Anda di halaman 1dari 8

www.hukumonline.

com

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN


NOMOR 107/KPTS-II/1999 TAHUN 1999
TENTANG
PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

Menimbang:
a. bahwa usaha perkebunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan dalam
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, penyerapan tenaga kerja, peningkatan
devisa dan pelestarian lingkungan hidup serta sebagai instrumen pemerataan dan
pengembangan ekonomi rakyat;
b. bahwa pengembangan perkebunan diarahkan untuk mewujudkan usaha perkebunan yang
efisien, merata dan berkeadilan guna sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan
memberikan peluang yang lebih besar kepada Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dalam
usaha perkebunan;
c. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas serta untuk menciptakan iklim usaha perkebunan
yang kondusif perlu menetapkan ketentuan perizinan usaha perkebunan dengan suatu
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan.

Mengingat:
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1984;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1975;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1986;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993;
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1994;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1995;
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998;
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1998;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1998;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M tahun 1998;
15. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 1998;
16. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1998;
17. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998;

1/8
www.hukumonline.com

18. Keputusan Bersama Menteri pertanian dan Menteri Penggerak Dana dan Investasi Nomor
72/Kpts/PM.350/2/98 dan No. 04/SK/1998;
19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 74/Kpts/TP.500/2/98;
20. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 602/Kpts-II/1998;
21. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/Kpts-II/1998.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN TENTANG PERIZINAN USAHA
PERKEBUNAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
a. Usaha Perkebunan adalah kegiatan untuk melakukan Usaha budidaya dan atau usaha industri
Perkebunan;
b. Usaha budi daya Perkebunan adalah usaha budidaya tanaman perkebunan yang meliputi
kegiatan pra-tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman dan panen;
c. Usaha Industri Perkebunan adalah usaha industri pengolahan hasil komoditi perkebunan yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil usaha primer perkebunan;
d. Perusahaan perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum meliputi Koperasi, Badan
Usaha Milik Negara termasuk Badan Usaha Milik Daerah dan Perusahaan Swasta yang
melakukan usaha perkebunan;
e. Perkebunan Besar adalah usaha perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan
dan dilakukan di atas lahan Hak Guna Usaha atau hak atas tanah lainnya dengan luas areal
minimal 25 hektar;
f. Grup Perusahaan adalah perusahaan-perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh
pemegang saham yang sama;
g. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah hak yang diberikan oleh Menteri
Kehutanan dan Perkebunan atau pejabat yang ditunjuk untuk melakukan usaha budidaya
perkebunan, perubahan jenis tanaman atau usaha industri perkebunan serta perluasan industri
perkebunan kepada badan usaha yang melakukan usaha perkebunan;
h. Klasifikasi kebun adalah salah satu kegiatan pembinaan dalam mendorong perusahaan
perkebunan untuk pemanfaatan sumber daya yang tersedia sehingga dapat dicapai
produktivitas yang optimal dan efisien.

Pasal 2
Pemberian IUP bertujuan untuk pengaturan, pengendalian dan pembinaan pemanfaatan sumber daya

2/8
www.hukumonline.com

alam dalam rangka mewujudkan usaha perkebunan yang efisien, berdaya saing tinggi dan
berkelanjutan dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidup pekebun, meningkatkan penerimaan
devisa dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, serta mendorong peningkatan kesempatan
berusaha dan kesempatan kerja.

Pasal 3
Ruang lingkup perizinan usaha perkebunan meliputi Usaha Budidaya Perkebunan dan Usaha Industri
Perkebunan.

Pasal 4
(1) Usaha budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. Usaha Perkebunan Besar Skala Kecil (UPBSK) adalah usaha perkebunan dengan luas
areal 25 hektar sampai dengan 200 hektar;
b. Usaha Perkebunan Besar Skala Menengah (UPBSM) adalah usaha perkebunan dengan
luas areal lebih dari 200 hektar sampai dengan 1.000 hektar;
c. Usaha Perkebunan Besar Skala Besar (UPBSB) adalah usaha perkebunan dengan luas
areal lebih dari 1.000 hektar.
(2) Luas lahan Usaha Perkebunan Besar Skala Besar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir
c untuk satu perusahaan atau grup perusahaan diatur sebagai berikut:
a. Luas maksimum lahan usaha perkebunan besar, kecuali usaha perkebunan tebu, adalah
20.000 hektar dalam satu propinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia;
b. Luas maksimum lahan usaha perkebunan tebu adalah 60.000 hektar dalam satu propinsi
atau 150.000 hektar untuk seluruh Indonesia;
c. Luas maksimum lahan usaha perkebunan besar khusus di propinsi Irian Jaya adalah 2
(dua) kali luas maksimum lahan usaha perkebunan besar di propinsi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b.

Pasal 5
Usaha Industri Perkebunan meliputi kegiatan industri pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai
tambah hasil primer baik hasil utama maupun hasil samping.

Pasal 6
Perusahaan perkebunan dalam mengembangkan usahanya melalui salah satu dari 5 (lima) pola
pengembangan, yaitu:
a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 100% dimiliki oleh
Koperasi Usaha Perkebunan;
b. Pola Patungan Koperasi-Investor, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65% dimiliki
koperasi dan 35% dimiliki investor/perusahaan;
c. Pola Patungan Investor-Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80% dimiliki
investor/perusahaan dan minimal 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap;
d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan dimana pembangunan dan
pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu

3/8
www.hukumonline.com

seluruhnya dialihkan kepada koperasi;


e. Pola BTN, yaitu pola pengembangan dimana investor/perusahaan membangun kebun dan atau
pabrik yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

BAB II
PERIZINAN

Pasal 7
(1) Untuk melakukan usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memiliki IUP.
(2) IUP sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) berlaku selama perusahaan perkebunan
melakukan pengelolaan secara komersial dan tidak melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.

Pasal 8

(1) Usaha Perkebunan dapat dilakukan oleh:


a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah;
e. Perusahaan Swasta.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Usaha Perkebunan dapat pula
dilakukan oleh Perseroan Terbatas yang dibentuk menurut hukum Indonesia, berkedudukan di
Indonesia oleh Warga Negara Asing dan atau Badan Hukum Asing dan modalnya dimiliki secara
patungan antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan atau badan Hukum
Indonesia maupun secara langsung dimiliki oleh Warga Negara Asing dan atau Badan Hukum
Asing.

Pasal 9
(1) IUP untuk Usaha Perkebunan Besar Skala Besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c, diberikan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
(2) IUP untuk Usaha Perkebunan Besar Skala Kecil dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b serta usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
kecuali industri ekstraksi kelapa sawit, industri gula pasir dan tebu, industri the hitam dan industri
karet remah, dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setempat.
(3) Persyaratan dan tata cara pemberian IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(4) Pelaksanaan pemberian IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan tembusan
disampaikan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan cq. Direktur Jenderal Perkebunan.

4/8
www.hukumonline.com

BAB III
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN

Pasal 10
(1) Perusahaan perkebunan menyampaikan permohonan kepada Menteri kehutanan dan
Perkebunan dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Perkebunan,
Direktur jenderal Pengusahaan Hutan Produksi dan Kepala Badan Planologi Kehutanan dan
Perkebunan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatas dilengkapi dengan:
a. Arahan lahan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II setempat;
b. Rekomendasi Pertimbangan Teknis Ketersediaan Lahan dari Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi setempat;
c. Rekomendasi/dukungan dari Gubernur KDH Tk. I u.p. Kepala Dinas Perkebunan Dati I
setempat;
d. Rencana Kerja Usaha Perkebunan;
e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
f. Akte Pendirian Perusahaan Perkebunan, serta akte perusahaan bahannya yang terakhir;
g. Peta calon lokasi dengan skala 1 : 100.000;
h. Pernyataan pemilikan lahan perusahaan atau grup bahwa usaha perkebunannya belum
melampaui luasan maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memenuhi persyaratan akan
dikembalikan kepada pemohon selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal penerimaan.

Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Perkebunan, Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi dan Kepala
Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima tembusan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
memberikan pertimbangan teknis usaha perkebunan dan pertimbangan teknis ketersediaan
lahan kepada Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatas, selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) hari kerja menyiapkan konsep IUP untuk
diajukan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan
dengan lengkap Menteri Kehutanan dan Perkebunan belum mengeluarkan IUP maka dianggap
permohonan memenuhi persyaratan untuk disetujui.

Pasal 12
(1) Bagi pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) Perusahaan Perkebunan wajib melakukan secara
terpadu dengan jaminan pasokan bahan baku dari kebun sendiri.
(2) Apabila pasokan bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mencukupi dapat dipenuhi dari sumber lain melalui perusahaan patungan.

5/8
www.hukumonline.com

(3) Pembangunan pabrik kelapa sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baru dapat
dilaksanakan apabila setelah mencapai penanaman 50% dari kapasitas PKS tersebut.

BAB IV
PENCABUTAN IUP

Pasal 13
(1) IUP dicabut oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
apabila:
a. HGU dan atau hak atas tanah lainnya berakhir masa berlakunya dan tidak
diperpanjang/diperbaharui;
b. HGU dan atau hak atas tanah lainnya dicabut oleh Pejabat Instansi yang berwenang;
c. Tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah diberikan peringatan 3
(tiga) kali berturut-turut dengan selang waktu 6 (enam) bulan.
(3) Dengan dicabutnya IUP karena pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
maka Menteri Kehutanan dan Perkebunan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengusulkan
kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mencabut HGU.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Perkebunan melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan usaha
perkebunan yang dilakukan oleh perusahaan.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan melakukan pembinaan dan
pengawasan atas pelaksanaan usaha perkebunan di wilayahnya.
(3) Kepala Dinas Perkebunan melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan usaha
perkebunan di wilayahnya.
(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan dalam bentuk kunjungan langsung ke lapangan maupun melalui pelaporan yang
disampaikan pada setiap semester kepada Pejabat pemberi izin.
(5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan dilakukan evaluasi
melalui kegiatan klasifikasi kebun pada setiap 3 (tiga) tahun.

Pasal 15
Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP wajib:
a. Menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun terhitung sejak IUP
dikeluarkan;
b. Melaksanakan pembangunan paling lambat pada tahun keempat terhitung sejak IUP

6/8
www.hukumonline.com

dikeluarkan;
c. Mengelola usaha perkebunannya secara profesional, transparan, paritisipatif, berdayaguna dan
berhasil guna;
d. Mengelola sumber daya alam secara lestari;
e. Melaksanakan AMDAL atau UKL/UPL;
f. Usaha Perkebunan Skala Besar wajib bermitra dengan Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah;
g. Membuka lahan tanpa bakar;
h. Membuat proposal dan atau studi kelayakan;
i. Mengajukan permohonan persetujuan apabila akan mengadakan perubahan jenis tanaman atau
perluasan usaha industri;
j. Melaporkan perkembangan usaha perkebunannya secara berkala setiap semester.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16
Dengan ditetapkannya keputusan ini maka:
a. Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki persetujuan prinsip usaha budidaya atau usaha
industri perkebunan, namun belum memiliki izin tetap usaha budidaya dan/atau usaha industri,
wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan atau Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang dilampiri persyaratan yang ditentukan;
b. Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin tetap dari Menteri Negara Investasi/Kepala
BKPM atau instansi lain dan/atau telah memiliki HGU dan belum memiliki IUP wajib mengajukan
pendaftaran selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkannya
keputusan ini kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Direktur Jenderal
Perkebunan.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor
786/Kpts/KB.120/10.96 tentang Perizinan Usaha Perkebunan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan Di Jakarta,

7/8
www.hukumonline.com

Pada Tanggal 3 Maret 1999


MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
Ttd.
Dr. Ir. MUSLIMIN NASUTION

8/8

Anda mungkin juga menyukai