BURST KETAMINE
Oleh :
MEDAN
2020
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan nyeri hebat pada pasien kanker tahap lanjut adalah hal yang
menantang. Meskipun opioid merupakan terapi andalan, metabolismenya perlu
dipahami. Pasien dengan penyakit komorbid dapat mempengaruhi farmakokinetik dan
farmakodinamik dari morfin .
Sembilan puluh persen morfin dimetabolisme oleh hati yang sangat signifikan pada
pemberian rute oral. Sisanya sebanyak 10% morfin akan diekskresikan dalam urin. Sekitar
70% dari morfin akan mengalami konjugasi dengan glukuronida. Ada
dua bentuk glukuronida mayor — morfin-3-glukuronida (M3G) dan morfin-6-glukuronida
(M6G). M6G dan M3G secara farmakologis lebih aktif dan poten daripada morfin. M6G dan
M3G ini memiliki efek analgesik, efek samping berupa mual dan muntah, sedasi dan risiko
depresi napas yang lebih kuat. Myoclonus dan allodynia dapat terjadi sebagai efek samping
dari M3G ketika dosis besar morfin sistemik diberikan. Glukuronida ini diekskresikan oleh
tubulus ginjal, dan akan berakumulasi pada kondisi gagal ginjal sehingga menyebabkan efek
toksik dari morfin.
Penggunaan morfin harus dengan hati-hati untuk manajemen nyeri karena kanker pada
pasien yang rentan terjadi gagal ginjal, hipoproteinemia , hiperbilirubinemia dan
anemia . Pada pasien seperti itu, opiat alternatif seperti fentanyl, hydromorphone dan
oxycodone dapat digunakan diman obat-obat ini tidak diekskresikan secara signifikan oleh
ginjal. Fungsi ginjal dan hati harus dipantau setiap terindikasi secara klinis. Dosis obat harus
disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan memastikan keselamatan pasien. (Vinod
Kumar et all, Cautious use and optimal dose of morphine for relieving malignant pain in a
complex patient with comorbidities)
Tidak ada yang namanya dosis morfin standar. Tujuan terapi morfin adalah untuk
keseimbangan yang menguntungkan antara analgesia dan efek samping. Dosis harus dititrasi
terhadap efek untuk setiap pasien, dan dosis awal harus ditentukan oleh dosis analgesik
sebelumnya. Setiap kali beralih dari opioid lemah ke opioid kuat, dosis harus dimulai dengan
dosis 10 mg setiap 4 jam. Jika pasien menderita nyeri yang sangat parah, maka dapat
langsung menggunakan analgesik yang kuat. Selama titrasi dosis, lebih dipilih menggunakan
formulasi pelepasan morfin segera karena onsetnya sangat cepat, memiliki efek definitif, dan
durasi aksi 3-4 jam yang memungkinkan kadar obat yang stabil dapat dicapai secepat
mungkin. Juga dengan menggunakan sediaan pelepasan morfin oral segera untuk kontrol
nyeri yang optimal. Pasien harus dievaluasi selama empat sampai lima waktu paruh (yaitu,
dalam 24 jam) setelah dimulainya pengobatan dan setiap penyesuaian dosis. Metode titrasi
dosis ini menghindari perlunya mengingat kenaikan yang telah ditentukan sebelumnya dan
telah terbukti aman dan efektif.
Dosis opioid yang benar adalah dosis yang secara efektif mengurangi rasa nyeri tanpa
menimbulkan efek samping yang tidak dapat diterima. Kebutuhan dosis mungkin sangat
bervariasi, tetapi beberapa pasien membutuhkan dosis yang sangat tinggi. Obat analgesik
ajuvan mencakup banyak obat dari berbagai kelas. Semua obat ini tersedia untuk indikasi
selain analgesik, tetapi dapat menjadi obat analgesik pada keadaan tertentu. Analgesik
ajuvan seperti obat antidepresan atau antikonvulsan, digunakan sendiri atau bersama dengan
analgesik konvensional, dan memiliki peran penting pada beberapa pasien. Tidak ada standar
atau dosis narkotika yang pasti dalam tatalaksana nyeri kanker. Ada variasi yang besar antar
individu. Seseorang mungkin mengalami rasa sakit bahkan pada tahap awal penyakit; ini
harus dievaluasi dan diobati dengan baik karena setiap pasien memiliki tinkat ambang nyeri
yang berbeda dan kebutuhan opioid yang berbeda pula.
