Anda di halaman 1dari 187

DEPARTEMEN KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN INDIVIDU
LAPORAN PENDAHULUAN 7 DIAGNOSA GANGGUAN
1. Resiko Bunuh Diri
2. Perilaku Kekerasan
3. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
4. Gangguan Proses Fikir: Waham
5. Isolasi Sosial: Menarik Diri
6. Harga Diri Rendah
7. Defisit Perawatan Diri

Oleh:

Zia Suflan Hakim


NIM. 190070300011023

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
RESIKO BUNUH DIRI

1.1 Definisi
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara.Bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri
sendiri (Videbeck, 2008)
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk
membinasakan dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang
singkat. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang mengalami
gangguan mood, terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri. Edwin Shneidman
(1963, 1981), seorang peneliti bunuh diri yang ternama, mendefinisikan dua
kategori bunuh diri yaitu langsung dan tidak langsung. Bunuh diri langsung
adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk mengakhiri hidup seperti
pengorbanan diri (membakar diri), menggantung diri, menembak diri,
meracuni diri, melompat dari tempat yang tinggi, meneggelamkan diri, atau
sufokasi. Sedangkan bunuh diri tidak langsung adalah keinginan tersembunyi
yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis berisiko
seperti penyalahgunaan zat, makan berlebihan, aktivitas seks bebas,
ketidakpatuhan terhadap program medis, dan olahraga atau pekerjaan yang
membahayakan.
Upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal
dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai.Pada jenis terakhir,
invidu tidak menyelesaikan tindakan bunuh diri karena berhasil ditolong
orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai dilakukan, tetapi individu berhasil
diselamatkan (Roy, 2000).
1.1.1 Klasifikasi
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang
menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan
integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak
menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan mereka yang menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun cenderung
untuk bunuh diri karena indentifikasi terlalu kuat dengan suatu
kelompok, ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi
antara individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut
meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu
kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan
atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.

1.1.2 Tahapan
Menurut Stuart, 2006, tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Suicidal ideation
Tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau
sebuah metoda tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila
tidak ditekan. Perawat perlu menyadari bahwa pasien pada
tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati.
b. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.
c. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
d. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan parilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya
mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk
melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa
pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini
terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan
hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki
kemauan untuk hidup, ingin diselamatkan, dan individu ini
sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering dinamakan
“Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan
stress yang tidak mampu diselesaikan.
e. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya
minum obat yang mematikan. Walaupun demikian banyak
individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

1.2 Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Peningkatan diri Beresiko Perilaku destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
destruktif tidak langsung
Tabel 1 Rentang Respon Protektif Diri

Rentang respon protektif diri menurut Keliat (1999) :


 Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar
terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.Sebagai contoh
seseorang mempertahankam diri dari pendapatnya yang berbeda mengenal
loyalitas terhadap pemimpin di tempat kerjanya.
 Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku
destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya
dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat kerja
ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
 Perilaku destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladptive) terhadap
situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya,
karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka
seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan
tidak optimal.
 Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat
hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
 Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang(Direja, 2011).

1.3 Etiologi
Menurut Fitria, 2009, etiologi dari resiko bunuh diri adalah :
1.3.1 Faktor predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai
berikut :
a. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan
besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.

c. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri,
diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan
dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit
krinis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan
social sangat penting dalam menciptakan intervensi yang
terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab
masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah
tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan factor penting yang dapat menyebabkan seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh
diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
sepeti serotonin, adrenalin, dan dopamine.Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).

1.3.2 Faktor presipitasi


Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus
adalah perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan berarti, kegagalan
beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
marah/bermusuhan, bunuh diri ,menrupakn hukuman pada diri
sendiri, cara untuk mengakhiri keputusan, melihat atau membaca
melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan.
1.4 Tanda dan Gejala
Menurut Carpenito, 1998 dan Keliat, 1993 tanda dan gejalanya adalah:
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak
setelah mendapat terapi sinar pada kanker
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri
sendiri
c. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu,
saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa
d. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri
e. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan
f. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.

1.5 Penyebab
Tindakan bunuh diri dapat disebabkan oleh ketidakmauan akan diri
sendiri, kesepian, kesendirian. Sulit menerima kenyataan yang ada.
Perasaan menyerah atau putus asa, perasaan berdosa yang terus-menerus
menghantui, perasaan hina yang tidak dapat dipulihkan, perasaan
tergantung. Adanya proses identifikasi yang mengalami hambatan. Masa
kanak-kanak yang terlalu manja dan tidak pernah diberi tanggung jawab.
Penyebab bunuh diri lainnya bisa karena mengalami gangguan jiwa
seperti depresi, merasa putus asa, tidak ada harapan, merasa sendirian, dan
mati adalah jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaannya. Ada juga karena
mengalami gangguan psikotik (gila), halusinasi (penginderaan tanpa ada
rangsangan dari luar) suara yang menyuruhnya melakukan tindakan itu.
Penyebab lainnya pada umumnya karena kepribadian yang belum
matang,belum deasa. Pertimbangan untuk berani menghadapi tantangan
hidup tidak dimilikinya, ingi meraup hasil secepat mungkin dan kalau tidak
berhasil, maka mudah putus asa dan mengambil jalan pintas yang
melakukan bunuh diri secara berulang.
Penyebab terjadinya resiko bunuh diri salah satunya adalah karena
gangguan konsep diri: harga diri rendah.
Tanda dan gejala dari resiko bunuh diri lainnya yaitu :
a. Pernah melakukan atau mengkhayal bunuh diri
b. Cemas
c. Depresi
d. Ungkapan keinginan bunuh diri
e. Riwayat keluarga bunuh diri
f. Perasaan tidak berdaya dan tidak berguna

Tanda dan Gejala Resiko Bunuh Diri Pada Remaja


a. Remaja mengancam akan bunuh diri misalnya “Aku harap aku mati
saja”: “Aku tidak punya apa-apa yang membuat aku tetap hidup,”
b. Sudah pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya, sekecil apapun.
Empat dari lima orang yang melakukan bunuh diri sebelumnya telah
melakukan sedikitnya satu percobaan bunuh diri.
c. Tersirat unsur-unsur kematian dalam music, seni, dan tulisan-tulisan
pribadinya
d. Kehilangan anggota keluarga, binatang peliharaan, atau pacar akibat
kematian, diabaikan, atau putusnya suatu hubungan.
e. Gangguan dalam keluarga, seperti tidak memiliki pekerjaan, penyakit
serius, pindah, perceraian.
f. Gangguan tidur dan kebiasaan makan, serta dalam kebersihan diri.
g. Menurunnya nilai-nilai di sekolah dan hilangnya minat terhadap sekolah
atau kegiatan yang sebelumnya dianggap penting.
h. Perubahan pola tingkah laku yang dramatis, misalnya remaja yang
senang sekali berteman dan berkumpul dengan banyak orang berubah
menjadi pemalu dan menarik diri.
i. Perasaan murung, tidak berdaya, dan putus asa yang mendalam.
j. Menarik diri dari anggota keluarga dan teman, merasa disingkirkan oleh
orang yang bearti baginya.
k. Membuang atau memberikan semua hadiah-hadiah miliknya dan
sebaliknya mulai menata rapi.

l. Serangkaian kecelakaan atau tingkah laku beresiko yang tidak


terencana; penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan; mengabaikan
keselamatan diri; menerima tantangan yang berbahaya. (Dalam
hubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alcohol, telah
terjadi peningkatan yang dramatis selama beberapa tahun belakangan
ini sehubungan dengan jumlah remaja yang melakukan bunuh diri pada
saat sedang di abawah pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang)

1.6 Proses Terjadinya Masalah


Penyebab terjadinya resiko bunuh diri salah satunya adalah karena
gangguan konsep diri: harga diri rendah. Menurut Schult & Videbeck (2003)
gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri
dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak
langsung. Jadi, dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah adalah perasaan
negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan yang diekspresikan secara langsung
maupun tidak langsung.

1.7 Asuhan Keperawatan Umum


1.7.1 Pengkajian
1. Data demografi
a. Perawat mengkaji identitas klien dan melakukan perkenalan
dan kontrak dengan klien tentang nama perawat, nama klien,
panggilan perawatan, panggilan klien, tujuan, waktu, tempat
pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
b. Usia dan nomor rekam medik.
2. Alasan masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga:
a. Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke rumah
sakit?
b. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi
masalah ini?
c. Bagaimana hasilnya?
3. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan
data signifikan tentang:
a. Kerentanan genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
b. Peristiwa hidup yang menimbulkan stress dan kehilangan yang
baru dialami.
c. Episode-episode perilaku bunuh diri di masa lalu
d. Riwayat pengobatan
e. Penyalahgunaan obat dan alkohol
f. Riwayat pendidikan dan pekerjaan
4. Catat ciri-ciri respon fisiologik, kognitif, emosional dan perilaku dari
individu dengan percobaan bunuh diri.
5. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan lelalitas perilaku bunuh diri
klien
a. Tujuan klien (misal, agar terlepas dari stress solusi masalah
yang sulit)
b. Rencana bunuh diri, termasuk apakah klien memiliki rencana
tersebut
c. Keadaan jiwa klien (misal, adanya gangguan pikiran, tingkat
kegelisahan, keputusasaan, ketidakberdayaan)
d. Sistem pendukung yang ada
e. Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit
lain (baik psikiatrik maupun medik), kehilangan yang baru
dialami, dan riwayat penyalahgunaan zat.
f. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar
klien atau keluarga tentang gejala, medikasi, dan rekomendasi
pengobatan, gangguan mood, tanda-tanda kekambuhan serta
tindakan perawatan sendiri.
g. Riwayat Psikososial. Bercerai, putus hubungan, kehilangan
pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan, putus
hubungan, masa sekolah, krisis displin), penyakit kronik.

Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat


perlu memahami petunjuk dalam melakukan wawancara dengan
pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang akurat. Hal – hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
1. Tentukan tujuan secara jelas.
Dalam melakukan wawancara, perawat tidak melakukan diskusi
secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya
wawancara yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang
berhubungan dengan bunuh diri.
2. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu
diobservasi dari komunikasi non verbal.
Perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan dan
distress berat serta topik dan ekspresi diri klien yang di hindari
atau diabaikan.
3. Kenali diri sendiri.
Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal
ini akan mempengaruhi penilaian profesional.
4. Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara.
Hal ini perlu membangun hubungan terapeutik yang saling
percaya antara perawat dan klien.
5. Jangan membuat asumsi
Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu
mempengaruhi emosional klien.
6. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian
pribadi akan membuat kabur penilaian profesional.
7. Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian resiko bunh diri:
Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri.
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri.
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan
skizofrenia.
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisocial.
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses
berduka.
8. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
1) Ide bunuh diri
2) Ancaman bunh diri
3) Percobaan bunuh diri
4) Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan, dan
anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait
dengan resiko bunuh diri.
Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk
membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan pengkajian
lebih mendalam lagi diantaranya:
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya
atau perencanaan untuk melakukan aksinya
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien
untuk merencanakan dan mengagas akan bunuh diri.
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu
mampu diakses oleh klien.
Pohon Masalah

Resiko Bunuh Diri

Gangguan Konsep diri: harga diri rendah

Koping tidak efektif

Faktor Predisposisi Faktor Presipati


1. Lingkungan 1. Psikososial dan klinik
2. Penyakit psikiatri a. Keputusasaan
3. Riwayat masalah b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
psikolsosial
d. Usia lebih tua
4. Faktor kepribadian e. Hidup sendiri
5. Riwayat keluarga 2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang
percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang
penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis

1.7.2 Diagnosa Keperawatan


Dari data pohon masalah yang ada diatas dapat diambil
masalah keperawatan yaitu sebagai berikut :
1. Resiko bunuh diri sendiri b.d harga diri rendah
2. Harga diri rendah b.d koping individu inefektif
Masalah keperawatan utama yang harus di selesaikan dahulu
adalah Resiko bunuh diri b.d harga diri rendah.
1.7.3 Intervensi
Diagnosa keperawatan : Resiko bunuh diri b.d harga diri rendah
a. Tujuan jangka pendek : Klien akan mencari bantuan perawat bila
ada perasaan ingin mencederai diri.
b. Tujuan jangka panjang :Klien tidak akan mencederai diri

Intervensi ketika klien mempunyai ide bunuh diri


 Tindakan Keperawatan Untuk Pasien
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
- Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri,
maka Anda dapat melakukan tindakan berikut.
1) Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
2) Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet,
gelas, tali pinggang.
3) Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya,
jika pasien mendapatkan obat.
4) Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

 Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga


a. Tujuan
- Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan
1) Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernah meninggalkan pasien sendirian.
2) Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
3) Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun
sendiri.
4) Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur.

Intervensi klien bunuh diri


Intervensi Rasional
Jika bunuh diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak Kurangnya perhatian untuk perilaku maladaptive
mengusik penyebabnya jangan dapat menurunkan pengulangan bunuh diri.
berikanreinforcement positif pada perilaku tersebut.

1.7.4 Evaluasi
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien terlindung dari perilaku resiko bunuh diri.
c. Klien dapat mengarahkan moodnya lebih baik.
d. Klien dapat menggunakan dukungan sosial.
e. Klien dapat menggunakan koping adaptif dan meilhat sisi positif
dari masalahnya.
f. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat.
STRATEGI PELAKSANAAN RISIKO BUNUH DIRI

PASIEN KELUARGA

SP 1 SP 1
1. Identifikasi beratnya masalah resiko bunuh 1. Diskusikan masalah yang dirasakan dalam
diri: isyarat, ancaman, percobaan (jika percobaan merawat klien.
segera rujuk). 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, dan
2. Identifikasi benda-benda berbahaya dan proses terjadinya resiko bunuh diri (gunakan booklet).
mengamankannya (lingkungan aman untuk 3. Jelaskan cara merawat resiko bunuh diri.
pasien). 4. Latih cara memberikan pujian hal positif pasien,
3. Latihan cara mengendalikan diri dari memberikan dukungan pencapaian masa depan.
dorongan bunuh diri: buat daftar aspek positif dari 5. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan
diri sendiri, latihan afirmasi/berpikir aspek positif memberikan pujian
yang dimiliki.
4. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif
5 kali per hari.

SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan
sendiri. Beri pujian. Kaji ulang resiko bunuh diri. pujian dan penghargaan atas keberhasilan dan aspek
2. Latih cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh positif pasien. Beri pujian
diri: buat daftar aspek positif keluarga dan 2. Latih cara memberikan penghargaan pada
lingkungan, latih afirmasi/berpikir aspek positif pasien dan menciptakan suasana positif dalam
keluarga dan lingkungan. keluarga, tidak membicarakan keburukan anggota
3. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif keluarga
tentang diri, keluarga dan lingkungan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan
memberi pujian
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian
keluarga dan lingkungan. Beri pujian. Kaji resiko dan penghargaan pada pasien serta menciptakan
bunuh diri. suasana positif dalam keluarga. Beri pujian.
2. Diskusikan harapan dan masa depan. 2. Bersama keluarga berdiskusi dengan pasien tentang
3. Diskusikan cara mencapai harapan dan harapan masa depan serta langkah-langkah
masa depan. mencapainya .
4. Latih cara-cara mencapai harapan dan masa 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan
depan secara bertahap (setahap demi setahap) memberi pujian.
5. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif
tentang diri, keluarga dan lingkungan dan tahapan
kegiatan yang diplih

SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri, 1. Evaluasi keluarga dalam memberikan pujian dan
keluarga dan lingkungan serta kegiatan yang penghargaan, menciptakan suasana keluarga yang
dipilih. Beri pujian. positif dan kegiatan awal dalam mencapai harapan
2. Latih tahap kedua kegiatan mencapai masa masa depan. Beri pujian.
depan. 2. Bersama keluarga berdiskusi tentang langkah dan
3. Masukkan pada jadual kegiatan latihan berpikir kegiatan untuk mencapai harapan masa depan.
positif tentang diri, keluarga dan lingkungan serta 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda kambuh, rujukan.
kegiatan yang diplih untuk mencapai masa depan. 4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan
memberi pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan peningkatan positif diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian,
keluarga dan lingkungan dan berikan pujian. penghargaan, menciptakan suasana yang positif, dan
2. Evaluasi tahapan kegiatan mencapai harapan membimbing langkah-langkah dalam mencapai
masa depan. harapan masa depan. Beri pujian
3. Latih kegiatan harian. 2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien.
4. Nilai kemampuan yang telah mandiri. 3. Nilai kemampuan keluarga melakukan kontrol ke PKM
5. Nilai apakah resiko bunuh diri teratasi

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada Pasien Risiko Bunuh Diri


SP 1 Pasien
Fase Orientasi:
“Assalamualaikum... Selamat pagi Mas, perkenalkan nama saya Erik, saya perawat yang dinas pagi di ruang 23
ini. Hari ini saya akan merawat Mas mulai pagi tadi hingga pukul 13:30 WIB”.
“Nama Mas siapa, senangnya dipanggil mas atau pak?”
“Bagaimana perasaan Mas saat ini?, mungkin bisa diceritakan mas bagaimana ceritanya mas bisa sampai
dibawa ke rumah sakit ini?”
“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang percobaan bunuh diri yang mas lakukan di rumah
kemarin, harapannya mas dapat merasa lega dan tenang yaa...”
“Baik mas... mau berapa lama kita mengobrol mas, bagaimana kalau 20 menit?”
“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang mas? Bagaimana kalau di ruang tamu atau di taman
saja?”
“baik… saya rasa di taman bagus udaranya segar mas. Mari kita ke sana”
Fase Kerja:
“baik mas… tadi mas bercerita bahwa di rumah mas mencoba memotong nadi tangan di kamar tidur ya.. kira-
kira ada masalah apa mas?”
“ooh begitu… baik… saya bisa merasakan apa yang sedang mas alami pasti sakit memang yaa mengalami
kegagalan pada apa yang dicita-citakan, tapi saya yakin mas akan menemukan penyelesaian masalah yang
lebih baik lagi yaa”
“kemarin mas sudah mencoba memotong nadi dengan pisau, hari ini mohon maaf semua benda tajam dan
berbahaya saya simpan dulu yaaa sementara… atau mungkin saat ini pisaunya masih mas bawa? Saya periksa
sebentar yaa”
“bagus kalau sudah dibuang pisaunya yaaa”
“sebenarnya apakah tujuan mas melakukan itu?”
“bagaimana perasaan mas setelah melakukan itu? Apakah cita-cita mas tercapai karena mas mencoba bunuh
diri dan masuk rumah sakit?
“baik mas… kita akan belajar mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri ya, agar kejadian seperti kemarin
tidak terulang kembali”
“mas sebelumnya pernah pacaran tidak? …. Wah sudah 4 kali yaaa…”
“berarti saya bisa katakan mas sudah pengalaman yaaa… itu yang resmi pacaran 4 kali, kalau yang hanya jalan
bareng berapa kali mas?”
“waaah berarti mas ini idaman wanita yaaa… sebenarnya banyak yang suka yaa”
“kira-kira apa yang disukai cewek-cewek yang ada di diri mas yang mungkin tidak dimiliki cowok lain?”
“waaah banyak juga yaaa…. Keren sekali mas….
“Boleh ditulis ya mas.. jadi setelah ini tugas mas membuat daftar tentang hal-hal apa yang disukai cewek-
cewek yang suka dengan mas yaaa… boleh lebih dari 5 yaaa”
“setiap kali muncul dorongan untuk bunuh diri, masnya coba baca dan ingat-ingat kembali daftar tersebut
Fase Terminasi:
“Baik mas… bagaimana perasaannya saat ini setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“jadi tugas mas tadi adalah….? Coba disebutkan? Lalu dipraktikkan ya?”
Bagus sekali… nanti mulai siang sampai malam dipraktikkan yaaa , dan ini saya masukkan ke dalam jadwal
kegiatan harian yaaa… mau berapa kali dipraktikkan mas dalam sehari?
Baaik… jadi mulai nanti sore bisa dipraktikkan ya mas….”
Besok kita ngobrol lagi yaaa… besok saya ajarkan kembali kelanjutan cara menghindari dorongan bunuh diri
ya…tempatnya di taman lagi? “
“jam berapa mas?... baik besok bertemu kembali ya”
“assalamualaikum….
SP 2 Pasien
Fase Orientasi:
“Assalamualaikum... Selamat pagi Mas, Sudah sarapan belum tadi?”
“Bagaimana perasaannya saat ini? Tampak lebih segar ya setelah mandi?”
“Jadwal kegiatan menghindari dorongan bunuh diri dengan hal positif yang mas miliki kemarin sudah
dipraktikkan atau belum? ..... baguuus sekali mas
“Setelah mempraktikkan, bagaimana mas, masihkah ada keinginan untuk mengakhiri hidup?”
“Alhamdulillah... kalau begitu yaaa...”
“untuk hari ini sesuai janji kita kemarin, kita akan berbincang-bincang tentang cara lain menghilangkan
dorongan bunuh diri dengan cara yang kedua ya... yaitu dengan membuat daftar lagi tetapi tentang orang lain”
“Baik mas... mau berapa lama kita mengobrol mas, bagaimana kalau 15 menit?”
“ayo kita menuju taman ya....”
Fase Kerja:
“Jadi mas sudah mempraktikkan cara pertama yaa… berikutnya kita akan membuat daftar tentang orang-orang
disekitar masnya…”
“Mas di rumah tinggal dengan siapa? Kalau di rumah apa hal yang paling menyenangkan yang pernah
dilakukan ayah ibu dan adik mas?”
“waaah pasti bahagia sekali yaaa kalau diberi kejutan dan kado saat ulang tahun?, mas harus bersyukur itu…
saya saja jarang lho mas dapat kado saat ulang tahun apalagi mendapat kejutan”
“Selain itu ada tidak kenangan berlibur bersama keluarga?”
“Waaah pasti susah dilupakan ya kenangan indahnya mas”
“Coba mas bayangkan jika mas meninggal, ayah ibu dan adik mas kira-kira bagaimana perasaannya?”
“Iya benar mas.. pasti sedih dan merasa kehilangan buah hati yaaa… apalagi nanti adiknya mas pasti kangen
yaaa… kemarin adiknya kesini membawa makanan kesukaan mas lho… itu buktinya nyata bahwa adik mas
sangat sayang sekali dengan mas ya”
“Setelah ini, mas coba tuliskan 5 kenangan lucu dan 5 kebaikan anggota keluarga mas yaaa…”
“boleh lebih dari 5 yaaa”
“bagus sekali mas…”
Fase Terminasi:
“Baik mas… semoga pertemuan kita hari ini bermanfaat ya… kira-kira bagaimana perasaannya saat ini setelah
berbincang-bincang dengan saya?”
“jadi tugas mas tadi adalah….? Coba disebutkan? Lalu dipraktikkan lagi ya?”
Bagus sekali… nanti mulai pagi ini dipraktikkan yaaa ,
“daftar yang kemarin dan yang hari ini saya masukkan ke dalam jadwal kegiatan harian yaaa… mau berapa kali
dipraktikkan mas dalam sehari? Boleeh… bagus sekali mas
Baik…
Besok kita ngobrol lagi yaaa… besok saya ingin tahu tentang hal lain lagi…tempatnya di taman lagi atau di
ruang baca? “
“jam berapa mas?... baik besok bertemu kembali ya”
“assalamualaikum….
DAFTAR PUSTAKA

Captain. 2008. Psikologi untuk Keperawatan. Penerbit Buku kedokteran. Jakarta:


EGC.

Hibbert, Allison, Alice Godwin, & Frances Dear. 2014. Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta: EGC.

Keliat, Budi Anna & Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.

Keliat, Budi Anna & Akemat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
Jakarta: EGC.

Luh Ketut Suryani, Cokorda Bagus Laya Lesmana. 2008. Hidup Bahagia :
Perjuangan Melawan Kegelapan Edisi Pertama. Pustaka Obor Populer :
Jakarta.

Santrock, John W. 2013. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta :


Erlangga.

Stuart, G., W. 2006. Buku saku keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Videbeck S., L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

2. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and
Sundeen (1995)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresi Amuk

Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan
tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan
gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)

c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin,
William & Beck, 1993)

d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik
dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)

e. Amuk (Perilaku Kekerasan)


Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).

Menurut Stuart dan LAraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi


dari tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif
dan kekerasan.
Tinggi

Melukai dalam tingkat serius dan


bebahaya
Melukai dalam tingkat yang tidak
berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan
rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara
menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa
melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat
rendah

Rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku


kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah
yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan trtinggi yaitu melukai dan
tingkat serius dan membahayakan.

3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:

a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka
tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang
ramai/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

4. Tanda dan gejala


Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, sebagai
berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b. Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena terapi)
2) Rasa bersalah terhaap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram, mungkin klien akan mengakhiri
kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan
gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Tangan mengepal
2) Rahang mengatup
3) Postur tubuh kaku
4) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Ketus
6) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman
3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel
5) Tidak berdaya
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut

5. Patofisiologi
Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan
yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam.
Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. Menyerang atau Menghindar (fight or fight)
a. Pada keadaan ini respons psikologi timbul karena kegiatan system
saraf otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, takhikardi, wajah merah.
b. Pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster
menurun, pengeluaran urin dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan juga meningkat disertai ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai
reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
a. Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
b. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan
marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis.
c. Disamping itu perilaku ini dapat juga untukpengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
memberontak untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yg ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

Konsep marah (Beck, Rawlins, Williams. 1986, hlm. 447)


6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun pemeriksaan laboratorik adalah pemeriksaan penunjang,
tetapi perannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neuro fisiologis, memilih pengobatan dan memonitor respon klinis.
Karenanya, dokter atau psikiater perlu mengerti pemilihan pemeriksaan
laboratorik untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus dipertimbangkan
kondisi ekonomi, ketidaknyamanan, dan resiko efek yang merugikan;
interpretasi data laboratorik dalam pengertian spesifitas, sensivitas dan nilai
prediktif. Hasil pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan
data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk
memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan
yang diperlukan oleh pasien (Maramis, 2009).
Untuk pasien rawat jalan, melakukan serangkaian tes penyaring
secara membabibuta hanya mempunyai kegunaan klinis yang terbatas dan
merupakan pemborosan. Lebih baik dilakukan tes laboratorik tertentu
berdasarkan penilaian yang cermat dan integrasi antara riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Pada pasien rawat inap, dianjurkan agar dilakukan tes
dasar pada waktu masuk rumah sakit untuk mengevaluasi kondisi medis
umum (Maramis, 2009).
Sampai saat ini belum ada consensus mengenai tes apa saja yang
digunakan sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk
dipertimbangkan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, glukosa
darah, tes fungsi hepar, tes fungsi ginjal, kalsium serum, tiroksin (T4),
pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA), dan tes urine untuk
obat terlarang (Maramis, 2009).

