Anda di halaman 1dari 13

PATOGENESIS PNEUMONIA COVID-19

Pasien dengan COVID-19 menunjukkan manifestasi klinis termasuk demam, batuk


tidak produktif, dispnea, mialgia, kelelahan, jumlah leukosit normal atau menurun, dan bukti
radiografi pneumonia yang mirip dengan gejala infeksi SARS-CoV dan MERS-CoV. Komisi
klasifikasi virus internasional mengumumkan bahwa coronavirus novel tersebut dinamai
sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). (Li et al, 2020)
Pasien yang terinfeksi COVID-19 menunjukkan jumlah leukosit yang lebih tinggi,
abnormalitas pernapasan, dan peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi plasma. Salah satu
laporan kasus COVID-19 menunjukkan seorang pasien yang menderita demam 5 hari
mengalami batuk, suara ronki dari kedua paru-paru, dan suhu tubuh 39,0 ° C. Dahak pasien
menunjukkan hasil PCR yang reaktif, sehingga infeksi COVID-19 terkonfirmasi. Studi
laboratorium menunjukkan leukopenia dengan jumlah leukosit 2,91 × 10 ^ 9 sel / L di mana
70,0% adalah neutrofil. Selain itu, nilai 16,16 mg / L protein C-reaktif darah tercatat di atas
kisaran normal (0-10 mg / L). Tingkat sedimentasi eritrosit yang tinggi dan D-dimer juga
diamati. Patogenesis utama infeksi COVID-19 sebagai virus penargetan sistem pernafasan
adalah pneumonia berat, RNAaemia, dikombinasikan dengan kejadian ground-glass opacity
pada radiologi, dan cedera akut pada jantung. Kadar sitokin dan chemookin dalam darah yang
sangat tinggi tercatat pada pasien dengan infeksi COVID-19 yang termasuk IL1-β, IL1RA,
IL7, IL8, IL9, IL10, FGF2 dasar, GCSF, GMCSF, IFNγ, IP10, MCP1, MIP1α, MIP1β,
PDGFB, TNFα, dan VEGFA. Beberapa kasus parah yang dirawat di unit perawatan intensif
menunjukkan sitokin proinflamasi yang tinggi termasuk IL2, IL7, IL10, GCSF, IP10, MCP1,
MIP1α, dan TNFα. (Rothan, 2020)
Virus SARS-CoV2 melewati selaput lendir, terutama mukosa hidung dan laring,
kemudian memasuki paru-paru melalui saluran pernapasan. Gejala awal infeksi yang paling
umum adalah demam dan batuk. Virus dapat memasuki darah perifer dari paru-paru,
menyebabkan viremia. Kemudian virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan
ACE2, seperti paru-paru, jantung, ginjal, saluran pencernaan. SARS-CoV-2 yang terdeteksi
dalam sampel tinja lebih mungkin karena virus memasuki darah dari paru-paru dan kemudian
berpindah dari darah ke usus. Wang et al (2020) menemukan bahwa waktu median dari onset
gejala ke ARDS adalah sekitar 8 hari. Sehingga dapat dispekulasi bahwa dengan cara ini,
virus memulai serangan kedua, menyebabkan kondisi pasien memburuk sekitar 7 hingga 14
hari setelah onset. Selama proses infeksi, jumlah sel darah putih dalam darah tepi pada tahap
awal penyakit adalah normal atau sedikit rendah, dan limfopenia diamati pada pasien.
Penurunan limfosit B dapat terjadi pada awal penyakit, yang dapat mempengaruhi produksi
antibodi pada pasien. Pada pasien tipe berat, limfosit berkurang secara signifikan. Limfosit
pada pasien dengan COVID-19 mungkin berangsur-angsur berkurang seiring perkembangan
penyakit. Tetapi mekanisme pengurangan limfosit yang signifikan pada pasien tipe berat
masih belum jelas. Selain itu, faktor-faktor inflamasi yang terkait dengan penyakit terutama
yang mengandung IL-6 meningkat secara signifikan, juga berkontribusi terhadap pemburukan
penyakit sekitar 7 hingga 14 hari setelah onset. Pasien yang tidak tertolong memiliki tingkat
neutrofil, D-Dimer, nitrogen urea darah, dan kreatinin yang lebih tinggi daripada yang
dibandingkan dengan pasien yang sembuh. (Ling et al, 2020)
Berdasarkan asumsi di atas, fase klinis dibagi menjadi tiga (Ling et al, 2020) :
 Fase viremia
 Fase akut (fase pneumonia)
Jika fungsi kekebalan tubuh pasien dalam fase akut (fase pneumonia) efektif, dan
tidak ada lagi penyakit dasar, virus dapat ditekan secara efektif, kemudian memasuki
fase pemulihan. Jika pasien lebih tua, atau dalam keadaan gangguan kekebalan,
dikombinasikan dengan penyakit dasar lainnya seperti hipertensi dan diabetes, sistem
kekebalan tidak dapat secara efektif mengendalikan virus dalam fase akut (fase
pneumonia), pasien akan menjadi tipe yang parah atau kritis dimana sel T, sel B
berkurang lebih lanjut, sementara sitokin inflamasi dan D-Dimer terus meningkat
pada pasien tipe berat.
 Fase pemulihan.

Gambar.
Patogenesis COVID-
19 (Li, 2020)
Patogenesis SARS CoV dimulai dengan interaksi virus dengan sel inang
melalui pengikatan protein pada kapsul virus dengan reseptor Angiotensin Converting
Enzyme (ACE-2). ACE-2 banyak diekspresikan pada permukaan sel epitel paru-paru
dan usus, sehingga membuat sel-sel ini rentan terhadap SARS-CoV. Beberapa laporan
kasus baru-baru ini menyebutkan bahwa pemeriksaan radiologis pada toraks dan
temuan histopatologis paru-paru yang disebabkan oleh SARS-COV2 dengan yang
terlihat pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV- dan MERS-CoV (Jain, 2020).
 Peradangan alveolar eksudatif dan inflamasi interstitial adalah temuan utama.
Makrofag dan monosit banyak ditemukan di alveoli meskipun terdapat beberapa sel
beberapa limfosit (terutama sel T CD4-positif), eosinofil, dan neutrofil.
Multinucleated Giant Cells ditemukan dalam jumlah sedang. Perdarahan fokal,
terkumpulnya eksudat di rongga alveolar, dan fibrosis interstitial paru ditemukan.
Temuan Computed tomography (CT) menunjukkan bahwa ada perkembangan sedang
hingga parah dari infiltrat paru-paru. Dapat terjadi peningkatan persentase infiltrat
densitas tinggi dan ekstensi bilateral dan multisegmental dari kekeruhan paru-paru.
 Eksudasi serous dan eksudasi fibrin sering ditemukan. Septa alveolar menjadi
edematous dan dilatasi, mengalami kongesti, pelebaran pembuluh darah, dan terjadi
infiltratrasi monosit dan limfosit.
 Proliferasi epitel alveolar; umumnya proliferasi epitel alveolar tipe II dan deskuamasi
fokal.
 Pembentukan membran hialin; trombi hialin sesekali hadir dalam pembuluh kecil.
 Pengelupasan epitel bronkial parsial
 Partikel Coronavirus terdapat dalam epitel mukosa bronkus dan epitel alveolar tipe II
yang terlihat di bawah mikroskop elektron
 Antigen SARS-CoV2: Terdapat pada epitel alveolar dan makrofag (positif
imunohistokimia)
 PCR reaktif apabila dideteksi asam nukleat 2019-nCoV.

Meskipun patogenesis COVID-19 kurang dipahami, mekanisme imunologis


serupa dari SARS-CoV dan MERS-CoV masih dapat memberi kita banyak informasi
tentang patogenesis infeksi SARS-CoV-2 (Li et al, 2020). Antara lain :

1. Proses masuk dan replikasi virus pada sel inang


Protein Coronavirus S telah dilaporkan sebagai penentu yang signifikan dari
masuknya virus ke dalam sel inang. Kapsul glikoprotein virus berikatan dengan
reseptor seluler, antara lain ACE2 untuk SARS-CoV dan SARS-CoV-2, CD209L
(lektin tipe-C, juga disebut L-SIGN) untuk SARS-CoV, dan DPP4 untuk MERS-CoV.
Masuknya SARS-CoV ke dalam sel dilakukan dengan fusi membran langsung antara
virus dan membran plasma. Setelah virus memasuki sel, genom RNA virus dilepaskan
ke dalam sitoplasma dan diterjemahkan menjadi dua poliprotein dan protein
struktural, setelah itu genom virus mulai bereplikasi. Kapsul glikoprotein yang baru
dibentuk dimasukkan ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi, dan
nukleokapsid dibentuk oleh kombinasi RNA genom dan protein nukleokapsid.
Kemudian, partikel virus masuk ke dalam retikulum endoplasma-kompartemen Golgi
(ERGIC). Akhirnya, vesikel yang mengandung partikel virus kemudian bergabung
dengan membran plasma untuk melepaskan virus.