Potensi relatif dari morfin melalui intravena dan subkutan adalah sama. Ketika morfin
oraldiganti menjadi morfin intravena, maka dosis morfin oral harus dibagi tiga. Jika seorang
pasien mengalami analgesia yang tidak adekuat atau menderita efek samping yang tidak
dapat ditoleransi walaupun sudah menggunakan opioid sistemik yang optimal, pemberian
spinal (epidural atau intratekal ) harus dipertimbangkan. Penggunaan opioid spinal sangat
kontroversial , tetapi secara umum dianggap bahwa rute ini harus digunakan sebagai pilihan
lini kedua dalam menangani nyeri kanker.
Laporan Kasus
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. Sarinah Jenis kelamin : wanita
ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal 1 Maret 2020
Keluhan Utama:
Teraba massa yang mengganjal di bagian perut bawah sejak satu minggu sebelum
masuk rumah sakit.
Adanya demam selama keluhan dirasakan disangkal, adanya mata dan kulit yang
menguning disangkal oleh pasien. BAK lancar, 4-5x sehari, warna kuning pekat, tidak nyeri
sebelum, selama dan setelah berkemih, tidak berpasir dan berdarah. BAB pasien mengaku
tidak lancar sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit, BAB frekuensi jarang 1x/hari dan
sulit untuk dikeluarkan, fesesnya cenderung keras, berwarna coklat dan berukuran kecil-kecil.
Riwayat BAB darah atau BAB warna hitam disangkal pasien.
Pasien mengaku keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman di perutnya sudah terjadi sejak
1 tahun sebelum masuk rumah sakit namun keluhannya tidak memburuk dan sering hilang
tanpa pengobatan. Pasien juga menyatakan bahawa berat tubuhnya menurun sebanyak 10 kg
dalam waktu 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga sering berasa lemas-lemas dan
gampang capai dalam melakukan kerja seharian. Pasien juga mengeluh nafsu makannya
menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan nyeri perut dan kembung sudah sering terjadi sejak 1 tahun sebelum masuk
rumah sakit, namun tidak memburuk dan hilang tanpa pengobatan. Hipertensi disangkal,
diabetes melitus disangkal, penyakit ginjal disangkal, serta maag disangkal, penyakit hepatitis
dan kuning-kuning di badan juga disangkal.
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami gejala yang sama seperti pasien. Tidak
ada riwayat keluarga pasien pernah menderita kanker ganas maupun jinak. Riwayat hipertensi
dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat Pengobatan
Sebelum masuk dan di rawat di rumah sakit, pasien mendapatkan obat dari dokter di
IGD yang merujuk, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat. Pasien pernah mengkonsumsi
obat warong untuk keluhan nyeri di perutnya.
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Fisik
Abd : teraba massa lunak di perut bagian bawah di regio paraumbilikal dengan ukuran 6cm x
5cm x 6cm, tidak nyeri pada penekanan. Peristaltik meningkat.
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
T : terus menerus
Status Lokalis
Regio Abdomen
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 9,8 gr/dl
Ht : 28 %
Leuko : 11.980 gr/dl
Trombo : 290.000/ul
Albumin : 2,3 (14/04/2020)
KGDS : 103 (12/04/2020)
Na/K/Cl : 139/3,5/106 (12/04/2020)
Pemeriksaan CT scan whole abdomen dari RSUP H. Adam Malik (tanggal 03 Maret 2020)
Tampak massa intraperitoneal yang menyangat heterogen pasca pemberian kontras berukuran
6 x 7 x 10 cm yang berasal dari usus halus (kemungkinan dari jejunum), tidak tampak
pembesaran kelenjar getah bening regional maupun paraaorta. Tampak feeding arteri berasal
dari arteri emsenterica superior.
Hepar bentuk dan ukuran baik. Densitas parenkim homogen. Tak tampak lesi fokal patologis.
Vena porta, vena hepatika dan sistem biliar tidak melebar. Tak tampak asites maupun efusi
pleura.
Kandung empedu bentuk dan ukuran baik, dinding tidak menebal. Tak tampak batu.
Pankreas bentuk dan ukuran baik, tak tampai lesi fokal. Duktus pankreatikus tidak melebar.
Tak tampak kalsifikasi.
Limpa bentuk dan ukuran baik, densitas homogen. Tak tampak lesi fokal. Vena lienalis tidak
melebar. Kedua ginjal bentuk dan ukuran baik, tak tampak batu, massa, maupun pelebaran
sistem pelviokalises. Kelenjar supra renal tidak membesar.
Vesika urinaria bentuk dan ukuran baik, dinding tidak menebal, tak tampak massa/batu.
Kelenjar prostat tidak tamoak kelainan.
Kesimpulan:
Deskripsi : Massa bulat hipoechoic dengan medial kalsifikasi berbatas tegas di intraintestinal
regio paraumbilikal kiri diameter 7 cm x 6 cm x 7cm, taksiran volume 136,79 ml.
RESUME
Seorang perempuan 46 tahun, datang dengan keluhan teraba massa yang mengganjal di
bagian perut bawah sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Massa teraba lonjong,
konsistensi lunak, dan tidak nyeri pada penekanan. Pasien juga mengeluh nyeri perut hilang
timbul dan rasa tidak nyaman seperti kembung di bagian perut sejak tiga minggu sebelum
masuk rumah sakit. BAB nya sulit, frekuensi jarang dan feses keras dan berukuran kecil-
kecil, berwarna. BAK lancar, mual (-), muntah (-). Pasien juga mengaku cepat berasa capai
sejak satu tahun sebelum masuk rumah sakit dan beratnya menurun. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan konjungtiva anemis dandi abdomen ditemukan pada inspeksi terdapat distensi,
pada perkusi hipertimpani dan pada palpasi massa di abdomen bawah. Pemeriksaan lab
ditemukan pasien mempunyai anemia berat dengan 3,3 g/dl, leukositosis 14,8 ribu/ul,
hematokrit menurun 13%, dan trombositosis 595ribu/ul serta peningkatan LED 90. Waktu
pembekuan, faal hati dan ginjal hasilnya dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang CT
scan dan USG ditemukan massa intra abdominal berukuran 7 cm x 6 cm x 6cm.
Massa yang mengganjal di abdomen bagian bawah, nyeri hilang timbul dan perut
kembung. Riwayat cepat capai dan penurunan berat badan yang signifikan dalam
waktu singkat, penurunan nafsu makan.
Pemeriksaan lab adanya anemia gravis dengan lekositosis, trombositosis,
hematokrit menurun dan LED meningkat tinggi.
Hasil CT scan menyatakan massa intraperitoneal yang berasal dari usus halus,
sugesti GIST. Hasil USG adalah massa di intraintestinal di para umbilikal sugesti
keganasan.
PENATALAKSANAAN
Follow up
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
S : NRS 4/ 10
T : hilang timbul
P : saat diam
Q : seperti ditusuk-tusuk
S : NRS 4/ 10
T : hilang timbu
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Pemeriksaan Radiologi
X-Foto Thorax AP/TEGAK :
Kesan : Paru/Jantung normal, Tulang dada normal
Pemeriksaan PA
02 November 2019
Makroskopis : Diterima sepotong jaringan dengan ukuran 0,7 x 0,4 x 0,2 cm, jaringan
abu-abu kehitaman, padat keras.
Mikroskopis : Tampak jaringan berbentuk papilomatik dilapisi sel-sel epitel pipih
bertatah. Subepitel stroma dengan sel-sel radang limfosit dan sel plasma.
06 Januari 2020 (Post Wide & Deep Excition)
Makroskopis : Diterima 1 buah jaringan dengan kulit dengan ukuran 10 x 10 x 2 cm,
terdapat tumor di bagian tengah tanpa tanda benang.
Mikroskopis : Sediaan jaringan dilapisi oleh epidermis yang terdiri dari proliferasi
sel-sel epitel squamous yang pleomorfik, inti atipik, kromatin kasar dan invasif
sampai lapisan dermis. Tampak juga banyak pembentukan massa keratin.
Diagnosis
Diagnosis Utama : Karsinoma Sel Skuamosa Regio Hemithorax Dextra Post
Wide & Deep Excition
Diagnosis Banding : Basal Cell Carcinoma
Follow Up Pasien di Ruangan
Hari/ Vital sign Terapi Hasil
tanggal laboratorium
P : saat diam
Q : berdenyut-denyut
R : dada
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
P : saat diam
Q : berdenyut-denyut
R : dada
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
Identitas Pasien
Nama : MA, 20 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan :
Agama : Islam
Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri di paha kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri paha kanan di alami penderita kurang lebih 2 minggu SMRS. Awalnya penderita
mengeluh ada benjolan di paha kanan sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan timbul sebesar biji
jagung kemudian semakin lama benjolan semakin membesar. Benjolan kemudian menjadi
luka dan berdarah sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat penurunan berat badan (+).
Riwayat Penyakit Dahulu :-
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada riwayat benjolan dikeluarga
Pemeriksaan Fisik
Airway Clear,S/G/C (-/-/-), SP vesikuler, ST (-), RR 22x/i, SpO2 99%
Akral H/M/K, HR: 100x/i
Sens: CM, RC +/+
UOP(+)
Abd : supel, peristaltik (+)
Ekstremitas : Oedem (-), Fr (-)
P : saat diam dan aktivitas
Q : berdenyut-denyut
R : paha kanan
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 10 Maret 2016
Hasil
Leukosit 9.900 /mm3
Eritrosit 4,94 x 106/mm3
Hemoglobin 11,3 g/dL
Hematokrit 33,5 %
Trombosit 386 x 103/mm3
GDS 196 mg/dL
PT 12,3 detik
APPT 22,6 detik
Pemeriksaan Radiologi
X-Foto Thorax AP/TEGAK :
Kesan : Paru/Jantung normal, Tulang dada normal
Diagnosis
Diagnosis Utama : Rabdomiosarkoma o/t (R) Femur
Diagnosis Banding :
Follow Up Pasien di Ruangan
Hari/ Vital sign Terapi Hasil
tanggal laboratorium
P : saat diam
Q : berdenyut-denyut
R : dada
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
P : saat diam
Q : berdenyut-denyut
R : dada
S : NRS 7-8/ 10
T : terus menerus
Hasil studi kasus ini sesuai dua penelitian lain yang mendapatkan bahwa, ketamin
ditemukan meningkatkan analgesia morfin. Ketamin adalah antagonis reseptor NMDA.
Reseptor NMDA diyakini berperan dalam terjadinya toleransi opioid. Ketamin dalam studi
terbaru dalam model uji coba tikus menunjukkan dapat mencegah hiperalgesia yang diinduksi
fentanyl dan toleransi morfin akut. Toleransi farmakologis terhadap opioid dapat berkembang
lebih awal, tetapi tidak jelas seberapa sering hal tersebut dapat menimbulkan masalah klinis
pada pasien kanker. Mungkin sulit pada pasien dalam studi ini untuk membedakan antara
toleransi dan perkembangan penyakit, yang keduanya memerlukan peningkatan dosis opioid.
Pada pasien-pasien yang diduga memiliki masalah toleransi opioid, ketamin dapat menjadi
pilihan pengobatan.
