Anda di halaman 1dari 16

IKHTILAF ULAMA DALAM SHALAT JAMA’ DAN

QASHAR

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Perbandingan Madzhab yang diampu oleh:

Dr. H. Sapiudin Shidiq, M. Ag

oleh

oleh
Kelompok 9
Atma Faizahturrahmah 11170110000028
M. Akbar Ramadhan 11170110000119

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan TaufikNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Ikhtilaf Ulama Dalam Shalat Jama’ Dan
Qashar”

Penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih


banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat, tanda baca maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan
hati, penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Jakarta, 04 Mei 2020

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar hukum shalat jama’ ?


B. Pengertian dan dasar hukum shalat qashar ?
C. Pendapat imam syafii terhadap shalat jama’ dan qashar ?
D. Pendapat imam hanafi terhadap shalat jama’ dan qashar ?
E. Pendapat imam maliki terhadap shalat jama’ dan qashar ?
F. Pendapat imam ahmad bin hambal terhadap shalat jama’ dan qashar ?

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 29
B. Saran ................................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebagai seorang muslim , segala tuntutan dan perintah yang Allah berikan
tidak lah melampaui batas kemampuan hamba-Nya. Islam adalah agama Allah
SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam
melakukan berbagai ibadah dan amal sholihnya, sebagaimana firman Allah SWT:

ۡ ُ‫ۡٱلع‬
ََ‫سر‬ ‫ٱَّللُ ِب ُك ُم ۡٱليُ ۡس َر َو ََل يُ ِريد ُ ِب ُك ُم‬
‫يُ ِريدُ ه‬......

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Selain itu, Islam dibagun atas lima perkara (rukun Islam). Yang
kesemuanya adalah penting dan harus dilaksanakan. Salah satu nya adalah
mengenai shalat. Shalat adalah amalan yang diibaratkan sebagai sebuah tiang pada
sebuah bangunan. Jika bangunan tidak memiliki tiang, maka bangunan akan
rubuh. Jika shalat tidak dilaksanakan maka agama seseorang akan rubuh.

Salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia,
apa lagi pada jaman modern ini adalah perjalanan. Perjalanan selalu
membutuhkan tenaga dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Demi
sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski
kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak
boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah
kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Shalat 5 waktu. Dalam Islam sudah
ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Shalat
yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar yang bisa
dilaksanakan dengan cara di jama’ (dikumpulkan dalam satu waktu), atau di
qashar (diringkas jumlah rakaatnya), atau juga jama’ dan qashar.

1
Sangat pentingnya shalat, sehingga di setiap madzhab fiqih yang ada pasti
ditemukan tentang fatwa mengenai shalat. Baik tata cara nya dalam shalat wajib,
dan sunnah. Yang tentu masing-masing nya ada perbedaan, karena mengingat
kondisi masyarakat dan cara berijtihad para ulama madzhab tersebut. Oleh karena
itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana pendapat atau ikhtilaf
para ulama tersebut mengenai pelaksanaan shalat , dalam hal ini shalat jama dan
qashar.

B. Rumusan masalah
A. Bagaimana pengertian dan dasar hukum shalat jama’
B. Bagaimana pengertian dan dasar hukum shalat qashar ?
C. Bagaimana pendapat Imam Syafii terhadap shalat jama’ dan qashar ?
D. Bagaimana pendapat Imam Hanafi terhadap shalat jama’ dan qashar ?
E. Bagaimana pendapat Imam Maliki terhadap shalat jama’ dan qashar ?
F. Bagaimana pendapat Imam Ahmad bin Hambal terhadap shalat jama’ dan
qashar ?

C. Tujuan
A. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum shalat jama’ dan qashar
B. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafii terhadap shalat jama’ dan
qashar
C. Untuk mengetahui pendapat Imam Hanafi terhadap shalat jama’ dan
qashar
D. Untuk mengetahui pendapat Imam Maliki terhadap shalat jama’ dan
qashar
E. Untuk mengetahui pendapat Imam Ahmad bin Hambal terhadap shalat
jama’ dan qashar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar hukum shalat jama’


Jama’ dalam shalat dapat diartikan sebagai penggabungan dua shalat
dalam satu waktu. Sebagai contoh melaksanakan shalat zuhur di waktu ashar ,
salat maghrib di waktu isya (jama’ takhir), atau melaksanakan shalat ashar di
waktu zuhur, serta shalat isya diwaktu maghrib (jama’ taqdim). Adapun shalat
shubuh tidak boleh di jama’ baik taqdim maupun takhir . Karena ia merupakan
shalat yang independen (mustaqil) sehingga pelaksanaannya harus
dilaksanakan sesuai waktunya. 1
Dan untuk menjama shalat harus sesuai dengan urutan waktu sholat yang
telah ditentukan oleh Allah SWT dan tidak boleh menjama sholat dengan
membalikkan waktu sholat yang telah ditentukan oleh Allah SWT, dan pada
saat menjama dua sholat, maka cukup dengan mengumandangkan iqamat di
antara dua sholat yang dijama.
Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah mempraktikan shalat jama :

‫هر‬
ِ ‫ظ‬ َ َ‫صر ِإذَا كَان‬
َ ‫علَى‬ ِ َ‫هر َوالع‬
ِ ‫ظ‬ُّ ‫ يَج َم ُع بَينَ صَال ِة ال‬- ‫كَانَ َرسُو ُل هللاِ – صلى هللا عليه وسلم‬
‫َاء‬
ِ ‫ب َوال ِعش‬ ِ ‫ َو َيج َم ُع َبينَ ال َم‬،‫س ٍير‬
ِ ‫غر‬ َ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa menjamak antara zuhur dan ashar
jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara maghrib dan isya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1107) 2

B. Pengertian dan dasar hukum shalat qashar


Adapun shalat qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi
dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya. Sedangkan shalat Magrib

1
Ali Mutakin, MENJAMA’ SHALAT TANPA HALANGAN: ANALISIS KUALITAS DAN
KUANTITAS SANAD HADITS, KORDINAT Vol. XVI No. 1 April 2017, hal. 90
2
Hammad Abu Muawiyah, https://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/fiqh/612-
permasalahan-menjamak-sholat-.html, dikutip pada 07/05/2020 pukul 00.01 WIB

3
dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar. Para Imam telah sepakat bahwa musafir
boleh meng-qashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selama berpergian, orang Islam disyariatkan dan diperbolehkan untuk
menjama’ dan mengqashar shalat, hal ini ditetapkan berdasarkan dalil –dalil
syar’i .
Adapun ketetapan dari al-Quran antara lain firman Allah SWT dalam surat
al-Nisa’(4) : 101:

َ‫ص ُروا ِمنَ الص ََّال ِة ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ْن َي ْفتِنَكُ ُم الَّ ِذين‬


ُ ‫ح أ َ ْن ت َ ْق‬
ٌ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَا‬
َ ‫ْس‬َ ‫ض فَلَي‬ ِ ‫َو ِإذَا ض ََر ْبت ُ ْم ِفي ْاْل َ ْر‬
)101( ‫عد ًُّوا ُم ِبينًا‬ َ ‫َكفَ ُروا ِإنَّ ا ْلكَا ِف ِرينَ كَانُوا لَكُ ْم‬

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Ayat ini memberi kefahaman bahwa shalat qashar disyariatkan ketika
dalam perjalanan dan dalam keadaan takut. Pembatasan rasa takut dalam ayat
tersebut bukanlah bentuk pengecualian atau difahami secara mafhum
mukhalafah, sebab ada dalil yang menerangkan safar dalam keadaan aman.
Dalilnya adalah dari Hadis Nabi SAW berikut :
“Dari Ya’la bin Umayyah ia berkata. Aku bertanya kepada Umar bin
Khaththab (tentang ayat),(Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir (QS. An-Nisa’
: 101).Sementara itu manusia telah aman.Umar menjawab, Aku juga bingung
seperti yang engkau alami, lalu aku menanyakan kepada Rasulullah SAW.
Lalu beliau menjawab, Sesungguhnya itu adalah suatu shadaqah yang
diberikan Allah kepadamu, maka terimalah shadaqah itu.” (HR.Syafi’i dan
Muslim)
Selain itu, Nabi SAW menjelaskan tentang kedudukan rakaat shalat ketika
dalam perjalanan, ini menunjukkan bahwa Nabi SAW menqashar shalat ketika
dalam perjalanan,antara lainmelalui hadis penyampaian ‘Aisyah :

4
Artinya : Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha ia berkata, Shalat yang pertama
kali difardhukan adalah dua rakaat, maka ditetapkan hal itu untuk shalat dalam
perjalanan dan disempurnakan untuk shalat hadir (tidak dalam perjalanan).
(Mutafaq alaih). 3
Perbedaan antara qashar dengan jama' bahwa safar adalah satu-satunya
penyebab dibolehkannya qashar. Sedangkan jama' masih punya penyebab
yang lain di luar safar, seperti sakit, hujan, dan lainnya. Ada beberapa hal
yang menyebabkan safar yang dilakukan oleh seseorang berakhir secara sah,
antara lain dengan tiba kembali di rumah atau di tempat tinggal asli, atau
dengan niat bermukim, atau tinggal sementara tetapi melewati batas waktu.

C. Pendapat Imam Syafi’i tentang shalat jama dan qashar


- Shalat Jama’
Di antara sebab-sebab yang membolehkan jama' dan disepakati
ulama adalah haji dan safar. Sedangkan sebab lainnya seperti sakit, haji,
hujan, takut atau tanpa sebab yang pasti, hukumnya masih menjadi
diperdebatkan para ulama.
a. Sakit ; Mayoritas Asy-Syafi'iyah menolak kebolehan menjama' shalat
karena sakit. Alasannya karena tidak ada riwayat yang qath'i dari
Rasulullah SAW tentang hal itu. Namun, ada juga sebagian Asy-
syafiiyah yang membolehkan menjama’ shalat karena sakit.
b. Hujan ; Madzhab Syafi’i membolehkan jama’ shalat karena hujan
dengan syarat : dilakukan secara taqdim saja, dilakukan secara
berjamaah di masjid, dan ada masyaqqah (hambatan karena hujan).

- Shalat Qashar
Madzhab Syafii berpendapat bahwa mengqashar atau tidak nya
3
7Al-Bukhari, no.3935, al-Jami’ al-Shahih,(Kaherah: Maktabah al-
Salafiyah,1400H),cet1,jilid 3, h.87.Muslim, no.685

5
shalat ketika sedang safar adalah pilihan bagi musafir itu sendiri. Namun
mengqashar itu tetap lebih afdhal, karena merupakan sedekah dari Allah
SWT.4 Imam Syafi’i( 150-204 H.) berpendapat,bahwa meringkas shalat
dilakukan ketika takut bahaya dalam perjalanan. Jika dalam perjalanan
tidak ada rasa takut akan bahaya, lalu menyempurnakannya, maka hal itu
tidak lah merusak shalatnya. Beliau berpendapat meninggalkan qashar
shalat adalah makruh, karena termasuk perbuatan membenci sunnah. 5
Sehingga yang lebih afdhol adalah mengqasharnya ketika masih dalam
keadaan safar. Sebagaimana hadits berbunyi :

‫صدقة تصدق هللا بها عليكم فاقبلوا صدقته‬


"Umar radhiyallahuanhu berkata,"(Qashar) adalah sedekah yang Allah
berikan padamu, maka terimalah sedekah-Nya." (HR. Ahmad dan Al-
Baihaqi).
Imam As-Syafi'i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila
menetap disuatu tempat adalah selama 4 hari.
Kriteria safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat adalah :
1. Niat ; Seorang musafir dalam perjalanannya harus berniat menjadi
musafir. Ini adalah kesepakatan para ulama.
2. Jarak ; Ulama dari kalangan As-Syafi’iyah berpendapat bahwa jarak
minimal safar adalh 4 burud . Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid
dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km .
3. Safar yang mubah ; shalat yang dibolehkan untuk mengqashar shalat
adalah safar yang diniatkan untuk hal-hal yang dibolehkan. Menurut
madzhab Syafi’i mengatakan bahwa orang yang melakukan safar
dalam rangka maksiat kepada Allah, bukan saja tidak boleh
mengqashar shalatnya, tetapi juga tidak sah.
4. Melewati batas tempat tinggal ; Mengqashar shalat dalam safar itu
sudah boleh dilakukan meski belum mencapai jarak yang telah
ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak

4
Ahmad Sarwat, Shalat Jama Qashar , (Jakarta : Rumah Fiqih Publishing, 2018), hal .14
5
Syafi’i, al-Umm, (Mesir : Dar Wafa’,2001),cet. 1,jilid 2, h.356

6
sejauh itu.
5. Punya tujuan pasti ; Safar itu harus punya tujuan pasti, bukan sekedar
berjalan tak tentu arah dan tujuan. 6

D. Pendapat Imam Hanafi tentang shalat jama dan qashar


- Shalat Jama’
Sejak awal mazhab Al-Hanafiyah tidak membolehkan jama' shalat
kecuali hanya karena satu sebab saja, yaitu ketika haji di Arafah dan Mina
saja. Alasannya karena yang punya dasar masyru'iyah qath'i dari
Rasulullah SAW hanya sebatas pada haji saja.
- Shalat Qashar
Imam Abu Hanifah ( 80-150 H.) berpendapat mengqashar shalat adalah
kewajiban disetiap shalat yang empat rakaat, tidak boleh menambah dengan
sengaja.7 Dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya jama'
dan qashar bila menetap disuatu tempat adalah selama 15 hari.
Kriteria shalat qashar Menurut mazhab Al-Hanafiyah :

1. Niat ; Seorang musafir dalam perjalanannya harus berniat menjadi


musafir. Ini adalah kesepakatan para ulama.
2. Jarak ; Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak
safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal
sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan
menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama.
Penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk
menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan
qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari. Kalau kita konversikan jarak
perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.
3. Safar ; Al-Hanafiyah mengatakan apapun tujuan safar, semua
membolehkan qashar.

6
Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal 16-26
7
Syamsudin al-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut,Lebanon : Dar ul-Ma’rifah,1989 ) jilid 1,
h.239-240

7
4. Melewati batas tempat tinggal.
5. Punya tujuan dalam safar.8

E. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal tentang Shalat Jama’ dan


Qashar

Menurut ulama mazhab Hambali, Jamak taqdim dan takhir boleh


dilakukan dalam tujuh hal berikut: perjalanan menempuh jarak yang jauh yang
menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya, sakit yang membawa
kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada waktunya, orang
yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu
shalat, orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap
shalat karena mengalami kesulitan,orang yang tidak bisa mengetahui masuknya
waktu shalat, wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus
menerus dari vaginanya karena penyakit) dan sering keluar mazi (lendir yang
keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau ada uzur
seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri, harta, dan kehormatan, atau juga
pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat
akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu. 9

Adapun syarat-syarat shalat qashar menurut jumhur ulama, perjalanan


yang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh), bukan perjalanan
yang makruh atau haram, seperti merampok dan berjudi. Dan menurut ulama
mazhab Hambali, apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk maksiat,
maka tidak sah shalat qasharnya. Menurut ulama mazhab Hambali, dapat
dikatakan musafir apabila perkampungannya atau rumah terakhir di pinggiran
daerah tersebut telah dilaluinya, baik masih dalam pagar/batas desa maupun telah
melampauinya. Ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah
tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan setempat.

8
Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal 16-26
9
Arisman, “Jama’ dan Qadha Shalat bagi Pengantin Kajian Fiqih Kontemporer” Jurnal Hukum
Islam Vol. 14, No.1 Juni 2014, hlm. 5

8
Menurut ulama mazhab Hambali, orang yang mengqashar shalat tidak
boleh menjadi makmum orang yang mukim (orang yang tidak musafir). Akan
tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa apabila musafir menjadi
makmum orang yang mukim di awal awaktu shalat, maka shalatnya sah, tetapi
bila shalat berjamaah tersebut dilakukan bukan di awal waktu, musafir tidak boleh
mengikutinya. Dari perbedaan pendapat tentang niat shalat qashar, ulama mazhab
Hambali dan Syafi’i berpendapat bahwa niat harus ditegaskan pada saat takbir. 10

F. Pandangan Mazhab Imam Maliki tentang Shalat Jama’ dan Qashar

Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjamak shalat dibolehkan


karena enam hal, yaitu: dalam perjalanan, hujan, sakit, wukuf di Arafah, berada
di Muzdalifah dan berada dalam keadaan yang sangat gelap.11 Menurut jumhur
ulama, safar (perjalanan) merupakan salah satu sebab diperbolehkannya shalat
jama’. Terlepas dari perbedaan pandangan tentang macam dan cara perjalanan itu
dilaksanakan. Menurut Imam Malik, perjalanan yang membolehkan shalat dijama’
harus ada indikasi masyaqqah atau berat jika melaksanakan shalat sesuai dengan
waktunya. 12

Orang sakit boleh melakukan jamak shalat apabila sulit melakukan shalat
pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau
membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat, musim dingin/salju,
atau hari yang sangat gelap, yang dibolehkan hanya jamak taqdim. Untuk
melakukan shalat jamak taqdim dalam perjalanan menurut ulama mazhab Maliki
disyaratkan dua hal, yakni tergelincir/condongnya matahari ke arah Barat pertanda
masuknya waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian
ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jamak dilakukan dengan satu kali
azan dan iqamat bagi setiap shalat.13

10
Ibid., hlm. 5
11
Ibid., hlm. 3
12
Ali Mutakin, “Menjama’ Shalat tanpa halangan:Analisis Kuantiatas dan Kualitas Sanad Hadits”
Jurnal Kordinat Vol. 16, No.1 April 2017, hlm. 90
13
Arisman, Op. Cit., hlm. 4

9
Adapun syarat-syarat shalat qashar menurut jumhur ulama, perjalanan
yang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh), bukan perjalanan
yang makruh atau haram, seperti merampok dan berjudi. Menurut ulama mazhab
Syafi`i dan Hambali, apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk
maksiat, maka tidak sah shalat qasharnya. Akan tetapi bagi ulama mazhab Maliki,
shalat qasharnya tetap sah tetapi berdosa.

Ulama mazhab Maliki membedakan antara perjalanan yang dilakukan oleh


penduduk kota, masyarakat pedalaman, dan masyarakat pegunungan. Bagi
masyarakat kota, baru dikatakan musafir apabila telah melampaui batas kota.
Untuk masyarakat pedalaman, seseorang baru dikatakan musafir apabila
perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya. Adapun bagi masyarakat
pegunungan, seseorang baru dikatakan musafir apabila telah meninggalkan
pemukiman mereka. Dari perbedaan pendapat tentang niat shalat qashar, ulama
mazhab Maliki berpendapat bahwa niat cukup diluar shalat.14

14
Ibid., hlm. 5

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jama’ dalam shalat dapat diartikan sebagai penggabungan dua shalat
dalam satu waktu. Shalat jama’ terbagi dua yaitu jama’ taqdim (yang
dilakukan di awal waktu shalat yang digabungkan), dan jama’ takhir (yang
dilakukan di akhir waktu shalat yang digabungkan). Dengan ikhtilaf ulama
:
- Ulama As-Syafi’iyah membolehkan jama’ shalat karena sakit dan
hujan (dengan syarat tertentu).
- Ulama Hanafiyah tidak membolehkan jama’ shalat kecuali hanya
karena satu sebab saja, yaitu ketika haji di Arafah dan Mina saja.
Alasannya karena yang punya dasar masyru'iyah qath'i dari Rasulullah
SAW hanya sebatas pada haji saja.
- Ulama Mazhab Hambali bependapat Jamak taqdim dan takhir boleh
dilakukan dalam tujuh hal berikut: perjalanan menempuh jarak yang
jauh, sakit, orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri
dari najis anak setiap waktu shalat, ada uzur seperti orang khawatir
terhadap keselamatan diri, harta, dan kehormatan.
- Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa menjamak shalat
dibolehkan karena enam hal, yaitu: dalam perjalanan, hujan, sakit,
wukuf di Arafah, berada di Muzdalifah dan berada dalam keadaan
yang sangat gelap.15 Menurut jumhur ulama, safar (perjalanan)
merupakan salah satu sebab diperbolehkannya shalat jama’.
2. Shalat qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua
rakaat. Dengan ikhtilaf ulama :
- Madzhab Syafii berpendapat bahwa mengqashar atau tidak nya shalat
ketika sedang safar adalah pilihan bagi musafir itu sendiri.

15
Ibid., hlm. 3

11
- Madzhab Hanafi berpendapat mengqashar shalat adalah kewajiban
disetiap shalat yang empat rakaat.
- Mazhab Hambali berpendapat apabila perjalanan yang dilakukan itu
bertujuan untuk maksiat, maka tidak sah shalat qasharnya.
- Menurut Mazhab Imam Maliki perjalanan yang bertujuan untuk
maksiat, maka shalat qasharnya tetap sah tetapi berdosa.
3. Perbedaan antara qashar dengan jama' bahwa safar adalah satu-satunya
penyebab dibolehkannya qashar. Sedangkan jama' masih punya penyebab
yang lain di luar safar, seperti sakit, hujan, dan lainnya. Ada beberapa hal
yang menyebabkan safar yang dilakukan oleh seseorang berakhir secara
sah, antara lain dengan tiba kembali di rumah atau di tempat tinggal asli,
atau dengan niat bermukim, atau tinggal sementara tetapi melewati batas
waktu.

B. Saran
Demikianlah makalah ini disusun, dan diharapkan menjadi
tambahan pengetahuan bagi pembaca. Selamat membaca dan semoga
bermanfaat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arisman, “Jama’ dan Qadha Shalat bagi Pengantin Kajian Fiqih


Kontemporer” Jurnal Hukum Islam Vol. 14, No.1 Juni 2014

Al-Bukhari. 1400. al-Jami’ al-Shahih. (Kaherah: Maktabah al-Salafiyah)

Muawiyah, Hammad Abu https://www.alquran-


sunnah.com/artikel/kategori/fiqh/612-permasalahan-menjamak-sholat- .html,
dikutip pada 07/05/2020 pukul 00.01 WIB
Mutakin, Ali. 2017. MENJAMA’ SHALAT TANPA HALANGAN:
ANALISIS KUALITAS DAN KUANTITAS SANAD HADITS, KORDINAT
Vol. XVI No. 1.
Sarwat, Ahmad. 2018. Shalat Jama Qashar. (Jakarta : Rumah Fiqih
Publishing) Syafi’i. 2001. al-Umm. Cet.1. (Mesir: Dar Wafa’,2001).

13

Anda mungkin juga menyukai