2. Pencitraan
CT (computerized tomography, sering disebut Ctscan) dan MRI
(magnetic resonance imaging) adalah pencitraan diagnostik yang paling
sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan gejala psikiatrik. CT adalah
pemeriksaan non-invasif yang dapat melihat anatomi kepala menurut irisan
dengan berbagai ketebalan (Maramis, 2009).
Indikasi spesifik CT adalah episode pertamapsikologis di atasumur 40
tahun, episode pertama gangguan afektif setelah umur 50 tahun, episode
pertama gangguan kepribadian di atas usia 40 tahun, gerakan involunter
abnormal, delirium atau demensia yang tak diketahui penyebabnya, katatonia
persisten, dan anoreksia nervosa (Maramis, 2009).
MRI mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan CT, yaitu: tidak
melibatkan radiasi radioaktif, irisan dapat dilakukan pada berbagai bidang,
dapat lebih baik mengdiferensiasi masa putih (white mass) dan abu-abu (grey
mass) otak sehingga lebih sensitive untuk anatomic otak, dan lebih baik
untuk melihat kelainan di fosa posterior dan batang otak (Maramis, 2009).
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi untuk MRI adalah
pasien dengan alat pacu jantung, klip aneurisma, wanita hamil, dan pasien
dengan benda asing yang berpotensi magnetik. Selain itu, karna harga
pemeriksaan ini yang mahal, serta menuntut kerjasama pasien untuk diam
berbaring dalam waktu yang cukup lama, maka penggunaan CT lebih populer
(Maramis, 2009).
3. Pemeriksaan Neurologis
Elektro ensefalografi (EEG) mengukur aktivitas elektrik di permukaan
otak dan bukanlah alat yang memisahkan normal dari abnormal, karena hasil
EEG yang normal tidak meniadakan kemungkinan adanya gangguan organik
atau epilepsi (Maramis, 2009).
Indikasi umum untuk pemeriksaan EEG adalah pasien muda
(terutama di bawah 25 tahun) dengan episode pertama psikosis dan pasien
dengan riwayat kemungkina n cedera otak atau gangguan neurologis
(misalnya kecelakaan, tidak sadar, infeksi, kompilkasi perinatal, kejang)
(Maramis, 2009).
Beberapa ciri yang memperbesar kemungkinan ditemukannya
abnormalitas pada EEG, CT atau MRI adalah: adanya defisit neurologis fokal,
perubahan status mental yang drastis dan baru, riwayat penyalahgunaan zat,
trauma kepala atau patologi SSP lain, pasien usia lanjut, dan gejala-gejala
tidak khas dengan riwayat psikiatrik yang meragukan (Maramis, 2009).
Modifikasi pemeriksaan EEG yang lebih baru adalah dengan
pemetaan topografister komputerisasi atau lazim disebut Computerized EEG
atau brain mapping. Aktivitas elektrik permukaan otak direkam dengan
frekuensi tertentu dan dipetakan secara grafis dua dimensi yang berwarna.
Metode ini digunakan lebih banyak dalam riset psikofarmakologis dan statistik
(Maramis, 2009).
4. Pemeriksaan Status Mental Miniatau mini-mental state examination
Digunakan bilamana dicurigai adanya dimensia. Tes ini dibuat
berdasarkan wawancara pemeriksaan status mental standar dan terdiri atas
pemeriksaan terhadap orientasi, memori untuk registrasi dan recall (segera
dan ingatan tunda 3 objek), atensi (pengurangan seri tujuh), member nama
objek yang umum (verbal skills), mengikuti perintah lisan dan tertulis,
ketrampilan menulis, dan menggambar figure sederhana (praxis skills). Tes
ini untuk menilai secara global fungsi kognitif. Sering dipakai untuk menilai
pasien demensia. Betul pada semua item akan menghasilkan skor 30. Skor
dibawah 24 biasanya mengindikasikan rendahnya kognitif (Maramis, 2009).

7. Penatalaksanaan Medis
1. Akut
a. Pertama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut.
Apabila demikian, tangani segera dengan pengekangan fisik dan
medikasi bukan dengan percakapan. Segera temui, jangan biarkan
pasien menunggu.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada
pada posisi yang aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam
keadaan terbuka). Waspadai tanda-tanda peringatan (misal : gelisah,
sikap menuntut). Apabila bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba
lakukan, tetapi berilah batas yang jelas selama wawancara. Gunakan
control fisik bila pasien tidak dapat mempertahankan kendali tetapi
tetap tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri.
Apabila pasien dating dengan keadaan dikekang, jangan dilepas
sebelum terjadi rapport dan beberpa hasil evaluasi diperoleh,
meskipun demikian banyak pasien dapat bersikap lebih baik tanpa
pengekangan. Pengekangan dapat meningkatkan agitasi dan
menyebabkan hipertermia. Apabila diperlukan kekuatan untuk
meredakannya, gunakan kekuatan penuh-satu orang memegang
masing-masing anggota tubuh pasien. Jangan mengambil resiko.
c. Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM
(diabsorpsi dengan baik melalui intramuscular) setiap 2-4 jam,
maksimal 3 dosis; haloperidol 5 mg IM/jam untuk 3-4 dosis; atau
droperidol (5 mg IM/jam 2-3 dosis-tidak direkomendasikan oleh FDA
untuk keperluan tersebut). Apakah pasien menggunakan obat-obatan
yang menekan SSP, apakah dalam kondisi delirium, atau adakah
suatu kondisi medis yang bertanggung jawab atas perilakunya?
Kalau demikian, berikan medikasi dan observasi. ECT dapat
mengendalikan kekerasan psikotik.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan
dengan penuh penghormatan-manusiawi, langsung, pasti, tenang,
menetramkan. Jangan menantang, memprovokasi atau secara
terang-terangan tidak setuju dengan pasien. Kesampingkan birokrasi.
Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa. Pasien
dengan perilaku kekerasan sering ketakutan- telusuri mengapa dan
apa penyebabnya.
e. Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera
otak? Penggunaanobat-obatan (lakukan tes urine)? Apakah ada
pencetus lingkungan yang dapat dikenali? Lakukan intervensi secara
langsung pada pasien psikotik.
f. Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan,
pengertian (dan medikasi); meskipun demikian, apabila perlupaksa
untuk masuk rumah sakit. Apabila ini benar-benar masalah criminal,
dan haruskan melibatkan polisi? (Tomb, 2003)

2. Pengekangan fisik :
Ada 2 macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunkan
manset, sprei pengekang) atau isolasi (menempatkan pasien pada
suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya
sendiri).

Jenis pengekangan mekanik :


a. Camisoles (jaket pengekang)
b. Manset untuk pergelangantangan
c. Manset untuk pergelangan kaki
d. Menggunakan sprei
Indikasi pengekangan ;
a. Perilaku amuk yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang
lain
b. Perilakuagitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
c. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan
penolakan klien untuk beristirahat, makan dan minum
d. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan
tindakan ini dikaji dan berindikasi terapeutik.

Pengekangan dengan sprei basah atau dingin


Klien dapat dimobilasasi dengan membalutnya seperti mummi
dalam lapisan sprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas
sprei yang telah direndam dalam air es. Walaupun mula-mula terasa
dingin, balutan segera menjadi hangat dan menenangkan. Hal ini
dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi yang tidak dapat
dikendalikan obat.

3. Intervensi keperawatan :
1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur
yang tahan air
2. Balutan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa
permukaan kulit tidak saling bersentuhan
3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang
bermakna buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang menyenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantuk line berpakaian

4. Restrains
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik
atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan dokter jika
diharuskan karena kebijakan institusi.
5. Isolasi
Isolasi adalah menempatkan klien dalam ruangan dimana klien
tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian
dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tetapi
tidak terkunci sampai pada penempatan dalam ruangan terkunci
dengan kasur tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi dibatasi
dan klien memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.
Indikasi pengunaan :
o Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien
atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain
dengan intervensi pengendalian yang longgar, sperti kontak
interpersonal atau pengobatan.
o Reduksi stimulus lingkungan jika diminta oleh klien
Kontraindikasi :
o Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
o Resiko tinggi untuk bunuh diri
o Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori. (Yosep,
2010)

6. Kronis
a. Pasien dengan kekerasan kronis perlu uji coba medikasi. Obat
psikosis dengan antipsikotik dan kejang dengan obat
antikonvulsan. Untuk perilaku agresi yang berlanjut
pertimbangkan:
1) Klozapinataurisperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia
yang disertai hostilitas)
2) SSRI [missal fluoksetin (12)] untuk kondisi berbeda-beda dan
buspiron (cedera kepala, retardasi mental)
3) Propanol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai
120 mg/hari) atau pindolol; efektif setelah 4-6 minggu.
4) Karbamazepin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam
valproat dan litium (kadar di dalam darah 0,6-1,2 mEq/L)
mungkin berguna untuk pasien dengan kekerasan disertai
dengan gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi mental,
gangguan eksplosi fintermiten dan obat-obatan stimulant
lainnya untuk pasien dewasa yang hiperaktif.
5) Benzodiazepan dapat bermanfaat selama masa-masa stress,
tetapi kemarahan yang paradox dapat muncul pada beberapa
pasien.

b. Ajarkan pasien untuk mengenali secara dini tanda-tanda


meningkatnya kemarahan dan belajar untuk menghilangkan
tekanan-tekanan. Kerusakan otak yang berat mungkin
memerlukan lingkungan yang terstruktur dan teknik-
teknikperilaku.
c. Bantu pasien mengembangkan suatu system dukungan dan
belajar untuk mengendalikan stress lingkungan. Pelihara saluran
komunikasi dengan pasien yang berpotensi kekerasan-siap
sedialah melaluit elepon. (Tomb, 2003)

7. Managemen krisis :
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan
intervensi yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik
1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena
yang bertanggung jawab selama 24 jam
2. Bentuk tim krisis. Meliputi dokter, perawat dan konselor
3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus
menjelaskan apa saja yang menjadi tugasnya selama
penanganan klien
4. Jauhkan klien lain dari lingkungan
5. Lakukan pengekangan jika memungkinkan
6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien
8. Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan
untuk kerjasama
9. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim
harus segera mengkaji situasi lingkungan sekitar untuk tetap
melindungi keselamatan klien dan timnya.
10. Berikan obat jika diinstruksikan
11. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap
klien
12. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis
13. Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat
14. Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan
lingkungan. (Yosep, 2010)

8. Pohon Masalah

Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan (RPK)



Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi Sosial: menarik diri

Harga Diri Rendah Kronis

Inefektif koping keluarga/individu

9. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah
melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
a. Muk amerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengarupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda /orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol
perilaku kekerasan.
2) Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada
perilaku kekerasan yaitu :
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.

3) Rencana Tindakan Keperawatan


Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan
untuk diagnosa perilaku kekerasan yaitu :
a. Tindakan keperawatan untuk klien
 Tujuan
a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku
kekerasannya.
e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukannya.
f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan terapi psikofarmaka.
 Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu
dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman
saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus
Saudara lakukan dalam rangka membina hubungan salig
percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat
tangan, menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat
kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.
b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan
yang terjadi di masa lalu dan saat ini.
c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan
gejala perilaku kekersan, baik kekerasan fisik, psikologis,
sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.
d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang
biasa dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari
perilaku marahnya. Diskusikan bersama klien cara
mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul
kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-
obatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan
kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (salat atau
berdoa sesuai keyakinan klien).

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga


 Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
 Tindakan
a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang
muncul, serta akibat dari perilaku tersebut.
b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan
perilaku kekerasan.
(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar
melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada
klien bila anggota keluarga dapat melakukan kegiatan
tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus
klien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien
yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti
melempar atau memukul benda/orang lain.

4) Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


a) Strategi Pelaksanaan 1 (Pasien)
– Identifikasi penyebab, tanda & gejala, PK yang dilakukan, akibat
PK
– Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, obat, verbal, spiritual
– Latihan cara mengontrol PK secara fisik: tarik nafas dalam dan
pukul kasur dan bantal, aktivitas positif dengan energi
– Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik
b) Strategi Pelaksanaan 2
– Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian
– Latih cara mengontrol PK dengan obat (jelaskan 8 benar: jenis,
guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat, kadaluarsa,
dokumentasi)
– Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik dan minum
obat
c) Strategi pelaksanaan 3
– Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat. Beri pujian
– Latih cara mengontrol PK secara verbal (3 cara, yaitu:
mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar)
– Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat
dan verbal
d) SP 4
– Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian
– Latih cara mengontrol marah/perilaku kekerasan dengan spiritual
(2 kegiatan)
– Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat,
verbal dan spiritual
5) Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan
perilaku kekerasan antara lain
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
mengungkapkan kemarahan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol
perilaku kekerasan.
Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SPTK)
PERILAKU KEKERASAN

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Pasien
a) Data Subjektif :
Klien mengatakan :
- “Saya mudah marah bila keinginan saya tidak dipenuhi oleh
orang tua saya”
- “Saya langsung teriak-teriak dan membanting barang disekitar
saya”
- “Saya menjadi jengkel dan barang-barang saya rusak, biasanya
saya langsung pergi”

b) Data Objektif :
- Klien mudah tersinggung dan cepet marah
- Nada suara tinggi dan cepat
- Muka merah dan tegang
- Mata melotot/pandangan tajam
- Tangan mengepal

2. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan

3. Tujuan
a. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
d. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
e. Klien dapat mencegah /mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik dan terapi psikofarmaka

4. Tindakan Keperawatan
a. SP I :
1) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
2) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
4) Melatih latihan fisik 1 (tarik nafas dalam)
5) Melatih latihan fisik 2 (pukul kasur/bantal)
6) Menganjurkan klien memasukkan latihan ke dalam kegiatan
harian

b. SP II :
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2) Menjelaskan dan melatih klien minum obat dengan prinsip 5
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara
minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat)
3) Menjelaskan manfaat / keuntungan minum obat dan kerugian
tidak minum obat
4) Menganjurkan klien memasukkan waktu minum obat ke dalam
jadwal harian

c. SP III :
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2) Menjelaskan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara verbal / bicara baik-baik
3) Menganjurkan klien memasukkan latihan verbal/bicara baik-
baik ke dalam jadwal harian

d. SP IV :
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2) Melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
spiritual
3) Menganjurkan klien memasukkan latihan spiritual ke dalam
jadwal harian
B. STRATEGI KOMUNIKASI
1. Fase Orientasi
a. Menciptakan hubungan saling percaya antara P – K
 Mengucapkan salam dengan senyum dan ramah
“Assalamualaikum wr. wb”
“Selamat pagi”

 Mengingatkan nama perawat dan nama panggilan K


“Perkenalkan nama saya suster ......, mahasiswi keperawatan
tangerang yang sedang dinas di ruangan ini.”
“Nama mba siapa, senangnya dipanggil apa ?”

 Menjelaskan peran P - K (sesuai kebutuhan)

“Hari ini saya yang akan menjaga mba dari jam 07.00-14.00
WIB untuk membantu mengontrol perasaan marah mba.”

 Menjelaskan kerahasiaan (sesaui kebutuhan)

“Jika ada yang ingin mba ceritakan kepada saya, mba tidak
perlu khawatir, saya akan menjaga rahasia mba terkecuali
bila pihak rumah sakit membutuhkannya.”

 Evaluasi tindakan yang lalu

“Sebelumnya jika rasa marah mba muncul, hal apa yang mba
lakukan untuk mengatasinya?”
“Apa saja kegiatan yang sudah mba lakukan pagi ini?”

b. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan


“Mba, sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan
marah mba dan cara yang baik untuk mengatasi masalah mba.”

c. Menyatakan tujuan tindakan yang akan dilakukan


“Tujuannya agar mba dapat mengontrol rasa marah mba dengan
cara yang baik tersebut.”
d. Menyepakati bersama klien tentang tindakan yang akan dilakukan
“Apakah mba bersedia?”

e. Menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan


“Berapa lama mba mau kita mengobrol? Bagaimana kalau 15
menit?”
f. Menyatakan tempat yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan
“Dimana mba mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di
taman?”

g. Mengatur posisi dan ciptakan lingkungan yang aman bagi klien


dan perawat
 Berhadapan / sedikit menyamping
 Stimulus minimal bagi klien
 Menjaga privacy

h. Menunjukkan sikap empati, tenang, dan bersahabat serta menatap


klien
i. Membuka pembicaraan dengan topik netral
 Menanyakan perasaan dan aktivitas yang telah dilakukan
“Bagaimana perasaan mba hari ini?”
“Apa saja kegiatan yang sudah mba lakukan pagi ini?”

 Memberikan respon yang sesuai

2. Fase Kerja
 SP 1
a) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
b) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
c) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
d) Melatih latihan fisik 1 (tarik nafas dalam)
e) Melatih latihan fisik 2 (pukul kasur/bantal)
f) Menganjurkan klien memasukkan latihan ke dalam kegiatan
harian

“Kalau boleh tau apa yang mba rasakan saat ketika mba sedang
marah?”

“Apa yang menyebabkan mba marah?”

“Apa akibat dari kemarahan mba?”

“Menurut mba apakah ada cara lain yang lebih baik untuk
mengontrol kemarahan mba?”
“Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan mba. Salah
satunya dengan latihan fisik, seperti tarik napas dalam dan pukul
kasur/ bantal. Sekarang kita pelajari 2 cara tersebut ya mba.
- Yang pertama yaitu tarik nafas dalam, jika tanda-tanda marah
mulai mba rasakan maka mba langsung duduk lalu tarik nafas
melalui hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan melalui mulut
seperti meniup lilin. Mba bisa melakukannya sebanyak 5 kali
atau lebih sampai perasaan mba lebih tenang. Bagaimana,
apa mba mengerti? Coba sekarang mba praktikan.
- Lalu cara yang kedua yaitu dengan memukul kasur atau
bantal, jika tanda-tanda marah mulai mba rasakan, mba
langsung ke kamar, ambil bantal, lalu lampiaskan rasa marah
tersebut dengan cara memukul bantal tersebut. Bagaimana,
apa mba mengerti? Coba sekarang mba praktikan.”

“Mba kegiatan yang sudah kita lakukan kita masukan kedalam


jadwal harian mba ya, mba ingin latihan napas dalam dan pukul
bantalnya setiap jam berapa ?”

 SP 2
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b) Menjelaskan dan melatih klien minum obat dengan prinsip 5 benar
(benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat,
benar waktu minum obat, dan benar dosis obat)
c) Menjelaskan manfaat / keuntungan minum obat dan kerugian tidak
minum obat
d) Menganjurkan klien memasukkan waktu minum obat ke dalam
jadwal harian

“ Apakah mba sudah latihan napas dalam dan pukul bantal ?”

“Mba, obat yang harus mba minum ada tiga macam, Yang warna
orange namanya CPZ fungsinya agar pikiran mba bisa lebih tenang
tenang, yang warna putih namanya THP fungsinya agar mba tetap
rileks, dan yg warna merah muda namanya HLP fungsinya agar pikiran
mba teratur dan rasa marah ibu berkurang.”
“ Sekarang saya akan mempraktekkan bagaimana cara minum obat
yang benar. Sebelumnya siapkan alatnya terlebih dahulu ya bu. Alat-
alatnya yaitu obat, cangkir untuk tempat obat, gelas berisi air putih,
dan tissue bersih. Setelah alatnya siap, selanjutnya mba harus cuci
tangan terlebih dahulu agar kuman-kuman yang ada di tangan mba
bisa hilang dan tidak masuk ke dalam tubuh mba. Selanjutnya, mba
harus memastikan mengenai ketepatan baik itu waktu untuk minum
obatnya, dosis obat, bagaimana cara minumnya dan tidak lupa juga
mba harus membaca terlebih dahulu nama yang tertera pada kemasan
obat tersebut. Setelah itu, mba buka kemasan obatnya dan letakkan
obat tersebut ke dalam cangkir obatnya. Lalu mba dekatkan air dan
tissuenya. Setelah semua sudah siap, jangan lupa mba harus
membaca doa terlebih dahulu, mba minta pada Allah SWT. agar mba
diberi kesembuhan selanjutnya mba masukan obat tersebut ke dalam
mulut mba dengan tangan kanan, setelah obat masuk kemudian mba
ambil air dan dorong obat tersebut dengan airnya. Setelah semua
selesai mba bisa gunakan tissue bila ada air yang berceceran di mulut
mba. Apakah mba sudah mengerti? Coba sekarang mba praktekan?”

“ Mba, keuntungan bila mba minum obat yaitu akan mempercepat


penyembuhan mba, selain itu perasaan mba juga akan menjadi lebih
tenang dan rasa marah akan berkurang.”

“ Sedangkan kerugian bila mba tidak minum obat yaitu proses


penyembuhannya akan lebih lama, selain itu perasaan dan pikiran
mba juga akan tidak tenang serta perasaan marah mba akan mudah
muncul.”

“ Karena jadwal minum obat mba 3 kali sehari, berarti mba harus
minum obatnya jam 7 pagi, jam 2 siang, dan jam 9 malam. Mba tidak
boleh telat minum obatnya karena akan ada efeknya bila mba telat
minum obatnya.”
“Mba... kegiatan minum obat juga jangan lupa yah mba masukan
kedalam jadwal harian mba ya, dan jam meminum obatnya sesuai
jadwal yang telah diberikan dokter ya mba”

 SP 3
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b) Menjelaskan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara verbal / bicara baik-baik
c) Menganjurkan klien memasukkan latihan verbal/bicara baik-baik
ke dalam jadwal harian

“Apakah mba sudah melakukan tarik nafas dalam, pukul bantal, dan
meminum obatnya?”

“Ada beberapa cara berbicara dengan baik-baik untuk mencegah


kemarahan mba.
- Cara yang pertama yaitu meminta dengan baik tanpa marah
dengan suara rendah serta tidak menggunakan kata- kasar,
misalnya yah saya mau minta uang buat beli buku. Bagaimana,
apa mba mengerti? Coba mba praktekan apa yang sudah saya
sampaikan.”
- Cara yg kedua yaitu menolak dengan baik, jika ada yang
menyuruh dan mba tidak ingin melakukannya karena sedang ada
pekerjaan, katakan maaf saya tidak bisa melalukannya karena
sedang ada pekerjaan. Bagaimana, apa mba mengerti? Coba
mba praktekan apa yang sudah saya sampaikan.
- Dan cara yang ketiga, mengungkapkan perasaan kesal, jika ada
perlakuan orang lain yang membuat kesal, mba dapat mengatakan
saya menjadi marah karena perkataanmu itu. Bagaimana, apa
mba mengerti? Coba mba praktekan apa yang sudah saya
sampaikan.

“Mba kegiatan yang sudah kita lakukan kita masukan kedalam jadwal
harian mba ya, mba ingin latihan berbicara dengan baik-baik setiap jam
berapa ?”
 SP 4
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b) Melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
c) Menganjurkan klien memasukkan latihan spiritual ke dalam jadwal
harian

“Apakah mba sudah melakukan tarik nafas dalam, pukul bantal,


meminum obatnya, dan berbicara dengan baik-baik ?”

“Kalau boleh tau kegiatan ibadah apa saja yang biasa mba lakukan?”

“Kalau mba sudah merasa kesal dan sudah melakukan tarik nafas
dalam, memukul bantal, tetapi kekesalan mba belum hilang juga, mba
bisa melakukan kegiatan ibadah untuk meredakan kemarahan mba,
ibadah mana yang mau mba coba selama dirumah sakit? Coba mba
praktikan ya”

“Mba... kegiatan ibadahnya juga jangan lupa ya di masukan kedalam


jadwal harian mba, dan jam untuk shalat 5 waktu sesuai jadwal shalat
ya”

3. Fase Terminasi

a. Mengingatkan waktu interaksi akan segera berakhir


“Mba, pertemuan kita hari ini sudah berakhir.”
“Mba sudah melakukan (nama kegiatan) dengan sangat baik”

b. Evaluasi respon klien terhadap tindakan


 Evaluasi subyektif : “Bagaimana perasaan Mba setelah kita
berbincang-bincang dan latihan (nama kegiatan)?”
 Evaluasi obyektif : “coba mba sebutkan apa saja yang telah
mba pelajari hari ini untuk mengendalikan rasa marah mba?”

c. Rencana tindak lanjut


“Bagaimana kalau kita masukan ke jadwal harian mba?”
“Jika tanda-tanda marah mulai mba rasakan, mba bisa lakukan
seperti yang kita sudah lakukan hari ini ya.”
d. Kontrak yang akan datang
 Topik : “Bagaimana kalau besok pagi  kita latihan (nama
kegiatan) lagi?”
 Waktu : “Mba ingin berapa lama untuk melakukan latihan
(nama kegiatan) ? Bagaimana kalau 10 menit?”
 Tempat : “Mba ingin latihan dimana? Bagaimana kalau dikamar
mba saja?”

e. Mengucapkan salam dengan ramah, sopan, dan bersahabat


“Baiklah besok kita akan melakukan latihan (nama kegiatan,
waktu, tempat). Sampai jumpa Mba, selamat beristirahat,
wassalamualaikum”
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan


Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.

Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1.


Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes
RI

Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC

Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika

Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis :
Mosby Year

Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi. Online :


http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dan-tahapan-
halusinasi.html. diakses pada 30 April 2017

Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric nursing.


(7th edition). St Louis : Mosby

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

A. KONSEP HALUSINASI
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan respon persepsi
paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi
dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perabaan), pasien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya
stimulus tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang
karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus
yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi
yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang
diterima.
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2003). Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut
Varcarolis, halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (Yosep, Iyus, 2009).
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).Klien memberikan
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang
berbicara (Kusumawati, 2010).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas.
Salah satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang membuat pasien tidak dapat
menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari (Ah.Yusuf, Fitryasari, & Nihayati,
2015).
B. RENTANG RESPON HALUSINASI
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, waham merupakan
gangguan pada isi pikiran. Keduanya merupakan gangguan dari respons neorobiologi.
Oleh karenanya secara keseluruhan, rentang respons halusinasi mengikuti kaidah
rentang respons neorobiologi.
Rentang respons neorobiologi yang paling adaptif adalah adanya pikiran logis
dan terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Rentang respons yang paling
maladaptif adalah adanya waham, halusinasi, termasuk isolasi sosial menarik diri.
Berikut adalah gambaran rentang respons neorobiologi.

Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran logis - Pikiran kadang menyimpang - Kelainan pikiran


- Persepsi akurat - Ilusi - Halusinasi
- Emosi konsisten - Emosi berlebihan dengan pengalaman kurang - Tidak mampu mengatur emosi
- Perilaku ganjil - Ketidakteraruran
- Perilaku sosial - Menarik diri - Isolasi Sosial
- Hubungan sosial

Keterangan Gambar :
1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif berupa :
a. Pikiran logis adalah pikiran yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari hati sesuai
dengan pengalaman.
d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.

2. Psikososial
Respon psikososial, antara lain :
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan kekacauan/
mengalami gangguan.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
sungguh terjadi (objek nyata), karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain atau
hubungan dengan orang lain.
3. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya. Respon
maladaptif yang sering ditemukan meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi ialah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan di terima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif
mengancam.
Gejala psikosis dikelompokkan menjadi 5 kategori utama fungsi otak : kognitif,
persepsi, emosi, perilaku dan sosialisai yang saling berhubung, perilaku yang
berhubungan dengan masalah proses informasi termasuk pada semua askpe memori,
perhatian, bentuk dan isi bicara, pengambilan keputusan dan isi pikir (waham dan pola
pikir primitive). Persepsi mengacu pola indetifikasi dan interprestasi awal dari situasi
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra. Perilaku berhubungan
dengan masalah-masalah persepsi yaitu halusinasi, ilusi, dan deporsanalisasi (Stuart,
2002)
Perilaku yang berhubungan dengan emosi dapat diekspresikan secara berlebihan
(hiperekspresi) atau kurang (hipoekspresi) dengan sikap yang sesuai. Individu yang
mengalami skizofrenia mempunyai masalah yang berhubungan dengan hipoeksresi
diantaranya : tidak enak dipandang, membingungkan, sulit diatasi dan sulit di [ahami
oleh orang lain.
Perilaku yang berhubungan dengan gerakan diantaranya gerakan mata abnormal,
menyeringi, langkah yang tidak normal, apraksia dan ekoprasi. Perubahan perilaku
meliputi agresi/agitasi, perilaku streotip, impulsive dan afolisi. Perilaku yang
berhubungan dengan sosialisai dianaranya menarik diri, harga diri rendah, tidak tertarik
dengan aktivitas rekreasi dan perubahan kualitas hidup (Stuart, 2002).