Kebanyakan laporan penelitian yang telah dipublikasi uji coba klinis. Sebanyak 32
studi seperti itu diidentifikasi. Ketamine digunakan untuk mengobati nyeri kanker yang sulit
disembuhkan, yang sering digambarkan sebagai neuropatik. ketamin. Dalam sebagian besar
kasus dapat meningkatkan analgesia opioid. Opioid yang paling umum adalah morfin, tetapi
dalam beberapa kasus ketamin diberikan sebagai bahan pembantu untuk fentanil,
hydromorphone atau diamorfin, atau kombinasi opioid ini.
Ketamine juga digunakan sebagai analgesik tunggal. Enam belas publikasi
melaporkan pengurangan secara signifikan nyeri kanker refraktori dengan ketamin, termasuk
penghentian rasa sakit total, dan pengurangan skor VAS, dan efek samping yang paling
sering dilaporkan adalah sedasi dan halusinasi. Meskipun secara umum, efek samping dalam
kebanyakan studi tidak dilaporkan sebagai efek samping yang parah atau memerlukan
penghentian. Efek samping lain yang dijelaskan termasuk nystagmus yang sedang dalam
pengobatan dengan ketamine intravena.
Studi terkontrol acak penggunaan ketamin untuk nyeri kanker yang telah dipublikasikan
dalam literatur masih terbatas jumlahnya. Sebagian besar studi adalah studi kecil atau dalam
bentuk laporan kasus. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat menggunakan ketamin oral
atau parenteral untuk nyeri kanker kronis. Sebaliknya, beberapa penelitian ini gagal
menunjukkan manfaat dari penggunaan ketamin pada kondisi ini. Studi terkontrol acak yang
lebih banyak diperlukan untuk mengevaluasi semua jenis kanker, serta manfaat dan efek
samping ketamin dalam manajemen nyeri neoplasik kronis. Efek analgesik dari ketamin dosis
rendah mungkin terjadi melalui aksinya pada reseptor yang berbeda dibandingkan ketika obat
diberikan dalam dosis tinggi. Dosis yang diberikan bervariasi secara signifikan dari satu
pasien ke pasien lainnya dengan rute pemberian melalui oral, subkutan dan intravena, yang
disebabkan karena diagnosis yang berbeda serta kelompok pasien yang berbeda yang
dimasukkan kedalam penelitian. (Shiv PS Rana et all, successful management of difficult
cancer pain patient by appropriate adjuvant and morphine titration)
Pemberian ketamin secara rutin tidak dapat direkomendasikan pada pasien dengan nyeri
neoplastik kronis. Sebagai analgesik, obat ini telah terbukti efektif pada pasien dengan rasa
nyeri hebat yang tidak lagi respon terhadap pengobatan konvensional. Ketamin oral dapat
bermanfaat pada pasien dengan nyeri yang tak terobati. Ketamin harus digunakan dengan
hati-hati, apabila pilihan terapi lain menjadi tidak efektif. Sehingga, pemberian ketamine
harus menimbang potensi resiko dan keuntungan yang didapat oleh pasien. (Armeana et all,
The role of ketamine in the treatment of chronic cancer pain)
Sebuah uji coba terkontrol secara acak oleh Harris et al . yang membandingkan rute
intravena dengan rute oral untuk titrasi dosis awal morfin pada 62 pasien dengan kanker
stadium akhir, dengan keluhan nyeri hebat, menemukan bahwa metode intravena aman,
efektif dan lebih unggul dari metode tradisional dalam memberikan pertolongan segera untuk
nyeri kanker yang hebat. Dalam sebuah penelitian multisenter, 28 pasien dengan nyeri kanker
yang diberi pengobatan sesuai dengan langkah II pedoman WHO , tidak cukup meredakan
nyeri pada pasien ini lalu diberikan morfin intravena yang pada mulanya dengan teknik
Patient-Controlled Analgesia (PCA) dalam 24 jam pertama. Dimulai dari hari kedua, pasien
diberikan morfin oral pelepasan lambat. Mereka menyimpulkan bahwa penentuan dosis
dengan PCA intravena mungkin sesuai untuk sebagian kecil pasien dengan nyeri yang
hebat.
