama. Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan
penuh sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya. Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga
pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah
suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin
kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan
dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran
filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan
di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini
ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu
umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang
tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian,
sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu
alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
4. Problem Pendidikan Muhammadiyah
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni :
problem ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan lainnya yang
tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut tentu saja disebabkan
karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu,
menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang
pintu masuknya paham-paham keagamaan non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang
dipimpinnya.
problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan Muhammadiyah.
“Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam memaknai sejarah. Para
pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali
terjebak pada romantisme sejarah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah,
terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai
epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa
depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi pendidikan
Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-dampak pada
keringnya inovasi untuk mengembangkan dirim . Di samping itu, problem paradigmatik juga
dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsir
ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis dengan visi lembaga yang
dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara keduanya justru berlainan, dan
bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak
sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-program
masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha yang memiliki
anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA di-tempatkan sebagai
pelengkap .
problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha pendidikan
Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root), seperti
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga jelas,
di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai
sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu .
problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya menjadi
tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah. Dalam hal ini,
problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas
mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah . Kerja-kerja praktis (untuk tidak
dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan. Dalam keseharian, pihak
penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding
melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan
Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak pelaksana
pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu pendidikan,
seperti deschoolingsociety, sekolah gratis, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya
mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut
bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”,
yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak
menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah
tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan
merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah
itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung
besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai
Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan
tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.
Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah inilah yang dengan
serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku
“Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu
mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman
ke halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak
“segan-segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan
epilog.
Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, seperti Dr. Abdul
Mu’ti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Dr. Tasman Hamami,
M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari
“rekomendasi kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini
hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan
secara umum agar selalu memperhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga
Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi
ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah
sudah sedemikian kritis.
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem
paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem
ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan
aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah
(hal: 58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting.
Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi
profesional seseorang.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat
berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas
semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan
amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun
problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan
tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha
pendidikan terhadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.
Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir
Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Menggugat Muhammadiyah (2000)”. Menurut
Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus
berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk
menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Muhammadiyah dadakan tersebut
justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan
Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20).
Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi
wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar
ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya
paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-
paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan
terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah
dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan
non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan
sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan
lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan
bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan
institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal
itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).
Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara
keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan
istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan
pelbagai program-program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal
usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA
di-tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).
Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban
struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai
pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan
pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah adalah salah satu gerakan
dakwah Islam yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Salah satu
buktinya Muhammadiyah membangun pondok pesantren dengan sistem pembelajaran yang
modern. Muhammadiyah sampai saat ini tetap konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik
lewat jalur pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amien,Saiful. 2012.AIK(Al Islam Kemuhammadiyahan).Malang:UMM Press
1.
Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital” bisa
diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha.
Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa
kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang
tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami oleh
peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan pendidikan
dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan tingkah laku,
sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau
pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik
menuju kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di
tengah-tengah masyarakat.
C. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah
Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah
yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan
kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan
kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak
terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep
yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya
mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat
pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut
bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”,
yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak
menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah
tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional
filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek
normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah”
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan
merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah
itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung
besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai
Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan
tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.
D. Problem Pendidikan Muhammadiyah
Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah inilah yang dengan
serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku
“Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu
mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman
ke halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak
“segan-segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan
epilog.
Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, seperti Dr. Abdul
Mu’ti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Dr. Tasman Hamami,
M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari
“rekomendasi kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini
hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan
secara umum agar selalu memperhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga
Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi
ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah
sudah sedemikian kritis.
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem
paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem
ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan
aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah
(hal:58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting.
Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi
profesional seseorang.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat
berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas
semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan
amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun
problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan
tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha
pendidikan terhadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.
Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir
Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Menggugat Muhammadiyah (2000)”. Menurut
Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus
berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk
menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Muhammadiyah dadakan tersebut
justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan
Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20).
Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi
wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar
ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya
paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-
paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan
terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah
dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan
non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan
sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan
lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan
bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan
institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal
itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).
Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara
keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan
istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan
pelbagai program-program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal
usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA
di-tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).
Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha
pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root),
seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun
juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah
masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik.
Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu
upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat
konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).
Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah.
Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas
mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah (hal: 180). Kerja-kerja praktis (untuk
tidak dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.
Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban
struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai
pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan
pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.
D. Penutup
Pemikiran pendidikan itu mandeg, terhenti. Penyebab kemandegan itu adalah miskinnya
pemikiran dan filsafat pendidikan di kalangan pengambil kebijakan (hulu) dan praktisi
pendidikan (hilir) di satu sisi. Dan dominannya intervensi politik dan tarikan ekonomi pasar di
sisi yang lain. Dalam situasi demikian, pendekatan filosofi dalam memahami dan menangani
masalah-masalah pendidikan dirasakan amat mendesak agar bisa terhindar dari berbagai godaan
yang menghalangi tumbuhnya pemikiran pendidikan.
Mohammad Abduhzan (kompas, 28/12/2006) menengarai ada tiga hal yang membuat pemikiran
(filsafat) pendidikan kita tidak berkembang. Ketiga hal itu adalah dominannya kepentingan
politik, miskin pendekatan dan metodologi pembelajaran, serta kuatnya jiwa korupsi dalam
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Padahal, dalam konteks pendidikan, filsafat masuk
pemikiran tinggkat tinggi sehingga sedikit sekali praktisi dan pengambilan kebijakan yang
menyadari manfaatnya dalam pengembangan pendidikan.
Iklan