2. Presentasi Antigen Pada Infeksi Coronavirus


Ketika virus memasuki sel, antigen akan disajikan ke Antigen Presenting Cell
(APC), yang merupakan bagian sentral dari kekebalan anti-virus tubuh. Peptida
antigenik disajikan oleh kompleks histokompatibilitas mayor (MHC; atau human
leukocyte antigen (HLA)) pada manusia) dan kemudian dikenali oleh limfosit T
sitotoksik spesifik-virus (CTL).

3. Respon Imun Humoral dan Seluler


Presentasi antigen merangsang imunitas humoral dan seluler tubuh, yang
dimediasi oleh sel B dan T yang spesifik terhadap virus. Mirip dengan infeksi virus
akut umum, profil antibodi terhadap virus SARS-CoV memiliki pola khas produksi
IgM dan IgG. Antibodi IgM spesifik SARS menghilang pada akhir minggu ke-12,
sedangkan antibodi IgG dapat bertahan lama, yang menunjukkan antibodi IgG dapat
memainkan peran perlindungan dibandingkan dengan imunitas humoral. Laporan
terbaru menunjukkan jumlah sel T CD4 dan CD8 dalam darah perifer pada pasien
yang terinfeksi SARS-CoV-2 secara signifikan berkurang.

4. Cytokines Storm
Beberapa penelitian bahwa menunjukkan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) adalah penyebab utama kematian COVID-19. ARDS adalah
kejadian imunopatologis yang umum untuk infeksi SARS-CoV-2, SARS-CoV, dan
MERS-CoV. Salah satu mekanisme utama ARDS adalah badai sitokin, respons
inflamasi sistemik mematikan yang tidak terkendali yang dihasilkan dari pelepasan
sejumlah besar sitokin proinflamasi (IFN-α, IFN-γ, IL-1β, IL-6, IL-12 , IL-18, IL-33,
TNF-α, TGFβ, dll.) Dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, CXCL10,
dll) oleh sel-sel efektor imun pada infeksi SARS-CoV. Cytokines Storm akan memicu
serangan oleh sistem kekebalan tubuh, menyebabkan ARDS dan kegagalan
multiorgan yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada kasus infeksi SARS-
CoV-2 yang parah.

Sumber :
X. Li, M. Geng, Y. Peng, L. Meng, S. Lu, Molecular immune pathogenesis and diagnosis of
COVID-19, Journal of Pharmaceutical Analysis (2020), doi: https://doi.org/10.1016/
j.jpha.2020.03.001.

Rothan, H. A., & Byrareddy, S. N. (2020). The epidemiology and pathogenesis of


coronavirus disease (COVID-19) outbreak. Journal of autoimmunity, 102433.

Ling Lin, Lianfeng Lu, Wei Cao & Taisheng Li (2020): Hypothesis for potential
pathogenesis of SARS-CoV-2 infection——a review of immune changes in patients with
viral pneumonia, Emerging Microbes & Infections, DOI: 10.1080/22221751.2020.1746199

Wang D, Hu B , Hu C, et al. Clinical Characteristics of 138 Hospitalized Patients With 2019


Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan, China [J]. JAMA. 2020; undefined:
undefined.

Jain A. COVID-19 and lung pathology. Indian J Pathol Microbiolgy [serial online] 2020
[cited 2020 May 30]:63:171-2.Available from : http://www.ijpmonline.org/text.asp?
2020/63/2/171/282688

MEKANISME BRONKODILATOR PADA SERANGAN ASMA AKUT


Serangan asma akut merupakan penurunan gejala dan fungsi paru-paru dari status
normalnya. Gejala yang dapat terjadi termasuk kesulitan bernapas, mengi, batuk, dan dada
terasa sesak. Serangan ditandai oleh penurunan fungsi paru, seperti peak expiratory flow rate
dan FEV1. (Chavasse et al, 2019). Manajemen awal pada serangan asma akut diberikan
dengan cara inhalasi (Scotland, 2016).Bronkodilator diindikasikan untuk individu yang
memiliki aliran udara melalui paru- paru yang kurang. Target terapi pada bronkodilator
adalah Beta-2 Agonis yang terdapat pada otot polos di bronkiolus paru-paru. (Sharma et al,
2020) Meskipun reseptor adrenergik ada di seluruh tubuh, efek yang paling relevan secara
klinis terjadi pada otot jantung, otot polos bronkial dan uterus, dan otot rangka. Manfaat
menggunakan agonis bronkodilator yaitu untuk meredakan spasme pada otot polos dan
merupakan terapi untuk asma akut. Namun, penggunaan agonis kronis dianggap
memperburuk kontrol asma. Hal ini mungkin terjadi karena penurunan ekspresi reseptor pada
sel target, penurunan tingkat kepatuhan terhadap steroid inhalasi dan obat pengontrol lainnya,
dan kemungkinan penggunaan agonis kronik dapat memperburuk peradangan. (William et al,
2018)

Gambar. Mekanisme kerja bronkodilator (William et al, 2018)


Reseptor berpasangan G-protein mengatur berbagai protein efektor. Setiap protein G
adalah heterotrimer yang terdiri dari subunit alfa, beta, dan gamma. Di antara berbagai
bentuk, protein Gs bertindak sebagai protein yang dapat menstimulasi adenyl cylase; Gi dan
Go, sebagai protein penghambat adenyl cyclase; dan Gq dan G11 bertindak untuk
memasangkan reseptor alfa ke fosfolipase C. Dalam keadaan istirahat, protein Gs
dikomplekskan dengan guanosin difosfat. Aktivasi reseptor-reseptor oleh katekolamin atau
agonis mendorong disosiasi guanosin difosfat dari subunit alfa protein terkait. Hal ini
memungkinkan guanosine trifosfat (GTP) untuk mengikat protein G ini, dan subunit alfa
terlepas dari subunit beta. Subunit alfa yang terikat GTP dan diaktifkan bertindak untuk
mengatur aktivitas efektornya. Saat diaktifkan, konversi GDT ke GTP terjadi. GTP kemudian
dapat mengaktifkan enzim adenil siklase, serta mengaktifkan siklik guanosin monofosfat
fosfodiesterase, fosfolipase C, dan saluran ion. Adenyl cyclase menstimulasi konversi
adenosin trifosfat menjadi siklik adenosin monofosfat, yang mengaktifkan kinase protein.
Kinase memfosforilasi saluran kalsium, yang mempromosikan masuknya kalsium dan dengan
demikian mengaktifkan protein kontrasepsi, meningkatkan aksi inotropik dan kronotropik
pada otot jantung. Pada otot polos bronkial, peningkatan protein kinase dan fosforilasi
menyebabkan relaksasi otot polos bronkial karena penurunan masuknya kalsium dan
peningkatan penyerapan kalsium dalam retikulum sarkoplasma (Billington et al, 2017). Dua
reseptor adrenergik juga terdapat pada kelenjar submukosa, endotel pembuluh darah, sel
mast, dan sel darah putih yang terlibat dalam respons inflamasi, termasuk eosinofil dan
limfosit. Ini menjelaskan berbagai efek di luar bronkodilatasi yang ditunjukkan secara in
vitro. (William et al, 2018)
Mekanisme kerja bronkodilator yaitu menargetkan reseptor beta-2, yang merupakan
G-coupled receptor di saluran udara paru-paru. Ketika reseptor beta-2 diaktifkan, otot polos
jalan napas menjadi rileks. Efek utama dari inhalasi beta-2 agonis adalah bronkodilasi. Dalam
studi in vitro menunjukkan bahwa agonis beta-2 kemungkinan juga memiliki efek
nonbronchodilator, seperti mengurangi produksi dan aktivitas leukotrien dan histamin dari sel
mast, mengurangi permeabilitas mikro vaskular, menghambat fosfolipase A2, dan
meningkatkan frekuensi denyut ciliary. Efek anti-inflamasi terjadi karena antagonisme
fungsional dengan cara menghambat kontraksi otot polos, dibandingkan dengan efek anti-
inflamasi langsung. Meskipun agonis dapat mengurangi beberapa aspek peradangan, tetapi
penggunaan kronis bronkodilator agonis dapat memiliki efek pro-inflamasi, yang mungkin
menjadi salah satu alasan bahwa penggunaan agonis inhalasi kronis menyebabkan
peradangan saluran napas pada asma. Namun hal ini masih spekulatif. Selanjutnya, pasien
mengalami aliran udara yang lebih baik untuk suatu periode. Penggunaan beta-2 agonis
secara konsisten untuk waktu yang lama mengurangi kemanjurannya karena mengalami
down-regulation pada reseptor beta-2 di saluran udara. Karena itu, dosis obat yang lebih
tinggi diperlukan untuk mencapai hasil yang sama. Metabolisme bronkodilator terjadi di
saluran pencernaan oleh enzim sitokrom P-450. Sekitar 80% hingga 100% diekskresikan
dalam urin, dan kurang dari 20% diekskresikan dalam tinja. Bronkodilator kerja pendek
memiliki waktu paruh 3 hingga 6 jam, sedangkan bronkodilator kerja pendek memiliki waktu
paruh 18 hingga 24 jam. (Sharma et al, 2020)

Sumber :
Williams, D. M., & Rubin, B. K. (2018). Clinical Pharmacology of Bronchodilator
Medications. Respiratory care, 63(6), 641-654.

Billington CK, Penn RB, Hall IP. 2 agonists. Handb Exp Pharma- col 2017;237:23–40.

Sharma S, Hashmi MF, Chakraborty RK.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;


Treasure Island (FL): Jan 28, 2020. Asthma Medications.

Scotland, H. I., & BTS, S. SIGN 153: British guideline on the management of asthma. 2016

Chavasse, R., & Scott, S. (2019). The Differences in Acute Management of Asthma in Adults
and Children. Frontiers in pediatrics, 7, 64. https://doi.org/10.3389/fped.2019.00064
MEKANISME RESPON BRONKODILATOR PARSIAL PADA PPOK

Penggunaan bronkodilator sering digunakan pada pasien dengan PPOK, walaupun


responsnya bervariasi. Pasien-pasien yang menunjukkan elemen obstruksi aliran udara tetap
dan obstruksi aliran udara reversibel dengan faktor-faktor pemicu kemungkinan memiliki
sindrom tumpang tindih antara asma dengan PPOK (asthma-COPD overlap syndrome).
Kemungkinan besar pasien ini akan lebih responsif terhadap bronkodilator daripada pasien
PPOK murni. Meskipun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa 50% dari subyek
PPOK (tanpa komponen asma) menunjukkan respon bronkodilator yang signifikan pada
spirometri. (William et al, 2018) Peningkatan dosis beta 2 agonist atau antikolinergik,
khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut,
namun tidak terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan
sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan
bronkodilator dengan kerja pendek (Tashkin et al, 2008)

Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau


mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada
saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan
hiperventilasi dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap
akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat. (Beeh, 2016)

Agonis reseptor β2-adrenergik long-acting (LABA) dan antikolinergik (LAMA)


banyak digunakan secara klinis sebagai terapi untuk PPOK. Laporan klinis telah
menunjukkan bahwa LABA (salmeterol, formoterol, indacaterol, olodaterol, vilanterol) dan
LAMAs (tiotropium, glikopirronium, umlcidinium, aclidinium) berguna untuk meredakan
gejala dan meningkatkan fungsi paru-paru, serta mencegah eksaserbasi dan rawat inap.
Dinamika Ca2 + dan sensitisasi Ca2+ berkontribusi pada relaksasi otot polos jalan napas pada
bronkodilator. LABA bekerja pada situs ortosterik dan alosterik pada reseptor β2-adrenergik.
Sebaliknya, LAMA bertindak tidak hanya pada situs ortosterik pada reseptor muskarinik,
tetapi juga situs alosterik pada reseptor β2-adrenergik, yang mengarah pada peningkatan aksi
β2-adrenergik. Modulasi GPCR alosterik terlibat dalam efek sinergis antara LABA dan
LAMA. (Kume, 2016)
Bronkodilator jangka panjang menghasilkan perbaikan yang konsisten dalam fungsi
paru-paru, termasuk aliran udara (FEV-1), hiperinflasi (kapasitas inspirasi atau kapasitas
residual fungsional), kontrol gejala dispnea, kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan, olahraga kapasitas, dan pencegahan eksaserbasi. Untuk mencapai bronkodilasi,
tersedia dua kelas obat, yaitu antagonis muskarinik kerja lama (LAMA), dan β2-agonis kerja
lama (LABA). Kedua kelas agen telah terbukti efektif secara klinis, dengan profil keamanan
yang dapat diterima. Yang penting, penggunaan kombinasi dua bronkodilator dengan
mekanisme aksi yang berbeda dianggap sebagai strategi yang efektif untuk mengoptimalkan
bronkodilatasi pada PPOK, dan sekarang ada banyak bukti untuk efikasi klinis yang
ditingkatkan dari kombinasi tetap dari bronkodilator kerja lama dibandingkan monoterapi
atau kortikosteroid inhalasi (ICS) / Kombinasi LABA, khususnya yang berkaitan dengan
hasil fungsional dan gejala. (Bateman et al, 2016)

Sumber :

Williams, D. M., & Rubin, B. K. (2018). Clinical Pharmacology of Bronchodilator


Medications. Respiratory care, 63(6), 641-654.

Kume, H. (2016). Role of bronchodilators in therapy for COPD-mechanisms of LABA and


LAMA on airway smooth muscle. Nihon rinsho. Japanese journal of clinical
medicine, 74(5), 813-819.

Beeh, K. M. (2016). The role of bronchodilators in preventing exacerbations of chronic


obstructive pulmonary disease. Tuberculosis and respiratory diseases, 79(4), 241-247.

Tashkin, D. P., Celli, B., Decramer, M., Liu, D., Burkhart, D., Cassino, C., & Kesten, S.
(2008). Bronchodilator responsiveness in patients with COPD. European Respiratory
Journal, 31(4), 742-750.

Bateman ED, Ferguson GT, Barnes N, Gallagher N, Green Y, Henley M, et al. Dual
bronchodilation with QVA149 versus single bronchodilator therapy: the SHINE study. Eur
Respir J. 2013;42:1484–1494.
PATOGENESIS TB LATEN PADA PASIEN IMMUNOCOMPROMISED

Infeksi tuberkulosis laten (LTBI) adalah keadaan respon imun yang persisten terhadap
stimulasi oleh antigen Mycobacterium tuberculosis tanpa bukti TB aktif yang
dimanifestasikan secara klinis. Seseorang memiliki TB laten jika mereka terinfeksi bakteri
TB tetapi tidak memiliki tanda-tanda penyakit TB aktif dan tidak merasa sakit. Namun,
mereka dapat mengembangkan penyakit TB aktif di masa depan. (WHO, 2015)

Gambar. Infeksi M.Tuberculosis (Mack et al, 2009)


M. tuberculosis terinhalasi dalam bentuk aerosol dari droplet nucleus dan mencapai
segmen yang jauh dari cabang bronchoalveolar, terutama di lobus bawah paru-paru. M.
tuberculosis difagositosis oleh makrofag alveolar yang dalam keadaan diamnya
memunculkan sedikit resistensi, baik dalam hal efek antimikroba dan respons pro-inflamasi.
Neutrofil menumpuk lebih awal di tempat infeksi, tetapi tidak mampu membunuh M.
tuberculosis secara langsung. Neutrofil dan makrofag tidak mampu melawan melepaskan
antigen M. tuberculosis atau tumpahan utuh M. tuberculosis; keduanya dapat diambil oleh sel
dendritik alveolar yang bermigrasi ke kelenjar getah bening regional, di mana mereka
mengenalkan antigen M. tuberculosis ke major histocompatibility complex (MHC) kelas-I
untuk sel CD8 dan MHC kelas –II untuk sel T CD4. Di kelenjar getah bening, sel T CD4 dan
CD8 yang distimulasi dapat berdiferensiasi menjadi interferon (IFN) -c yang mensekresi T-
helper (Th) tipe 1 atau sel Tc1 sitotoksik, dan sel T CD8 mengakumulasikan molekul seperti
granzymes dan granulysin. Pada saat yang sama, sel B berdiferensiasi menjadi sel yang
mensekresi antibodi spesifik M. tuberculosis. Sel Th17, mensekresi interleukin (IL) -17, IL-
21 dan IL-22, sedangkan sel T regulator, mensekresi IL-10 dan mentransformasikan growth
factor-b, telah terlibat dalam kordinasi dan penyeimbang respon imun seluler. Sel efektor M.
tuberculosis spesifik ini memasuki sirkulasi darah dan mendapatkan akses ke tempat
peradangan, seperti paru-paru. Pada tahap ini, respons hipersensitivitas tipe lambat pada kulit
atau dalam darah dapat menjadi positif pada uji tuberkulin dan nekrosis intragranulomatosa
dapat terjadi. (Mack et al, 2009)
M. tuberculosis juga dapat menyebar secara bronkogenik ke bagian lain paru-paru.
Setelah transportasi ke kelenjar getah bening regional, penyebaran M. tuberculosis dapat
terjadi secara hematogen dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya. Mikroorganisme dapat
masuk ke sel epitel, fibroblas atau bahkan adiposit, atau dimakan oleh makrofag jaringan
lokal. Hal ini dapat memicu respons inflamasi yang menarik sel T dan B yang merespons
antigen. (Mack et al, 2009)
Jika sistem kekebalan tidak membunuh bakteri, makrofag dalam sistem kekebalan
memakan dan mengelilingi tuberkel basil dalam 2-8 minggu. Sel-sel membentuk cangkang
penghalang yang membuat bakteri ditekan dan terkendali, menghasilkan infeksi TB laten
(Auguste et al, 2016). Karena tidak ada aktivitas penyakit yang tampak secara klinis, tahap
infeksi ini disebut 'laten'. Mycobacteria tetap ada, tetapi dapat terjadi replikasi yang tidak
terkendali dalam kondisi gangguan imunitas seluler. Sementara penelitian sebelumnya
menemukan M. tuberculosis yang viabel di sebagian besar lesi fibrosis di bagian atas paru-
paru, penelitian lain menunjukkan bahwa hingga 50% lesi nekrotik dan 85% lesi
terkalsifikasi steril (Cardona et al, 2007). Sangat mungkin bahwa bakteri dapat mengalami
replikasi sewaktu-waktu menghasilkan persistensi jangka panjang dari M. tuberculosis, tetapi
juga mungkin bahwa bakteri dapat tetap dalam keadaan diam selama beberapa dekade. Tidak
jelas antigen mana yang diekspresikan dan disekresikan selama tahap stress-adapted
metabolism pada lesi granulomatosa atau ekstraseluler, dan bagaimana antigen ini diproses
untuk pengenalan sel-T. Respons sel T terhadap antigen yang terkait dengan M. tuberculosis
dapat mendominasi selama fase laten. (Leyten et al, 2006)
Kekebalan sel T akan menurun atau menjadi rusak karena berbagai alasan, terutama
pada imunodefisiensi yang didapat atau disebabkan oleh obat-obatan. Hal ini dapat
menyebabkan kemunculan kembali pertumbuhan mikobakteri, yang sering terlokalisasi dan
sering tampak pada lobus atas di mana pasokan oksigen dianggap mendukung replikasi ke
tempat M. tuberculosis sebelumnya yang telah bersarang setelah penyebaran hematogen.
Akibatnya, sel-T menghadapi peningkatan beban antigenik yang memicu respon imun
hiperinflamasi dengan lesi nekrotik dan kavitasi. Reaktivasi jarang ditemukan pada individu
yang imunokompeten. (Mack et al, 2009)

Mack, U., Migliori, G. B., Sester, M., Rieder, H. L., Ehlers, S., Goletti, D., ... & Arend, S. M.
(2009). LTBI: latent tuberculosis infection or lasting immune responses to M. tuberculosis? A
TBNET consensus statement. European Respiratory Journal, 33(5), 956-973.

Auguste, P., Tsertsvadze, A., Pink, J., Court, R., Seedat, F., Gurung, T., ... & Kandala, N. B.
(2016). Accurate diagnosis of latent tuberculosis in children, people who are
immunocompromised or at risk from immunosuppression and recent arrivals from countries
with a high incidence of tuberculosis: systematic review and economic evaluation.

Cardona PJ. New insights on the nature of latent tuberculosis infection and its treatment.
Inflamm Allergy Drug Targets 2007; 6: 27–39.

WHO, & World Health Organization. (2015). Guidelines on the management of latent


tuberculosis infection. World Health Organization.

Leyten EM, Lin MY, Franken KL, et al. Human T-cell responses to 25 novel antigens
encoded by genes of the dormancy regulon of Mycobacterium tuberculosis. Microbes Infect
2006; 8: 2052–2060.

Anda mungkin juga menyukai