Availability sistemik dari morfin dengan rute oral tidak bagus dan ini berkontribusi
pada onset yang kadang-kadang tidak dapat diprediksi dan variabilitas antarindividu yang
besar dalam hubungan kebutuhan dosis dan respons. Beberapa jenis nyeri tidak selalu
merespon dengan baik terhadap morfin, terutama nyeri neuropatik. Penambahan analgesik
ajuvan yang tepatdapat membuat banyak perbedaan. Namun, tidak ada alternatif lain selain
morfin yang sejauh ini menunjukkan keunggulan, yang akan membuatnya lebih disukai
sebagai opioid oral lini pertama dalam penanganan nyeri kanker. Pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal, dosis morfin oral atau parenteral harus dititrasi dengan hati-
hati untuk menghindari efek yang tidak diinginkan yang disebabkan karena overdosis morfin
sebagai akibat dari akumulasi metabolit morfin dalam tubuh.
Peran analgesik konvensional terbatas pada nyeri neuropatik. Analgesik ajuvan tertentu
seperti gabapentine dan pregabalin telah terbukti memberikan peran pasti dalam jenis nyeri
ini. Memberikan analgesia berkelanjutan merupakan aspek penting dari manajemen nyeri
kanker. Obat-obatan harus diberikan setiap saat karena pemberian dosis secara teratur
mempertahankan tingkat obat yang konstan dalam tubuh dan membantu mencegah
kekambuhan rasa sakit. Titrasi ditingkatkan dengan pemberian dosis kecil yang lebih sering,
tetapi penting untuk menggunakan dosis tambahan untuk awalnya "memuat" pasien. Titrasi
opioid harus selalu disertai dengan pemantauan skor nyeri dan sedasi serta ventilasi.
Studi terkontrol acak penggunaan ketamin untuk nyeri kanker yang telah
dipublikasikan dalam literatur masih terbatas jumlahnya. Sebagian besar studi adalah studi
kecil atau dalam bentuk laporan kasus. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat
menggunakan ketamin oral atau parenteral untuk nyeri kanker kronis. Sebaliknya, beberapa
penelitian ini gagal menunjukkan manfaat dari penggunaan ketamin pada kondisi ini. Studi
terkontrol acak yang lebih banyak diperlukan untuk mengevaluasi semua jenis kanker, serta
manfaat dan efek samping ketamin dalam manajemen nyeri neoplasik kronis. Efek analgesik
dari ketamin dosis rendah mungkin terjadi melalui aksinya pada reseptor yang berbeda
dibandingkan ketika obat diberikan dalam dosis tinggi. Dosis yang diberikan bervariasi
secara signifikan dari satu pasien ke pasien lainnya dengan rute pemberian melalui oral,
subkutan dan intravena, yang disebabkan karena diagnosis yang berbeda serta kelompok
pasien yang berbeda yang dimasukkan kedalam penelitian. (Shiv PS Rana et all, successful
management of difficult cancer pain patient by appropriate adjuvant and morphine titration)
KESIMPULAN
Pemberian ketamin secara rutin tidak dapat direkomendasikan pada pasien dengan nyeri
neoplastik kronis. Sebagai analgesik, obat ini telah terbukti efektif pada pasien dengan rasa
nyeri hebat yang tidak lagi respon terhadap pengobatan konvensional. Ketamin oral dapat
bermanfaat pada pasien dengan nyeri yang tak terobati. Ketamin harus digunakan dengan
hati-hati, apabila pilihan terapi lain menjadi tidak efektif. Sehingga, pemberian ketamine
harus menimbang potensi resiko dan keuntungan yang didapat oleh pasien
DAFTAR PUSTAKA