Anda di halaman 1dari 10

1. Bagaimana program rehabilitasi medik pada kasus tersebut ?

a. Mobilisasi pasien
- Posisi Berbaring :
 Ranjang pasien datar seluruhnya
 Kepala: ditinggikan 30 derajat dengan posisi yang nyaman
 Posisi tidur diusahakan dilakukan secara dinamis, artinya pasien jangan tidur atau
berbaring pada satu sisi terlalu lama.
- Posisi Duduk :
Apabila belum mampu mengubah posisi dari berbaring ke posisi duduk, pasien dapat
dibantu. Diusahakan pasien duduk dengan lurus dan bila perlu bawah punggung
pasien diganjal dengan bantal.
b. Fisioterapi : untuk mengembalikan fungsi motorik kasar untuk dapat melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari. Latihan yang diberikan :
-Latihan berjalan : dilakukan dengan menuruni anak tangga, berjalan menggunakan alat
bantu walker dan handrail, serta latihan berjalan dengan treadmill.
- Latihan angkat beban pada jari dan tangan dilakukan pada gym untuk latihan motorik
kasar
-Latihan penguatan kaki : dapat juga menggunakan static cycle
-Latihan Senam Stroke
-Pool Terapi : latihan motoric kasar dengan media air.
c. Terapi Okupasi : untuk mengembalikan fungsi motorik halus. Bertujuan agar pasien
pascastroke untuk dapat melakukan aktifitas sehari hari seperti merasakan sensibilitas
pada kaki, menulis, dll.
d. Terapi Wicara dan Mendengar
Terapi wicara dilakukan dengan cara mengajak bicara pasien dengan media gambar.
Terapi mendengar dilakukan untuk mengetes respon indra pendengaran pasien dengan
cara si pasien masuk ke dalam ruangan yang kedap suara lalu operator audiometri
memencet alat tanpa sepengetahuan pasien. Apabila pasien mendengar suara pasien harus
memencet alat yang telah disediakan.
Wijanarko, Agung. 2016. Pusat Rehabilitasi Pasca Stroke di Semarang dengan
Pendekatan Healing Environment. [Skripsi]. Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta : PERDOSSI.

2. Apa perbedaan subarachnoid hemorage dengan intracranial hemorrage?


-Pada SAH gejala defisit lokal ringan, sedangkan pada ICH berat.
-Pada SAH onsetnya 1-2 menit, sedangkan pada ICH menit/jam.
-Pada SAH nyeri kepala sangat hebat, sedangkan pada ICH nyerinya hebat tapi tidak seberat
SAH.
-Pada SAH biasanya tidak disertai hipertensi, sedangkan pada ICH hampir selalu disertai
hipertensi.
-Pada SAH kesadarannya bisa hilang tapi hanya sebentar, sedangkan pada ICH kesadaran bisa
hilang lebih lama.
-Pada SAH bisa ada gejala kaku kuduk diawal, sedangkan pada ICH biasanya tidak ada.
-Pada SAH biasanya tidak ada hemiparesis, sedangkan pada ICH sering terjadi hemiparesis.
-Pada SAH bisa ada pendarahan subhialoid, sedangkan pada ICH tidak ada.
-Pada SAH mungkin terjadi gangguan nervus 3, sedangkan pada ICH tidak.
-Pada SAH di pemeriksaan LCS didapatkan eritrosit lebih dari 25.000/mm3, sedangkan pada
ICH didapatkan eritrosit yang lebih sedikit yaitu 5000/mm3

Iskandar, Junaidi. 2004. Pedoman Praktis Pengobatan dan Pencegahan Stroke. Jakarta : Bhuana
Ilmu Populer.
3. Alur diagnosis tumor otak
Tumor Otak Primer
Tumor Otak Sekunder
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2017. Pedoman Nasional Pelayana Kedokteran :
Tumor otak. Jakarta : Kemenkes RI.
4. Golden period pemeriksaan ct scan pada kasus2 cerebrovascular disease
Stroke ec SAH :
Golden period untuk melakukan CT scan pada stroke ec SAH adalah sesegera mungkin
sehingga bisa dilakukan pengobatan secepatnya. Sensitivitas untuk mendeteksi stroke ec
subaraknoid hemoragik yaitu mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah
serangan.

Infark :
CT Scan tidak sensitif mendeteksi infark pada 24 jam pertama setelah infark. Pasien dengan
gejala infark kortikal besar sudah terlihat infark 48 jam setelah stroke.

Dalam membedakan infark dengan pendarahan :


golden period CT Scan yaitu sampai 5 hari setelah stroke. Perdarahan terbaru adalah densitas
tinggi (putih) dan biasanya bulat dan menempat ruang. Infark biasanya tampak sebagai
densitas rendah (gelap) dan menempati daerah yang diperdarahi dengan beberapa
pembengkakan.

Umam, David. 2018. Neuroimaging pada Subaraknoid Hemoragik. Surakarta : Universitas


Sebelas Maret.
Wardlaw, J.M. 2001. Radiology of Stroke. Vol 70 : i7 – i11.
Setyopranoto, Ismail. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid. Vol 39 (11) : 807 –
812.
5. Jelaskan ttg neoplasma sistem syaraf (yg bagaimana yg bisa relapas?) dari definisi
smp penegakan dx- rujukan dll

Definisi
Neoplasma adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus-
menerus tidak terkontrol dan tidak berkoordinasi dengan jaringan di sekitarnya. Dapat menjadi
pertumbuhan jinak (benign) maupun ganas (malignant atau kanker). Neoplasma sistem saraf
pusat berasal dari dalam otak, medulla spinalis, meningen dan tumor metastatik yang berasal dari
tempat lain.

Neoplasma SSP dapat dibagi menjadi tumor intrakranial primer dan tumor metastatik (sekunder).

TUMOR OTAK PRIMER


Manifestasi Klinis
Kombinasi gejala yang sering ditemukan adalah peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala
hebat disertai muntah proyektil), defisit neurologis yang progresif, kejang, penurunan fungsi
kognitif.

Diagnostik
3.1.2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis didapatkan keluhan sakit kepala, mual, penurunan nafsu makan, muntah
proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda, strabismus, gangguan keseimbangan,
kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan
fungsi kognitif.

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan status generalis dan lokalis, serta
pemeriksaan neurooftalmologi. Dapat terjadi destruksi jaras penglihatan dan gerakan bola mata,
sehingga dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi.
3.1.2.2 Pemeriksaan Fungsi Luhur
Pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi,
radioterapi dan kemoterapi).

3.1.2.3 Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan laboratorium : untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi
yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan,
yaitu: darah lengkap, hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B
dan C, dan elektrolit lengkap.

- Pemeriksaan radiologis
CT scan : untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis dan sangat baik
untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang tengkorak.
MRI : dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor
infratentorial, namun mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) : dapat berguna pascaterapi untuk
membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi.
Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal : untuk menegakkan diagnosis
limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis leptomeningeal, atau penyebaran
kraniospinal seperti ependimoma.

Klasifikasi
Menurut WHO
-derajat 1 : untuk tumor dengan potensi proliferasi rendah, kurabilitas pasca reseksi cukup baik.
-derajat 2 : untuk tumor bersifat infiltratif, aktivitas mitosis rendah, namun sering timbul
rekurensi. Jenis tertentu cenderung untuk bersifat progresif ke arah derajat keganasan yang lebih
tinggi.
-derajat 3 : didapatkan gambaran aktivitas mitosis jelas, kemampuan infiltrasi tinggi, dan
terdapat anaplasia.
-derajat 4 : terlihat mitosis aktif, cenderung nekrosis, pada umumnya berhubungan dengan
progresivitas penyakit yang cepat pada pra/ pascaoperasi.
Semakin tinggi derajatnya maka semakin tinggi risiko terjadi rekurensi.

Penatalaksanaan
-Tatalaksana Penurunan Tekanan Intrakranial
Peningkatan tekanan intracranial disebabkan oleh efek desak ruang dari edema serebri.
Pemberian kortikosteroid dapat digunakan untuk mengurangi edema serebri. Obat yang
direkomendasikan adalah deksametason dengan dosis bolus IV10 mg, dilanjutkan dosis rumatan
16-20mg/hari IV, lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis terbagi) bergantung pada klinis.

-Pembedahan : untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial,


mengurangi kecacatan, dan meningkatkan efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya
direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel.

-Radioterapi : untuk pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan pasca operasi, atau pada
kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi.

-Kemoterapi : untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality
of life) pasien semaksimal mungkin. Kemoterapi biasa digunakan sebagai kombinasi dengan
operasi dan/atau radioterapi.

-Tatalaksana Nyeri : dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20mg/kgBB dengan dosis
maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai dengan beratnya nyeri.

-Tatalaksana Kejang : Levetiracetam lebih dianjurkan karena memiliki efek samping yang lebih
baik dengan dosis antara 20-40 mg/kgBB, serta dapat digunakan pasca operasi kraniotomi.
TUMOR OTAK SEKUNDER

4.2 Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dijumpai tanda dan gejala seperti pada tumor otak
primer, yang dapat berupa tanda peningkatan tekanan intrakranial, sakit kepala, mual/muntah,
gejala fokal, kelumpuhan/paresis tanpa gangguan sensorik, penekanan saraf kranialis, kejang;
dan perubahan perilaku, letargi, dan penurunan kesadaran

b. Pemeriksaan Penunjang
-CT Scan Otak : gambaran lesi metastasis soliter (tunggal) sejak pasien pertama kali
mendapatkan gangguan klinis neurologis.
- MRI : didapatkan lesi soliter.

4.3 Tatalaksana
- Pembedahan
- Radiasi Eksterna
- Terapi medikamentosa
1. Pemberian kortikosteroid untuk gejala klinis akibat edema otak. Dosis awal deksametason 10-
20 mg iv, kemudian 4x5 mg iv selama 2-3 hari sampai gejala klinis membaik. Tappering off
dimulai setelah gejala klinis terkontrol.
2. Pemberian antagonis H2 seperti ranitidine 2x150 mg
3. Pemberian antikonvulsan seperti fenitoi
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2017. Pedoman Nasional Pelayana Kedokteran :
Tumor otak. Jakarta : Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai