Anda di halaman 1dari 10
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN NOMOR : P.17/PSKL/SET/PSL.0/12/2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN, Menimbang =: —_ bahwa untuk melaksanakan Pasal 38 ayat (4) dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup — dan Kehutanan Nomor: P.83/Menlhk/Setjen/Kum. 1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, perlu membuat Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat dengan Peraturan Direktur Jenderal. Mengingat : 1, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) scbagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 3. Peraturan ... t KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN NOMOR :P.17/PSKL/SET/PSL.0/12/2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN, Menimbang : _bahwa untuk melaksanakan Pasal 38 ayat (4) dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup — dan Kehutanan Nomor: P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, perlu membuat Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat dengan Peraturan Direktur Jenderal. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara_ Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 3. Peraturan t 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4818); 4. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara_ Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/Menlhk-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2015 Nomor 713); 6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: _P.13/Menthk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2015 Nomor 473); 7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.14/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 _ tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor 210); 8.Peraturan t 8. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. MEMUTUSKAN: Menetapkan =: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN HUTAN TANAMAN RAKYAT. BABI KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: 1. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disebut HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 2. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disebut IUPHKK-HTR, adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada kelompok masyarakat atau perorangan dengan menerapkan teknik budidaya tanaman yang sesuai tapaknya untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan. 3. Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. 4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 5. Direktur ... t 5. Direktur adalah Direktur yang membidangi Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat. 6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan. 7. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut UPT adalah Unit Pelaksana Teknis yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan atau UPT yang ditugasi oleh Direktur Jenderal untuk menangani Perhutanan Sosial. 8. Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat Pokja PPS adalah kelompok kerja yang membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial Bagian Kedua Maksud dan Tujuan Pasal 2 (1) Peraturan Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman pelaksanaan kegiatan HTR secara transparan, partisipatif, akuntabel, dan tidak diskriminatif dengan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. (2) Peraturan Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan panduan pelayanan bagi pemerintah dan kepastian prosedur bagi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan HTR. Bagian Ketiga Ruang Lingkup Pasal 3 Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal ini meliputi: a. Kegiatan HTR; b. Kemitraan dengan industri primer hasil hutan; dan c. Monitoring dan evaluasi. BAB II KEGIATAN HTR Pasal 4. Pasal 4 (1) Kegiatan HTR meliputi penyiapan Jahan, persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu berdasarkan asas kelestarian usaha dengan menerapkan sistem silviculture dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan, (2) Kegiatan penyiapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada belukar tua tanpa bakar. (3) Pelaksanaan penyiapan lahan belukar tua tanpa bakar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu dan diawasi oleh Pokja PPS. (4) Pemanfaatan kayu hasil penyiapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dapat diperjualbelikan kepada mitra (off taker) diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Noor P.83 /MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. (5) Pembuatan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) difasilitasi oleh UPT dan dapat dibantu oleh Pokja PPS. Pasal 5 (1) Kegiatan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat dilakukan secara: a. mandiri; dan b. kemitraan Pasal 6 (1) Kegiatan HTR mandiri meliputi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Kegiatan HTR mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan, konservasi tanah dan air, sertifikasi hutan Jestari dan/atau sertifikasi legalitas kayu; (3) Kegiatan HTR mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memanfaatkan skema pendanaan dari badan layanan umum bidang kehutanan Pasal 7 ... Pasal 7 (1) Kemitraan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b hanya dilakukan dalam hal pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Q) Kemitraan HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan: a. industri kayu primer; atau b. industri kayu lanjutan/hilir. Pasal 8 (1) Bentuk kegiatan pengolahan hasil hutan secara mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk industri pengolahan kayu rakyat atau industri hulu. (2) Bentuk kegiatan pengolahan hasil hutan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB IIL KEMITRAAN DENGAN INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN Pasal 9 (1) Kemitraan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dapat dilakukan dengan: a. IPHHK primer di dekat atau di sekitar lokasi HTR; b. IPHHK lanjutan sekunder maupun tersier di lokasi HTR; dan/atau (2) IPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa industri chip, industri veneer, industri penggergajian sebagai satelit IPHHK terpadu atau industri Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). (3) IPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai pembeli (off taker) hasil hutan kayu dari pemegang IUPHHK-HTR Pasal 10 (1) Pemegang IUPHHK-HTR dan IPHHK calon mitranya yang akan melakukan kemitraan wajib melaporkan rencana kemitraan kepada: a. Direktur Jenderal, dalam hal IUPHHK-HTR dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri; atau b. Kepala Dinas, dalam hal IUPHHK-HTR dikeluarkan oleh Gubernur. (2) Laporan .. t 2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kepala KPH setempat. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Salinan surat keputusan sebagai pemegang IUPHHK-HTR; b. Salinan surat keputusan IPHHK atau surat keputusan PLTBm dari instansi yang berwenang; c. Identitas calon mitra; d. Rancangan perjanjian/kesepakatan kerjasama dengan pemegang IUPHHK-HTR sebagai pemasok bahan baku; e. Surat pernyataan tidak menebang kayu dari hutan lahan kering primer atau hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan; dan f, Dokumen yang merupakan bukti sebagai pemasok bahan baku ke pemegang IPHHK. (4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Direktur Jenderal memerintahkan kepada Direktur untuk melakukan pendampingan; b. Kepala Dinas memerintahkan kepada kepala bidang, kepala cabang dinas, atau kepala KPH untuk melakukan pendampingan () Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dibantu oleh Pokja PPS. (© Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mendapatkan salinan perjanjian/kesepakatan kerjasama. (7 Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melaporkan hasil pendampingan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas yang memberi perintah. Pasal 13 (1) Pemegang IUPHHK-HTR mandiri atau pemegang IUPHHK-HTR dan IPHHK mitranya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 membuat laporan kegiatan setiap tahun dan menyampaikannya kepada: a. Direktur Jenderal, dalam hal IUPHHK-HTR dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri; atau b. Kepala Dinas, dalam hal IUPHHK-HTR dikeluarkan oleh Gubernur. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan secara online Pasal 14... Pasal 14 (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13: a. Direktur Jenderal memerintahkan kepada Direktur untuk melakukan monitoring dan evaluasi; b. Kepala Dinas memerintahkan kepada kepala bidang, kepala cabang dinas, atau kepala KPH untuk melakukan monitoring dan evaluasi; (2) Berdasarkan laporan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengendalian dengan melibatkan UPT dan Pokja PPS. (3) Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Diy®tapkan di Jakarta tanggal:16 Desember 2016 REKTUR JENDERAL, f HADI DARYANTO NIP. 19571020 198203 1 002 Salinan Peraturan Dirjen ini disampaikan kepada Yth: 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 3. Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 4. Para Direktur Jenderal Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 5. Sekretaris Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 6. Para Direktur Lingkup Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 7. Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 8. Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial. Pasal 14 (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13: a. Direktur Jenderal memerintahkan kepada Direktur untuk melakukan monitoring dan evaluasi; b. Kepala Dinas memerintahkan kepada kepala bidang, kepala cabang dinas, atau kepala KPH untuk melakukan monitoring dan evaluasi; (2) Berdasarkan laporan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengendalian dengan melibatkan UPT dan Pokja PPS. (3) Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. ___PENGESAHAN KONSEP SURAT [No[_PENGOLAH TANGGAL, Pi apkan di Jakarta 4 tanggal: 16 Desember 2016 /KTUR JENDERAL, Sekretaris Ditjen Kepala Bagian Kepala Sub Bag 15/1 /ro1| ADI BARYANTO NIP. 19571020 198203 1 002 Salinan Peraturan Dirjen ini disampaikan kepada Yth: 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 3. _Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 4. Para Direktur Jenderal Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 5. Sekretaris Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 6. Para Direktur Lingkup Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 7. Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 8. Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial.

Anda mungkin juga menyukai