C. ETIOLOGI
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Pada tahap perkembangan individu mempunyai tugas perkembangan yang
berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal, bila dalam pencapaian tugas
perkembangan tersebut mengalami gangguan akan menyebabkan seseorang
berperilaku menarik diri, serta lebih rentan terhadap stres.
b. Faktor biologik
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurobiologist yang mal adaptif
yang baru di mulai di pahami,ini termasuk hal hal sebagai berikut : Penilaian
pencitraan otak sudah mulai menunjukan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia: lesi pada area frontal temporal dan limbic paling
berhubungan dengan perilaku psikotik,beberapa kimia otak dikaitkan dengan
gejala skizofrenia antara lain : dopain, neurotransmitter dan lain lain.
c. Faktor sosiokultural.
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya kepada
lingkungannya.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat untuk mass depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua yang
mengalami skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.

2. Faktor Presipitasi
Yang berasal dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain, stressor juga
bisa menjadi salah satu penyebabnya.
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon nurobiologik yang mal
adaptis termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara efektif menanggapi
rangsangan
b. Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menetapkan terjadinya gangguan perilaku.
c. Perilaku
respon klien terhadap halusinasi dapat berupa kecurigaan, merasa tidak nyaman,
gelisah, bingung, dan tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 menyebutkan bahwa hakikat keberadaan
seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-
psiko-sosio-spiritual seehingga dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
 Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal
yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur
dalam waktu yang lama.
 Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.
 Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua prilaku klien.
 Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi
yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
 Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu
tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu
tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol
dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu
kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
d. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil.
e. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri

D. TINGKATAN HALUSINASI
Tingkatan halusinasi berdasarkan tingkat intensitasnya (Stuart. 2013), dalam
Wuryaningsih E.W, dkk 2018.
Tingkat Karakteristik Perilaku
1 2 3
Tahap 1 : Comforting-  Individu yang mengalami halusinasi pada tahap  Menyeringai atau tertawa yang
Ansietas Sedang, Umumnya, ini memiliki emosi yang kuat seperti kecemasan, tidak wajar; menggerakkan bibir
halusinasi bersifat kesepian, perasaan bersalah, rasa takut tanpa bersuara, menggerakkan

menyenangkan  Seseorang tersebut berusaha untuk fokus pada bola mata dengan cepat, respon
pikiran-pikiran yang menyenangkan sehingga verbal yang lambat seolah-olah
ansietasnya berkurang sedang sibuk, diam dan kemudian
 Individu tersebut menyadari sepenuhnya akan seolah-olah sibuk.
hal ini jika ansietasnya terkontrol, tahap ini
masih dikategorigan (Non psikotik)

Tahap II: Condemning-  Penilaian sensoris terhadap persepsi yang  Peningkatan tanda dan gejala
Tingkat Ansietas Berat, salah bersifat menjijikkan dan menakutkan ansietas (respon syaraf otonom)
Umumnya, halusinasi bersifat  Individu yang mengalami halusinasi seperti peningkatan denyut

menjijikkan (halusinator) merasa kehilangan kendali dan jantung; pernafasan dan tekanan
berusaha menjauhkan diri dari sumber darah
halusinasi yang dirasakan. Individu tersebut  Lapang perhatian menyempit
kadang merasa malu dan mulai menarik diri  Dapat dimungkinkan kehilangan
 Individu dapat diarahkan kembali dengan untuk membedakan antara
realita. Tahan ini sudah dikategorikan sebagai halusinasi dengan realita
Psikotik ringan (mildly psychotic)

Tahap III: Controlling-  Halusinator menyerah untuk melawan  Perintah halusinasi cenderung
Ansietas Berat, Umumnya, halusinasi den cendrung mengikuti perintah Isi diikuti,
Halusinasi yang mengendalikan halusinasi dapat menyenangkan sehingga jika  Kesulitan interaksi dengan orang

halusinator halusinasi tidak terjadi dapat berdampak lain


individu yang bersangkutan meras kesepian.  Lapang perhatiannya sangat
Tahap ini sudah dikategorikan sebagai sempit, hanya bertahan beberapa
(Psychotik) detik atau menit
 Gejala fisik ansietas berat seperti
berkeringat, tremor, dan tidak
mampu mengikuti arahan.

Fase IV: Conquering  Halusinator meras terancam jika tidak mengikuti  Merasa diteror sehingga tampak
Tingkat Ansietas: Panik, perintah panik,
Halusinasi bersifat mengancam,  Pengalaman halusinasi ini dapat bertahan  Berisiko untuk bunuh diri atau

Umumnya, halusinasi bersifat beberapa jam sampai dengan berhari-hari tanpa melakukan pembunuhan

kompleks serta terkait dengan intervensi yang terapeutik  Aktivitas fisik yang mencerminkan

delusi  Tahap ini sudah dikategorikan sebagai psikopat isi dari halusinasi seperti perilaku
berat (severely psychotic) kekerasan, agitasi, menarik diri,
atau katatonik.
 Tidak mampu merespon arahan/
perintah yang kompleks
 Tidak mampu respon lebih dari
satu orang
Sumber : Stuart, 2013

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Menurut Mary C. Townsend, 1998
a. Bicara, senyum dan tertawa sendiri.
b. Mengatakan mendengar suara, melihat, mengecap, mencium dan merasa
sesuatu tidak nyata.
c. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
d. Tidak dapat membedaka hal nyata dan tidak nyata.
e. Tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi.
f. Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal.
g. Sikap curiga.
h. Menarik diri, menghindar dari orang lain.
i. Sulit membuat keputusan, ketakutan.
j. Tidak mampu melakukan asuhan mandiri.
k. Mudah tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
l. Muka merah dan kadang pucat.
m. Ekspresi wajah tenang.
n. Tekanan Darah meningkat, Nadi cepat dan banyak keringat.

2. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut  Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik)
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama suara-suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual)
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.

e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

F. PENATALAKSANAAN
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang
halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu
perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa
keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus
sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien
saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan
klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi
perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan
klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang
dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih
bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini
dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa
usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika
cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih
untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk
dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi,
jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan
cara pertama yaitu menghardik halusinasi:
2. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus eksternal
jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus perhatian
klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
3. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak
dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya.
Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi
sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus
selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada
waktu lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan
cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal:
4. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam
pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan
teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien
yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting
dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien
berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien.
Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung
secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi.
Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama
(kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi.
Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan
keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien
menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine (CPZ, Largactile), Warna : Orange
Indikasi:
- Untuk mensupresi gejala-gejala psikosa: agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
- Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis permulaan adalah 25-100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan-lahan sampai 600-900 mg perhari.
Kontra indikasi:
- Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif
terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
- Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk
penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna : Putih besar
Indikasi:
- Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette
pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak-anak.
Cara pemberian:
- Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi menjadi 6-15 mg
untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg
intramuskuler setiap 1-8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
- Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
- Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.

c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil


Indikasi:
- Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemberian:
- Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5 mg)
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25
mg dan interval pemberian diperpanjang 3-6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan.
Kontra indikasi:
- Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).
Selain tindakan yang dijelaskan diatas, ada beberapa penatalaksanaan lain dalam
menangani pasien dengan halusinasi adalah:
1. Therapy Somatik
Therapy Somatik merupakan suatu therapy yang dilakukan langsung mengenai
tubuh. Adapun yang termasuk therapy somatik adalah :
a. Elektro Convulsif Therapy
 Merupakan pengobatan secara fisik menggunakan arus listrik dengan
kekuatan 75-100 volt.
 Cara kerja ini belum diketahui secara jelas, namun dapat dikatakan
bahwa therapy ini dapat memperpendek lamanya serangan Skizofrenia
dan dapat mempermudah kontak dengan orang lain.
b. Pengekangan atau pengikatan
 Pengekangan fisik menggunakan pengekangan mekanik, seperti manset
untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki serta sprei pengekangan
dimana klien dapat di imobilisasi dengan membalutnya.
 Cara ini dilakukan pada klien halusinasi yang mulai menunjukkan perilaku
kekerasan diantaranya : marah-marah, mengamuk
c. Isolasi
 Isolasi dapat menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak
dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya.
 Cara ini dilakukan pada klien halusinasi yang telah melakukan perilaku
kekerasan seperti memukul orang lain/teman, merusak lingkungan dan
memecahkan barang-barang yang ada didekatnya.

2. Therapy Okupasi
 Therapy Okupasi merupakan suatu ilmu dan seni untuk mencurahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri
seseorang.
 Therapy Okupasi menggunakan pekerjaan atau kegiatan sebagai media
pelaksana.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
 Faktor Predisposisi
1. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang
dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan
persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi tidak efektif.
2. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa disingkirkan
atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat
seperti delusi dan halusinasi.
3. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran
yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
4. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi
realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal, perubahan
besar, serta bentuk sel kortikal dan limbik.
5. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada
pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang
salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih tinggi
jika kedua orang tua skizofrenia.
 Faktor Presipitasi
1. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau diasingkan dari
kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
2. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat
halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi.
3. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan
orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk menghindari
kenyataan yang tidak menyenangkan.
4. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas
berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan sosial.

2. Diagnosis
 Pohon Masalah

Waham Resiko perilaku kekerasan Resiko bunuh diri

CORE PROBLEM Gangguan persepsi sensori: halusinasi

Faktor predisposisi Faktor presipitasi

Faktor biologis Faktor sosial Faktor sosial Faktor


Faktor psiko sosial budaya
(atropik otak, (hubungan budaya biokimia
pembesaran (penolakan, (penurunan (zat
interpersonal, kesepian,
ventikal, dll) stabilitas halusigenik
kerusakan peran, diasingkan) keluarga, dalam
ansietas) perpisahan, tubuh)
diasingkan)

Faktor psikologis Faktor perilaku


Faktor perkembangan Faktor genetik (kecemasan (proses pikir,
(hambatan (riwayat orang ekstrem, gangguan afektif persepsi,
perkembangan, tua skizofrenia) orientasi realitas) motorik, sosial)
ketidakefektifan fungsi
intelektual)

 Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
2. Resiko Perilaku Kekerasan
3. Gangguan Proses Pikir: Waham
4. Resiko Bunuh Diri
3. Intervensi Keperawatan
Dx Keperawatan Perencanaan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Gangguan sensori TUM: 1. Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1.1 Bina hubungan saling percaya dengan Hubungan saling percaya merupakan
persepsi: halusinasi Klien dapat selama 1x24 jam interaksi klien menunjukkan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik : langkah awal untuk melakukan interaksi
(lihat/dengar/ mengontrol tanda-tanda percaya kepada perawat : a. Sapa klien dengan ramah baik verbal
penghidu/ halusinasi yang
˗ Ekspresi wajah bersahabat. maupun non verbal
raba/kecap) dialaminya
˗ Menunjukkan rasa senang. b. Perkenalkan nama, nama panggilan dan
TUK 1: ˗ Ada kontak mata. tujuan perawat berkenalan
Klien dapat ˗ Mau berjabat tangan. c. Tanyakan nama lengkap dan nama
membina hubungan ˗ Mau menyebutkan nama. panggilan yang disukai klien
saling percaya ˗ Mau menjawab salam. d. Buat kontrak yang jelas
˗ Mau duduk berdampingan dengan e. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji
perawat. setiap kali interaksi
˗ Bersedia mengungkapkan masalah yang f. Tunjukan sikap empati dan menerima apa
dihadapi. adanya
g. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan
kebutuhan dasar klien
h. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang
dihadapi klien
i. Dengarkan dengan penuh perhatian
ekspresi perasaan klien

TUK 2 : 1. Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1.1 Adakan kontak sering dan singkat secara Mengetahui apakah halusinasi datang dan
Klien dapat selama 1x24 jam klien dapat menyebutkan : bertahap menentukan tindakan yang tepat atas
mengenal ˗ Isi, waktu, frekuensi serta situasi dan 1.2 Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
halusinasinya
kondisi yang menimbulkan halusinasi halusinasinya (*dengar /lihat /penghidu /raba/
kecap), jika menemukan klien yang sedang
halusinasi:
a. Tanyakan apakah klien mengalami
sesuatu (halusinasi dengar/ lihat/
penghidu /raba/ kecap )
b. Jika klien menjawab ya, tanyakan apa
yang sedang dialaminya
c. Katakan bahwa perawat percaya klien
mengalami hal tersebut, namun perawat
sendiri tidak mengalaminya (dengan
nada bersahabat tanpa menuduh atau
menghakimi)
d. Katakan bahwa ada klien lain yang
mengalami hal yang sama.
e. Katakan bahwa perawat akan membantu
klien

1.3 Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi


tentang adanya pengalaman halusinasi,
diskusikan dengan klien :
a. Isi, waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang, sore, malam atau
sering dan kadang-kadang )
b. Situasi dan kondisi yang menimbulkan
atau tidak menimbulkan halusinasi

2. Setelah dilakukan intervensi keperawatan 2.1 Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika
selama 1x24 jam klien dapat menyatakan terjadi halusinasi dan beri kesempatan untuk
perasaan dan responnya saat mengalami mengungkapkan perasaannya.
halusinasi : 2.2 Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan
˗ Marah untuk mengatasi perasaan tersebut.
˗ Takut 2.3 Diskusikan tentang dampak yang akan
˗ Sedih dialaminya bila klien menikmati halusinasinya.
˗ Senang
˗ Cemas
˗ Jengkel

TUK 3 : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1.1 Identifikasi bersama klien cara atau tindakan Mengontrol halusinasi merupakan upaya
Klien dapat 1x24 jam klien dapat : yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, yang dilakukan untuk memutus siklus
mengontrol 1 Menyebutkan tindakan yang biasanya marah, menyibukan diri dll) halusinasi
halusinasinya dilakukan untuk mengendalikan 1.2 Diskusikan cara yang digunakan klien,
halusinasinya a. Jika cara yang digunakan adaptif beri
pujian.
b. Jika cara yang digunakan maladaptif
diskusikan kerugian cara tersebut
2.1 Diskusikan cara baru untuk memutus/
mengontrol timbulnya halusinasi :
2 Menyebutkan cara baru mengontrol a. Menghardik/mengusir/ tidak
Cara tersebut merupakan cara-cara/upaya
halusinasi memperdulikan pada saat halusinasi yang dilakukan untuk memutus siklus
terjadi) halusinasi
b. Bercakap-cakap dengan orang lain
(perawat/teman/anggota keluarga)
untuk menceritakan tentang
halusinasinya.
c. Membuat dan melaksanakan jadwal
kegiatan sehari hari yang telah di susun.
d. Meminta keluarga/teman/ perawat
menyapa jika sedang berhalusinasi.

3.1 Beri contoh cara menghardik halusinasi : “Pergi


! , saya tidak mau mendengar kamu, saya mau
mencuci piring / bercakap-cakap dengan
suster”
3 Klien dapat memilih dan memperagakan 3.2 Beri pujian atas keberhasilan klien
cara menghardik/mengusir / tidak 3.3 Minta klien untuk mengikuti contoh yang
memperdulikan halusinasinya diberikan dan minta klien mengulanginya
3.4 Susun jadwal latihan klien dan minta untuk
menuliskan pada jadwal kegiatan hariannya

4.1 Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas


kelompok

5.1 Beri contoh dan penjelasan tentang jenis, dosis


dan waktu minum obat tersebut dengan
prinsip 5 benar (benar waktu, benar orang,
benar obat, benar dosis, benar pemberian)

4 Klien dapat mengikuti terapi aktivitas 5.2 Diskusikan dengan klien tentang jenis obat
kelompok yang di minum (nama, warna dan besarnya),
waktu minum
5 Klien dapat mendemontrasikan kepatuhan 5.3 Beri contoh proses minum obat :
minum obat untuk mencegah halusinasi a. Klien meminta obat kepada perawat (jika
di RS), kepada keluarga (jika di rumah)
b. Klien memeriksa obat sesuai dengan
kondisinya
c. Klien meminum obat pada waktu yang
tepat

5.4 anjurkan klien untuk bicara dengan mengenai


manfaat serta efek samping obat

5.5 beri pujian terhadap kemajuan dan keberhasilan


klien
TUK 4 : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1.1 Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan Keluarga dapat meningkatkan pengetahuan
Keluarga dapat 1x24 jam keluarga dapat : ( waktu, tempat dan topik ) tentang halusinasi dan keluarga sebagai
merawat klien 1. Menyatakan setuju untuk mengikuti 1.2 Diskusikan dengan keluarga ( pada saat pendukung yang efektik bagi pasien
dirumah dan pertemuan dengan perawat pertemuan keluarga/ kunjungan rumah)
menjadi sistem 2. Keluarga dapat menyebutkan pengertian, a. Pengertian halusinasi
pendukung yang
tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi b. Tanda dan gejala halusinasi
efektif untuk klien
dan tindakan untuk mengendali kan c. Proses terjadinya halusinasi
halusinasi d. Cara yang dapat dilakukan klien dan
3. keluarga dapat menyebutkan; keluarga untuk memutus halusinasi
˗ Manfaat minum obat e. Obat- obatan halusinasi
˗ Kerugian tidak minum obat f. Cara merawat anggota keluarga yang
˗ Nama,warna,dosis, efek terapi dan efek halusinasi di rumah (beri kegiatan, jangan
samping obat biarkan sendiri, makan bersama, bepergian
˗ mendemontrasikan penggunaan obat dgn bersama, memantau obat- obatan dan cara
benar pemberiannya untuk mengatasi halusinasi)
˗ menyebutkan akibat berhenti minum obat g. Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit
tanpa konsultasi dokter dan bagaimana cara mencari bantuan jika
˗ tanda dan gejala kambuh halusinasi tidak dapat diatasi di rumah
SP HALUSINASI PASIEN DAN KELUARGA

Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk keluarga


SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Menjelaskan masalah yang dirasakan
pasien keluarga dalam merawat pasien
2. Mengidentifikasi isi halusinasi 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi gejala halusinasi, dan jenis halusinasi
pasien yang dialami pasien serta proses
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi terjadinya
pasien 3. Menjelaskan cara merawat pasien
5. Mengidentifikasi situasi yang dengan halusinasi
menimbulkan halusinasi
6. Mengidentifikasi respon pasien
terhadap halusinasi
7. Mengajarkan pasien menghardik
halusinasi
8. Menganjurkan pasien memasukkan
cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
harian pasien merawat pasien dengan halusinasi
2. Melatih pasien mengendalikan 2. Melatih keluarga melakukan cara
halusinasi dengan bercakap-cakap merawat langsung pasien halusinasi
dengan orang lain
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat jadwal
harian pasien aktivitas di rumah termasuk minum
2. Melatih pasien mengendalikan obat (dischange planning)
halusinasi dengan melakukan 2. Menjelaskan follow up pasien setelah
kegiatan (kegiatan yang biasa pulang
dilakukan pasien dirumah)
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara
teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
4. STRATEGI PELAKSANAAN
I. Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1)
a. Orientasi
 Salam Terapeutik :
“Selamat pagi, assalamualaikum………….. Boleh saya kenalan dengan
Ibu/Pak/Mas/Mba? Nama Saya………….. boleh panggil saja……… Saya
Mahasiswa Universitas Brawijaya, Saya sedang praktik di sini dari pukul
08.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB siang. Kalau boleh Saya tahu
nama Ibu/Pak/Mas/Mba siapa? dan senang dipanggil dengan sebutan
apa?”
 Evaluasi/validasi :
“Bagaimana perasaan Ibu/Pak/Mas/Mba hari ini? Bagaimana tidurnya tadi
malam? Ada keluhan tidak?”
 Kontrak waktu
Topik
“Apakah Ibu/Pak/Mas/Mba tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya?
Menurut Ibu/Pak/Mas/Mba sebaiknya kita ngobrol apa ya? Bagaimana
kalau kita ngobrol tentang suara dan sesuatu yang selama ini Ibu dengar
dan lihat tetapi tidak tampak wujudnya?”
Waktu
“Berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu/Pak/Mas/Mba maunya berapa
menit? Bagaimana kalau 10 menit? Bisa?”
Tempat
“Di mana kita akan bincang-bincang ???
Bagaimana kalau di ruang tamu saya ???

b. Kerja
“Apakah Ibu/Pak/Mas/Mba mendengar suara tanpa ada wujudnya?”
“Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah Ibu/Pak/Mas/Mba melihat sesuatu atau orang atau bayangan atau
mahluk?”
“Seperti apa yang kelihatan?”
“Apakah terus-menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-waktu
saja?”
“Kapan paling sering Ibu/Pak/Mas/Mba melihat sesuatu atau mendengar suara
tersebut?”
“Berapa kali sehari Ibu/Pak/Mas/Mba mengalaminya?”
“Pada keadaan apa, apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang Ibu/Pak/Mas/Mba rasakan pada saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu/Pak/Mas/Mba lakukan saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu/Pak/Mas/Mba lakukan saat mendengar suara tersebut?”
“Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut hilang?”
“Bagaimana kalau kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau
bayangan agar tidak muncul?”
“Ibu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.”
“Pertama, dengan menghardik suara tersebut.”
“Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.”
“Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal.”
“Keempat, minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik.”
“Caranya seperti ini:
✔ Saat suara-suara itu muncul, langsung Ibu bilang dalam hati, “Pergi Saya
tidak mau dengar … Saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu
diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi.
Coba Ibu/Pak/Mas/Mba peragakan! Nah begitu………….. bagus! Coba
lagi! Ya bagus Ibu sudah bisa.”
✔ Saat melihat bayangan itu muncul, langsung Ibu/Pak/Mas/Mba bilang,
pergi Saya tidak mau lihat………………. Saya tidak mau lihat. Kamu
palsu. Begitu diulang-ulang sampai bayangan itu tak terlihat lagi. Coba
Ibu/Pak/Mas/Mba peragakan! Nah begitu……….. bagus! Coba lagi! Ya
bagus Ibu/Pak/Mas/Mba sudah bisa.”

c. Terminasi
 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan Ibu/Pak/Mas/Mba dengan obrolan kita tadi?
Ibu/Pak/ Mas/Mba merasa senang tidak dengan latihan tadi?”
 Evaluasi objektif
“Setelah kita ngobrol tadi, panjang lebar, sekarang coba Ibu/Pak/Mas/Mba
simpulkan pembicaraan kita tadi.”
“Coba sebutkan cara untuk mencegah suara dan atau bayangan itu agar
tidak muncul lagi.”
 Rencana tindak lanjut :
“Kalau bayangan dan suara-suara itu muncul lagi, silakan Ibu/Pak/Mas/
Mba coba cara tersebut! Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau
jam berapa saja latihannya?”. (Masukkan kegiatan latihan menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian klien, Jika Ibu/Pak/Mas/Mba
melakukanya secara mandiri maka ibu menuliskan M, jika
Ibu/Pak/Mas/Mba melakukannya dibantu atau diingatkan oleh keluarga
atau teman maka Ibu/Pak/Mas/Mba buat ibu, Jika ibu tidak melakukanya
maka ibu tulis T. apakah Ibu/Pak/Mas/Mba mengerti?).
 Kontrak yang akan datang
Topik
“Ibu/Pak/Mas/Mba, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang
caranya berbicara dengan orang lain saat bayangan dan suara-suara itu
muncul?”
Waktu
“Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalau besok jam 09.30 WIB,
bisa?”
Tempat
“Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol besok di mana ya? Sampai
jumpa besok.
Wassalamualaikum,……………

II. Strategi Pelaksanaan 2 (Sp 2)


a. Fase Orientasi :
● Salam terapeutik :
“Selamat pagi, Ibu/Pak/Mas/Mba? Bagaimana kabarnya hari ini?
Ibu/Pak/Mas/Mba masih ingat dong dengan saya? Ibu/Pak/Mas/Mba sudah
mandi belum? Apakah Ibu/Pak/Mas/Mba sudah makan?
● Evaluasi validasi :
”Bagaimana perasaan Ibu/Pak/Mas/Mba hari ini? Kemarin kita sudah
berdiskusi tentang halusinasi, apakah Ibu/Pak/Mas/Mba bisa menjelaskan
kepada saya tentang isi suara-suara yang Ibu/Pak/Mas/Mba dengar dan
apakah mas bisa mempraktekkan cara mengontrol halusinasi yang
pertama yaitu dengan menghardik?”
● Kontrak :
Topik :
”Sesuai dengan kontrak kita kemarin, kita akan berbincang-bincang di
ruang tamu mengenai cara-cara mengontrol suara yang sering
Ibu/Pak/Mas/Mba dengar dulu agar suara itu tidak muncul lagi dengan cara
yang kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain.
Waktu :
Berapa lama kita akan bincang-bincang, bagaimana kalau 10 menit saja,
bagaimana mas setuju?”
Tempat :
”Dimana tempat yang menurut Ibu/Pak/Mas/Mba cocok untuk kita
berbincang-bincang? Bagaimana kalau di ruang tamu? mas setuju?”

b. Fase kerja
”Kalau Ibu/Pak/Mas/Mba mendengar suara yang kata Ibu/Pak/Mas/Mba
kemarin mengganggu dan membuat Ibu/Pak/Mas/Mba jengkel. Apa yang
Ibu/Pak/Mas/Mba lakukan pada saat itu? Apa yang telah saya ajarkan kemarin
apakah sudah dilakukan?”
“Cara yang kedua adalah Ibu/Pak/Mas/Mba langsung pergi ke perawat.
Katakan pada perawat bahwa Ibu/Pak/Mas/Mba mendengar suara. Nanti
perawat akan mengajak Ibu/Pak/Mas/Mba mengobrol sehingga suara itu
hilang dengan sendirinya.

c. Fase terminasi
● Evaluasi subyektif :
”Tidak terasa kita sudah berbincang-bincang lama. Saya senang sekali
Ibu/Pak/Mas/Mba mau berbincang-bincang denagan saya. Bagaimana
perasaan Ibu/Pak/Mas/Mba setelah kita berbincang-bincang?”
● Evaluasi obyektif :
”Jadi seperti yang Ibu/Pak/Mas/Mba katakan tadi, cara yang Ibu/Pak/Mas/
Mba pilih untuk mengontrol halusinasinya adalah......
● Tindak lanjut :
”Nanti kalau suara itu terdengar lagi, Ibu/Pak/Mas/Mba terus praktekkan
cara yang telah saya ajarkan agar suara tersebut tidak menguasai pikiran
mas.”

● Kontrak yang akan datang :


Topik :
”Bagaimana kalau besok kita berbincang-bincang lagi tentang cara
mengontrol halusinasi dengan cara yang ketiga yaitu menyibukkan diri
dengan kegiatan yang bermanfaat.”
Waktu :
”Jam berapa Ibu/Pak/Mas/Mba bisa? Bagaimana kalau besok jam .....?
Ibu/Pak/Mas/Mba setuju?”
Tempat :
”Besok kita berbincang-bincang di sini atau tempat lain? Termakasih
Ibu/Pak/Mas/Mba sudah berbincang-bincang dengan saya. Sampai
ketemu besok pagi.”

III. Strategi Pelaksanaan 3 (Sp 3)


a. Fase Orientasi :
● Salam terapeutik :
”Selamat pagi, Ibu/Pak/Mas/Mba? Masih ingat saya ?
● Evaluasi validasi :
”Ibu/Pak/Mas/Mba tampak segar hari ini. Bagaimana perasaannya hari ini?
sudah siap kita berbincang bincang? masih ingat dengan kesepakatan kita
tadi, apa itu? apakah Ibu/Pak/Mas/Mba masih mendengar suara- suara
yang kita bicarakan kemarin
● Kontrak
Topik :
”Seperti janji kita, bagaimana kalau kita sekarang berbincang-bincang
tentang suara-suara yang sering Ibu/Pak/Mas/Mba dengar agar bisa
dikendalikan dengan cara melakukan aktifitas/kegiatan harian.”
Tempat :
”Dimana tempat yang menurut Ibu/Pak/Mas/Mba cocok untuk kita
berbincang-bincang? Bagaimana kalau di ruang tamu? Ibu setuju?”
Waktu :
”Kita nanti akan berbincang kurang lebih 10 menit, bagaimana Ibu/Pak/
Mas/Mba setuju?”

b. Fase Kerja
”Cara mengontrol halusinasi ada beberapa cara, kita sudah berdiskusi tentang
cara pertama dan kedua, cara lain dalam mengontrol halusinasi yaitu caar
ketiga adalah Ibu/Pak/Mas/Mba menyibukkan diri dengan berbagi kegiatan
yang bermanfaat. Jangan biarkan waktu luang untuk melamun saja.”
”jika Ibu/Pak/Mas/Mba mulai mendengar suara-suara, segera menyibukkan diri
dengan kegiatan seperti menyapa, mengepel, atau menyibukkan dengan
kegiatan lain.”

c. Fase Terminasi
● Evaluasi subyektif :
”Tidak terasa kita sudah berbincang-bincang lama, saya senang sekali
Ibu/Pak/Mas/Mba mau berbincang-bincang dengan saya. Bagaimana
perasaan Ibu/Pak/Mas/Mba setelah berbincang-bincang?”
● Evaluasi obyektif :
”Coba Ibu/Pak/Mas/Mba jelaskan lagi cara mengontrol halusinasi yang
ketiga?
● Tindak lanjut :
”Tolong nanti Ibu/Pak/Mas/Mba praktekkan cara mengontrol halusinasi
seperti yang sudah diajarkan tadi?

d. Kontrak yang akan datang


Topik:
”Bagaimana Ibu/Pak/Mas/Mba kalau kita berbincang-bincang lagi tentang cara
mengontrol halusinasi dengan cara yang keempat yaitu dengan patuh obat.”
Waktu :
”Jam berapa Ibu/Pak/Mas/Mba bisa? Bagaimana kalau jam 08.00? Ibu/Pak/
Mas/Mba setuju?”
Tempat :
”Besok kita berbincang-bincang di sini atau tempat lain? Terimakasih
Ibu/Pak/Mas/Mba sudah mau berbincang-bincang dengan saya. Sampai
ketemu besok pagi.”

IV. Strategi Pelaksanaan 4 (Sp 4)


a. Fase Orientasi :
● Salam terapeutik :
”Selamat pagi, Ibu/Pak/Mas/Mba? Masih ingat saya ???
● Evaluasi validasi :
”Ibu/Pak/Mas/Mba tampak segar hari ini. Bagaimana perasaannya hari ini?
sudah siap kita berbincang bincang? masih ingat dengan kesepakatan kita
tadi, apa itu ? apakah Ibu/Pak/Mas/Mba masih mendengar suara-suara
yang kita bicarakan kemarin.
● Kontrak
Topik :
”Seperti janji kita, bagaimana kalau kita sekarang berbincang-bincang
tentang obat-obatgan yang Ibu/Pak/Mas/Mba minum.”
Tempat :
”Dimana tempat yang menurut Ibu/Pak/Mas/Mba cocok untuk kita
berbincang-bincang? Bagaimana kalu di ruang tamu? mas setuju?”
Waktu :
”Kita nanti akan berbincang kurang lebih..... menit, bagaimana
Ibu/Pak/Mas/ Mba setuju?”

b. Fase Kerja
”Ini obat yang harus diminum oleh Ibu/Pak/Mas/Mba setiap hari. Obat yang
warnanya....ini namanya....dosisnya.....mg dan yang warna..... dosisnya.....
mg. kedua obat ini diminum....sehari siang dan malam, kalau yang
warna...minumnya....kali sehari. Obat yang warnanya....ini berfungsi untuk
mengendalikan suara yang sering Ibu/Pak/Mas/Mba dengar sedangkan yang
warnanya putih agar mas tidak merasa gelisah. Kedua obat ini mempunyai
efek samping diantaranya mulut kering, mual, mengantuk, ingin meludah terus,
kencing tidak lancar. Sudah jelas Ibu/Pak/Mas/Mba? Tolong nanti
Ibu/Pak/Mas/Mba sampaikan ke dokter apa yang Ibu/Pak/Mas/Mba rasakan
setelah minum obat ini. Obat ini harus diminum terus, mungkin berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Kemudian Ibu/Pak/Mas/Mba jangan berhenti minum
obat tanpa sepengetahuan dokter, gejala seperti yang mas alami sekarang
akan muncul lagi, jadi ada lima hal yang harus diperhatikan oleh
Ibu/Pak/Mas/Mba pada saat mionum obat yaitu beanr obat, benar dosis, benar
cara, benar waktu dan benar frekuensi. Ingat ya Ibu/Pak/Mas/Mba..?!!”

c. Fase Terminasi
Evaluasi subyektif :
”Tidak terasa kita sudah berbincang-bincang lama, saya senang sekali
Ibu/Pak/ Mas/Mba mau berbincang-bincang dengan saya. Bagaimana
perasaan Ibu/Pak/ Mas/Mba setelah berbincang-bincang?”
Evaluasi obyektif :
”Coba Ibu/Pak/Mas/Mba jelaskan lagi obat apa yang diminum tadi? Kemudian
berapa dosisnya?
Tindak lanjut:
”Tolong nanti Ibu/Pak/Mas/Mba minta obat ke perawat kalau saatnya minum
obat.”

d. Kontrak yang akan datang


Topik:
”Bagaimana Ibu/Pak/Mas/Mba kalau kita akan mengikuti kegiatan TAK (Terapi
Aktifitas Kelompok) yaitu menggambar sambil mendengarkan musik.”
Waktu :
”Jam berapa Ibu/Pak/Mas/Mba bisa? Bagaimana kalau jam .....? Ibu/Pak/Mas/
Mba setuju?”
Tempat :
”Besok kita akan melakukan kegiatan di ruang makan. Terimakasih
Ibu/Pak/Mas/ Mba sudah mau berbincang-bincang dengan saya. Sampai
ketemu besok pagi.”
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, M. 2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung:


PT. Refika Aditama
Damanik, P. H, Yusdiana, D. 2019. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan
Peran Serta Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi Di Poliklinik Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. 2000. Keperawatan Jiwa. Teori dan
Tindakan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Dep. Kes R.I.
Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna. 2014. Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok Edisi 2.
Jakarta: EGC
Kusumawati, F. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Nafiatun, S, Susilaningsih I, Rusminah. 2020. Penerapan Teknik Menghardik Pada
Tn. J Dengan Masalah Halusinasi. Jurnal Keperawatan Karya Bhakti. Vol. 6,
No. 1, Januari 2020 (Hal 15-24)
Maramis, W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.
Maslim, Dr. dr. Rusdi. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkas PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya.
Rinawari, F. & Alimansur, M. (2016). Analisa faktor-faktor penyebab gangguan jiwa
menggunakan pendekatan model adaptasi stres stuart. Jurnal Ilmu
Kesehatan. 5(1); 34-38.
Susanto, J., Lilis, I., Mubarak, W.I. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar 1.
Jakarta : Salemba Medika
Stuart & Sudden .1988. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart G.W., Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W., dan Laraia, 2003.  Principles and practice of psychiatric Nursing.St.
Louis: Mosby year book.
Sianturi, F. L. (2014). Risperidone and Haloperidol Comparative Effects of Positive
Symptoms Patient Schizophrenic. Journal of Biology, Agriculture and
Healthcare, Vol. 04 No. 28.
Towsend, Mary C .1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri.
Jakarta: EGC.
Videbeck, S. L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta: EGC.
Wuryaningsih, W. E. dkk. 2018. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember:
Jember University Press
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Yosep, Iyus. 2009. Keperwatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.
Yusuf, Ah., Fitryasari, Rizky, & Nihayati, Hanik Endang. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

1. KONSEP DASAR WAHAM


1.1 Pengertian Waham
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain, keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien dimanna sudah kehilangan kontrol. (DEPKES RI,
1994). Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat atau terus- menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah
termasuk gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa
yang ada di dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat
dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita
skizofrenia (Yusuf, 2015).
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Budi Anna Keliat, 2006). Waham
adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan
keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah nabi yang menciptakan
biji mata manusia”) atau bias pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak mungkin,
contoh masyarakat di surge selalu menyertai saya kemanapun saya pergi”) dan
tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya (Purba dkk, 2008).

1.2 Rentang Respon Neurobiologi Klien Dengan Waham


1.3 Etiologi Waham
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya waham:

a. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1998) factor predisposisi dari perubahan isi pikir :
waham kebesaran dapat dibagi menjadi dua teori yang diuraikan sebagai
berikut :
1) Teori Biologis
a) Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan
suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga
dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak
saudara lain).
b) Secara relative ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizoprenia mungkin pada kenyataanya merupakan suaru kecacatan
sejak lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan
memperlihatkan suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak
dari orang-orang yang menderoita skizoprenia.
c) Teori biokimia menyatakan adanya peningkata dupamin
neorotransmiter yang dipertukarkan mengahasilkan gejala-gejala
peningkatan aktifitas yang berlebihan dari pemecahan asosiasi-
asosiasi yang umumnya diobservasi pada psikosis.
2) Teori Psikososial
a) Teori sistem keluarga Bawen dalam Townsend (1998) menggambarkan
perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi
keluarga. Komflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman
hal ini dalam anak akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus
pada ansietas dan suatu kondisi yang lebih stabil mengakibatkan
timbulnya suatu hubungan yang saling mempengaruhi yang
berkembang antara orang tua dan anak-anak. Anak harus
meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan masuk
kepada masa dewasa, dimana di masa ini anak tidak akan mampu
memenuhi tugas perkembangan dewasanya.
b) Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis
akan menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan
kecemasan. Anak menerima pesan-pesan yang membingungkan dan
penuh konflik dan orang tua tidak mampu membentuk rasa percaya
tehadap orang lain.
c) Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu
ego yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan
saling mempengaruhi orang tua dan anak .karena ego menjadi lebih
lemah penggunaan mekanisme pertahanan itu pada waktu kecemasan
yang ekstrem mennjadi suatu yang maladaptive dan perilakunya sering
kali merupakan penampilan dan sekmen diri dalam kepribadian.

b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) factor presipitasi dari perubahan
isi pikir : waham kebesaran yaitu :
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang
maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur perubahan isi informasi dan abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
secara selektif menanggapi rangsangan.
2) Stress lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan prilaku.
3) Pemicu gejala
Pemicu yang biasanta terdapat pada respon neurobiologist yang
maladaptive berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan
prilaku individu, seperti : gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa
bermusuhan atau lingkunag yang penuh kritik, masalah perumahan,
kelainan terhadap penampilan, stress agngguan dalam berhubungan
interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaa, kemiskinan, keputusasaan
dan sebaigainya. (stuart,1998 dan townsend, 1998)

1.4 Tanda dan Gejala Waham


Tanda dan gejala klien yang mengalami waham dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Kognitif
a) Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
b) Individu sangat percaya pada keyakinannya.
c) Sulit berpikir realita.
d) Tidak mampu mengambil keputusan.
2) Afektif
a) Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
b) Afek tumpul.
3) Perilaku dan hubungan sosial
a) Hipersensitif
b) Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c) Depresif
d) Ragu-ragu
e) Mengancam secara verbal
f) Aktivitas tidak tepat
g) Streotif
h) Impulsif
i) Curiga
4) Fisik
a) Kebersihan kurang
b) Muka pucat
c) Sering menguap
d) Berat badan menurun
e) Nafsu makan berkurang dan sulit tidur (Yusuf, 2015).
5) Sumber Koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang dapat
berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan dalam sumber
koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi atau kreativitas yang tinggi.
Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda tentang
keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dan
pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit,
finansial yang cukup ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk
memberikan dukungan secara berkesinambungan.

1.5 Klasifikasi Waham


Waham diklasifikasikan menjadi beberapa macam, Yusuf, dkk: 2015
menjelaskan pengklasifikasian waham sebagai berikut:
1) Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
direktur sebuah bank swasta lho..” atau “Saya punya beberapa perusahaan
multinasional”.
2) Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya tahu..kalian semua memasukkan racun
ke dalam makanan saya”.
3) Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau
saya mau masuk surga saya harus membagikan uang kepada semua
orang.”
4) Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang
penyakit, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya sakit menderita penyakit menular ganas”, setelah
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda- tanda kanker, tetapi
pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5) Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan
alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.

1.6 Proses Terjadinya Waham


Proses terjadinya waham menurut Yusuf, dkk: 2015 adalah melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Fase Kebutuhan Manusia Rendah (Lack Of Human Need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi
pada orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu
terjadi karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak
memiliki finansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin
memiliki berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2) Fase Kepercayaan Diri Rendah (Lack Of Self Esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan
menderita, malu, dan tidak berharga.
3) Fase Pengendalian Internal Dan Eksternal (Control Internal And External)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia
yakini atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan,
dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi
pasien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui,
dianggap penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya,
sebab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal.
Lingkungan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat
karena besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan
hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan
dengan alasan pengakuan pasien tidak merugikan orang lain.
4) Fase Dukungan Lingkungan (Environment Support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai(keyakinan) pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan
pasien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu
kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi
kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (superego) yang ditandai
dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5) Fase Nyaman (Comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri
dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6) Fase Peningkatan (Improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan
yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan
dengan kejadian traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

1.7 Kemampuan pasien


Kemampuan seseorang untuk menilai realitas. Kemampuan ini akan
menentukan persepsi, respons emosi dan perilaku dalam berelasi dengan realitas
kehidupan. Kekacauan perilaku, waham, dan halusinasi adalah salah satu contoh
penggambaran gangguan berat dalam kemampuan menilai realitas (RTA). Daya
nilai adalah kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan bertindak yang
sesuai dengan situasi tersebut.
1) Daya Nilai Sosial: kemampuan seseorang untuk menilai situasi secara
benar (situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari) dan bertindak yang
sesuai dalam situasi tersebut dengan memperhatikan kaidah sosial yang
berlaku di dalam kehidupan sosial budayanya. Pada gangguan jiwa berat
atau kepribadian antisosial maka daya nilai sosialnya sering terganggu.

2) Uji Daya Nilai: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan
bertindak yang sesuai dalam situasi imajiner yang diberikan (Kaplan dan
Shadock, 1997)
Kemampuan menilai realita berkaitan dengan kemampuan untuk
menerima realitas, banyak sekali masalah-masalah kehidupan yang muncul.
Perbedaan (discrepancy) antara impuls-impuls, harapan-harapan dan ambisi
seseorang bias dilihat di pihak lain, kesempatan dan kemampuan yang bersifat
aktual di pihak lainnya. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa pada dasarnya
kita dapat menghadapi dua pihak yang bertentangan antara keinginan dan
kenyataan (Wiramihardja, 2007).
Pada orang-orang yang tidak normal, keinginan dan harapan seringkali
terlalu jauh dibandingkan dengan kenyataan. Hal ini disebabkan oleh orientaasi
orang tersebut terlalu bersifat subyektif atau terhadap dirinya sendiri saja. Orang-
orang dewasa atau normal dalam membuat suatu keputusan bahkan
merumuskan keinginan senantiasa memperhatikan mengenai kemungkinan suatu
keinginan tercapai. Artinya, mempertimbangkan realitas, orientasi bukan hanya
pada diri sendiri, tetapi juga pada pihak-pihak lain yang tersangkut. Sebaliknya,
pada mereka yang kurang sehat mental, antara keinginan dan kenyataan tidak
banyak berbeda, sehingga tidak memperlihatkan adanya motivasi dan usaha
(Wiramihardja, 2007).
Pada mereka yang dinilai tidak mampu mengenali realitas, sering
melakukan apa yang disebut oleh Freud sebagai defends mechanism. Defends
mechanism ini bersifat alamiah dan timbul karena individu berkeinginan untuk
mempertahankan diri dari ancaman-ancaman yang timbul dari realitas yang tidak
mampu ia tanggulangi. Bentuk-bentuk defends mechanism semakin hari semakin

banyak, karena pada dasarny manusia ingin bertahan dari jenis-jenis ancaman
tersebut. Jenis-jenis ancaman ini akan bertambah banyak pada kehidupan yang
lebih kompleks atau modern, diantaranya:
 Denial, yaitu menolak, dalam bentuk melupakan atau melakukan tindakan-
tindakan lain yang bertentangan dengan suatu realitas yang tidak
menyenangkannya.
 Fantasi, yaitu realitas-realitas yang tidak menyenangkan ia persepsikan
justru sebagai hal yang menyenangkan.
 Projection, yaitu menumpahkan pengalaman dan penghayatan atau ingatan
yang tidak menyenangkan di dalam dirinya pada hal lain atau pihak lain.
 Kompensasi, yaitu melakukan tindakan untuk “mengurangi atau
menyembunyikan “kekurangan yang dirasakannya.
 Kompensasi berlebih atau “over compensation” merupakan istilah yang lebih
penting dalam wacana gangguan kejiwaan, yang berarti tindakan berlebihan
(Wiramihardja, 2007).
Menurut Keliat (1998), gangguan orientasi realita adalah
ketidakmampuan klien menilai dan berespon pada realitas. Klien tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak mampu memberikan respon
secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan. Hal ini disebabkan karena terganggunya fungsi kognitif dan proses
pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan
pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik
terganggu. Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan
kemampuan berespon terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi
muka, gerakan tangan) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).

1.8 Data yang perlu dikaji


a) Riwayat keluarga terkait penyakit gangguan jiwa
b) Riwayat penyakit pasien dan pengobatannya
c) Riwayat trauma (bio, psiko, sosio, spiritual)
d) Pemeriksaan fisik meliputi TTV, head to toe, dan keadaan umum
e) Perkembangan fungsi keluarga, konflik keluarga, dan mekanisme
kopingnya
f) Pengkajian psikososial sebelum dan sesudah sakit
g) Stres lingkungan yang dialami klien
h) Pemicu gejala: kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti :
gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau
lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap
penampilan, stress agngguan dalam berhubungan interpersonal, kesepian,
tekanan, pekerjaan, kemiskinan, keputusasaan.
1.9 Strategi Pertemuan pada Pasien Waham
a. Definisi
Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan
keperawatan terjadwal yang diterapkan pada klien dan keluarga pasien
yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang
ditangani, dalam asuhan keperawatan jiwa pada pasien waham.

b. Tujuan
1) Pasien dapat berorientasi pada realitas secara bertahap
2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
3) Pasien mampu berinteraksi denan orang lain dan lingkungannya
4) Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.

c. Tindakan
1) Membina Hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien waham, perawat harus
membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa
aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat, tindakan yang
harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling
percaya, yaitu
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien.

2) Membantu orientasi realitas


a) Tidak mendukung atau membantah waham
b) Meyakinkan pasien berada dalam keadaan aman
c) Mengobservasi pengaruh waham pada aktifitas sehari-hari
d) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya,
dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal
sampai pasien berhenti membicarakannya.
e) Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi pasien
sesuai dengan realitas.
3) Mendiskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimblkan kecemasan, rasa takut da marah.
4) Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional pasien
5) Mendikusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki
6) Membantu melakukan kemampuan yang dimiliki
7) Mendiskusikan tentang obat yang diminum
8) Melatih minum obat yang benar (Keliat & Akemat, 2009).

d. Pembagian Strategi Pertemuan (SP) Pasien Waham


SP1 pasien: Membina hubungan saling percaya; mengidetifikasi kebutuhan
yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan;
mempraktikan pemenuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

SP 2 pasien: Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu


mempraktikannya.

SP 3 pasien: Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar.

e. Evaluasi
Proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien atau kemampuan, hasil yang diharapkan dari
pasien yang mengalami waham setelah diberikan tindakan keperawatan.
Pasien mampu:
1) Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan
2) Berkomunikasi sesuai dengan kenyataan
3) Menggunakan obat dengan benar dan patuh (Purba, 2008).
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak
sesuai kenyataan.
Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat
menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
Menurut Yusuf, dkk: 2015 ada beberapa hal yang harus dikaji pada klien
waham: Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham, yaitu pasien
menyatakan dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan,
atau kekayaan luar biasa, serta pasien menyatakan perasaan dikejar-kejar
oleh orang lain atau sekelompok orang. Selain itu, pasien menyatakan
perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan
isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga
yang berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara
memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa
tidak percaya kepada orang lain, dan gelisah.

2. Pohon Masalah:
Gangguan komunikasi verbal

CORE PROBLEM Perubahan Proses Fikir: Waham

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Faktor predisposisi Faktor presipitasi

3. Diagnosa Keperawatan:
1) Perubahan proses Fikir : Waham
2) Gangguan komunikasi verbal
Masalah utama (core problem) dalam masalah ini Waham
4. Intervensi Keperawatan:
Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Tindakan Rasional
Keperawatan
Perubahan proses Fikir: TUM: Klien dapat mengontrol
Waham wahamnya
TUK:
1. Klien dapat membina hubungan
saling percaya dengan perawat 1. Mau menerima kehadiran 1. Bina hubungan saling percaya dengan klien: 1. Hubungan saling percaya sebagai dasar
perawat di sampingnya.  Beri salam interaksi yang terapeutik
 Menyatakan mau menerima  Perkenalkan diri, tanyakan nama serta
bantuan perawat nama panggilan yang disukai.
 Tidak menunjukkan tanda-  Jelaskan tujuan interaksi
tanda curiga  Yakinkan dia dalam keadaan aman dan
perawat siap menolong dan
mendampinginya
 Yakinkan bahwa kerahasiaan klien akan
tetap terjaga
 Tunjukkan sikap terbuka dan jujur
 Perhatikan keb dasar dan beri bantuan u/
memenuhinya

2. Klien dapat mengidentifikasi 2. Klien menceritakan ide-ide 2. Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan 2. Meningkatkan orientasi realita klien dan
perasaan yang muncul secara dan perasaan yang muncul dan fikirannya. rasa percaya klien
berulang dalam pikiran klien. secara berulang dalam  Diskusikan dengan klien pengalaman yang
fikirannya. dialami selama ini termasuk hubungan
dengan orang yang berarti, lingkungan
kerja, sekolah, dsb.
 Dengarkan pernyataan klien dengan
empati tanpa mendukung / menentang
pernyataan wahamnya.

3. Klien dapat mengidentifikasi 3. Klien dapat menyebutkan 3. Bantu klien untuk mengidentifikasi kebutuhan 3. Untuk mengidentifikasi apa yang menjadi
stressor/pencetus wahamnya. kejadian-kejadian sesuai yang tidak terpenuhi serta kejadian yang kebutuhan klien dan pemecahan
(Triggers Factor) dengan urutan waktu serta menjadi factor pencetus masalahnya
harapan/kebutuhannya yg  Diskusikan dengan klien tentang kejadian-
tidak terpenuhi seperti : kejadian transmatik yang menimbulkan
Harga diri, rasa aman dsb rasa takut, ansietas maupun perasaan
tidak dihargai.
 Diskusikan dengan klien cara-cara
mengatasi situasi tersebut.
 Diskusikan dengan klien apakah ada
halusinasi yang meningkatkan fikiran /
perasaan yang terkait wahamnya.
 Hubungkan kejadian-kejadian tersebut
dengan wahamnya.

4. Klien dapat mengidentifikasi 4. Klien dapat membedakan 4. Bantu klien mengidentifikasi keyakinannya yang 4.Mengetahui seberapa jauh waham
wahamnya pengalaman nyata dengan salah tentang situasi yang nyata (bila klien mempengaruhi perilaku klien dan
pengalaman wahamnya. sudah siap) meyakinkan klien bahwa yang
 Diskusikan dengan klien pengalaman dirasakannya selama ini adalah hal
wahamnya tanpa berargumentasi yang tidak nyata

 Katakan kepada klien akan keraguan


perawat terhadap pernyataan klien
 Diskusikan dengan klien respon perasaan
terhadap wahamnya
 Diskusikan frekuensi, intensitas dan durasi
terjadinya waham
 Bantu klien membedakan situasi nyata
dengan situasi yang dipersepsikan salah
oleh klien

5. Klien dapat mengidentifikasi 5. Klien dapat menjelaskan 5. Diskusikan dengan klien pengalaman- 5. Mempermudah klien meyadari
konsekuensi dari wahamnya gangguan fungsi hidup pengalaman yang tidak menguntungkan kerugian yang akan dialami
sehari-hari yang diakibatkan sebagai akibat dari wahamnya seperti : apabila terus mengikuti proses
ide-ide / fikirannya yang  Hambatan dalam berinteraksi dg orang berfikir yang selama ini dilakukan
tidak sesuai dengan lain
kenyataan seperti :  Perubahan dalam prestasi kerja / sekolah
 Hubungan dengan  Ajak klien melihat bahwa waham tersebut
orang lain adalah masalah yang membutuhkan
 Pekerjaan bantuan dari orang lain
 Sekolah  Diskusikan dengan klien orang/tempat ia
 Prestasi, dsb minta bantuan apabila wahamnya timbul /
sulit dikendalikan.
6. Klien melakukan teknik distraksi 6. klien dapat melakukan 6.1 Motivasi klien memilih dan melakukan aktivitas 6. Aktiftas yang membutuhkan
sbg cara menghentikan pikiran yg aktivitas yang konstruktif yang membutuhkan perhatian dan ketrampilan perhatian dan aktifitas fisik yang
terpusat pada wahamnya yang dapat mengalihkan fisik menyenangkan akan membantu
fokus klien dari wahamnya, 6.2 Bicara dengan klien topik-topik yang nyata klien untuk tidak mudah
sesuai dengan minatnya 6.3 Diskusikan hobi/aktivitas yang disukainya terpengaruh oleh waham
6.4 Ikut sertakan klien dalam aktivitas fisik yang
membutuhkan perhatian sebagai pengisi waktu
luang
6.5 Bertanggung jawab secara personal dalam
mempertahankan / meningkatkan kesehatan
dan pemulihannya
6.6 Beri penghargaan bagi setiap upaya klien yang
positif

7. Klien dapat dukungan keluarga Keluarga dapat 7.1. Diskusikan dengan keluarga tentang : 7.1 Membantu keluarga mengenali waham
(7.1) menjelaskan tentang  Pengertian waham dan mencegah terjadinya kembali
pentingnya cara-cara  Penyebab waham.
merawat klien di rumah dan  Gejala
(7.2) menjelaskan cara – cara  Cara merawat
merawat klien di rumah  Follow up dan obat

7.2 Anjurkan keluarga untuk menerima klien apa adanya.


7.2 Membantu meningkatkan harga diri

7.3 Anjurkan keluarga untuk melibatkan klien setiap


pertemuan dalam keluarga 7.3 Meningkatkan interaksi klien dengan
keluarga klien

8. Klien dan keluarga dapat Klien dapat menggunakan obat 8.1 Diskusikan dengan klien jenis obat, cara 8.1 Untuk mencegah terjadinya kesalahan
menggunakan obat dengan benar dengan benar termasuk : penggunaannya, side efek obat serta kapan dia dalam pemberian obat
 Nama dan orangnya harus minta pertolongan apabila terjadi sesuatu
 Jenis obat yang tidak diinginkan sebagai dampak
 Dosis pemakaian obat
 Cara penggunaan obat
 Waktu 8.2 Jelaskan kepada klien / keluarga bahwa
 Efek samping dan tindakan pemberhentian / perubahan dosis harus 8.2 untuk mencegah efek samping yang
yang harus dilakukan bila sepengetahuan dan saran dari dokter yang tidak diinginkan
terjadi efek samping obat merawat.

8.3 Diskusikan perasaan klien setelah minum obat 8.3.Untuk mengetahui bagaimana reaksi
obat terhadap tubuh klien.
Strategi Pelaksanaan Waham
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Menjelaskan masalah yang dirasakan
2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak keluarga dalam merawat pasien
terpenuhi 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
3. Membantu pasien memenuhi waham, dan jenis waham yang dialami
kebutuhannya pasien, serta proses terjadinya
4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam 3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan
jadwal kegiatan waham
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
pasien merawat pasien dengan waham
2. Mendiskusikan tentang kemampuan yang 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
dimiliki langsung pasien waham
3. Melatih kemampuan yang dimiliki
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadwal
pasien aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Memberikan pendidikan kesehatan (dischange planning)
tentang penggunaan obat secara teratur 2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
5. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada Waham
SP 1 Pasien
ORIENTASI:
 “Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Suwoto, saya perawat yang dinas pagi ini di ruang melati.
Saya dinas dari pk 07-14.00 nanti, saya yang akan merawat abang hari ini. Nama abang siapa,
senangnya dipanggil apa?”
 “Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang bang B rasakan sekarang?”
 “Berapa lama bang B mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
 “Dimana enaknya kita berbincang-bincang, bang?”

KERJA :
 “Saya mengerti bang B merasa bahwa bang B adalah seorang nabi, tapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya karena setahu saya semua nabi sudah tidak adalagi, bisa kita lanjutkan pembicaraan
yang tadi terputus bang?”
 “Tampaknya bang B gelisah sekali, bisa abang ceritakan apa yang bang B rasakan?”
 “O... jadi bang B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk mengatur diri
abang sendiri?”
 “Siapa menurut bang B yang sering mengatur-atur diri abang?”
 “Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya bang, juga kakak dan adik abang yang lain?”
 “Kalau abang sendiri inginnya seperti apa?”
 “O... bagus abang sudah punya rencana dan jadual untuk diri sendiri”
 “Coba kita tuliskan rencana dan jadual tersebut bang”
 “Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya abang ingin ada kegiatan diluar rumah karena bosan kalau di
rumah terus ya”
 “Bagaimana kalau jadual ini abang coba lakukan, setuju bang? Berapa kali?”
 “Selanjutnya kita masukkan pada jadual pada jam... dan jam...”

TERMINASI
 “Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan saya?”
 ”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
 ”Jangan lupa kegiatan tadi dilakukan 2 kali sehari pada jam... dan jam....”
 “Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
 ”Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah Abang miliki? Mau di mana kita bercakap-cakap?
Bagaimana kalau di sini lagi?”
 Sekarang saya pamit dulu, terima kasih

SP 2 Pasien
ORIENTASI:
 “Assalamualaikum, Masih ingat dengan saya kan Bang, Iya saya Suwoto yang tadi pagi bercakap-cakap
dengan abang”.
 “Bang.. seperti yang kita sepakati tadi pagi, sekarang kita akan bercakap-cakap lagi ya.. kali ini kita akan
membicarakan kemampuan yang pernah abang miliki”.
 “Berapa lama bang B mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
 “Dimana enaknya kita berbincang-bincang, bang?”
KERJA
“Apakah kegiatan yang sudah dilakukan? Wah hebat..”
“Apa saja hobby abang? Saya catat ya Bang, terus apa lagi?”
“Wah.., rupanya bang B pandai main volley ya, tidak semua orang bisa bermain volley seperti itu lho B”(atau
yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa bang B ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main volley, siapa yang dulu mengajarkannya
kepada bang B, dimana?”
“Bisa bang B peragakan kepada saya bagaimana bermain volley yang baik itu?”
“Wah..baik sekali permainannya”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan bang B ini ya, berapa kali sehari/seminggu bang B mau bermain
volley?”
“Apa yang bang B harapkan dari kemampuan bermain volley ini?”
“Ada tidak hobi atau kemampuan bang B yang lain selain bermain volley?”

TERMINASI
 “Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dan main bola dengan saya?”
 ”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
 ”Jangan lupa kegiatan tadi dilakukan 2 kali sehari pada jam... dan jam....”
 “Bagaimana kalau saya datang kembali besok pagi?”
 ”Kita bercakap-cakap tentang Obat yang abang minum, ya”
 Sekarang saya pamit dulu, terima kasih

SP3 Kerja
ORIENTASI:
 “Assalamualaikum, Masih ingat dengan saya kan Bang, Iya saya Suwoto yang kemarin bercakap-cakap
dengan abang”.
 “Bang.. seperti yang kita sepakati tadi pagi, sekarang kita akan bercakap-cakap lagi ya.. kali ini kita akan
membicarakan tentang obat yang abang minum, ya”
 “Berapa lama bang B mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
 “Dimana enaknya kita berbincang-bincang, bang?”

KERJA:
“Bang B berapa macam obat yang diminum? jam berapa saja obat diminum?”
“ Bang B perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang”
“Obatnya ada tiga macam bang, yang warnanya oranye namanya Clorpromazine (CPZ) gunanya agar tenang,
yang putih ini namanya Trihexilphenidil (THP) gunanya agar rileks, dan yang merah jambu ini namanya
Halorperidol (HP) gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1
siang, dan jam 7 malam”.
“Bila nanti setelah minum obat mulut bang B terasa kering, untuk membantu mengatasinya abang bisa minum
air putih”.
“Sebelum minum obat ini bang B dan ibu mengecek dulu label di kotak obat apakah benar nama B tertulis
disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama
obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam waktu yang lama.
Agar tidak kambuh lagi sebaiknya bang B tidak menghentikan sendiri obat yang harus diminum sebelum
berkonsultasi dengan dokter”.
TERMINASI:
 “Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dan main bola dengan saya?”
 ”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
 “Coba abang sebutkan lagi tadi obatnya ada berapa”
 “Iya bagus bang, terus fungsinya obat untuk apa bang... Iya Bagus”
 ”Jangan lupa obatnya diminum tiga kali ya jam 7 pagi, 1 siang, dan 7 malam, saya tulis dijadwal ya”
 “Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau nanti siang kita bertemu lagi ya”
 Sekarang saya pamit dulu, terima kasih

SP 1 Keluarga
ORIENTASI
“Assalamualaikum pak, bu, perkenalkan nama saya Suwoto, saya perawat yang dinas di ruang melati ini.
Saya yang merawat bang B selama ini. Nama bapak dan ibu siapa, senangnya dipanggil apa?”
• “Bagaimana kalau sekarang kita membicarakan tentang masalah bang B dan cara merawat B di
rumah?”
• “Dimana kita mau berbicara? Bagaimana kalau di ruang wawancara?”
• “Berapa lama waktu bapak dan ibu? Bagaimana kalau 30 menit”

KERJA
“Pak, bu, apa masalah yang Bpk/Ibu rasakan dalam merawat bang B? Apa yang sudah dilakukan di rumah?
Dalam menghadapi sikap anak ibu dan bapak yang selalu mengaku-ngaku sebagai seorang nabi tetapi
nyatanya bukan nabi merupakan salah satu gangguan proses berpikir. Untuk itu akan saya jelaskan sikap
dan cara menghadapinya. Setiap kali anak bapak dan ibu berkata bahwa ia seorang nabi bapak/ ibu
dengan mengatakan pertama:
‘Bapak/Ibu mengerti B merasa seorang nabi, tapi sulit bagi bapak/ibu untuk mempercayainya karena setahu
kami semua nabi sudah meninggal.”
“Kedua: bapak dan ibu harus lebih sering memuji B jika ia melakukan hal-hal yang baik.”
“Ketiga: hal-hal ini sebaiknya dilakukan oleh seluruh keluarga yang berinteraksi dengan B”
“Bapak/Ibu dapat bercakap-cakap dengan B tentang kebutuhan yang diinginkan B, misalnya: “Bapak/Ibu
percaya B punya kemampuan dan keinginan. Coba ceritakan kepada bapak/ibu. B khan punya
kemampuan ............ “ (kemampuan yang pernah dimiliki oleh anak)
“Keempat: Bagaimana kalau dicoba lagi sekarang?”(Jika anak mau mencoba berikan pujian)  

TERMINASI
• “Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara merawat B di rumah?”
• “Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan tadi setiap kali berkunjung ke
rumah sakit.”
• “Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali kesini dan kita akan mencoba
melakukan langsung cara merawat B sesuai dengan pembicaraan kita tadi”
• “Jam berapa bapak dan ibu bisa kemari?”
• “Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu”

6. EVALUASI
1. Pasien mampu melakukan hal berikut:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh.

2. Keluarga mampu melakukan hal berikut:


a. Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai
kenyataan.
b. Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan pasien.
c. Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Kesehatan Jiwa.—Buku Standar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Penerapan


Standar Asuhan Keperawatan  pada Kasus di RSJ dan di RSKO.—Jakarta : Depkes
RI, 1998.
Doenges.E Marilynn, dkk. 2006. Rencana Usaha Keperawatan Psikiatri, edisi 3. EGC :
Jakarta.
Keliat, Budi Anna dll. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC: Jakarta.
Maslim,Rusdi.2013. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJIII dan DSM-5.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK- Unika Atmajaya: Jakarta
NANDA International. 2018. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2018 – 2020.
Alih bahasa Made Sumarwati, Nike Budhi Subekti.Jakarta : EGC.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI

Stuart dan Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC: Jakarta.
Townsend M.C. Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri; pedoman untuk
pembuatan rencana keperawatan. Jakarta: EGC. 1998
Yusuf.A, Fitriyasari.R., & Nihayati, H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Salemba
Medika: Jakarta.
https://rsjsoerojo.co.id/2016/02/16/waham-delusi-dapat-menjangkit-siapa-saja-yukk-kenali-
gejalanya/ (diakses 7 April 2020)
LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
ISOLASI SOSIAL
( Menarik Diri )

A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang alin di sekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain. Hubungan yang sehat dapat digambarkan dengan adanya komunikasi
yang terbuka, mau menerima orang lain dan adanya rasa empati ( Buku Dasar Keperawatan
Kesehatan Jiwa, 2015).
Isolasi sosial adalah suatu kondisi ketidakmampuan untuk membina hubungan yang
erat, hangat, terbuka dan interdependen dengan orang lain. Isolasi sosial dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keterlambatan perkembangan, ketidakmampuan
menjalin hubungan yang memuaskan, ketidaksesuaian minat dengan tahap perkembangan,
ketidaksesuaian perilaku sosial dengan norma, perubahan penampilan fisik, perubahan
status mental dan ketidakadekuatan sumber daya personal ( SDKI, 2016 ).

Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan
segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam
(NANDA, 2015-2017). Ancaman yang dirasakan dapat menimbulkan respons. Respon
kognitif pasien isolasi sosial dapat berupa merasa ditolak oleh orang lain, merasa tidak
dimengerti oleh orang lain, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak mampu
membuat tujuan hidup atau tidak memiliki tujuan hidup, tidak yakin dapat melangsungkan
hidup, kehilangan rasa tertarik kegiatan sosial, merasa tidak aman berada diantara orang
lain, serta tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan.
Respon afektif pasien dengan masalah keperawatan isolasi sosial berupa merasa
bosan, afek tumpul, dan kurang motivasi. Respon fisiologis yang terjadi pada pasien isolasi
sosial berupa wajah murung, sulit tidur, gelisah, lemah, kurang bergairah, dan malas
beraktivitas. Respon perilaku pasien isolasi sosial ditunjukkan dengan pasien menarik diri,
menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan komunikasi tidak ada kontak mata,
kehilangan minat, malas melakukan kegiatan sehari-sehari atau aktivitas sosial, berdiam diri
di kamar, menolak hubungan dengan orang lain, dan tidak mau menjalin persahabatan.
Respon Sosial yang dapat ditemukan pada pasien isolasi sosial berupa ketidakmampuan
berkomunikasi dengan orang lain, acuh dengan lingkungan, kemampuan sosial menurun,
dan sulit berinteraksi (Stuart, 2013; Townsend, 2009).
B. Rentang Respon Sosial
Adapun rentang sosial dari adaptif sampai terjadi respon yang maladaptive
(Buku Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2015) yaitu :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Manipulasi


Otonomi Menarikdiri Impulsif
Bekerjasama Tergantung Narcissisme
Saling tergantung
Gambar 1.Rentang respon sosial

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan suatu masalah


dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Sujono &
Teguh (2009) respon adaptif meliputi :
1. Solitude atau menyendiri
Respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau
yang telah dilakukan & suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan
rencananya.

2. Autonomy atau otonomi


Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran,perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu menetapkan interdependen
dan pengaturan diri.

3. Mutuality atau kebersamaan


Kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan
menerima dalam hubungan interpersonal.

4. Interdependen atau saling ketergantungan


Suatu hubungan saling ketergantungan dan saling tergantung antar individu
dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan


masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009) respon maladaptif tersebut adalah :
1. Manipulasi
Gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai
obyek,hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu
cenderungb e r o r i e n t a s i pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol
d i g u n a k a n s e b a g a i pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat
menjadi alat untuk berkuasapada orang lain.

2. Impulsif
Respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang
tidakdapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak
mampuuntuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.

3. Narkisisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga
diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan
danmudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.

C. Tanda Dan Gejala


Data Obyektif:
- Tidak memiliki teman dekat
- Menarik diri
- Tidak komunikatif
- Tindakan berulang dan tidak bermakna
- Asyik dengan pikirannya sendiri
- Tak ada kontak mata
- Tampak sedih, afek tumpul

Data Subyektif
- Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
- Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
- Klien merasa bosan
- Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Klien merasa tidak berguna
D. Proses Terjadinya Masalah
1. Faktor predisposisi:
a. Faktor Predisposisi adalah faktor yang menjadi sumber terjadinya stress, meliputi :
1) Biologis, Hal yang dikaji: faktor herediter mengalami gangguan jiwa, adanya
resiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
Napza. Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif seperti :
- adanya lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik
- Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan
dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
- Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia.
2) Psikologis , meliputi : Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien adanya
kegagalan yang berulang, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
3) Sosial Budaya, meliputi : Kondisi sosial budaya yang mempengaruhi gangguan
orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi adalah stimulus yang mengancam individu, meliputi :
1) Biologis : Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan: Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping : Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
Adapun faktor presipitasi yang sering terjadi adalah :
a) kejadian yang menekan :
- aktivitas sosial : keluarga, pekerjaan,Pendidikan, social, kesehatan,
keuangan, aspek legal dan krisi komunitas
- lingkungan sosial : kejadian yang dijelaskan sebagai jalan masuk dan
keluar. Jalan masuk adalah seseorang yang baru memasuki lingkungan
social.
- keinginan sosial : keinginan secara umum, seperti pernikahan
b) ketegangan hidup : perselisihan yang dihubungkan dengan hubungan
perkawinan, perubahan orang tua yang dihubungkan dengan remaja dan
anak-anak, ketegangan yang dihubungkan dengan peran ( Buku Dasar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2015).

E. Pohon Masalah

Risiko gangguan persepsi sensori halusinasi


( Effect )

Isolasi social: menarik diri


( Core Problem )

Gangguan konsep diri


Harga diri rendah
(Causa )

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut Dermawan, 2013 penatalaksanaan klien yang mengalami isolasi
sosial adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain yaitu :
a. Terapi Farmakologi
1) Clorpromazine (CPZ)
- Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik
diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -fungsi mental: waham,
halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau, tidak
terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
- Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat,mata kabur, TIO meninggi, ggn irama jantung ,gangguan ekstra
piramidal (distonia akut, akatshia, sindroma parkinson/tremor, bradikinesia
rigiditas), gangguan endokrin, metabolik, hematologik, agranulosis,
biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
2) Haloperidol (HLP)
- Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari – hari.
- Efek samping : Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).
3) Trihexy phenidyl (THP)
-  Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.
- Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik
(hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra oluker meninggi,
gangguan irama jantung).
b. Electro Convulsive Therapy
 Electro Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
eletroshock adalah suatu terapi psiatri yang menggunakan energi shock listrik
dalam pengobatannya. Biasanya ECT ditunjukan untuk terapi pasien gangguan
jiwa yang tidak berespon pada obat psikiatri pada dosis terapinya. Diperkirakan
hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan
intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT bertujuan untuk memberikan efek kejang
klonik yang dapat memberikan efek terapi selama 15 menit.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan masalah
isolasi sosial adalah tindakan keperawatan Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi (TAKS), dan psikoterapi sebagai terapi spesialis dalam hal ini Social Skill
Training (SST). Terapi generalis sosialisasi individu pada pasien isolasi sosial
berpengaruh terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofenia
(Nurfitiana, 2011). Terapi aktivitas kelompok memiliki pengaruh terhadap
peningkatan keterampilan sosial dasar pada pasien skizofrenia dengan adanya
kenaikan skor keterampilan dasar dan masing-masing subyek merasakan manfaat
dari terapi aktivias kelompok (Hartono, 2015)
a. Terapi individu dan keluarga
Penatalaksanaan isolasi sosial dapat dilakukan dengan strategi
pelaksanaan tindakan keperawatan (SPTK) pada pasien yang lebih dikenal
dengan strategi pelaksanaan (SP) yang terdiri dari beberapa strategi pelaksanaan
diantaranya strategi pelaksaan pasien mengajarkan dengan berinteraksi secara
bertahap dan keluarga yang terdiri dari masing-masing empat strategi pelaksaan
(Badar, 2016)
b. Terapi aktivitas kelompok
            Menurut Stuart dan Laraia kegiatan kelompok merupakan tindakan
keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok. Terapi aktivitas kelompok
(TAK), terdiri dari 4 macam yaitu TAK stimulasi persepsi, TAK stimulasi sensori,
TAK stimulasi realita, dan TAK sosialisasi. Terapi kelompok yang cocok pada
pasien isolasi sosial yaitu terapi aktivitas kelompok sosial (TAKS) karena klien
mengalami gangguan  hubungan sosial (Badar , 2016).
            Terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang dapat dilakukan pada pasien
dengan isolasi sosial adalah :
- Sesi 1 :kemampuan mengenalkan diri
- Sesi 2 :kemampuan berkenalan
- Sesi 3 :kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok
- Sesi 4 :kemampuan menyampaikan topic pembicaraan tertentu
- Sesi 5 :kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
- Sesi 6 : kemampuan bekerjasama dalam sosialisasi
Pemberian terapi Terapi Generalis, TAKS, dan SST pada pasien skizofrenia
yang mengalami isolasi social dapat menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial
dan meningkatkan kemampuan pasien dalam bersosialisasi. Dari hasil penelitian,
direkomendasikan untuk memberikan perawatan pada pasien isolasi sosial
dengan pendekatan secara individu, maupun kelompok melalui terapi generalis
pasien, terapi aktivitas kelompok sosialisasi, dan social skill training.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Masalah Data yang Perlu Dikaji
Keperawatan
Isolasi sosial Subjektif
 Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain
 Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta
untuk sendirian
 Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain
 Tidak mau berkomunikasi
 Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang mengetahui
keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu, ayah, atau teman dekat).
 Riwayat keluarga terkait penyakit gangguan jiwa
 Riwayat penyakit pasien dan pengobatannya
 Riwayat trauma (bio, psiko, sosio, spiritual)
 Pemeriksaan fisik meliputi TTV, head to toe, dan keadaan umum
 Perkembangan fungsi keluarga, konflik keluarga, dan mekanisme
kopingnya
 Pengkajian psikososial sebelum dan sesudah sakit
 Stres lingkungan yang dialami klien
 Pemicu gejala: kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu,
seperti : gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan
atau lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan
terhadap penampilan, stress agngguan dalam berhubungan
interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaan, kemiskinan,
keputusasaan.
Objektif
 Kurang spontan
 Apatis (acuh terhadap lingkungan)
 Ekspresi wajah kurang berseri
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
 Mengisolasi diri
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
 Asupan makanan dan minuman terganggu
 Retensi urine dan feses
 Aktivitas menurun
 Kurang berenergi atau bertenaga
 Rendah diri
 Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin (khususnya
pada posisi tidur)

2. Diagnosis Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi halusinasi b.d menarik diri
b. Isolasi sosial menarik diri b.d harga diri rendah
3. Rencana Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial (menarik diri)
Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi Rasional
TUM : Klien Setelah 2 X interaksi klien 1. Bina hubungan saling percaya dengan : Dengan membina hubungan
mampu berinteraksi menunjukan tanda-tanda - beri salam setiap berinteraksi saling percaya akan
dengan orang lain percaya kepada atau - Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan membantu mempermudah
terhadap perawat : perawat berkrnalan kerjasama agar klien lebih
TUK 1 : Klien dapat - Wajah cerah, tersenyum - Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien kooperatif
membina - Mau berkenalan - Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali
hubungan saling - Ada kontak mata berinteraksi
percaya - Bersedia menceritakan - Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien
perasaan&masalahnya - Buat kontrak interaksi yang jelas
- Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan
klien
TUK 2 : Setelah 2 kali interaksi klien 1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan Dengan mengetahui tanda-
Klien mampu dapat menyebutkan minimal tanda-tandanya tanda dan gejala, kita dapat
menyebutkan satu penyebab menarik 2. Tanyakan pada klien tentang : menentukan langkah intervensi
penyebab  tanda diri : - Orang yang tinggal serumah atau dengan sekamar klien selanjutnya.
dan gejala isolasi - Diri Sendiri - Orang yang paling dekat ddengan klien dirumah atau
sosial - Orang lain diruangan perawatan
- Lingkungan - Apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut Memberi kesempatan untuk
- Orang yang tidak dekat dengan klien dirumah atau mengungkapkan perasaannya
diruangan perawat dapat membantu mengurangi
- Apa yang membuat klien tidak dekat dengan orang stress dan penyebab menarik
tersebut diri
- Upaya yang sudah dilakukan agar dekat dengan orang
tersebut
3. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri / tidak mau Untuk menentukan tindakan
bergaul dengan orang lain yang tepat sesuai dengan
4. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan halusinasi pasien
perasaanya

TUK 3 : Setelah 2 X interaksi 1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan Untuk mengetahui keuntungan
Klien mampu dengan klien dapat berhubungan dengan orang lain: dari bergaul dengan oranglain
menyebutkan menyebutkan keuntungan a. beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan dan akibat yang dirasakan
keuntungan berhubungan sosial, perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan setelah menarik diri
berhubungan sosial misalnya : orang lain
dan kerugian - Banyak teman b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan
menarik diri - Tidak kesepian sosial dan kerugian menarik diri
- Saling menolong c. Beri reinforcement positif terhadap kermampuan Reinforcement dapat
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan meningkatkan harga diri klien
Dan kerugian menarik diri, berhubungan dengan orang lain
misalnya: 2. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak
- Sendiri berhubungan dengan orang lain
- Kesepian a. beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
- Tidak bisa diskusi perasaan dengan orang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kermampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain

TUK 4 : Setelah 2 X interaksi klien 1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang Untuk mengetahui perilaku
Klien dapat dapat melaksanakan lain menarik diri dan dengan
melaksanakan hubungan soosial secara 2. Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang bantuan perawat bisa
hubungan sosial bertahaap dengan : lain melalui tahap : membedakan perilaku
secara bertahap - Perawat a. K-P konstruktif dan destruktif
- Perawat lain b. K-P-P lain 1.
- Kelompok c. K-P-P lain- K lain 2.
d. K-Kel/Kel/Masy 3.
3. beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah 4.
dicapai 5.
4. bantu klien u tuk mengevaluasi manfaat berhubungan 6. Mengetahui sejauh mana
dengan orang lain pengetahuan klien tentang
5. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan untuk meningkatkan berhubungan dengan orang
kemampuan klien bersosialisasi lain
6. Beri motivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai jadwal
yang telah dibuat
7. Beri pujian terhadap kemampuan klien memperluas
pergaulanya melalui aktifitas yang dilaksanakan
a.
TUK 5 : Setelah 2X interaksi klien 1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaanya bila Agar klien lebih percaya diri
Klien mampu dapat menyebutkan berhubungan dengan orang lain untuk berhungan dengan
mengungkapkan perasaanya setelah 2. Diskusikan dengan klien tentang perasaanya setelah orang lain
perasaanya setelah berhubungan sosial dengan berhbungan sosial dengan :
berhubungan sosial - Orang lain - Orang lain
- Kelompok - Kelompok
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaaanya

TUK : 6 Setelah 2X kali pertemuan, 1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga: Memberikan penanganan
Klien dapat keluarga dapat menjelaskan a. salam, perkenalkan diri bantuan terapi melalui
memberdayakan - pengertian menarik diri b. jelaskan tujuan pengumpulan data yang
sistem pendukung - tanda dan gejala c. buat kontrak waktu lengkap dan akurat kondisi
atau keluarga menarik diri d. eksplorasi perasaan klien fisik dan non fisik pasien serta
- penyebab dan akibat 2. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien keadaan perilaku dan sikap
menarik diri mengatasi perilaku menarik diri keluarganya
- cara merawat klien 3. Jelaskan pada keluarga tentang :
menarik diri a. pengertian menarik diri
b. tanda dan gejala menarik diri
c. penyebab dan akibat menarik diri
d. cara merawat klien menarik diri

Setelah 2X pertemuan, 4. Dorong anggota keluarga untuk membrikan dukungan


keluarga dapat kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain
mempraktekkan cara 5. anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian
merawat klien menarik diri menjenguk klien miniml sekali seminggu (masih dirawat)
6. Beri motivasi keluarga agar membantu klien bersosialisasi
7. Beri pujian pada keluarga atas keterlibatannya merawat klien
dirumah sakit
TUK 7 : 7.1 Setelah 2X interaksi 1. Diskusikan dengan klien tentang manfaaat dan kerugian Minum obat dapat
Klien dapat klien menyebutkan : tidak minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi, dan menyembuhkan penyakit klien
memanfaatkan - manfaat minum obat efek samping penggunaan obat.
obat dengan baik - kerugian tidak 2. Pantau klien saat penggunaan obat
meminum obat 3. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
- nama, warna, dosis, 4. Diskusikan berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan
efek terapi, efek dokter
samping obat 5. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter atau perawat
7.2. Setelah...kali interaksi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
klien
mendemonstrasikan
penggunaan obat
dengan benar
7.3.Setelah...kali interaksi
klien dapt
menyebutkan akibat
berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter
4. Strategi pelaksanaan

Tgl/
Tindakan Keperawatan untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
No Dx
Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial1. Menjelaskan masalah yang dirasakan
2. Berdiskusi dengan pasien tentang keluarga dalam merawat pasien
keuntungan berinteraksi dengan orang
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
lain gejala Isolasi Sosial, dan jenis Isolasi
3. Berdiskusi dengan pasien tentang Sosial yang dialami pasien, serta
kerugian tidak berinteraksi dengan proses terjadinya
orang lain 3. Menjelaskan cara merawat pasien
4. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan Isolasi Sosial
dengan satu orang
5. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian

SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
pasien merawat pasien dengan Isolasi
2. Memberikan kesempatan kepada Sosial
pasien mempraktekkan cara berkenalan
2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung pasien Isolasi
3. Membantu pasien memasukkan Sosial
kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan
harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
1. Membantu keluarga untuk membuat
pasien jadwal aktivitas di rumah termasuk
2. Memberi kesempatan kepada pasien minum obat (discharge planning)
untuk berkenalan dengan dua orang
2. Menjelaskan follow up pasien setelah
atau lebih pulang
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
5. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SPTK) Isolasi social

Strategi Pelaksanaan (SP 1)


1. Fase Orentasi
a. Salam Terapeutik
“ Selamat Pagi Bu!” Perkenalkan nama saya Sirila, biasa di panggil
Lala, saya mahasiswa PSIK Universitas Brawijaya. Saya praktek disini
mulai dari hari ini sampai tgl. 10 April 2020 dari jam 08.00-14.00 WIB.
Nama ibu siapa? Senang di panggil apa?
b. Validasi : “ Bagaimana perasaan ibu hari ini ?”
c. Kontrak
 Topik : “ Senang ya bisa berkenalan dengan ibu hari ini, bagaimana
kalau kita berbincang-bincang untuk lebih saling mengenal
sekaligus agar ibu dapat mengetahui keuntungan dan kerugian
berinteraksi dengan orang lain?
 Waktu : “ berapa lama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang
dengan saya? Bagaimana kalau 15 menit saja?
 Tempat : “ di mana ibu mau berbincang-bincang dengan saya? Ya
sudah... di ruangan ini saja kita berbincang-bincang...”
 Tujuan : “Agar ibu dengan saya dapat saling mengenal sekaligus
ibu dapat mengetahui keuntungan berinteraksi dengan orang lain
dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.”
2. Fase kerja
“Ibu”, kalau boleh saya tau orang yang paling dekat dengan ibu siapa?
Menurut ibu apa keuntungann berinteraksi dengan orang lain dan kerugian
tidak berinteraksi dengan orang lain? Kalau ibu tidak tahu saya akan
memberitahukan keuntungan dari berinteraksi dengan orang lain yaitu
bapak punya banyak teman, saling menolong, saling bercerita, dan tidak
selalu sendirian. Sekarang saya akan mengajarkan ibu berkenalan.
Bagus... ibu dapat mempraktekkan apa yang saya ajarkan tadi.. bagaiman
kalau kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain di masukkan
kedalam jadwal kegiatan harian?
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
 Evaluasi Subyektif : “Bagaimana perasaan ibu setelah kita
berbincang-bincang tadi?”
 Evaluasi Objektif : “coba ibu ceritakan kembali keuntungan
berinteraksi dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain?”
b. Tindak Lanjut
“tadi saya sudah menjelaskan keuntungan dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang lain dan cara berkenalan yang benar. Saya
harap ibu dapat mencobanya bagaimana berinteraksi dengan orang
lain!“
c. Kontrak yang akan datang
 Topik : “baiklah... pertemuan kita cukup sampai disini. Besok kita
akan berbincang-bincang lagi tentang jadwal yang telah kita buat
dan mempraktekkan cara berkenalan dengan orang lain?
 Waktu : “berapa lama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang
dengan saya besok? Bagaimana kalau 15 menit saja?”
 Tempat : “ di mana ibu mau berbincang-bincang dengan saya
besok? Ya sudah... bagaimana kalau besok kita melakukannya di
teras depan saja?...

Strategi Pelaksanaan (SP 2)


1. Fase Orentasi
a. Salam Terapeutik
“ Selamat Pagi Bu!” masih ingat dengan saya? Benar ibu! saya suster
Lala...
b. Validasi
“ Bagaimana perasaan ibu hari ini ? masih ingat dengan yang kemarin
saya ajarkan?”
c. Kontrak
 Topik : “ sesuai dengan janji kita kemarin, hari ini kita akan
mempraktekkan bagaimana cara berkenalan dengan satu...”
 Waktu : “ sesuai dengan kesepakatan kita kemarin, kita akan
melakukannya selama 15 menit... bagaimana menurut ibu?
 Tempat : “kesepakatan kita kemarin!! Kita akan melakukannya di
teras depan... apakah ibu setuju?”
 Tujuan : “Agar ibu dengan orang lain dapat saling kenal”
2. Fase kerja
“sebelum kita berkenalan dengan orang lain, coba ibu perlihatkan kepada
saya bagaimana cara berkenalan dengan orang lain? Hebat... ibu dapat
melakukannya dengan baik... sekarang, mari kita melakukannya dengan
satu orang yang ibu belum kenal!! Bagus... ibu dapat mempraktekkan
dengan baik dan sesuai dengan apa yang saya ajarkan.. bagaimana kalau
kegiatan berkenalan dengan orang lain yang baru dikenal di masukkan
kedalam jadwal kegiatan harian?
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
 Evaluasi Subyektif : “Bagaimana perasaan ibu setelah kita
berbincang-bincang tadi? Siapa nama orang yang ibu ajak
berkenalan tadi?”
 Evaluasi Objektif : “klien terlihat berkenalan dengan orang yang
baru di kenalnya sebanyak 1 orang”
b. Tindak Lanjut
“ibu saat saya tidak ada ibu dapat melakukan hal seperti yang ibu
lakukan tadi dengan orang yang belum ibu kenal... kemudian ibu ingat
nama yang pernah ibu ajak kenalan atau bisa ibu catat di buku saat
berkenalan.”
c. Kontrak yang akan datang
 Topik : “baiklah... pertemuan kita cukup sampai disini. Besok kita
akan melakukan interaksi/ berkenalan dengan orang lain sebanyak
2 orang atau lebih?
 Waktu : “berapa lama ibu punya waktu untuk interaksi dengan orang
lain? Bagaimana kalau besok kita melakukannya selama 15 menit?”
 Tempat : “ di mana ibu bisa melakukannya besok? Ya sudah...
bagaimana kalau besok kita melakukannya di tempat ini lagi?...
selamat siang ibu!!!”
Strategi Pelaksanaan (SP 3)
1. Fase Orentasi
a. Salam Terapeutik
“ Selamat Pagi Bu!” masih ingat dengan saya? Benar ibu! saya suster
Lala...
b. Validasi
“ Bagaimana perasaan ibu hari ini ? masih ingat dengan yang kemarin
ibu lakukan?”
c. Kontrak
 Topik : “ sesuai dengan janji kita kemarin, hari ini ibu akan
melakukan interaksi dengan orang lain sebanyak 2 orang atau lebih
pada orang yang tidak ibu kenal atau orang baru...”
 Waktu : “ sesuai dengan kesepakatan kita kemarin, kita akan
melakukannya selama 15 menit... bagaimana menurut ibu?
 Tempat : “kesepakatan kita kemarin!Kita akan melakukannya di
teras, apakah ibu setuju?”
 Tujuan : “Agar ibu dengan orang lain dapat saling kenal dan
mempunyai teman yang banyak”
2. Fase kerja
“sebelum kita berkenalan dengan orang lain, coba ibu perlihatkan kepada
saya bagaimana cara berkenalan dengan orang lain? Hebat... ibu dapat
melakukannya dengan baik... sekarang, mari kita melakukannya dengan
orang lain yang ibu tidak kenal sebanyak 2 orang atau lebih!! Bagus... ibu
dapat mempraktekkan dengan baik dan mulai berkembang dalam
berinteraksi dengan orang lain.. bagaimana kalau kegiatan berkenalan
dengan orang lain yang baru dikenal di masukkan kedalam jadwal
kegiatan harian?
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
 Evaluasi Subyektif : “Bagaimana perasaan ibu setelah kita
berbincang-bincang tadi? Siapa-siapa saja nama orang yang ibu
ajak berkenalan tadi?”
 Evaluasi Objektif : “klien terlihat berkenalan dengan orang yang
baru di kenalnya sebanyak 3 orang”
b. Tindak Lanjut
“nah.. saat saya tidak ada, ibu dapat melakukannya hal seperti yang
ibu lakukan tadi dengan orang yang baru ibu kenal... kemudian ibu
ingat nama yang pernah ibu ajak kenalan atau bisa ibu catat di buku
saat berkenalan.”
c. Kontrak yang akan datang
 Topik : “baiklah... pertemuan hari ini kita akhiri. Besok kita ulangi
apa yang telah kita pelajari dari kemarin ya bu.. apakah ibu
bersedia?
 Waktu : “berapa lama ibu mau melakukannya? Bagaimana kalau
besok kita melakukannya selama 15 menit?”
 Tempat : “ di mana ibu bisa melakukannya besok? Baiklah kita
melakukannya di sini saja.... selamat siang ibu!!!”

6. Evaluasi
a. Evaluasi kemampuan pasien
Pasien menunjukkan rasa percayanya kepada saudara sebagai
perawat dengan
 ditandai dengan pasien mau bekerja sama secara aktif dalam
melaksanakan program yang saudara usulkan kepada pasien.
 Pasien mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan tidak mau
bergaul dengan orang lain, kerugian tidak mau bergaul, dan
keuntungan bergaul dengan orang lain.
 Pasien menunjukkan kemajuan dalam berinteraksi dengan orang
lain secara bertahap.
b. Evaluasi kemampuan keluarga
Keluarga ikut bekerja sama merawat pasien sesuai anjuran yang Anda
berikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ah. Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Salemba
Medika, Jakarta.

Diah Sukaesti, 2015. Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada


Klien Isolasi Sosial Dan Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan
Pendekatan Hubungan Interpersonal Peplau Dan Stuart Di Ruang
Gatotkaca RSMM, FIK UI.

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika

Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


PT Refika Aditama

PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Standar


Diagnostik, edisi 1, Jakarta, DPP:PPNI.

Rahmi dkk, 2015. Dukungan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dengan
Pendekatan Social Support Theory, FIK-UI.

Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM
LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH (HDR)

A. Definisi Harga Diri Rendah


Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Keliat, 2006).

Harga diri rendah adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan


yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain. Harga diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi
dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya
sendiri,dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia (Stuart & Gail,
2006).

Harga diri rendah dapat digambarkan sebagai perasaan


negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri.
Harga dirirendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (kritik
diri yang telah berlangsung lama) dapat diekspresikan secara langsung atau
tidak langsung (Stuart & Sundeen, 2006).

B. Klasifikasi Harga Diri Rendah


Harga diri rendah dibagi menjadi 2, yaitu: harga diri rendah kronis
dan harga diri rendah situasional (Carpenito, 2001).
1. Harga diri rendah kronis adalah suatu kondisi penilaian diri yang negatif
berkepanjangan pada seseorang atas dirinya.
Karakteristik :
a. Mayor:
 Untuk jangka waktu lama / kronis
 Pernyataan negatif atas dirinya
 ekspresi rasa malu / bersalah
 Penilaian diri seakan-akan tidak mampu menghadapi kejadian
tertentu
 Meremehkan kemampuan mengatasi masalah
 Merasa tidka memiliki kelebihan atau kemampuan positif
 Melebih-lebihkan penilaian negatif
 Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
 Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
 Berjalan menduduk
 Postur tubuh menunduk
b. Minor
 Merasa sulit berkonsentrasi
 Sulit tidur
 Mengungakapkan keputusasaan
 Perilaku tidak asertif
 Kontak mata kurang
 Lesu tidak bergairah
 Berbicara pelan
 Pasif
 Bergantung pada pendapat orang lain
 Sulit membuat keputusan

2. Harga diri rendah situasional adalah suatu evaluasi atau perasaan


terhadap diri sendiri atau kemampuan klien sebagai respon terhadap
situasi saat ini
Karakteristik :
a. Mayor:
 Menilai diri negatif
 Merasa maluu/bersalah
 Melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri
 Emenolak penilaian positif tentang diri sendiri
 Berbicara pelan dan lirij
 Berjalan menduduk
 Menolak berinteraksi dengan orang lain
 Postur tubuh menduduk
b. Minor:
 Sulit berkonsentrasi
 Kontak mata kurang
 Lesu dan tidak bergairah
 Pasif
 Tidak mampu membuat keputusan

C. Etiologi Harga Diri Rendah


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri : penolakan
orangtua,harapan orangtua tidak realistis, sekolah ditolak,
pekerjaan. 
b. Faktor yang mempengaruhi performa peran : stereotip peran
gender, tuntutan peran kerja, harapan peran budaya. 
c. Faktor yg mempengaruhi indentitas pribadi :ketidakpercayaan
orangtua, tekanan dari kelompok sebayadan perubahan struktur
sosial.

2. Faktor Presipitasi
a. Ketegangan peran oleh stress yang berhubungan dengan frustasi
yang dialami dalam peran, halusinasi pendengaran dan
penglihatan, kebingungan tentang seksualitas diri sendiri, kesilitan
membedakan diri sendiri dari orang lain, gangguan citra tubuh,
mengalami dunia seperti dalam mimpi.

D. Manifestasi Klinis
1. Mengungkapkan rasa malu/bersalah
2. Mengungkapkan menjelek-jelekkan diri
3. Mengungkapkan hal-hal yang negatif tentang diri (ketidakberdayaan dan
ketidakbergunaan) 
4. Kejadian menyalahkan diri secara episodik terhadap permasalahan
hidup yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif 
5. Kesulitan dalam membuat keputusan
Keliat (2006) mengemukakan beberapa tanda dan gejala harga diri
rendah adalah:
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3.  Pandangan hidup yang pesimis
4. Penurunan produkrivitas 
5. Penolakan terhadap kemampuan diri.

Tanda dan gejala yang dapat dikaji:


1. Perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap
tindakan penyakit. Misalnya malu dan sedih karena rambut
menjadirontok (botak) karena pengobatan akibat penyakit kronis seperti
kanker.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika sayatidak
kerumah sakit menyalahkan dan mengejek diri sendiri.
3. Merendahkan martabat. Misal: saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya
memang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
4. Gangguan hubungan sosial. Misal: menarik diri, klien tidak mau bertemu
orang lain, lebih suka menyendiri.
5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan yang suram
mungkin memilih alternatif tindakan.
6. Mencederai diri akibat harga diri rendah disertai dengan harapan yang
suram mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
7. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan. 
8. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri. 
9. Keluhan fisik 
10. Penolakan terhadap kemampuan personal
Menurut Carpenito (2001) perilaku yang berhubungan dengan harga
diri rendah antara lain:
1. Data subjektif
a. Mengkritik diri sendiri atau orang lain
b. Perasaan dirinya sangat penting yang berlebih-lebihan
c. Perasaan tidak mampu
d. Rasa bersalah
e. Sikap negatif pada diri sendiri
f. Sikap pesimis pada kehidupan
g. Keluhan sakit fisik 
h. Pandangan hidup yang terpolarisasi
i. Menolak kemampuan diri sendiri
j. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri
k. Perasaan cemas dan takut
l. Merasionalisasi penolakan/menjauh dari umpan balik positif 
m. Mengungkapkan kegagalan pribadi
n. Ketidak mampuan menentukan tujuan

2. Data objektif:
a. Produktivitas menurun
b. Perilaku destruktif pada diri sendiri
c. Perilaku destruktif pada orang lain
d. Penyalahgunaan zat
e. Menarik diri dari hubungan sosial
f. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah 
g. Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
h. Tampak mudah tersinggung/mudah marah
E. Pohon Masalah

Penolakan Ketergantungan
Gangguan Ideal diri orang tua pada orang lain
Kegagalan
Citra Tubuh tidak realistik berulang kali

Ketidakpercayaan dan
tekanan lingkungan
keluarga

Frustasi

Peningkatan aktivitas
dopamine dan serotonin

Gangguan pada lobus Gangguan pada lobus frontalis


temporalis
Gejala negatif
Timbul gangguan
terhadap pusat
perhatian otak pusat Koping Koping
berpikir dan maladaptif adaptif
pengaturan otak
Tidak terjadi
Gejala positif Merasa Merasa gangguan
tertekan dan kurang
Kekacauan pikiran terancam dihargai

Gangguan persepsi Merasa tidak


sensori halusinasi Kehilangan Proses piker berguna
minat & perfusi
beraktifitas terganggu Tidak dapat
menikmati
Gangguan kegiatan yang
proses piker disenangi
Tidak mau Tidak mau mengamuk
merawat diri bergaul Harga diri
Mencederai rendah
Deficit Isolasi sosial diri dan orang
perawatan diri lain

Resiko
perilaku
kekerasan

Patofosiologi Harga Diri Rendah : Ade Herma Direja (2011)


F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
ego yang digunakan untuk melindungi diri (stuart, 2006). Mekanisme koping terdiri dari
pertahanan koping jangka pendek dan jangka panjang serta mekanisme pertahanan ego
untuk melindungi diri sendiri dalam menghadapi persepsi diri sendiri yang menyakitkan.
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dari krisis identitas diri (misal:
konser music, menonton televise secara obsesif)
b. Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara (misal: ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)
c. Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang
tidak menentu (misal: olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes
untuk mendapatkan popularitas)
d. Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk membuat identitas di luar
hidup yang tidak bermakna saat ini (misal: penyalahgunaan obat)
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas adalah adopsi identitas premature yang diinginkan oleh
orang terdekat tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, atau potensi diri
individu.
b. Identitas negatif adalah asumsi identitas yang tidak sesuai dengan
nilai dan harapan yang diterima masyarakat.
c. Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi “disosiasi, isolasi,
proyeksi, pengalihan, berbalik marah terhadap diri sendiri.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Medis
Pemberian terapi medis pada kasus harga diri rendah juga tidak digolongkan
sendri dan lebih mengarah kepada pemberian obat golongan anti depresan, karena
fungsi dari obat anti depresan adalah memblokade pengambilan kembali
neurotransmitter norepineprin dan serotonin, meningkatkan konsentrasinya pada
sinaps dan mengkoreksi defisit yang diperkirakan menyebabkan alam perasaan
melankolis. Hal ini sesuai dengan masalah neurotransmitter yang dihadapi oleh
klien dengan hargadiri rendah yaitu adanya penurunan neurotransmitter seperti
serotonin dan norepineprin.
Terdapat banyak jenis antidepresan tetapi pada kasus harga diri rendah kali ini
pemberian obat yang dapat diberikan lebih banyak dalam jenis Tricyclic Anti
Depresan (TCA): Amitriptiline, Imipramine, desipramine, notriptilin, sesuai dengan
fungsi dari obatnya yaitu untuk meningkatkan reuptake seorotonin dan norepinefrin
sehinggameningkatkan motivasi klien dan sesuai dengan indikasinya
yaitu pengobatan yang diberikan pada klien dengan depresi tetapi  juga mengalami
skizofrenia sehingga mempunyai efek pengobatan yang saling meningkatkan.

2. Terapi Keperawatan
Tindakan keperawatan pada klien
Tujuan:
a. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Klien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
d. Klien dapat dilatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
e. Klien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
 
1) Terapi Generalis
Prinsip tindakan :
a) Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimilikiklien.
b) Bantu klien menilai kemampuan yang dapat digunakan
c) Bantu klien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih
d) Latih kemampuan yang dipilih klien
e) Beri pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien
f) Bantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
g) Evaluasi kemampuan pasien sesuai jadwal kegiatan harian
h) Latih kemampuan kedua
i) Motivasi klien memasukkan kemampuan kedua kedalam jadwalharian

2) Terapi Kognitif 
Prinsip tindakan :
Tahap : Mengungkapkan pikiran otomatis
Tahap II : Mengungkapkan alasan
Tahap III : Tanggapan terhadap pikiran otomatis
Tahap IV : Menuliskan pikiran otomatis
Tahap V : Penyelesaian masalah
Tahap VI : Manfaat tanggapan
Tahap VII : Mengungkapkan hasil
Tahap VIII : Catatan harian
Tahap IX : Support system

Tindakan keperawatan pada keluarga


Tujuan :
a. Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuanyang dimiliki
b. Keluarga memfasilitasi aktifitas pasien yang sesuai kemampuan
c. Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuaidengan latihan
yang dilakukan
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien

1) Terapi Triangle
Prinsip tindakan :
Tahap I : Mengenali dan mengekspresikan perasaan
Tahap II : Menerima orang lain (klien)
Tahap III : Penyelesaian masalah
Tahap IV : Mengungkapkan hasil
 
2) Tindakan keperawatan untuk kelompok 
Terapi generalis  : TAKS 
Tahap I :Membantu klien meningkatkan kemampuan memperkenalkan
diri
Tahap II :Membantu klien berkenalan dengan anggota kelompok 
Tahap III :Membantu klien untuk mampu bercakap-cakap dengananggota
kelompok 
Tahap IV :Membantu klien untuk mampu menyampaikan
topik  pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok 
Tahap V :Bantu klien untuk mampu menyampaikan danmembicarakan
masalah pribadi dengan orang lain
Tahap VI :Bantu klien untuk mempu bekerja sama dalam
permainansosialisasi kelompok 
Tahap VII :Bantu klien untuk mamu menyampaikan pendapat
tentangmanfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan.
H. Strategi Pelaksanaan Harga Diri Rendah
Pasien
1. SP 1 pasien
a. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
b.  Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan  
c. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien
d. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan
e. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2. SP 2 pasien
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3. SP 3 pasien
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Keluarga
1. SP 1 keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
2. SP 2 keluarga
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri
rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri
rendah

3. SP 3 keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

I. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah kronis berhubungan dengan :
 Terpapar situasi traumatis
 Kegagalan berulang
 Kurangnya pengakuan dari orang lain
 Ketidakefektifan mengatasi masalah kehilangan
 Gangguan psikiatri
 Penguatan negatif berulang
 Ketidaksesuaian budaya
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan :
 Perubahan pada citra tubuh
 Perubahan peran sosial
 Ketidakadekuatan pemahaman
 Perilaku tidak konsisten dengan nilai
 Kegagalan hidup berulang
 Riwayat kehilangan
 Riwaat penolakan
 Transisi perkembangan
J. Luaran Keperawatan
1. Harga diri rendah kronis berhubungan dengan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 7x24 jam diharapkan Harga diri
meningkat dengan kriteria hasil sebagai berikut :
o Penilaian diri positif meningkat
o Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan positif meningkat
o Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri meningkat
o Minat mencoba hal baru meningkat
o Berjalan menampakkan wajah meningkat
o Postur tubuh menampakkan wajah meningkat
o Konsntrasi meningkat
o Tidur meningkat
o Kontak mata meningkat
o Gairan aktivitas meningkat
o Aktif meningkat
o Percaya diri berbicara meningkat
o Perilaku asertif meningkat
o Kemampuan membuat keputusan meningkat
o Perasaan malu menurun
o Perasaan bersalah menurun
o Perasaan tidak mampu melakukan apapun menurun
o Meremehkan kemampuan mengatasi masalah menurun
o Ketergantungan pada penguatan secara berlebih menurun
o Pencarian penguatan secaraberlebihan menurun
NB: Luaran tambahan
1. Adaptasi disabilitas
2. Fungis keluarga
3. Identitas seksual
4. Kesadaran diri
5. Ketahanan keluarga
6. Ketahanan personal
7. Resolusi berduka
8. Tingkat depresi
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 7x24 jam diharapkan Harga diri
meningkat dengan kriteria hasil sebagai berikut :
o Penilaian diri positif meningkat
o Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan positif meningkat
o Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri meningkat
o Minat mencoba hal baru meningkat
o Berjalan menampakkan wajah meningkat
o Postur tubuh menampakkan wajah meningkat
o Konsntrasi meningkat
o Tidur meningkat
o Kontak mata meningkat
o Gairan aktivitas meningkat
o Aktif meningkat
o Percaya diri berbicara meningkat
o Perilaku asertif meningkat
o Kemampuan membuat keputusan meningkat
o Perasaan malu menurun
o Perasaan bersalah menurun
o Perasaan tidak mampu melakukan apapun menurun
o Meremehkan kemampuan mengatasi masalah menurun
o Ketergantungan pada penguatan secara berlebih menurun
o Pencarian penguatan secaraberlebihan menurun
NB: luaran tambahan (sesuaikan kasus)
1. Citra tubuh
2. Idenntitas seksual
3. Kesadaran diri
4. Ketahanan personal
5. Mekanisme koping
6. Penampilan peran
7. Perilaku menurunkan berat badan
8. Resolusi berduka
9. Tingkat ansietas
K. Intervensi Keperawatan
1. Harga diri rendah kronis/situasional
Manajemen Perilaku
 Observasi
o Identifikasi harapan untuk mengendaliikan perilaku
 Terapeutik
o Diskusikan tanggung jawab terhadap perilaku
o Jadwalkan kegiiatan terstruktur
o Ciptakan dan pertahanan lingkungan dan kegiatan perawatan konsisten
o Tingkatkan aktivitas fisik
o Batasi jumlah pengunjung
o Bicara dengan nada rendah dan tenang
o Lakukan kegiatan pengalihan terhadap suumber agitasi
o Cegah perilaku pasif dan agresif
o Beri penguatan positif terhadap keberhasilan mengendalikan perilaku
o Lakukan pengekangan fisik sesuai indikasi
o Hindari bersikap menyudutkan dan mengentikan pembicaraan
o Hindari sikap mengancam dan berdebat
o Hindari berdebat atau menawar batas perilaku yang telah ditetapkan
 Edukasi
o Informasikan keluarga bahwa keluarga sebagai dasar pembentukan
kognitif

Promosi harga diri


 Observasi
o Identifikasi budaya, ras, agama, jeniskelamin, dan usia terhadap harga
diri
o Monitor verbalisasi yang merendahkan diri sendiri
o Monitor tingkat harga diri setiap waktu
 Terapeutik
o Motivasi terlibat dalam verbalisasi positif untuk diri sendiri
o Motivasi menerima tantangan atau hal baru
o Diskusikan pernyataan tentang harga diri
o Diskusikan pernyataan tentang penilaian diri
o Diskusikan persepsi negative diri
o Diskusikan alasan mengkiritik diri atau rasa bersalah
o Diskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang
lebih tinggi
o Diskusikan bersama keluarga untuk menetapkan harapan dan batasan
yang jelas
o Berikan umpan balik positif atas peningkatan mencapai tujuan
o Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang meningkatkan harga diri

 Edukasi
o Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan
konsep positif diri pasien
o Anjurkan mengidentifikasi kekuatan yang dimilki
o Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan
orang lain
o Anjurkan membuka diri terhadap kritik negative
o Anjurkan mengevaluasi perilaku
o Ajarkan cara mengatasi bullying
o Latih peningkatan tanggung jawab diri sendiri
o Latih pernyataan/kemampuan positif diri
o Latih cara berfikir dan berperilaku positif
o Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani
situasi
Promosi koping
 Observasi
o Identifikasi kegiatan jangka endek dan jangka panjang sesuai tujuan
o Identifikasi kemampuan yang dimiliki
o Identifikasi sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan
o Identifikasi pemahaman proses penyakit
o Identifikasi dampak situasi terhadap peran dan hubungan
o Identifikasi metode penyelesaian masalah
o Identifikasi kebutuhan dan keinginan terhadap dukungan sosial

 Terapeutik
o Diskusikan perubahan peran yang dialami
o Gunakan poendekatan yang tenang dan meyakinkan
o Diskusikan alasan mengkritik diri sendiri
o Diskusikan untuk mengklarifikasi kesalah oahaman dan mengevaluasi
perilaku sendiri
o Diskusikan konsekuensi tidak mengunakan rasa bersalah dan rasa malu
o Diskusikan risiko yang menimbulkan bahaya pada diri sendiri
o Fasilitasi dalam memperoleh informasi yang dibu/bapaktuhkan
o Berikan pilihan yang realisitis mengenai aspek-aspek tertentu dalam
perawatan
o Motivasi untuk menentukan harapan yang realistis
o Tinjau kembali kemampuan dalam pengambilan keputusan
o Hindari mengambil keputusan saat pasien berada di bawah tekanan
o Motivasi terlibat dalam kegiatan social
o Motivasi mengidentifikasi system pendukung yang tersedia
o Dampingi saat berduka (missal: penyakit kronis, kecacatan)
o Perkenalkan dengan orang atau kelompok yang berhasil megalami
pengalaman sama
o Dukung penggunaan mekainisme pertahanan yang tepat
o Kurangi rangsangan lingkungan yang mengancam
 Edukasi
o Anjurkan menjalin hubungan yang memiliki kepentingan dan tujuan sama
o Anjurkan penggunaan sumber spiritual, jika perlu
o Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
o Anjurkan keluarga terlibat
o Anjurkan membuat tujuan yang lebih spesifik
o Ajarkan cara memecahkan masalah secara konstruktif
o Latih penggunaan tehnik relaksasi
o Latih keterampilan social, sesuai kebutuhan
o Latih mengembangkan penilaian objektif
STRATEGI PELAKSANAAN HARGA DIRI RENDAH (HDR)

I. PROSES KEPERAWATAN
A. Kondisi Klien
1. Mengkritik diri sendiri.
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Pnurunan produktifitas
5. Penolakan terhadap kemampuan diri
6. T erlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
7. Berpakaian tidak rapih.
8. Selera makan kurang
9. Tidak berani menatap lawan bicara.
10. Lebih banyak menunduk.

B. Diagnosa Keperawatan : Harga Diri Rendah


C. Tujuan : Pasien mampu :
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
4. Menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
5. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
6. Merencanakan kegiatan yang telah dilatih

D. Tindakan Keperawatan
1. SP 1: Membina hubungan saling percaya dengan cara :
a. Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
b. Perkenalkan diri dengan pasien
c. Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
d. Buat kontrak asuhan
e. Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
f. Tunjukkan sikap empati terhadap klien
g. Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
2. SP 2: Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien :
a. Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien (buat
daftar kegiatan)
b. Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yang negatif
setiap kali bertemu dengan pasien
3. SP 3: Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
a. Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini ( pilih dari daftar
kegiatan ) : buat daftra kegiatan yang dapat dilakuakn saat ini
b. Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri
yang diungkapkan pasien
4. SP 4: Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan daftar
kegiatan yang dilakukan
a. Diskusikan kegiatan yang akan dipilih untuk dilatih saat pertemuan
b. Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan
5. SP 5: Melatih kegiatan yang telah dipilih pasien sesuai kemampuan
a. Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannya)
b. Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatn untuk latihan dua kali per hari
c. Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang diperlihatkan
pasien
6. SP 6: Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya dan
menyusun rencana kegiatan
a. Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan
b. Beri pujian atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap
aktifitas
d. Susun daftar aktifitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga
e. Beri kesempatan klien untuk mengungkapakan perasaanya setelah
pelaksanaan kegiatan
II. STRATEGI KOMUNIKASI
SP 1 HARGA DIRI RENDAH (HDR)
1. Fase Orientasi
a. Salam Terapeutik :
Assalamualaikum bu, perkenalkan nama saya Belia Elfitriyani senang dipanggil
abel, saya mahasiswa keperawatan dari Universitas Andalas Padang, saya akan
merawat ibu/bapak dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang nanti. Nama ibu/bapak
siapa?, senang dipanggil apa?.
b. Evaluasi/ Validasi :
Bagaimana perasaan ibu/bapak pada pagi hari ini?, oo jadi ibu/bapak merasa tidak
berguna kalau dirumah?
c. Kontrak :
 Topik :
Baik lah bagaimana kalau kita membicarakan tentang perasaan ibu/bapak dan
kemampuan yang ibu/bapak miliki? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana
yang masih dapat ibu/bapak dilakukan. Setelah kita nilai, kita akan pilih beberapa
kegiatan untuk kita latih .
 Waktu :
Mau berapa lama kita berbicang-bincang bu? bagaimana kalau 30 menit?
 Tempat :
Dimana ibu/bapak mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau disini saja.

2. Fase Kerja
Sebelumnya saya ingin menanyakan tentang penilaian ibu/bapak terhadap diri
ibu/bapak, tadi ibu/bapak mengatakan merasa tidak berguna kalau dirumah. Apa yang
menyebabkan ibu/bapak merasa demikian?
Jadi ibu/bapak merasa telah gagal memenuhi keinginan orang tua ibu/bapak,
apakah ada hal lain yang tidak menyenangkan yang ibu/bapak rasakan?
Bagaimana hubungan ibu/bapak dengan keluarga dan teman-teman setelah
setelah ibu/bapak merasakan hidup ibu/bapak yang tidak berarti dan tidak berguna?, oo
jadi ibu/bapak menjadi malu dan malam, ada lagi bu?. Tadi ibu/bapak mengatakan gagal
dalam memenuhi keingina orang tua. Sebenarnya apa saja harapan dan cita-cita
ibu/bapak?. Yang mana saja harapan ibu/bapak yang sudah tercapai?. Bagaimana
usaha ibu/bapak untuk mencapai harapan yang belum terpenuhi?
Agar dapat mencapai harapan-harapan ibu/bapak, mari kita sama-sama menilai
kemampuan yang ibu/bapak miliki untuk dilatih dan dikembangkan. Coba ibu/bapak
sebutkan kemampuan apa saja yang ibu/bapak pernah miliki?, bagus apalagi bu?
Kegiatan rumah tangga yang bisa ibu/bapak lakukan? Bagus, apalagi bu?
Wah bagus sekali ada 5 kemampuan dan kegiatan yang ibu/bapak miliki. Nah
sekarang dari lima kemampuan yang ibu/bapak miliki mana yang masih dapat dilakukan
dirumah sakit? Coba kita lihat yang pertama bisa bu? Yang kedua bu? ( sampai yang
kegiatan yang kelima). Bagus sekali, ternyata ada empat kegiatan yang masih dapat
ibu/bapak lakukan dirumah sakit.
Nah dari keempat kegiatan yang telah dipilih untuk dikerjakan dirumah sakit,
mana yang dilatih hari ini?. Baik mari kita latihan merapikan tempat tidur, tujuannya agar
ibu/bapak dapat meningkatkan kemampuan merapikan tempat tidur dan merasakan
manfaatnya. Dimana kamar ibu/bapak?
Nah kalau kita akan merapikan tempat tidur, kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya, kemudian kita angkat seprainya dan kasurnya kita balik. Nah sekaramg kita
pasang lagi seprainya. Kita mulai dari arah atas ya bu. Kemudian bagian kakinya, tarik
dan masukan, lalu bagian pinggir dimasukan, sekarang ambil bantal, rapikan dan
letakkan dibagian atas kepala. Mari kita lipat selimut. Nah letakkan dibagian bawah.
Bagus . Menurut ibu/bapak bagaiman perbedaan tempat tidur setelah dibersihakan
dibandingkan tadi sebelum dibersihakan?
           
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi subjektif :
Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah kita latiahn merapikan tempat tidur?
b. Evaluasi objektif :
Nah coba ibu/bapak sebutkan lagi langkah-langkah merapikan tempat tidur? Bagus.
c. Rencana Tindak Lanjut
Sekarang mari kita masukan dalam jadwal harian ibu/bapak, mau berapa kali
ibu/bapak melakukannya? Bagus 2 kali…pagi-pagi setelah bangun tidur dan jam 4
setelah istiraht siang. Jika ibu/bapak melakukannya tanpa diingatkan perawta
ibu/bapak beri tanda M, tapi kalau ibu/bapak merapikan tempat tidur dibantu atau
diingatkan perawat ibu/bapak beri tanda B, tapi kalau ibu/bapak tidak melakukannya
ibu/bapak buat T.
d. Kontrak
 Topik :
Baik, besok saya akan kembali lagi untuk melatih kemampuan ibu/bapak yang
kedua.
 Waktu :
Ibu/bapak mau jam berapa? Baik jam 10 pagi ya.
 Tempat :
Tempatnya dimana ibu/bapak? bagaimana kalau disini saja, jadi besok kita
ketemu lagi disini jam 10 ya w. Assalamualaikum ibu/bapak.

SP II HARGA DIRI RENDAH (HDR)


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum ibu/bapak. Apakah ibu/bapak masih ingat dengan saya?  Sesuai
janji saya kemarin saya datang lagi.
b. Evaluasi / validasi :
Bagaimana perasaan ibu/bapak pagi ini? Bagaimana dengan perasaan negatif yang
ibu/bapak rasakan? Bagus sekali berarti perasaan tidak berguna yang ibu/bapak
rasakan sudah berkurang. Bagaimana dengan kegiatan merapikan tempat tidurnya?,
boleh saya lihat kamar tidurnya? Tempat tidurnya rapi sekali.
Sekarang mari kita lihat jadwalnya, wah ternyata ibu/bapak telah melaukan kegiatan
merapikan tempat tidur sesuai jadwal, lalu apa manfaat yang ibu/bapak rasakan
dengan melaukan kegiatan merapikan tempat tidur secara terjadwal?
c. Kontrak :
 Topik :
Sekarang kita akan kita akan lanjutkan latihan kegiatan yang kedua. Hari kita mau
latihan cuci piring kan?
 Waktu :
Kita akan melakukan latihan cuci piring selamaa 30 menit bu
 Tempat :
Dimana tempat mencuci piringnya bu?

2. Fase kerja
Baik, sebelum mencuci piring, kita persiapkan dulu perlengkapan untuk mencuci
piring. Menurut ibu/bapak apa saja yang kita perlu kita siapkan saat mencuci piring?, ya
bagus, jadi sebelum mencuci piring kita perlu menyiapkan alatnya yaitu sabun cuci
piring dan spoons untuk mencuci piring. Selain itu juga tersedia air bersih untuk
membilas piring yang telah kita sabuni
Nah sekarang bagaimana langkah-langkah atau cara mencuci yang biasa
ibu/bapak lakukan? Benar sekali, tapi sebaiknya sebelum kita mencuci piring pertama
kita bersihkan pirimng dari sisa-sisa makanan dan kita kumpulkan disuatu tempat atau
tempat sampah. Kemudian kita basahi piring dengan air, lalu sabuni seluruh permukaan
piring, dan kemudian dibilas hingga bersih sampai piringnya tidak teras licin lagi.
Kemudian kita letakkan pada rak piring yang tersedia. Jika ada piring dan gelas, maka
yang pertama kali kita cuci adalh gelasnya, setelah itu baru piringnya. Sekarang bisa
kita mulai bu. Bagus sekali, ibu/bapak telah mencuci piring dengan cara yang baik.
Menurut ibu/bapak bagaiman perbedaan setelah piring dicuci dibandingkan tadi sebelum
piring belum dicuci?
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subjektif :
Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah kita latihan mencuci piring?
b. Evaluasi objektif :
Nah coba ibu/bapak sebutkan lagi langkah-langkah mencuci piring yang baik bu?
Bagus bu.
c. Rencana Tindak Lanjut
Sekarang mari kita masukan dalam jadwal harian ibu/bapak, mau berapa kali
ibu/bapak melakukannya? Bagus 3 kali…setelah selesei makan sarapan, siang dan
malam ya bu. Jika ibu/bapak melakukannya tanpa diingatkan perawat ibu/bapak beri
tanda M, tapi kalau ibu/bapak mencuci piring dibantu atau diingatkan perawat
ibu/bapak beri tanda B, tapi kalau ibu/bapak tidak melakukannya ibu/bapak buat T.
d. Kontrak
 Topik :
Baik, besok saya akan kembali lagi untuk melatih kemampuan ibu/bapak yang
ketiga.
 Waktu :
Ibu/bapak mau jam berapa? Baik jam 10 pagi ya.
 Tempat :
Tempatnya dimana ibu/bapak? bagaimana kalau disini saja, jadi besok kita
ketemu lagi disini jam 10 ya . Assalamualaikum ibu/bapak.

SP III HARGA DIRI RENDAH (HDR)


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum ibu/bapak. Apakah ibu/bapak masih ingat dengan saya?  Sesuai
janji saya kemarin saya datang lagi.
b. Evaluasi / validasi :
Bagaimana perasaan ibu/bapak pagi ini? Bagaimana dengan perasaan negatif
yang ibu/bapak rasakan? Bagus sekali berarti perasaan tidak berguna yang
ibu/bapak rasakan sudah berkurang.
Bagaimana dengan jadwalnya? Boleh saya lihat bu? Yang merapikan tempat
tidur sudah dikerjakan. Bagus sekali, boleh saya lihat kamar tidurnya? Tempat
tidurnya rapi sekali.
            Untuk cuci piringnya sudah dikerjakan sesuai jadwal, coba kita lihat
tempat cuci piringnya? B ersing sekali tidak ada piring dan gelas yang kotor, semua
sudah rapi di rak piring.wah ibu/bapak luar biasa smua kegiatan dikerjakan sesuai
jadwal
lalu apa manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan melaukan kegiatan secara
terjadwal?
c. Kontrak :
 Topik :
Sekarang kita akan kita akan lanjutkan latihan kegiatan yang ketiga. Hari kita mau
latihan menyapu kan? Tujuan pertemuan pagi ini adalah untuk berlatih menyapu
sehingga ibu/bapak dapat menyapu dengan baik dan merasakan manfaat dari
kegiatan menyapu
 Waktu :
Kita akan melakukan latihan menyapu selamaa 30 menit bu
 Tempat :
Ibu/bapak mau menyapu dimana? Bagaimana kalau dikamar ibu/bapak bu?

2. Fase kerja
Baik menurut ibu/bapak, apa saja yang kita perlukan untuk menyapu lantai?,
bagus sebelum mulai kita menyapu kita perlu menyiapkan sapu dan pengki. Bagaimana
cara menyapu yang biasa ibu/bapak lakukan? Yah bagus jadi menyapu kita
lakukan  dari arah sudut ruangan. Menyapu juga dilakukan dibawah meja dan kursi, bila
perlu meja dan kursinya digeser, agar dapat menyapu pada bagian lantainya dengan
lebih bersih. Begitu juga untuk dibawah kolong tempat tidur perlu disapu. Mari kita mulai
berlatih bu?
Ya bagus sekali ibu/bapak menyapu dengan bersih. Menurut ibu/bapak
bagaiman perbedaan setelah ruangan ini disapu dibandingkan tadi sebelum disapu?
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subjektif :
Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah kita latihan menyapu?
b. Evaluasi objektif :
Nah coba ibu/bapak sebutkan lagi langkah-langkah menyapu yang baik bu? Bagus
bu.
c. Rencana Tindak Lanjut
Sekarang mari kita masukan dalam jadwal harian ibu/bapak, mau berapa kali
ibu/bapak melakukannya? Bagus 2 kali…jam berapa ibu/bapak mau melakukannya
,jadi ibu/bapak mau melaukannya jam 8 pagi dan jam 5 sore. Jika ibu/bapak
melakukannya tanpa diingatkan perawat ibu/bapak beri tanda M, tapi kalau ibu/bapak
mencuci piring dibantu atau diingatkan perawat ibu/bapak beri tanda B, tapi kalau
ibu/bapak tidak melakukannya ibu/bapak buat T.
d. Kontrak
 Topik :
Baik, besok saya akan kembali lagi untuk melatih kemampuan ibu/bapak yang
keempat.
 ü  Waktu :
Ibu/bapak mau jam berapa? Baik jam 10 pagi ya.
 ü  Tempat :
Tempatnya dimana ibu/bapak? bagaimana kalau disini saja, jadi besok kita
ketemu lagi disini jam 10 ya w. Assalamualaikum ibu/bapak.

SP IV HARGA DIRI RENDAH (HDR)


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum ibu/bapak. Apakah ibu/bapak masih ingat dengan saya?  Sesuai
janji saya kemarin saya datang lagi.
b. Evaluasi / validasi :
Bagaimana perasaan ibu/bapak pagi ini? Bagaimana dengan perasaan negatif
yang ibu/bapak rasakan? Bagus sekali berarti perasaan tidak berguna yang
ibu/bapak rasakan sudah berkurang.
Bagaimana dengan jadwalnya? Boleh saya lihat bu? Yang merapikan tempat
tidur sudah dikerjakan. Bagus sekali, boleh saya lihat kamar tidurnya? Tempat
tidurnya rapi sekali.
            Untuk cuci piringnya sudah dikerjakan sesuai jadwal, coba kita lihat
tempat cuci piringnya? Bagus bersih sekali tidak ada piring dan gelas yang kotor,
semua sudah rapi di rak piring.
            Bagaimana dengan menyapu? Bagus lantai kamar ibu/bapak juga
sudah bersih, wah ibu/bapak luar biasa smua kegiatan dikerjakan sesuai jadwal
lalu apa manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan melaukan kegiatan secara
terjadwal?
c. Kontrak :
 Topik :
Sekarang kita akan kita akan lanjutkan latihan kegiatan yang keempat. Hari kita
mau latihan mencuci pakaian kan? Tujuan pertemuan pagi ini adalah untuk
berlatih menyapu sehingga ibu/bapak dapat mencuci pakaian dengan baik dan
merasakan manfaat dari kegiatan menyapu
 Waktu :
Kita akan melakukan latihan mencuci pakaian selamaa 30 menit bu
 Tempat :
Mari bu kita ke kamar mandi?

2. Fase kerja
Baik menurut ibu/bapak, apa saja yang kita perlukan untuk mencuci pakaian?,
bagus sebelum mulai kita menyapu kita perlu menyiapkan ember, deterjen, gundar kain.
Bagaimana cara mencuci pakaian yang biasa ibu/bapak lakukan? Yah bagus jadi
sebelum kita mencuci pakaian kita pisahkan pakaian yang bewarna dengan pakain
putih, kemudian masukan deterjen secukupnya disesuaikan dengan jumlah baju dan
tambahkan air sampai adanya busa, masukan pakaian yang kotor tadi rendam 10-15
menit. Setelah 10-15 menit kucek pakaian sampai bersih, apabila ada noda yang tidak
mau dikucek maka ibu/bapak bisa mengunakan gundar. Kemudian bilas pakaian sampai
busanya hilang kemudian pakaian bisa dijemur. Ayo kita cobakn bu  Ya bagus sekali
ibu/bapak mencuci pakaian dengan bersih. Menurut ibu/bapak bagaiman perbedaan
pakaian setelah dicuci dibandingkan tadi sebelum dicuci?

3. Fase terminasi
a. Evaluasi subjektif :
Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah kita latihan mencuci pakaian?
b. Evaluasi objektif :
Nah coba ibu/bapak sebutkan lagi langkah-langkah mencuci yang baik bu? Bagus bu.
c. Rencana Tindak Lanjut
Sekarang mari kita masukan dalam jadwal harian ibu/bapak, mau berapa kali
ibu/bapak melakukannya? Bagus 2 kali seminggu…hari apa saja ibu/bapak mau
melakukannya ,jadi ibu/bapak mau melaukannya hari rabu dan minggu?. Jika
ibu/bapak melakukannya tanpa diingatkan perawat ibu/bapak beri tanda M, tapi kalau
ibu/bapak mencuci piring dibantu atau diingatkan perawat ibu/bapak beri tanda B, tapi
kalau ibu/bapak tidak melakukannya ibu/bapak buat T.
d. Kontrak
 Topik :
Baik, besok saya akan kembali lagi untuk berbicara tentang kebersihan diri
ibu/bapak ya.
 Waktu :
Ibu/bapak mau jam berapa? Baik jam 10 pagi ya.
 Tempat :
Tempatnya dimana ibu/bapak? bagaimana kalau disini saja, jadi besok kita
ketemu lagi disini jam 10 ya . Assalamualaikum ibu/bapak.
DAFTAR PUSTAKA

Ade Herma Direja. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Carpenito, L.J., (2001), Diagnosa Keperawatan ; Buku Saku, Edisi 6, Alih Bahasa : Monica,
Ester, EGC, Jakarta.

Keliat, Budi Anna dkk.2006.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2.Jakarta:EGC

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPD PPNI

Stuart, Gall W.2002.Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5.Jakarta: EGC


LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
Zia Suflan Hakim
190070300011023

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan
BAK/BAB(toileting) (Fitria, 2009)
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan melakukan atau menyelesaikan
aktifitas perawatan diri. Menurut Nurjanah (2007) defisit perawatan diri adalah ketidak
mampuan dalam melakukan perawatan diri secara mandiri dalam hal mandi,
berpakaian, makan dan eliminasi.
Defisit perawatan diri adalah sikap tidak mamu melakukan atau menyesuaikan
aktiitas perawtan diri (SDKI,2016). defisi perawatan diri meliputi ketidakmampuan
dalam melakukan kebersihan diri, berpakaian, makan dan minum, eliminasi, dan
lingkungan (NANDA-I, 2018)
Kurangnya perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun, kurang perawatan diri ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan
secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting (Buang Air Besar atau Buang
Air Kecil) (Mukhripah, 2008).

Rentang respon perawatan diri


Adaptif Maladptif

Pola perawatan kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang kadang tidak
Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang
Saat klien mendapatkan stressor dan mampu untuk berperilaku adaptif, maka
pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan
diri
2. Kadang melakukan perawatan diri, kadang tidak
Saat klien mendapatkan stressor kadang-kadang klien tidak memperhatikan
perawatan dirinya
3. Tidak melakukan perawatan diri
Klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat
stressor

B. JENIS-JENIS DEFISIT PERAWATAN DIRI


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah sebagai
berikut:
1. Mandi/higiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh
atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi
(Fitria, 2009).
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian,
menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu (Fitria, 2009).
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara
yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman. (Fitria, 2009).
4. BAB/BAK
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian
untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram
toilet atau kamar kecil (Fitria, 2009).

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Depkes (2000) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik : Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor,gigi kotor disertai mulut bau, penampilan tidak rapi.
2. Psikologis : Malas, tidak ada inisiatif, menarik diri, isolasi diri, merasa tak
berdaya,rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial : Interaksi kurang, kegiatan kurang, tidak mampu berperilaku sesuai
norma,cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, tidak
mampu gosok gigi dan mandi mandiri.
Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri tanda dan gejala menurut
Nanda (2006) meliputi :
1. Kurang perawatan diri mandi atau hygiene
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas mandi atau kebersihan diri
secara mandiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi.
2. Kurang perawatan diri berpakaian atau berhias
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas berpakaian dan berhias
untuk diri sendiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan,
menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian
dan mengenakan sepatu.
3. Kurang perawatan diri makan
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas makan, dengan batasan
karakteristik ketidakmampuan klien dalam mempersiapkan makanan, menangani
perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan
makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil
makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas,
serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. Kurang perawatan diri toileting
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas toileting, dengan batasan
karakteristik ketidakmampuan klien dalam pergi ke toilet atau menggunakan pispot,
duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting,
membersihkan diri setelah BAB atau BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau
kamar kecil.
D. ETIOLOGI:
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), Penyebab kurang perawatan diri adalah
kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang
perawatan diri adalah:
1. Faktor prediposisi
a. Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis: Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun: Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
d. Sosial: Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat
menyebabkan seseorang kurang perawatan diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal
dari berbagai stressor antara lain:
a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap
kebersihannya.
b. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus dia harus menjaga kebersihan kakinya.
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan lingkungan,
cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri.
E. DAMPAK MASALAH DPD
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut
Wartonah (2006) yaitu :
a. Dampak fisik: Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi
pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial: Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

F. POHON MASALAH
Menurut Iyus (2009) pohon masalah keperawatan diagnosis DPD, sbb:

Resiko tinggi perilaku kekerasan



Perubahan persepsi sensori halusinasi

Isolasi social

Harga diri rendah kronis

Tidak efektifnya koping individu

Defisit perawatan diri



menurunnya motivasi perawatan diri
G. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Identitas klien

Identitas Nama,Usia, Jenis Kelamin, Nomor Rekam Medik (CM) dan


Diagnosa Medis

2. Alasan masuk

Keluhan utama saat pengkajian, keluhan yang paling sering muncul /


dominan dirasakan klien

3. Faktor Presipitasi

Data yang dikaji berupa riwayat perkembangan kesehatan 6 bulan terakhir


terdiri dari bio, psiko, sosial, spritual

4. Faktor predisposisi

Faktor Predisposisi adalah faktor pendukung (bio, psiko, sosial) yang


berkontribusi timbulnya gangguan jiwa / kekambuhan. Faktor predisposisi yang
harus dikaji meliputi: kapan terjadinya, keluhan/tanda gejala, penyebab/faktor faktor
yang melatar belakangi, apa yang sudah dilakukan, hasil yang dicapai.

5. Pengkajian Psikososial

Data yang dikaji adalah penulusuran genetik yang berupa genogram, data
tentang konsep diri klien, hubungan sosial dan aspek spiritual.

6. Pemeriksaan Fisik

Data yang dikaji berupa tingkat kesadaran secara kuantitatif (GCS), tanda-
tanda vital, serta keluhan-keluhan fisik yang dirasakan klien

7. Status Mental

Pengkajian pada aspek status mental berupa data penampilan, pembicaraan,


aktivitas motorik, afek emosi klien. Untuk mengetahui apakah pasien mengalami
masalah kurang perawatan diri maka tanda dan gejala dapat diperoleh melalui
observasi pada pasien yaitu sebagai berikut.

a) Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor.
b) Ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki
tidak bercukur, serta pada pasien wanita tidak berdandan.
c) Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
d) Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri ditandai dengan BAB atau
BAK tidak pada tempatnya, serta tidak membersihkan diri dengan baik
setelah BAB/BAK.

8. Mekanisme koping
Kaji respon klien dalam menghadapi suatu permasalahan, apakah
menggunakan cara-cara yang adaptif (konstruktif) atau maladaptive (distruktif)
9. Masalah Psikososial dan lingkungan
Kaji apakah klien memiliki masalah yang berhubungan dengan dukungan
sosial, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan (tempat tinggal),
ekonomi ataupun masalah yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan.
10. Aspek Pengetahuan
Kaji pengetahuan klien/keluarga saat ini tentang penyakit/gangguan jiwa,
perawatan dan penatalaksanaanya faktor yang memperberat masalah
(presipitasi), obat-obatan atau lainnya.
11. Perencanaan pulang
1) Menjelaskan rencana persiapan pasca rawat di rumah unuk memandibu
Rikan klien.
2) Menjelaskan rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan
3) Melakukan rujukan kef askes.
12. Diagnosis Keperawatan:
Defisit perawatan diri (mandi, Berpakaian,Berhias, Makan/minum, BAB/BAK

13. Rencana intervensi Pasien


a. Tujuan umum:
Klien menunjukkan peningkatan perawatan diri
b. Tujuan khusus
 Klien menunjukkan asupan makanan dan minuman yang cukup
 Klien memaksimalkan partisipasinya dalam aktivitas higine pribadi, ke toilet,
dan aktivitas berhias
 Klien mempertahankan jadwal yang meliputi tidur, istirahat dan aktivitas yang
cukup
c. Tindakan kepraawatan
1) Melatih kebersihan diri: Mandi, Keramas, sikat gigi, berpakaian, berhis, dan
gunting kuku
a) Mandi
 Diskusikan gunanya mandi
 Diskusikan alat alat yang diperlukan
 Diskusikan jadwal mandi
 Diskusikan langkah-langkah mandi
 Latih mandi sesuai dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan.
Bantu jika klien belum dapat melakukan
 Jadwalkan mandi dengan teratur
 Bebu Rikan pujian
b) Berpakaian
 Diskusikan gunanya pakaian yang bersih dan rapi
 Diskusikan variasi pakaian
 Latih memilih pakaian
 Latih berpakaian, bantu jika klien belum dapat melakukan
 Jadalkan ganti pakaian secara teratur
 Bebu Rikan pujian
c) Keramas
 Diskusikan gunanya keramas
 Diskusikan alat-alat utuk keramas
 Latih klien keramas
 Bebu Rikan pujian
d) Sikat gigi
 Diskusika gunanya sikat gigi
 Diskusikan alat-alat ntuk siat gigi
 Latih klien sikat gigi
 Jadwalkan sikat gigi 2x per hari
 Bebu Rikan pujian
e) Berdandan
Perempuan:
 Diskusikan gunanya berdandan
 Diskusikan alat-alat berdandan
 Latih menyisir rambut denagan rapi
 Latih pakai bedak dengan rapi
 Latih pakai lipstick dan pensil alis
 Jadwalkan berdandan setiap selesai mandi
 Beri pujian
Laki-laki
 Disusikan gunanya berdandan
 Diskusikan alat dandan
 Latih menyisir rambut
 Latih cukur rambu
 Jadwalkan cukur 1 minggu sekali
 Beri pujian
f) Gunting kuku
 Diskusikan gunanya gunting kuku
 Diskusikan alat untuk gunting kuku
 Lati menggunting kuku
 Jadwalkan gunting kuku 1/minggu
 Beri pujian.
g) Melatih makan dan minum
 Diskusikan gunanya makan dan minum yang baik dan benar
 Diskusikan alat. Tempat makan dan minum setiap hari
 Latih cara makan dan minum yang baik: cuci tangan, berdoa,
makan dimeja

h) Melatih BAB dan BAK


 Diskusikan gunanya BAB dan BAK yang baik
 Diskusikan temapt, cara menggunakn, ara membersihkan tempat
dan cara membersihkan diri
 Latih BAB dan BAK yang baik : BAB/BAK di WC, menggunakan
WC dengan tepat, membersihkan diri/ tempat BAB dan BAK, cuci
tgn dengan benar
 Beri pujian
2) Intervensi pada keluarga
a) Kaji masalah klien yang dirasaka keluarga dalam perawatan klien
b) Menjelaskan proses terjadinya deficit perawatan diri yang dialami klien
c) Mendiskusikan cara merawat deficit perawatan diri dan memutuskan
cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien
d) Melatih keluarga untuk merawat deficit perawatan diri seperti yang telah
dilatihkan pada klien
 Menyediakan alat yang diperlukan dalam menjaga kebersihan diri
 Membimbing klien melakukan perawatan diri
 Membuat jadwal
 Membebu Rikan pujian atas keberhasilan kluen
e) Melibatkan seluruh anggota keluarga menciptakan suasana keluara
yang mendukung
f) Menjelaskan tanda dan gejala deficit perawatan diri yang memerlukan
rujukan segera serta melakukan follow up ke pelayanan kesehatan
secara teratur.
3) Intervensi pada kelompok
a) Sesi I: mampu mengenall deficit perawatan diri
b) Mampu melakukan perawatan diri dan kebersihan diri
c) Mampu melakukan perawatan diri (makanminum)
d) Mamp melakukan BAB da BAK dengan aik
4) Intervensi Kolaborasi
a) Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan TBAK
b) Membebu Rikan program terapi dokter (obat): edukasi 8 benar
pemberian obat dan membebu Rikan sesuai dengan konsep safety
pemberian obat
c) Mengobservasi manfaat dan efek samping obat
14. Strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan komunikasi merupakan standar asuhan keperawatan
terjadwal yang diterapkan pada klien dan keluarga klien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani. Strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan merupakan alat yang dijadikan sebagai panduan oleh
seseorang perawat jiwa ketika berinteraksi dengan klien (Fitria, 2009).Tujuan
strategi pelaksanaan komunikasi defisit perawatan diri menurut Purba (2009)
adalah sebagai berikut:
a. Pada Klien
1. Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
2. Klien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
3. Klien mampu melakukan makan dengan baik.
4. Klien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Pada Keluarga
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
Dx Perencanaan
Rasional
Keperawat
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
an
Defisit TUM setelah dilakukan tindakan SP. 1
perawatan Klien keperawatan 1 x pertemuan  Bina hubungan saling percaya  Menumbuhkan ikatan
diri mampu pasien menunjukan hubungan kepercayaan dalam
melakuka saling percaya dengan perawat komunikasi terpeutik agar
n dengan kriteri hasil: klien
perawata  Membina hubungan saling  Identifikasi: kebersihan diri,  dapat mengungkapkan
n diri: percaya berpakaian berdandan, Makan, masalahnya dan merupakan
higine  Menjelaskan pentingnya BAB/BAK dasar hubungan saling
Kebersihan diri percaya.
TUK I:  Menjelaskan pentingnya  Jelaskan pentingnya kebersihan  Dengan klien mengetahui
 Klien dapt berdandan/ berhias diri pentingnya kebersihan diri
menyebutkan  Menjelaskan pentingnya diharapkan klien dapat
pengertian makan melakukan perawatan diri
dan tanda”  Menjelaskan pentingnya secara mandiri tanpa
kebersihan BAB/BAK harus di perhatikan oleh
diri  Dan mampu melakuan cara orang lain.
 Klien dapat merawat diri  Jelaskan alat dan cara kebersihan  Dengan menjelaskan
mengetahui diri pentingnya kebersihan diri
pentingnya diharapkan klien dapat
kebersihan meningkatkan perawatan
diri  Dengan klien mengetahui
alat dan cara kebersihan
diri diharapkan klien bisa
 Klien dapat merawat dirinya secara
mengetahui  Dengan memasukan
caa menjaga  Masukan dalam jadwal kegiatan dalam jadwal kegiatan
kebersihan klien diharapkan dapat melatih
diri klien agar bisa melakukan
perawatan diri secara
mandiri
TUK II: setelah dilakukan tindakan SP. 2
 Klien dapat keperawatan 1 x pertemuan  Evaluasi SP 1  Dengan mengevaluasi di SP
berdandan pasien dpat berias dengan baik 1, diharapkan klien dapat
secara mandiri dengan kriteri hasil: meningkatkan pentingnya
 Klien mampu menyisir  kebersihan diri,
rambut berdandan/ berhias,
 Klien mapu memoong kuku makan, BAB/BAK.
 Klien mampu berganti baju  Jelaskan pentingnya berdandan  Dengan menjelaskan
rutin pentingnya berdandan
 Klien mampu berhias diri diharapkan dapat
membantu merubah
penampilan klien supaya
terlihat lebih rapih.
 Latih cara berdandan  Dengan klien mengetahui
a. Untuk klien laki – laki meliputi cara cara berdandan klien
- Berpakaian dapat berdandan secara
- Menyisir rambut mandiri tanpa dibantu oleh
- Bercukur orang lain.
b.Untuk klien perempuan
- Berpakaian
- Menyisir rambut
- Berhias

 Masukan dalam jadwal kegiatan  Dengan memasukan


dalam jadwal kegiatan
diharapkan klien dapat
lebih meningkatkan lagi
perawatan dirinya.
TUK III: setelah dilakukan tindakan SP. 3
 Klien dapat keperawatan 1 x pertemuan  Evaluasi kegiatan SP 1 dan 2  Dengan mengevaluasi
makan dan pasien dapat melakukan kegiatan yang lalu 1 dan 2
minum dengan perawatan diri makan dengan diharapkan klien dapat
baik secara kriteri hasil: mengulang dan mengingat
mandiri  Klien mampu mengambil cara berdandan.
makanan dengan baik  Jelaskan cara dan alat makan  Dengan menjelaskan cara
yang benar dan alat untuk makan yang
 Klien mampu makan dengan benar diharapkan klien
baik mampu mempersiapkan,
 Klien mampu mebereskan merapihkan peralatan
alat makan dengan baik makan, dan praktek makan
 Klien mampu membersihkan yang benar.
alat makan dengan baik  Jelaskan cara  Dengan melatih klien cara
mempersiapkan makan makan yang benar
 Jelaskan cara merapihkan bisa/dapat melakukan
peralatan makan setelah makan sesuai dengan
makan tahapan makan yang baik.
 Praktek makan sesuai dengan
tahapan makanan yang baik.
 Latih kegiatan makan
 Masukan dalam jadwal  Dengan memasukan dalam

kegiatan klien jadwal kegiatan diharapkan


klien dapat melakukan
kegiatan secara continue
TUK IV: setelah dilakukan tindakan SP. 4
 Klien dapat keperawatan 1 x pertemuan  Evaluasi kemampuan klien yang  Dengan mengevaluasi
BAB dan BAK pasien dapat melakukan lalu (SP 1,2 dan 3) kemampuan klien
dengan baik perawatan diri BAB/BAK dengan diharapkan klien mampu
secara mandiri kriteri hasil: mengulang dan mengingat
 Klien mampu mengetahui cara makan yang benar.
tempat BAB/BAK dengan  Latih cara BAB/BAK yang baik.  Dengan klien mengetahui
baik  Menjelaskan tempat BAB/BAK cara BAB/BAK yang baik
 Klien mampu BAB/BAK yang sesuai diharapkan klien mampu
dengan baik BAB/BAK di tempat yang
 Klien mampu membersihkan sesuai.
diri setelah BAB/BAK  Menjelaskan cara membersihkan  Dengan menjelaskan cara
dengan baik diri setelah BAB/BAK. membersihkan diri setelah
 Klien mampu membersihkan BAB/BAK diharapkan klien
WC setelah BAB/BAK dapat melakukan BAB/BAK
dengan baik yang baik.
STRATEGI PELAKSANAAN DEFISIT PERAWATAN DIRI PASIEN DAN KELUARGA
N Diagnosa Tindakan Pertemuan
1 2 3 4 5 S.D 12
o
1 Defisit Pasien 1. Identifikasi masalah 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan
Perawatan perawatan diri: kebersihan diri. Beri kebersihan diri dan kebersihan diri, latihan perawatan
Diri kebersihan diri, pujian. berdandan. Beri berdandan dan diri: kebersihan diri,
berdandan, makan/ 2. Jelaskan cara dan pujian. makan dan minum. berdandan, makan
minum, BAB/BAK. alat untuk 2. Jelaskan cara dan Beri pujian. dan minum, BAB
2. Jelaskan pentingnya berdandan. alat makan dan 2. Jelaskan cara BAB dan BAK. Beri
kebersihan diri. 3. Latih cara minum. dan BAK yang pujian.
3. Jelaskan cara dan alat berdandan setelah 3. Latih cara makan baik. 2. Latih kegiatan
kebersihan diri. kebersihan diri: dan minum yang 3. Latih BAB dan harian.
4. Latih cara menjaga sisiran, rias muka baik. BAK yang baik. 3. Nilai kemampuan
kebersihan diri:mandi untuk perempuan, 4. Masukkan pada 4. Masukkan pada yang telah mandiri.
dan ganti pakaian, sisiran, cukuran jadual kegiatan jadual kegiatan 4. Nilai apakah
sikat gigi, cuci rambut, untuk pria. untuk latihan untuk latihan perawatan diri telah
potong kuku. 4. Masukkan pada kebersihan diri, kebersihan diri, baik.
5. Masukkan pada jadual jadual kegiatan berdandan dan berdandan dan
kegiatan untuk latihan untuk kebersihan makan dan minum makan dan minum
mandi, sikat gigi (2 kali diri dan berdandan. yang baik. yang baik, BAB
per hari), cuci rambut dan BAK.
(2 X/minggu), potong
kuku (1 X/minggu).
Keluarga 1. Diskusikan masalah 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi kegiatan
yang dirasakan dalam keluarga dalam keluarga dalam keluarga dalam keluarga dalam
merawat pasien. merawat/ melatih merawat/ melatih merawat/ melatih merawat/ melatih
2. Jelaskan pengertian, pasien kebersihan pasien kebersihan pasien kebersihan pasien kebersihan
tanda dan gejala, dan diri. Beri pujian. diri dan diri, berdandan, diri, berdandan,
proses terjadinya 2. Bimbing keluarga berdandan. Beri makan dan minum. makan dan minum,
defisit perawatan diri membantu pasien pujian. Beri pujian. BAB dan BAK. Beri
(gunakan booklet). berdandan. 2. Bimbing keluarga 2. Bimbing keluarga pujian.
3. Jelaskan cara 3. Anjurkan membantu makan merawat BAB dan 2. Nilai kemampuan
merawat defisit membantu pasien dan minum pasien. BAK pasien. merawat pasien.
perawatan diri. sesuai jadual dan 3. Anjurkan 3. Jelaskan follow up 3. Nilai kemampuan
4. Latih cara merawat memberi pujian. membantu pasien ke PKM, tanda keluarga melakukan
kebersihan diri sesuai jadual dan kambuh, rujukan. kontrol ke PKM.
5. Anjurkan membantu memberi pujian. 4. Anjurkan
pasien sesuai jadual membantu pasien
dan membebu Rikan sesuai jadual dan
pujian. memberi pujian.
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
SP 1 Pasien
Fase Orientasi:
a. Salam terapuetik
“Assalamualaikum... Selamat pagi bu, perkenalkan nama saya venty, saya mahasiswi
keerawatan universitas brawijaya yang sedang praktik disini. Saya disini selama 7 hari”.
“Nama ibu siapa, senangnya dipanggil siapa?”
b. Evaluasi / Validasi
“saya lihat dari tadi bu bu Rika menggaruk – garuk lengan dan kaki ibu, apakah ibu
merasa gatal ?”

c. Kontrak
Topik : Bagimana kalau kita berbincang tentang kebersihan diri cara melakukan
kebersihan diri?
Waktu : Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, Jadi Bu Bu Rika maunya
kita ngobrol-ngobrolnya 20 menit.
Tempat : Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Bu Bu Rika? Oh, jadi kita ngobrolnya
diruang ini saja”

Fase Kerja:
Pengajian
a. Penyebab
“menurut bu Rika kebersihan diri itu apa? Ohh kalau bu Rika sendiri sudah menjaga
kebersihan diri? Apakah hari ini bu Rika sudah mandi? Kenapa bu Rika belum
menjaga kebersihan diri? Apa penyebabnya?”
b. Tanda dan gejala
“biasanya bu Rika melakukan kebersihan diri atau tidak seperti sekarang? Bagimana
dengan mandinya? Berapa kali seharusnya di lakukan? Wah jawaban bu Rika sudah
baik, tetapi baiknya mandi dilakukan 2x sehari Apa saja alat yang harusnya
disiapkan? Benar sekali, Ny. L perlu menyiapkan pakain ganti yang bersih, handuk
kering, sikat gigi, odol, shampo dan sabun mandi.”
“lalu bagaimana dengan kebersihan rambut? Berapa kali seharusnya kia keramas?
Wahh iya 2-3 hari sekali. Apa saja alat yang digunakan? Iya, selain air kita
membutuhkan shampoo untk keramas ya bu Rika”
“bagaiamana dengan kebersihan gigi? Berapa kali seharusnya melakukan gosok gigi?
Iya benar bersama mandi ya, jadi 2x sehari ya ? apa saja alat yang digunakan? Pintar
sikat, tetapi gosok gigi yang baik menggunakn pasta gigi ya”
“ untuk berpakaia? Berapa kali seharusnya ganti? Apakah semua pakaian dapat
digunakan dalam semua aacra sama? Pakaian yang sedang bu rika gunakan ini
sudah berapa hari tidak ganti? Menurut bu rika pakah pakaian ini sudah perlu diganti?
Iya, harusnya sudah diganti ya”
c. Akibat
“kira kira bu rika tau tidak akibat jika tidak melakukan kebersihan diri? Benar anti
tubuhnya penuh kuman dan gatal-gatal ya bu? Kalua bu rika sekarang gatal atau
tidak? Itu tandanya bu rika kurang memperhatikan kebersihan diri. Bu Rika setelah ini
kita paktik ya bu, agar bu rika tidak gatal gatal”
Diagnosis
“bu rika, dari hasil percakapan kita tadi seperinya kebersihan diri bu rika perlu
ditingkatkan. Bagaimana kalua bu rika hari ini latihan agar keuntungan kebersihan diri
dapat dirasakan?”
Tindakan
“baiklah, mari kita latihan mulai dengan mandi, sikat gigi, keramas, berpakaian dan
berhias”
a. Persiapan
“mari kita siapkan alat-alat: sabun, shampoo, sikat gigi, pasta gigi, handuk, pakaian
bersih.”
b. Latihan sikat gigi
“mari ambil sikat gigi dan pasta gigi”
 Bimbing pasien menaruh pasta gigi pada sikat, arahkan sikat gigi dan lakukan
sikat gigi.
 Beri arahan cara menyikat gigi dan bimbig melakukannya
 Bersihkan alat dan simpan
 Beri pujian
c. Latihan keramas dan mandi
“bu Rika, sekarang buka pakaian bu Rika, siram seluruh tubuh bu Rika dengan air
termasuk rambut dan kepala lalu ambil shampo sedikit dan gosokkan ke atas kepala
bu Rika sampai berbusa lalu bilas sampai bersih.
“ Bagus sekali bu Rika, sekarang ambil sabun dan gosokan ke seluruh tubuh bu Rika
secara merata dan di mulai dari bagian sebelah kanan lalu siram dengan air sampai
bersih, pastikan bersih tidak ada sisa sabun yang menempel. Setelah selesai di siram
dengan air sampai bersih keringkan tubuh bu Rika dengan handuk kering yang sudah
disiapkan. Bagus sekali bu Rika”
d. Latihan berpakaian
“baik bu rika, sekarang kita belajar berpaakain ya? Kalua dirumah seperti ini harunya
kita memakai pakaian apa bu? Iya benar, pakaian santai. Coba ibu tunjukkan cayang
mana pakaian sanatai ibu? Benarr, kalua sekarang coba ibu memakai pakaian
tersebut. Wahhh pintar”
Fase Terminasi:
Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan bu rika setelah blajar dn melakukan kebersihan diri hari ini? Segar
dan senang ya?”
Evaluasi obyektif
“apa saja yang sudah kita lakukan hari ini bu rika? Bias di sebutkna? Wahh benar sekalli”
RTL pasien
“Sekarang, mari kita masukkan perawatan diri ini pada jadwal harian bu Rika. Kira kira
bu rika mau berapa kali sehari mandi dan sikat gigi? benar, dua kali yaitu pagi dan
sore. Nanti bu rika bisa memberi tanda M (mandiri) jika dilakukan sendiri tanpa
disuruh, B (bantuan)jika diingatkan baru dilakukan dan T (tidak) jika tidak melakukan
perawatan diri”
Kontrak yang akan datang
Topik : ”baik rika, besok saya akan kesini lagi untuk berlatih berhias ”
Waktu: ” besok bu rika mau berlatih pukul berapa? Baik pukul 08.00 ya”
Tempat: ” kita dapat bertemu di sini atau di taman depan? Baik, disini saja ya”

Salam
“baik, saya pamit dulu. Selamat pagi bu rika”
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
SP 2 Pasien
Fase Orientasi:
a. Salam terapuetik

“Selamat pagi ? masih ingat Bu Rika dengan saya?”

b. Evaluasi / Validasi
“Saya lihat dari tadi Bu Rika memegang kepala, kenapa Bu Rika ?Bgaimana perasaan Bu
Rika setelah melakukan kegiatan mandi?”

c. Kontrak

Topik : Bagimana kalau kita berbincang tentang berhias diri?


Waktu : Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, Jadi Bu Rika maunya kita
ngobrol-ngobrolnya 20 menit.
Tempat : Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Bu Rika ? Oh, jadi kita ngobrolnya
diruang ini saja.

Fase Kerja:
a. Bagaimana perasaan Bu Rika setelah mandi? Apa yang Bu Rika lakukan setelah
mandi? Baiklah sekarang kita akan melakukan latihan berdandan
b. Apa Bu Rika sudah mengganti baju? Untuk pakaian pilihlah yang bersih dan
kering. Berganti pakain yang bersih 2 kali sehari.. Bagus sekali Bu Rika kerja yang
bagus. Sekarang setelah menggunakan pakaian yang baik kita akan latihan
berdandan supaya Bu Rika tampak rapi dan cantic.
c. Kira kira apa alat yang Ny, H butuhkan untuk berdandan?Bagus sekali Bu Rika alat
yang dibutuhkan sisir, bedak dan kaca
d. Setelah Ny.H memasang pakaian dengan baik sekarang sisir rambut yang rapi,
bagus Bu Rika , sekarang ambil bedak dan bedaki muka Bu Rika rata dan tipis.
Bagus sekali Bu Rika bisa melakukan dengan baik.

Fase Terminasi:
Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan   Bu Rika setelah latihan berdandan??”

Evaluasi obyektif
“apa saja yang sudah kita lakukan hari ini bu rika? Bias di sebutkna? Wahh benar sekalli”
RTL pasien
“Sekarang, mari kita masukkan perawatan diri ini pada jadwal harian bu Rika. Bu Rika
Sehabis Bu Rika melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan yang baik
dan benar sesuai dengan latihan kita hari ini.. Nanti bu rika bisa memberi tanda M
(mandiri) jika dilakukan sendiri tanpa disuruh, B (bantuan)jika diingatkan baru dilakukan
dan T (tidak) jika tidak melakukan perawatan diri”
Kontrak yang akan datang
Topik : ”baik rika, besok saya akan kesini lagi untuk berlatih cara makan yang baik dan
benar. ”
Waktu: ” besok bu rika mau berlatih pukul berapa? Baik pukul 08.00 ya”
Tempat: ” kita dapat bertemu di sini atau di ruang makan saja ya”

Salam
“baik, saya pamit dulu. Selamat pagi bu rika”
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
SP 3 Pasien
Fase Orientasi:
a. Salam terapuetik

“Assalamualaikum... Selamat siang Bu Rika ? Bagus sekali Bu Rika terlihat rapi siang
ini”

b. Evaluasi / Validasi

“Bagaimana perasaan Bu Rika siang hari ini?”

c. Kontrak

Topik : Bagimana kalau kita latihan cara makan yang baik?


Waktu : Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, Jadi Bu Bu Rika maunya
kita ngobrol-ngobrolnya 20 menit.
Tempat : Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Bu Bu Rika? Oh, jadi kita ngobrolnya
di ruang makan saja”

Fase Kerja:
a. Bagaimana menurut Bu Rika cara makan yang baik? Bagus Bu Rika sebelum kita
makan kita cuci tangan dengan air dan sabun.
b. Setelah mencuci tangan dengan air dan sabun, Bu Rika bias mengambil makanan
di atas meja dengan menggunakan piring.
c. Sebelum makan Bu Rika dapat berdoa. Bagus sekarang Bu Rika dapat berdoa
sebelum makan. Suap makanan dengan pelan-pelan, Ya bagus Bu Rika sekarang
sudah bisa melakukan menyuap makanan dengan baik dan benar.
d. Setelah makan Bu Rika harus membereskan piring dan gelas yang kotor, Setelah
di bereskan sekarang bu Rika dapat mencuci tangan kembali dengan air dan
sabun. Setelah itu keringkan tangan dengan saputangan yang bersih.

Fase Terminasi:
Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan   Bu Rika setelah latihan cara makan yang baik?”

Evaluasi obyektif
“apa saja yang sudah kita lakukan hari ini bu rika? Bias di sebutkna? Wahh benar sekalli”
RTL pasien
“Sekarang, mari kita masukkan perawatan diri ini pada jadwal harian bu Rika. Bu Rika
Sehabis Bu Rika melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan dan cara
makan yang baik dan benar sesuai dengan latihan kita hari ini. Nanti bu rika bisa
memberi tanda M (mandiri) jika dilakukan sendiri tanpa disuruh, B (bantuan)jika
diingatkan baru dilakukan dan T (tidak) jika tidak melakukan perawatan diri”
Kontrak yang akan datang
Topik : ”baik rika, besok saya akan kesini lagi untuk berlatih BAK/BAB yang baik”
Waktu: ” besok bu rika mau berlatih pukul berapa? Baik pukul 08.00 ya”
Tempat: ” kita dapat bertemu disini saja ya”

Salam
“baik, saya pamit dulu. Selamat pagi bu rika”
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
SP 4 Pasien
Fase Orientasi:
a. Salam terapuetik

“Assalamualaikum... Selamat pagi bu Sudah di lakukan jadwal harian yang telah kita
lakukan kemaren?Bagus sekali Bu Rika dapat melakukan secara mandiri semua latihan
yang telah kita lakukan,,?”
b. Evaluasi / Validasi
“Bagaimana perasaan Bu Rika siang hari ini?”

c. Kontrak

Topik : Bagimana kalau kita berbincang tentang BAB/BAK yang baik?


Waktu : Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, Jadi Bu Bu Rika maunya
kita ngobrol-ngobrolnya 20 menit.
Tempat : Baiklah kita akan latihan cara BAB/BAK yang baik jadi kita latihan
langsung di tempat BAB/BAK

Fase Kerja:
a. Menurut Bu Rika dimana kita BAB/BAK yang benar?Benar Ny.H kita BAB/BAK di
ruang tertutup dan ada saluran pembuangan kotoran. Jadi kita tidak boleh
BAB/BAK di sembarang tempat.
b. Sekarang coba Bu Rika sebutkan bagaiman cara membersihkan/cebok?Bagus
Ny.H cebok itu adalah cara membersihkan bokong atau tempat keluar BAB/BAK
dengan air yang bersih dan jernih.Setelah Bu Rika cebok pastikan juga tidak ada
BAB/BAK yang tersisa di WC dengan cara menyirami WC dengan air bersih.
Setelah di pastikan bokong dan WC bersih baru BU RIKA mencuci tangan dengan
air dan sabun.

Fase Terminasi:
Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan bu rika setelah blajar dn melakukan latihan cara BAB/BAK yang
baik?”

Evaluasi obyektif
“apa saja yang sudah kita lakukan hari ini bu rika? Bias di sebutkna? Wahh benar sekalli”
RTL pasien
“Sekarang, mari kita masukkan perawatan diri ini pada jadwal harian Bu Rika.
Sehabis Bu Rika melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan dan cara
makan yang baik dan benar, jika Bu Rika merasakan keinginan BAB/BAK Bu Rika
dapat melakukan latihan yang telah kita lakukan. . Nanti bu rika bisa memberi tanda M
(mandiri) jika dilakukan sendiri tanpa disuruh, B (bantuan)jika diingatkan baru dilakukan
dan T (tidak) jika tidak melakukan perawatan diri”
Kontrak yang akan datang

“Baiklah Bu Rika sekarang kita akhiri pertemuan ini, Kalau Bu Rika masih ada yang ingin
ditanyakan/ ada masalah yang ingin dibicarakan boleh kepada suster lain yang dinas
diruangan ini. Suster permisi dulu ya Bu Rika Assalamualaikum,,”
Strategi Pelaksanaan Tindakan pada Pasien Defisit Perawatan Diri
SP 1 Keluarga
Fase orientasi
“Assalamualaikum bu, Perkenalkan saya perawat venty”. “Nama Bapak/Ibu siapa?
Senang dipanggil apa?”
“Bagaimana kabar bapak/ibu saat ini?”
“Bagaimana jika kita berdiskusi tetang masalah yang dialami anak Bapak/Ibu ”
“Berapa lama kira-kira kita berdiskusi?” ”Bagaimana jika 20 menit?” “Apakah Bapak/ibu
setuju?”
“Dimana kita berdiskusi?” “ Bagaimana jika duduk di ruang tamu?”
Fase kerja
“Apakah kendala yang bapak/ibu temui selama merawat anak bapak/ibu dengan kondisi
seperti itu?” “Perawatan diri yang utama adalah kebersihan diri, berdandan, makan
BAB/BAK”
“Perilaku yang ditunjukkan oleh anak bapak/ibu seperti tidak mandi, berdandan dan lain-
lain dikarenakan gangguan jiwa yang dialami membuat anak bapak/ibu tidak mempunyai
minat untuk melakukan perawatan diri sendiri”
“Saya akan jelaskan untuk kebersihan diri saya telah melatih anak bapak/ibu untuk
mandi, keramas, menggosok gigi, ganti baju dan potong kuku. Anak bapak/ibu telah
mempunyai jadwal pelaksanan kegiatan perawatan diri”
“Bapak/ibu dapat membantu anak bapak/ibu menyiapkan peralatan diperlukan seperti
sabun, sikat gigi, handuk, baju dan lain-lain. Selain itu saya harap bapak/ibu dapat
memotivasi anak bapak/ibu untuk melakukan perawatan diri dan juga mengingatkan
untuk melakukan perawatan diri”
“Satu lagi yang terpenting beri pujian kepada anak bapak/ibu jika telah melakukan
perawatan dengan baik, seperti ini wah bagus kalau sudah mandi seperti ini menjadi
bersih, rapi dan wangi kan”
“Nah sekarang coba bapak/ibu ulangi yang telah saya contohkan” Nah bagus jadi
bapak/ibu sudah bisa ya”
“Bagaimana bapak/ibu sudah paham?”
Fase terminasi
“Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah berdiskusai dengan saya tentang perawatan
yang dibutuhkan anak bapak/ibu?”
“Coba bapak/ibu sebutkan tadi apa saja penyebab defisit perawatan diri? cara perawatan
diri?”
“Bapak/Ibu dapat mencoba untuk mendampingi anak bapak/ibu dalam melakukan
perawatan diri” “Jangan lupa untuk memberikan pujian seperti yang sudah kita pelajari
tadi”
“Baik bapak/ibu minggu depan saya datang lagi kesini” Bagaimana jika tetap jam 10,
apakah bapak/ibu setuju? Kita akan berdiskusi mengenai perkembangan kegiatan yang
telah anak bapak/ibu sudah lakukan”
“Assallamuallaikum.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. EGC :
Jakarta

Damaiyanti, Mukhirpah da Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


RefikaAditama

Departemen Kesehta RI. 2002. Keperawtan Jiwa Teori dan Tindakan


Kepererawatan. Jakarta: Depkes RI

DPP & PPNI (2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia, Standart


Luaran Keperawatan Indonesia, Standart Intervensi Keperawatan
Indonesia. Edisi I. Jakarta :DPP PPNI

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta. Salemba Medika.

Nurjannah, Intansari. 2004. Pendomaan penanganan pada gangguan jiwa


Yogyakarta:Moca Media

Purba, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial
Dan Gangguan Jiwa. Medan: USU press

Stuart, Gail W & Sandra J. Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi
3. EGC. Jakarta

Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan


Psikiatri edisi 3. Jakarta. EGC

Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai