(Case Report)
Disusun oleh :
dr. Gracia Gayetri
dr. Puji Lestari
dr. Denara Eka Safitri
Pembimbing :
dr. Nurwan Saputra, Sp.PD.
dr. Toman Ria Sitorus
2020
KATA PENGANTAR
Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Febris e.c Demam Berdarah Dengue Derajat II” tepat pada waktunya. Adapun
tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu tugas dalam
melaksanakan program internsip dokter di Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurwan Saputra, Sp.PD dan
dr. Toman Ria Sitorus yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing kami
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Kami menyadari banyak sekali
kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami,
tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.
Penulis
2
ABSTRAK
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan gambaran klinis demam, ruam, nyeri otot, nyeri sendi, diathesis hemoragik
yang disertai leukopenia, limfadenopati dan trombositopenia. Pada DBD, terjadi perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi yaitu peningkatan hematokrit atau
penumpukan cairan di rongga tubuh.
Virus dengue ditemukan di daerah tropik dan subtropik kebanyakan di wilayah
perkotaan dan pinggiran kota di dunia ini. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah
satu penyakit yang disebabkan oleh nyamuk spesies Aedes aegypti sebagai vektor primer.
Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan spectrum luas, berkisar dari
demam biasa sampai penyakit perdarahan yang serius. Pada area endemik, infeksi dengue memiliki
gejala klinis yang tidak spesifik.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya semaikin meningkat dan penyebarannya
semakin meluas. Berdasarkan data internal pencegahan dan pengendalian penyakit (P2P),
Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak 68.407 dengan jumlah kasus
yang meninggal sebanyak 493 orang. Golongan terbanyak yang mengalami DBD di
Indonesia pada usia 5-14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15-44 tahun mencapai
33,25%. Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue di dunia
antara tahun 2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan
kasus DBD terbesar diantara 30 negara wilayah endemis.
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian lebih besar
dibanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta
kejadian infeksi dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung
dari aktifitas epidemiknya. Sebagai dokter umum diperlukan untuk diagnosis awal dan
tatalaksana serta edukasi yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi dan mengurangi angka
terjadinya demam berdarah dengue.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
4. Pemeriksaan Spesifik
a. Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam, tidak mudah
dicabut, alopesia tidak ada
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+) normal, pupil bulat isokor
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-), JVP 5-2 cm, KGB tidak teraba pembesaran
7
b. Thoraks
Paru
Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri,
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung atas ICS II.
Batas jantung kanan linea parasternalis ICS IV kanan
Batas jantung kiri linea midclavicularis ICS V kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-).
c. Abdomen
Inspeksi : Datar, skar (-), venektasi (-), caput meducae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, hepar dan
lien tidak teraba.
Perkusi : timpani pada seluruh abdomen.
d. Ekstremitas
Ekstremitas : deformitas (-), akral hangat (+), ptekie (+) akral pucat (-),
CRT < 2”.
8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
03/07/2020
Hematologi
Leukosit 4.800 4400 -11300 /uL
Eritrosit 5.2 4,3-5,9 juta/uL
Hemoglobin 15.4 13,5 - 17,5 gr%
Hematokrit 46 40- 52 gr%
MCV 88 80-100
MCH 30 26-34
MCHC 33 32-36
Trombosit 9.000 150.000 – 450.000 /uL
Differential
Count
Eusinofil 0 1- 3 %
Basofil 0 0- 1%
Neutrofil Batang 2 2- 6%
Neutrofil Segmen 58 40 - 70 %
Limfosit 32 30- 40 %
Monosit 8 2 -10 %
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 140 70-180 mg%
9
2.5 Diagnosis Banding
• Chikungunya
• Demam Dengue
2.6 Diagnosis
Febris H-5 e.c Susp. Demam Berdarah Dengue Derajat II
2.7 Tatalaksana
• IVFD RL 500cc/8 jam
• Paracetamol tab 3x500mg
• Inj. Asam traneksamat 500mg/12 jam iv
• Inj. Omeprazole 40mg/12 jam iv
• DL/hari
• Awasi tanda vital, keadaan umum, tanda syok & perdarahan
