Anda di halaman 1dari 6

Studi Kasus Bordetella ….(Kambang dkk.

Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian Luar Biasa


di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang Dideteksi dengan PCR
Kambang Sariadji*, Aulia Rizki, Sunarno, Nelly P, Faika R, Fauzul Muna,
Khariri, Bambang H, Rudi HP.
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes RI
Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta 10560
*Email: kambang_sar@yahoo.com

Abstract

Bordetella pertussis, negative gram bacteria is a pathogen bacteria that infect the upper respiratory tract and
highly contagious with rod-shaped cocci. These organisms produce toxins that damage the respiratory epithelium
and systemic effects with syndrome consisting of spasmodic and paroxysmal cough with wheezing tone as
patients struggled to breath. National Basic Health Research data 2013 showed the coverage of complete basic
immunization in Indonesia was 59.2%. Furthermore in Central Kalimantan province reported 42% of complete
basic immunization coverage. The impact of low immunization could be the appearance of disease which can
be prevented by immunization (PD3I), example pertussis. The aims of study to detect the etiology of suspected
pertussis case of a girl 11 years old in Kuala Kapuas, Kapuas, Central Kalimantan by polymerase chain reaction
(PCR) methode with primer pair (BP1 and BP2) with a spesific target gene (IS481). The nasopharingeal swabs
were collected by amies transport medium. We concluded that the suspected case was infected of Bordetella
pertussis.

Keywords : Bordetella pertussis, , PCR, Outbreak

Abstrak
Bordetella pertussis, bakteri gram negatif merupakan bakteri patogen yang menyerang saluran pernapasan dan
sangat mudah menular, berbentuk batang kokus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel
saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk spasmodik dan
paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas. Data Riskesdas 2013
menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia 59,2%, sedangkan di provinsi Kalimantan Tengah
42,0%. Dampak rendahnya cakupan imunisasi dasar lengkap menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) salah satunya pertusis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeteksi penyebab penyakit pertussis yang terjadi pada seorang anak perempuan umur 11 tahun di Kuala
Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) .
Pengambilan spesimen berupa swab nasofaring menggunakan medium transport amies. Hasil PCR
menggunakan sepasang primer (BP1 dan BP2) dengan target gen IS481 menyimpulkan bahwa kasus positif
terinfeksi Bordetella pertussis.

Kata kunci : Bordetella pertussis, PCR, Kejadian Luar Biasa

Pendahuluan yang khas. Serangan batuk seringkali


diikuti oleh muntah dan dapat berlangsung
Bordetella pertussis adalah bakteri
berbulan-bulan. Organisme ini dapat
gram negatif berbentuk batang kokus dan
menyerang segala usia, tetapi jika bayi
patogen yang menyerang saluran
yang terkena akan berakibat serius.1,2,3
pernapasan dan sangat mudah menular.
Manusia sampai saat ini adalah satu-
Organisme ini menghasilkan toksin yang
satunya pejamu bakteri pertusis dan
merusak epitel saluran pernapasan dan
penularannya melalui udara dan kontak
memberikan efek sistemik berupa sindrom
langsung dengan droplet penderita selama
yang terdiri dari batuk spasmodik dan
batuk. Pertusis salah satu penyakit paling
paroksismal disertai mengi karena pasien
menular yang dapat menimbulkan attack
berupaya keras untuk menarik napas,
rate sebesar 80-100% pada penduduk
sehingga pada akhir batuk disertai bunyi
yang rentan. Penyakit ini pertama kali
Diterima: 5 Januari 2016 Diperiksa: 17 Januari 2016 Disetujui : 28 April 2016 51
dikenal pada abad pertengahan (tahun akan dampak timbulnya penyakit yang
1640) oleh Guillaume de Baillou. Pada dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
tahun 1906 Bordet dan Gengou berhasil Pada kelompok masyarakat yang tidak
mengisolasi B. pertussis dan melaporkan diimunisasi, khususnya dengan kondisi
bahwa B. pertussis sebagai etiologi kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran
penyebab penyakit pertusis.1,2,3 pencernaan dan pernapasan, pertusis dapat
Penyakit pertusis merupakan salah satu menjadi penyakit yang mematikan pada
penyakit yang dapat dicegah dengan bayi dan anak-anak. Angka kesakitan
imunisasi (PD3I).1 Pada masa sebelum sedikit lebih tinggi pada perempuan
vaksinasi, pertusis menyerang anak dewasa dibandingkan laki – laki dewasa.1
prasekolah, dan kurang dari 10% kasus Pada kasus pertusis yang terjadi pada
terjadi pada bayi usia kurang 1 tahun.
seorang anak perempuan umur 11 tahun di
Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas,
1940), kejadian pertusis menurun drastis, Kalimantan Tengah, mempunyai gejala
dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 klinis yang timbul sejak 5 Februari 2015
kasus pada tahun 1976. Sejak itu, meliputi batuk, disertai pengeluaran
imunisasi pertusis dianggap memiliki lendir, dan tarikan napas, muntah, badan
kemampuan perlindungan seumur hidup, panas, pusing, sakit tenggorok. Status
sehingga tidak diperlukan vaksin pertusis imunisasi pasien tidak diketahui dan pasien
untuk usia ≥ 7 tahun.4 Pertusis di Amerika telah diberikan antibiotik selama lebih dari
Serikat menunjukkan 80% kematian terjadi 15 hari, namun tidak ada perbaikan. Pada
pada anak berumur kurang dari 1 tahun, tanggal 27 Februari 2015 dilakukan
dan 70% terjadi pada anak berumur kurang pengambilan spesimen berupa satu swab
dari 6 bulan. Case Fatality Rate (CFR)
nasofaring dan satu swab tenggorok oleh
kurang dari 1% pada bayi di bawah 6 petugas dinas kesehatan setempat. Petugas
bulan. Kejadian luar biasa pertusis terjadi dinas kesehatan setempat melakukan
pada tahun 1996 di Massachusett sebanyak penyelidikan epidemiologi dengan hasil
210 kasus dengan 67% kasus berusia 10-19 menunjukkan ke arah suspek batuk
tahun. Pada tahun 2002–2003 di Wisconsin pertusis.8
ditemukan kasus wabah pertusis sebanyak
313 kasus pertusis dengan 70% berusia 10- Diagnosis laboratorium pertusis yang
19 tahun.1,4 . Pada tahun 2006 di India juga saat ini dilakukan adalah dengan metode
melaporkan ada 22.616 kasus pertusis, kultur sebagai standar baku, namun metode
umumnya adalah anak - anak .5 Kasus kultur memerlukan waktu yang cukup
pertusis di Indonesia juga pernah lama yakni 7 – 10 hari, dan memerlukan
dilaporkan pada tahun 2012, yakni kasus ketersediaan media kultur yang khusus.
bayi usia 5 bulan di daerah Papua dengan Metode kultur mempunyai spesifitas yang
cakupan imunisasi yang rendah .6 tinggi namun kurang sensitif dibandingkan
Data Riskesdas 2013 menunjukkan dengan pemeriksaan Polymerase chain
data cakupan imunisasi dasar lengkap reaction (PCR). Metode PCR merupakan
Indonesia adalah 59,2 %, sementara pilihan alternatif sebagai metode
cakupan imunisasi dasar lengkap di diagnostik laboratorium. Polymerase chain
Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan reaction mempunyai sensitifitas lebih baik
angka 42,0%.7 Rendahnya cakupan serta waktu pengerjaan yang cukup cepat
imunisasi ini menimbulkan kekhawatiran (2-4 jam) dibanding dengan pemeriksaan

52 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.1.2016: 51-56


Studi Kasus Bordetella ….(Kambang dkk.)

kultur untuk mendeteksi B. pertussis, sampel dan kontrol negatif di tabung


terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk masing – masing. Hal ini dilakukan untuk
dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. menghindari kontaminasi pemeriksaan.
Pemeriksaan PCR didasarkan adanya Kondisi PCR dalam mesin thermalcycler
temuan DNA Bordetella pertussis. Hasil C1000 (Biored) adalah sebagai berikut:
pemeriksaan PCR dapat diketahui dengan Initial 95oC selama 5 menit , Denaturation
segera dan cepat. Pemeriksaan PCR tidak 95oC selama 30 detik 30 cycle, Annealing
seperti kultur yang memerlukan bakteri 55oC selama 30 detik 30 cycle dan
hidup.9 Penelitian ini dilakukan untuk Extention 72oC selama 60 detik sebanyak
mengetahui secara pasti penyebab penyakit 30 cycle. Kemudian dilanjutkan dengan
batuk yang diderita kasus menggunakan final Extention 72oC selama 10 menit.
metode polymerase chain reaction (PCR). Produk PCR disparasi dengan
elektroforesis (Biored) pada Gel Agarose
Metode
2% yang diwarnai Gelred (Biored) 5 ul
Sampel swab tenggorok dan swab
dalam 100 ml TBE buffer (Invitrogen) 1X
nasofaring diambil oleh petugas kesehatan
dengan voltase 150 volt selama 30 menit.
setempat menggunakan medium amies
dengan swab kapas yang terbuat dari Hasil
tangkai poliester, kemudian dikirim ke Hasil pemeriksaan pertusis metode
Laboratorium Bakteriologi Pusat Biomedis PCR berupa hasil elektroforesis dapat
dan Teknologi Dasar Kesehatan, dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1
Balitbangkes Kemenkes RI, dan diterima terlihat garis/pita sampel NS dari target
pada tanggal 4 Maret 2015. Spesimen di- IS481 yang menunjukan sampel positif
periksa dengan metode Polymerase Chain Bordetella pertussis, sebagaimana tampak
Reaction (PCR) menggunakan sepasang juga pada kontrol positif, sebaliknya pada
primer (BP1 dan BP2) dengan target: kontrol negatif tidak tampak pita.
IS481 gene dengan urutan sekuens: BP1
(5′GATTCAATAGGTTGTATGCATGGT Pembahasan
T-3′) dan sekuens BP2 (5′-AATTGCTG Cakupan imunisasi dasar lengkap yang
GACCATTTCGAGTCGACG-3′).9-12. Kon rendah yakni 42,0 % (data Riskesdas
trol negatif dan Kontrol positif dari strain 2013) di Kalimantan Tengah memung-
kontrol ATCC Bordetella pertussis 9344 kinkan kasus penyakit yang dapat dicegah
digunakan sebagai validasi hasil. Ekstraksi dengan imunisasi (PD3I) akan sering
DNA menggunakan Qiamp DNA Mini Kit timbul. Kasus pertusis yang menyerang
(Qiagen) mengikuti prosedur yang kalangan bayi akan berdampak serius. Bayi
dikeluarkan pabrik pembuatnya. Langkah menjadi biru atau berhenti bernapas ketika
selanjutnya dilakukan dengan PCR dengan serangan batuk dan biasanya perlu dibawa
konsentrasi dan komposisi PCR untuk satu ke rumah sakit, seperti halnya kasus
kali reaksi meliputi penambahan master pertusis yang terjadi di Papua.6 Anak yang
mix 12,5 ul, Forward primer (BP1) 1,25 ul, lebih besar dan orang dewasa yang terkena
Reverse primer (BP2) 1,25 ul, dan pertusis menderita penyakit yang kurang
Molecular Water 5 ul, kemudian ditam- serius, dengan serangan batuk yang
bahkan DNA sampel sebanyak 5 ul,
sehingga total volume adalah 25 ul.
Penambahan kontrol positif pada tabung
kontrol dilakukan setelah penambahan

Diterima: 5 Januari 2016 Diperiksa: 17 Januari 2016 Disetujui : 28 April 2016 53


1
1

M NS TS KP KN

Gambar 1. Hasil Pembacaan Elektroforesis

Keterangan :
M : Marker 100 bp DNA Ladder
KP : Kontrol Positif
KN : Kontrol Negatif
NS : Nasopharing Swab Sampel
TS : Throat Swab Sampel

1. B. Pertussis IS481 Positif Target Gene

berlanjut selama berminggu-minggu tanpa tenggorok dilakukan setelah 22 hari


memperhatikan perawatan, namun setelah onset timbulnya batuk. Apabila
berdampak menjadi sumber penularan ke sampel tersebut dilakukan pemeriksaan
orang lain serta lingkungan sekitarnya. kultur, kemungkinan hasil kultur
1,6,13
menunjukkan hasil negatif. Hal ini
Pada pemeriksaan PCR terhadap kasus dikarenakan pengaruh pemberian
pertusis menunjukkan hasil positif antibiotik yang dilakukan. Sebagai
Bordetella pertussis dari spesimen swab alternatif metode pemeriksaan dalam
nasofaring yang diambil setelah sebulan mendeteksi infeksi Bordetella pertussis,
timbulnya gejala batuk. Hal ini maka dilakukan dengan PCR. Sampel
dimungkinkan karena diawal gejala untuk pemeriksaan PCR yang terbaik bisa
dianggap sebagai batuk biasa. Diagnosis mencapai sebulan setelah onset batuk.
infeksi Bordetella pertussis dapat Selain itu pada pemeriksaan PCR tidak
dilakukan dengan pemeriksaan kultur, perlu bakteri hidup. 13,14
namun pemeriksaan kultur yang terbaik Pemeriksaan sampel terhadap kasus
adalah 2 minggu setelah onset timbulnya pertusis yang direkomendasikan oleh
batuk. Sementara pengambilan sampel World Health Organization (WHO) tahun
berupa swab nasofaring dan swab 2014 adalah sampel aspirate hidung

54 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.1.2016: 51-56


Studi Kasus Bordetella ….(Kambang dkk.)

(nasopharingeal aspirate) dan swab pemeriksaan PCR berlangsung. Rujukan


hidung (nasopharingeal swab)13,14. Namun lainnya melaporkan penggunakan medium
pada kasus ini swab tenggorok diambil transpor stuart untuk pemeriksaan PCR
juga. Hal ini terjadi dikarenakan pertusis dapat dilakukan tanpa adanya
11
kurangnya informasi tentang tata laksana hambatan ketika ekstraksi .
pengambilan spesimen pertusis di daerah. Pengumpulan spesimen yang direkomen-
Penggunaan medium amies sebagai dasikan untuk pemeriksaan PCR pada
medium transport untuk pemeriksaan kasus pertusis adalah dengan menampung
kultur yang diperkenankan < 24 - 48 jam, aspirasi nasopharing dalam saline atau
sehingga spesimen yang telah diambil pengambilan nasopharing swab harus
harus segera dikirim ke laboratorium.13 menggunakan swab yang terbuat dari
Inokulasi ke media spesifik untuk kultur poliester, rayon atau nylon floked swab.
pertusis lebih baik dilakukan langsung Penggunaan calcium alginate swab tidak
setelah pengambilan spesimen untuk direkomendasikan karena akan mengham-
menghindari hasil negatif palsu. bat proses PCR. Alternatif lainnya untuk
Pemeriksaan kultur sebagai standar baku pemeriksaan PCR, swab bisa langsung
mempunyai spesifitas 100% dan dimasukkan ke dalam paket tabung steril
mempunyai sensitifitas yang rendah tanpa medium transpor. 10,13,14
dibandingkan PCR yakni 50–70% dengan
waktu pemeriksaan 7–10 hari.12 - 14 Hasil Kesimpulan
kultur negatif tidak menyingkirkan dugaan
Pemeriksaan spesimen yang berasal
infeksi pertusis. Metode PCR menjadi
dari swab nasofaring dengan medium
alternatif pilihan diagnosis infeksi pertusis
transpor amies dengan metode PCR dapat
apabila ada keterbatasan sarana dan
menunjukkan hasil positif infeksi
prasarana laboratorium untuk melakukan
Bordetella pertussis.
kultur, serta jauhnya laboratorium rujukan.
Metode PCR tidak memerlukan bakteri Saran
hidup dalam spesimen dengan sensitifitas
80 – 90 % dengan spesifitas 98%.14 Pemeriksaan laboratorium dengan
Salah satu rujukan menyatakan bahwa metode PCR merupakan metode diagnosis
penggunaan medium amies komersial yang dapat digunakan pada kasus pertusis
untuk pemeriksaan PCR tidak direkomen- dengan lokasi kejadian yang jauh dari
dasikan, karena medium agar yang laboratorium
terkandung di dalamnya akan menghambat
proses pemeriksaan PCR, khususnya Ucapan Terima Kasih
ketika perlakuan ekstraksi.15 Namun hasil Penulis mengucapkan terima kasih
pemeriksaan PCR pada kasus ini yang kepada Kepala Pusat Biomedis dan
menggunakan spesimen dengan medium Teknologi Dasar Kesehatan, Badan
transpor amies menunjukkan hasil positif Litbangkes, Kemenkes RI yang telah
Bordetella pertussis. Hal ini kemungkinan membantu dalam mendukung dan
disebabkan medium amies tidak memfasilitasi dalam pemeriksaan laborato-
sepenuhnya menghambat pemerik-saan rium kasus KLB pertusis. Ucapan terima
PCR, akan tetapi hanya menurunkan kasih juga ditujukan kepada seksi
sesnsitifitasnya saja. Kemungkinan lainnya Surveilans Dinas Kesehatan Provinsi
adalah jumlah sel bakteri Bordetella Kalimantan Tengah dan kawan–kawan
pertussis pada medium amies cukup Laboratorium Bakteriologi Pusat Biomedis
banyak, sehingga pada pemeriksaan PCR dan Teknologi Dasar Kesehatan yang telah
masih dapat terdeteksi. Analisis lebih membantu selama proses penanganan
lanjut perlu dilakukan untuk menerangkan spesimen
mengapa tidak ada hambatan ketika proses

Diterima: 5 Januari 2016 Diperiksa: 17 Januari 2016 Disetujui : 28 April 2016 55


Daftar Rujukan 10. Fathima S, Ferrato C, Bonita E L, Simmonds
K, Lin Yan, Mukhi S, et al. Bordetella
1. Kandun I N. Manual Pemberantasan Penyakit pertussis in sporadic and outbreak settings in
Menular. Dirjen P2PL Departemen Alberta, Canada, July 2004 –December 2012.
Kesehatan. Jakarta; 2000. BMC Infectious Diseases 2014; 14:48
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 11. Vestrheim DF, Steinbakk M, Bjørnstad ML,
Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Moghaddam A, Nils Reinton, Mette L. D et
Binarupa Aksara. 1993. al. Recovery of Bordetella pertussis from
3. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical PCR-positive nasopharyngeal samples is
Microbiology. Ed 23. Penerbit Buku dependent on bacterial load. JCM . 2012;
Kedokteran. Jakarta; 2007. 50.(12). 4114-4115.
4. Centers for Disease Control and Prevention. 12. Dragsted DM, Dohn B, Madsen J, Jensen J
Guidelines for the Control of Pertussis S. Comparison of culture and PCR for
Outbreaks. Atlanta, GA: Centers for Disease detection of Bordetella pertussis and
Control and Prevention; 2000. Pediatr Infect Bordetella parapertussis under routine
Dis J. 2005;24(6 suppl):S109–S116 laboratory conditions. Journal of Medical
5. A J Chitkara, Kukreja S, Shah RC. Pertussis Microbiology. 2004; 53. 749–54
and diphtheria immunization. Indian 13. Lingappa J R, Lawrence W, West S, Keefe,
Pediatrics. 2008; 45: 723. Gautom R, Cookson B T. Diagnosis of
6. Poerwanto IA. Case Report: A Papuan infant community-acquired pertussis infection:
with severe pertussis from the low coverage comparison of both culture and fluorescent-
of immunization. Med Hosp. 2012; 1 (1) : antibody assays with PCR detection using
60 electrophoresis or dot blot hybridization.
7. Balitbangkes Kemenkes RI. Riset kesehatan Journal Clinical Microbiology.2002; 40.(8).
dasar masyarakat 2013 2908–12.
8. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan 14. World Health Organization. Laboratory
Tengah. Laporan Penyelidikan Epidemiologi manual for diagnosis of whooping caugh
KLB pertussis di Kuala Kapuas, Kabupaten caused by Bordetella pertussis, Bordetella
Kapuas, Kalimantan Tengah. 2015. parapertussis, 2014. Geneva.
9. California Department of Public Health. 15. Gibb AP, Wong S. Inhibition of PCR by
Pertussis: Laboratory Testing.. 2011. Agar from bacteriological transport
media.Journal of Clinical
Microbiology.1998; 36.(.1).. 275–76

56 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.1.2016: 51-56

Anda mungkin juga menyukai