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
10
2.8 Follow up
TANGGAL ASSESMENT TATALAKSANA
3 Juli 2020 S : demam naik turun, mual, gusi berdarah, BAB - IVFD RL 500cc/6 jam
hitam, nyeri ulu hati - Inj. Asam traneksamat 500mg/8 jam
O : KU tampak sakit sedang Kesadaran compos mentis - Inj. Omeprazole 40mg/24 jam
TD 110/70 mmHg, HR 60x/menit, RR 20x/menit, - Paracetamol 3x500mg
SPO2 98%, T 36,6⁰C - Sucralfat syrup 3x1C
Thorax SNV +/+ BJ I II regular - Tranfusi TC 1 unit
Abdomen NT (+) - DL/12 jam
Ekstremitas Petechiae ++/-- Rencana Pemeriksaan
Lab 03/07/2020 19.31 WIB - Cek IgG IgM
Hematologi Hasil Nilai rujukan - Faal hemostastis (tidak mampu
Leukosit 8300 4400-11300/uL laksana)
Eritrosit 5.2 4.3-5.9 juta/uL - Awasi tanda vital, keadaan umum,
Hemoglobin 15.2 13.5-17.5 gr% tanda syok & perdarahan
Hematokrit 46 40-52 gr%
Trombosit 8000 150000-450000 ribu/uL
11
TANGGAL ASSESMENT TATALAKSANA
4 Juli 2020 S : Demam naik turun, gusi berdarah, nyeri ulu hati - IVFD RL 500cc/6 jam
O : KU tampak sakit sedang Kesadaran compos mentis - Inj. Asam traneksamat 500mg/8jam
TD 110/70 mmHg, HR 70x/menit, RR 20x/menit, - Inj. Omeprazole 40mg/24 jam
SPO2 97%, T 36,5⁰C - Paracetamol 3x500mg
Thorax SNV +/+ BJ I II regular - Sucralfat syrup 3x1C
Abdomen NT (+) - Tranfusi TC 2 unit
Ekstremitas Petechiae --/+- - DL/12 jam
Lab 04/07/2020 05.37 WIB - Awasi tanda vital, keadaan umum,
Hematologi Hasil Nilai rujukan tanda syok & perdarahan
Leukosit 9490 4400-11300/uL
Eritrosit 5.0 4.3-5.9 juta/uL
Hemoglobin 14.7 13.5-17.5 gr%
Hematokrit 41 40-52 gr%
Trombosit 5000 150000-450000 ribu/uL
Imunoserologi Hasil
Dengue IgG Positif
Dengue IgM Negatif
12
TANGGAL ASSESMENT TATALAKSANA
5 Juli 2020 S : kel (-) - Acc rawat jalan
O : KU tampak sakit sedang Kesadaran compos mentis - Paracetamol 3x500mg
TD 110/70 mmHg, HR 60x/menit, RR 20x/menit, - Omeprazole 2x20mg
SPO2 98%, T 36,6⁰C - Sucralfat syrup 3x1C
Lab 04/07/2020 17.42 WIB
Hematologi Hasil Nilai rujukan
Leukosit 10100 4400-11300/uL
Eritrosit 4.9 4.3-5.9 juta/uL
Hemoglobin 14.3 13.5-17.5 gr%
Hematokrit 42 40-52 gr%
Trombosit 33000 150000-450000 ribu/uL
A : DHF grade II
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue. Menurut World Health Organization (WHO),
demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan
nyamuk Aedes yang terinfeksi salah satu dari empat tipe virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada demam berdarah
dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
2. Epidemiologi
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382
(77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009
tidak ada laporan kasus DBD. Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak
68.407 dengan jumlah kasus yang meninggal sebanyak 493 orang dan Insidence Rate (IR)
sebesar 26,12 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan tahun 2016 dengan kasus
sebanyak 204.171 serta Insidence Rate (IR) 78,85 per 100.000 penduduk terjadi penurunan
kasus pada tahun 2017.
Penurunan angka kesakitan DBD pada tahun 2017 juga diiringi oleh penurunan
jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD. Pada tahun 2016 terdapat 463 kabupaten/kota
(90,08%) menjadi 433 kabupaten/kota (84,24%) pada tahun 2017. Golongan terbanyak yang
mengalami DBD di Indonesia pada usia 5-14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15-44 tahun
mencapai 33,25%.
14
3. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue, yang termasuk dalam genus Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x10. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese Encephalitis, dan West Nile virus.
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup
tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang
hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kaliseumur
hidupnya.
4. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue dapat terjadi tanpa disertai adanya gejala
(asimtomatik), namun
dapat pula menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (sindroma viral), demam
dengue (DD),
ataupun demam berdarah berdarah dengue (DBD) termasuk sindroma syok dengue
(SSD).
Infeksi yang terjadi oleh satu serotipe dengue dapat memberikan imunitas
seumur hidup
terhadap serotipe tersebut, namun imunitas silang terhadap serotipe lainnya
hanya
berlangsung dalam jangka yang singkat. Manifestasi klinis yang terjadi
bergantung dari strain
virus dan faktor penjamu seperti usia, status imunitas, dll.
15
Demam yang tidak terdiferensiasi
Demam yang tidak terdiferensiasi merupakan demam pada bayi, anak-anak maupun
dewasa yang disebabkan oleh infeksi virus dengue, khususnya bila infeksi adalah yang
pertama kali terjadi (infeksi dengue primer) dimana demam ini tidak dapat dibedakan dengan
demam akibat infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat muncul menyertai demam
ataupun pada saat demam berangsur normal. Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala
yang melibatkan sistem gastrointestinal.
Demam dengue
Demam dengue adalah demam yang paling sering dijumpai pada kelompok usia anakanak,
remaja dan dewasa. Secara umum demam dengue merupakan suatu kondisi demam
akut, yang kadang-kadang memiliki pola bifasik dan disertai sakit kepala hebat, mialgia,
athralgia, ruam di kulit, leukopenia dan trombositopenia. Meskipun sebenarnya demam
dengue merupakan suatu kondisi yang tidak berbahaya, namun hal ini dapat menyebabkan
penderita tidak dapat beraktivitas akibat sakit kepala yang hebat, nyeri otot, persendian dan
tulang (break-bone fever), khususnya pada orang dewasa. Kadang-kadang muncul perdarahan
yang tidak khas seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenore, serta epistaksis masif. Pada
daerah yang mengalami epidemis demam dengue, penularan demam dengue jarang terjadi
antara sesama penduduk lokal.
Merupakan suatu manifestasi yang tidak biasa yang semakin sering dilaporkan pada
kasus demam berdarah dengue maupun demam dengue dimana terdapat keterlibatan
organorgan seperti hati, ginjal, otak dan jantung yang memiliki kaitan dengan infeksi dengue,
namun tidak terdapat bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
koinfeksi, komorbiditas, ataupun komplikasi dari syok yang berkepanjangan. Studi yang
lebih mendalam perlu dilakukan untuk kasus ini. Kebanyakan pasien demam berdarah dengue
yang mengalami manifestasi yang tidaklazim ini disebabkan oleh syok berkepanjangan yang
disertai gagal organ ataupun pasienpasien dengan komorbid ataupun koinfeksi
5. Gejala Klinis
Ciri khas demam berdarah dengue (DBD) ditandai dengan demam tinggi, fenomena
perdarahan, hepatomegali, dan sering pula gangguan sirkulasi serta syok. Trombositopenia
sedang hingga berat bersamaan dengan hemokonsentrasi/peningkatan hematokrit merupakan
temuan laboratorium yang sering dan khas. Perubahan patofisiologi utama yang menentukan
keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue dan demam berdarah akibat virus
lainnya adalah adanya gangguan hemostasis dan kebocoran plasma yang elektif dalam rongga
pleura abdomen.
17
Perjalanan klinis DBD diawali dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai
kemerahan pada wajah serta gejala lain yang khas pada demam dengue, seperti anoreksia,
muntah, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi. Beberapa pasien DBD mengeluh sakit
tenggorokan yang sejalan dengan ditemukannya injeksi faringeal pada pemeriksaan. Rasa
tidak nyaman di epigastrium, nyeri pada area sub-kosta kanan, nyeri pada seluruh area
abdomen. Suhu biasanya tinggi dan berlanjut selama 2-7 hari sebelum kembali ke suhu
normal atau dibawah normal. Kadang-kadang suhu bisa mencapai 40 ° C, dan kejang demam
dapat pula terjadi. Pola demam bifasik dapat diamati.
Hepar biasanya teraba diawal fase demam, bervariasi mulai dari 2-4 cm di bawah
margin kosta kanan. Ukuran hepar tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit, tetapi
hepatomegali merupakan tanda yang lebih sering muncul pada kasus syok. Nyeri pada hepar
dapat muncul namun jaundice tidak selalu dijumpai. Perlu diketahui bahwa temuan
hepatomegali sangat bergantung pada pemeriksa. Splenomegali dapat terjadi pada
pemeriksaan bayi dibawah dua belas bulan dan dengan pemeriksaan radiologi. Foto X-ray
lateral dekubitus dada dapat menunjukkan efusi pleura, terutama disisi kanan, merupakan
temuan yang sering dijumpai. Tingkat efusi pleura berkorelasi positif dengan tingkat
keparahan penyakit. USG dapat digunakan untuk mendeteksi efusi pleura dan asites. Edema
kandung empedu sering ditemukan sebelum terjadi kebocoran plasma.
Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai saat transisi dari fase febris
ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites dapat ditemui, namun,
sering tidak terdeteksi dengan pemeriksaan fisik terutama pada fase awal kebocoran plasma
18
atau jika kasusnya ringan. Peningkatan hematokrit, misalnya 10% sampai 15% diatas
baseline, adalah bukti paling awal.
Bahaya yang paling signifikan dari kebocoran plasma adalah syok hipovolemik.
Bahkan dalam kondisi syok sekalipun, efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi
secara klinis sebelum terapi cairan intravena diberikan. Kebocoran plasma akan semakin
terdeteksi sejalan dengan progresifitas penyakit atau setelah terapi cairan. Pemeriksaan
radiologis dan bukti plasma kebocoran melalui USG sering mendahului deteksi klinis.
Sebuah foto torak lateralis dekubitus kanan dapat meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi efusi pleura. Edema dinding kandung empedu berhubungan dengan kebocoran
plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin serum > 0,5 g/dl dari
baseline atau < 3,5 g% adalah bukti tidak langsung dari kebocoran plasma.
Pada DBD yang ringan, seluruh gejala dan tanda klinis akan berkurang setelah
demam turun. Hilangnya demam akan diikuti oleh berkeringat serta sedikit perubahan pada
kecepatan nadi dan tekanan darah. Perubahan ini mencerminkan adanya gangguan sirkulasi
yang bersifat sementara sebagai akibat dari kebocoran plasma yang relatif ringan. Pasien
biasanya akan sembuh secara spontan ataupun setelah pemberian terapi cairan dan elektrolit.
Sementara itu pada kasus yang sedang hingga berat, kondisi pasien akan semakin
memburuk beberapa hari setelah munculnnya demam. Ada beberapa warning sign seperti
muntah persisten, nyeri abdomen, anoreksia, letargi atau gelisah atau mudah marah, hipotensi
postural dan oliguria. Saat mendekati akhir dari fase demam, atau begitu demam hilang atau
beberapa saat setelah suhu tubuh turun, atau biasanya antara hari ketiga hingga ketujuh
setelah onset demam, akan muncul tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Kulit menjadi dingin,
sianosis kulit sekitar mulut, nadi cepat dan lemah, perubahan kesadaran dimana pasien
terlihat letargi dan gelisah, hal ini dapat berpindah secara cepat kepada kondisi syok. Nyeri
abdomen akut adalah keluhan yang paling sering sesaat sebelum pasien syok.
Ciri dari syok adalah jarak tekanan darah yang sempit yakni < 20 mmHg dengan
peningkatan TD diastolik misalnya 100/90, atau hipotensi. Tanda-tanda berkurangnya perfusi
jaringan : waktu pengisian kapiler yang memanjang (> 3 detik), kulit dingin dan basah serta
gelisah. Pasien syok memiliki resiko dekat dengan kematian jika tidak ada penanganan yang
cepat dan tepat. Selanjutnya pasien bisa jatuh pada kondisi syok yang sebenarnya dimana
tekanan darah dan atau pols tidak dapat diperiksa (DBD derajat IV). Yang paling penting
diketahui adalah pasien DBD dapat tetap sadar hingga di ujung mendekati derajat akhir
19
(derajat IV). Syok masih bersifat reversibel pada durasi waktu yang singkat jika pasien segera
mendapat penanganan cairan yang adekuat. Tanpa penanganan pasien akan meniggal dalam
12-24 jam. Kondisi syok akan semakin parah seiring berjalannya waktu dimana akan terjadi
kondisi-kondisi yang akan semakin memberatkan yakni asidosis metabolik, gangguan
elektrolit, kegagalan multiorgan dan perdarahan masif dari beberapa organ. Gagal ginjal dan
hati serta ensefalopati sering terlihat pada syok. perdarahan intrakranial jarang dijumpai dan
bisa terjadi di akhir perjalanan penyakit. Pasien dengan syok yang berlama-lama dan tidak
tetangani memiliki prognosis buruk dan mortalitas yang tinggi.
DBD dapat terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat
terjadi pada pasien mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya, sebagian besar
kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara terjadinya DBD /
SSD dan dengue pada infeksi sekunder berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh dalam
patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta
imunitas didapat termasuk humoral dan imunitas yang dimediasi sel terlibat dalam proses ini
Peningkatan aktivasi imunologi, khususnya pada infeksi sekunder, menyebabkan respon
sitokin yang berlebihan mengakibatkan perubahan permeabilitas vaskular. Selain itu, produk
virus seperti NS1 mungkin memainkan peran dalam regulasi aktivasi komplemen dan
permeability vaskular.
Ciri dari DBD adalah adanya lpeningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
menyebabkan kebocoran plasma, berkurangnya volume intravaskular, dan syok pada kasus
yang berat. Kebocoran yang terjadi bersifat unik karena hanya selektif pada rongga pleura
dan peritoneal dengan periode kebocoran yang singkat (24-48 jam). Pemulihan syok yang
cepat tanpa gejala sisa dan tidak adanya peradangan pada pleura dan peritoneum
menunjukkan bahwa mekanisme yang mendasari kecoran plasma adalah akibat perubahan
fungsional pada pembuluh darah da bukan kerusakan struktural dari endotelium.
Berbagai sitokin yang memiliki efek penigkatan permeabilitas memiliki peran dalam
patogenesis DBD. Namun demikian, kepentingan sitokin-sitokin ini pada DBD masih belum
jelas diketahui. Beberapa studi menyebutkan bahwa pola respon sitokin memiliki hubungan
dengan pola pengenalan silang sel T spesifik dengue. Fungsi reaksi silang sel T nampaknya
20
berkurang dalam hal aktifitas sitolitik namun justru meningkatkan produksi sitokin-sitokin
seperti TNF-alfa, IFN-g dan kemokin. TNF –alfa dalam suatu studi pada hewan percobaan
memiliki peran dalam terjadinya perdarahan, sementara peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dapat terjadi akibat aktifasi sistem komplemen (C3 dan C5). Studi terakhir
menunjukkan bahwa antigen NS1 dari virus dengue memiliki peran dalam meregulasi aktifasi
komplemen dan kemungkinan memiliki peran dalam patogenesis DBD. Jumlah viral load
dan tingkat dari protein virus (NS1) pada DBD diketahui lebih tinggi daripada kasus demam
dengue. Viral load diketahui juga meiliki korelasi langsung dengan tingkat keparahan
penyakit misalnya efusi pleura, trombositopenia.
• Sel darah putih (WBC) bisa dijumpai normal atau dengan dominasi neutrofil di fase
demam awal. Setelah itu, ada penurunan jumlah darah putih sel dan neutrofil,
mencapai titik nadir menjelang akhir fase demam. Perubahan total jumlah sel darah
putih (≤5000 sel / mm3) dan rasio neutrofil ke limfosit (Neutrofil <limfosit) berguna
untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Ini merupkan temuan yang
mendahului trombositopenia atau peningkatan hematokrit. Limfositosis relatif dengan
peningkatan limfosit atipikal umumnya diamati pada akhir fase demam dan dalam
masa pemulihan. Perubahan ini juga terlihat di demam dengue.
• Hitung jumlah trombosit normal selama fase demam awal. Penurunan ringan bisa
diamati sesudahnya. Penurunan tiba-tiba trombosit di bawah 100 000 terjadi pada
akhir dari fase demam sebelum timbulnya syok atau penurunan demam. Jumlah
hitung trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD. Selain itu terdapat pula
gangguan fungsi trombosit. Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal
selama masa pemulihan.
• Hematokrit dijumpai normal pada fase demam awal. Sedikit peningkatan mungkin
karena demam tinggi, anoreksia dan muntah. Kenaikan mendadak hematokrit diamati
secara bersamaan atau segera setelah penurunan jumlah trombosit. Hemokonsentrasi
atau peningkatan hematokrit 20% dari awal, misalnya dari hematokrit 35% sampai
≥42% adalah bukti obyektif kebocoran plasma.
21
• Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan yang sering pada DBD.
Penurunan trombosit di bawah 100 000 sel / mm3 biasanya ditemukan antara 3 dan
ke-10 hari sakit. Kenaikan hematokrit terjadi pada semua kasus DBD, terutama dalam
kasus-kasus syok. Hemokonsentrasi dengan hematokrit meningkat sebesar 20% atau
lebih adalah bukti obyektif kebocoran plasma. Perlu dicatat bahwa tingkat hematokrit
dapat dipengaruhi oleh Penggantian volume di awal pengobatan dan pendarahan.
• Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin juga memanjang pada sekitar
setengah dan sepertiga kasus DBD. Waktu trombin juga berkepanjangan pada kasus
yang berat.
• Hiponatremia sering diamati pada DBD dan lebih berat pada keadaan syok.
7. Kriteria diagnosis
Maifestasi klinis
22
• Demam : dengan onset akut, demam tinggi dan berlangsung terus menerus, lamanya
demam kebanyakan dua hingga tujuh hari.
• Terdapat satu dari manifestasi perdarahan berikut : uji torniquet positif (paling
sering), petekie, purpura (pada area pengambilan sampel darah vena) , ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena
• Syok, dengan manifestasi takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan pols yang
lemah serta tekanan nadi yang sempit ( < 20 mmHg ) atau hipotensi yang disertai
dengan akral dingin dan lembab dan atau gelisah.
Laboratorium
• Hemokonsentrasi : hematokrit meningkat > 20% dari baseline pasien tersebut atau
populasi dengan usia sama.
Pada awal fase demam, diagnosa banding meliputi spektrum yang luas dari infeksi
virus, bakteri serta protzoa yang menyerupai DD. Manifestasi perdarahan yang muncul,
misalnya uji torniquet positif serta leukopenia (<5000 sel/mm3) dapat diduga suatu kasus
dengue. Munculnya trombositopenia bersamaan dengan hemokonsentrasi dapat membedakan
DBD/SSD dari penyakit lainnya. Pada pasien yang tidak mengalami kenaikan nilai
hematokrit akibat adanya perdarahan hebat dan/atau penatalaksanaan cairan intravena yang
lebih cepat, adanya efusi pleura/ascites menandakan adanya suatu kebocoran plasma.
Hipoproteinemia/hipoalbuminemia dapat juga menjadi penanda adanya kebocoran plasma,
Nilai laju endap darah (LED) yang normal merupakan penanda untuk membedakan infeksi
dengue dari infeksi bakterial dan syok septik. Hal yang perlu dicatat adalah, selama periode
syok, LED bernilai < 10 mm/jam.
9. Komplikasi
Demam dengue dengan perdarahan dapat terjadi sebagai akibat adanya penyakit lain
yang mendasari seperti ulkus peptikum, trombositopenia dan trauma.
Komplikasi DBD
Terdapat keterlibatan neurologis, hati, ginjal dan keterlibatan organ tunggal lainnya
yang bisa saja merupakan akibat dari syok yang berat atau berkaitan dengan kondisi/penyakit
dasar pasien atau koinfeksi. Manifestasi neurologis yang dapat dijumpa misalnya kejang,
spastisitas, perubahan kesadaran, serta paresis sementara. Manifestasi yang muncul
bergantung dari etiologi yang mendasarinya serta waktu/saat terjadinya apakah pada waktu
viremia, kebocoran plasma atau pada saat penyembuhan.
25
10. Tatalaksana
Pemantauan pasien DHF selama fase krisis (trombositopenia sekitar 100.000 sel
/mm3)
Fase kritis DBD merupakan periode terjadinya kebocoran plasma yang dimulai
sekitar waktu dari penurunan suhu badan hingga normal atau transisi dari demam ke tidak
demam. Trombositopenia adalah indikator yang sensitif pada kebocoran plasma, tetapi juga
dapat diamati pada pasien dengan DD. Peningkatan hematokrit > 10% dari baseline
merupakan indikator objektif awal kebocoran plasma. Pemberian cairan intravena harus
dimulai jika asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit terus berlanjut serta jika
terdapat warning sign.
Parameter-parameter berikut harus dipantau:
• Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala lainnya.
• Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi karena hal tersebut
merupakan pertanda awal syok dan mudah/cepat untuk dilakukan.
26
• Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan darah harus
diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2 jam pada pasien
syok.
• Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai enam jam dalam
kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau dicurigai
mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa hematokrit harus dilakukan sebelum
resusitasi cairan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pemeriksaan hematokrit harus
dilakukan setelah bolus cairan dan jangan saat pemberian bolus cairan sedang
berjalan.
• Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada kasus tidak berat,
per jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan cairan. Selama periode ini
jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kg/ jam (harus didasarkan pada berat
badan ideal).
Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis
• Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
• Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.
• Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia <
6 bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
• Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40
atau larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada
respon dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang
direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik seperti plasma kemungkinan
tidak efektif.
• Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk
sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
• Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam
bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi
cairan intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal
27
ini karena pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma
sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi
yang lebih panjang hingga terapi intravena dimulai.
Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign
tersebut bukan suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia dan sebagainya.
Munculnya trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran plasma seperti
kenaikan hematokrit dan efusi pleura dapat membedakan antara DBD/SSD dari penyebab
yang lain. Pemeriksaan kadar gula darah dan tes laboratorium dapat dilakukan untuk
menemukan penyebabnya. Untuk masalah-masalah lainnya, pemberian cairan intravena,
terapi suportif dan simtomatik harus diberikan sementara pasien tetap berada di bawah
pengawan di rumah sakit. Pasien dapat dipulangkan ke rumah dalam waktu 8 sampai 24
jam jika menunjukkan respon pemulihan yang cepat dan tidak dalam fase kritis (platelet >
100 000 sel / mm3).
Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk
sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-sama), yang diberikan dalam 48
jam. Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20
= 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5%
adalah 2.500 ml (Gambar 8). Pada pasien non-syok, jumlah cairan ini akan diberikan
dalam 48 jam pertama. Kecepatan infus cairan 2.500 ml ini dapat diberikan sesuai Gambar
8 di bawah. [harap dicatat bahwa tingkat kebocoran plasma TIDAK selalu sama].
Kecepatan pemberian cairan IV harus disesuaikan dengan tingkat kehilangan plasma, dan
disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit.
28
Gambar 8 : Kecepatan pemberian infus pada kasus non syok
SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai
dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi tekanan nadi yang
menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik,
misalnya
100/90 mmHg). Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran plasma, kita harus menduga
bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang masif, di mana yang paling sering adalah
perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak tampak/tersembunyi.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain misalnya
syok septik. Sebagian besar kasus SSD akan memberikan respon terhadap pemberian
cairan
10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila
perlu secara bolus. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik seperti pada
gambar 9. Namun, sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah cairan IV yang
diberikan, kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit harus
diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan perbaikan klinis.
29
Gambar 9. Kecepatan infus pada kasus SSD
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) harus dilakukan pada kasus syok dan non-
syok. Bila terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume sudah memadai
(Kotak 14)
Kotak 14. Pemeriksaan laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan kondisi syok atau
dengan komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah
diberi terapi cairan yang
Singkatan Pemeriksaan Kepenting
A-Asidosis Analisa gas darah (kapiler adekua
Laboratorium Menandakan syokan yang sedang berlangsung.
dan vena) tKeterlibatan organ juga harus dievaluasi ; fungsi
hati, BUN dan kreatinin
B-Bleeding Hematokrit Jika terjadi penurunan nilai HCT dibandingkan
dengan nilai sebelumnya atau jika tidak
berubah, lakukan cross- match untuk transfusi
darah secepatnya
C-Calsium Elektrolit, Hipokalsemia terjadi pada kebanyakan DBD
namun tanpa gejala. Pemberian suplementasi
Ca++ kalsium pada kondisi yang lebih berat/kompleks
dapat diindikasikan. Dosis yang dianjurkan 1
ml/kg maksimal 10cc kalsium glukonas,
dilarutkan dengan perbandingan 1:2, diberikan
secara IV perlahan (dapat diulang tiap 6 jam jika
diperlukan)
30
S-Blood Kadar gula darah Kebanyakan kasus DBD disertai penurunan
Sugar (fingerstick) selera makan dan muntah. Hipoglikemia dapat
terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati,
namun pada kondisi lain dapat terjadi
hiperglikemia
Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi jika telah terjadi
perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam dan dapat
dihentikan setelah 36-48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi
masif karena peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme pemberian cairan untuk
pasien dengan SSD dapat dilihat pada kotak 15.
Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat
mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan pun
harus segera ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan secepat
mungkin, idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah
berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan
pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi
bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera
mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus segera dikerjakan (setelah
menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan monitoring ketat, misalnya kateterisasi
31
kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau intraarterial.Perlu dicatat
bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting untuk keberhasilan penanganan dan
jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosis bisa menjadi buruk. Obat
inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian cairan dianggap
cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi (CVP), kardiomegali, atau
diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas jantung yang buruk.
Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan
atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya gangguan fungsi organ, maka pasien harus
mendapat penanganan suportif yang sesuai. Contoh penanganan suportif terhadap
fungsi organ adalah dialisis peritoneal, contiuous renal replacement therapy (CRRT) serta
ventilasi mekanik.
Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat dicobakan larutan
elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah jalur intraosseous. Akses intraosseous
merupakan suatu bagian dari upaya untuk menyelamatkan nyawa dan harus bisa
dicapai dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan dalam mencapai
akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.
Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton
bisa digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan
efikasinya.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit
konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat
memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan.
32
Rekombinan factor VII diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien yang
belum mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan umumnya
tidak tersedia.
Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan kestabilan tanda-tanda
vital harus diperhatikan.
Penurunan HCT kembali ke baseline atau lebih rendah serta diuresis yang
berangsur normal.
Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hypervolemia dapat terjadi dan
terapi diuretik dapat dipertimbang untuk mencegah edema paru.
Hipokalemia dapat terjadi karena adanya stres dan upaya diuresis harus
diimbangi dengan asupan buah-buahan atau suplemen yang kaya akan kalium.
Tanda-tanda pemulihan
Suhu normal.
33
Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa
gatal, terutama pada ekstremitas.
Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
Jumlah trombosit lebih dari 50 000/mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan
untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu hingga
trombosit menjadi normal. Pada kebanyakan kasus yang kompleks,
trombosit meningkat normal dalam waktu 3-5 hari.
Potokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diguga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
34
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keaadaan penderita memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat)
• Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
• Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tampak syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 – 20) = 2200 ml
• Bila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan tian 12
jam.
• Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.
35
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keaadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana
sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai
lagi seperti terapi cairan awal.
36
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan
jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien
37
DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai
atau tanpa KID.
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda – tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan –
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-
1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120
38
menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120
menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian
koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.
39
Transfusi TC
Trombocyte Concentrate atau trombosit pekat ini berisi trombosit, beberapa leukosit
dan sel darah merah serta plasma. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml
darah lengkap dari seorang donor berisi kira-kira 5,5 x 1010 trombosit dengan volum sekitar
50 ml. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang donor
darah berisi sekitar 3 x 1010 trombosit, setara dengan 6 kantong trombosit yang berasal dari
donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum bekisar antara 150-400
ml.
Indikasi
41
Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit
<50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/uL,
atau berapapun jumlah trombosit dengan perdarahan massif. Pada kasus Dengue
Hemorrhagic Fever dan Disseminated Intravascular Coagulation merujuk pada
penatalaksanaan masing-masing. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/uL
pada pasien yang akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi
masif. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. Pencegahan
perdarahan akibat trombositopenia, seperti yang terjadi pada kegagalan sumsum tulang.
Kontra indikasi
INGAT: Bukan untuk menaikkan jumlah trombosit. Umumnya tidak digunakan untuk
mencegah perdarahan pada pasien yang akan menjalani operasi, kecuali bila pasien dengan
jumlah trombosit yang kurang 50.000/uL sebelum operasi. Atau pada kasus dengan jumlah
trombosit < 50.000/uL dengan memakai alat invasif (seperti memakai vena dalam,
ventilator). Tidak diindikasikan untuk :
Dosis Pemberian
Pooled unit : satu kantong TC yang disiapkan dari 4-6 donor yang kemudian
dimasukkan dalam satu kantong. 1 kantong TC/10 kg BB, biasanya 5-7 kantong untuk pasien
dewasa. Anak dan neonatus: 10-20 mL/kgBB/hari.
Manfaat pemberian
42
1 kantong pada pasien dengan berat badan 70 kg akan meningkatkan jumlah trombosit
5.000/uL. Peningkatan trombosit akan lebih rendah dari yang diperkirakan pada pasien
dengan :
o Splenomegali
o DIC
o Septikemia
Cara Pemberian
Risiko transfusi
Sama dengan darah lengkap, tapi untuk pooled unit mempunyai risiko terpapar dari 4
– 6 donor.
43
BAB IV
ANALISIS KASUS
44
2. Bagaimana penanganan yang seharusnya pada kasus ini?
Pada pasien digunakan terapi protokol 4 dari pedoman PAPDI, yaitu Penatalaksanaan
Perdarahan spontan pada DBD dewasa. Perdarahan spontan yang dialami pasien dalam kasus
adalah berupa adanya ptekie dan gusi berdarah serta perdarahan saluran cerna yang ditandai
dengan adanya BAB berwarna hitam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan
trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Namun pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan darah untuk
mengecek Hb, Ht dan trombosit setiap 12 jam karena terdapat kendala dari segi biaya,
sehingga pada kasus pemeriksaan yang dilakukan kurang sesuai dengan teori.
Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis (trombositopenia sekitar
100.000 sel/mm3). Indikasi cairan IV :
• Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
• Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.
• Adanya ancaman munculnya syok
45
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
• Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6
bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
• Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif dan tidak ada respon
dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang
direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik seperti plasma kemungkinan tidak
efektif.
Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok)
Terapi cairan yang diberikan volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :
Pada pasien : volume cairan rumatan untuk BB 60 kg : 1500 + 20 x (60 – 20) = 2300 ml
• Bila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan tiap 12
jam.
• Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.
46
Pada saat observasi di UGD, pasien diberikan terapi cairan kristaloid berupa RL sudah
tepat sesuai teori, hanya saja jumlah cairan yang diberikan jumlahnya belum tepat sesuai
teori. Di UGD pasien diberikan terapi cairan RL 500cc/8 jam yang berarti pasien hanya
mendapatkan terapi cairan 1500 cc/24 jam. Namun pada saat terapi cairan di ruangan diganti
jumlahnya menjadi RL 500 cc/6 jam yang berarti 2000 cc/24 jam. Terapi cairan ini jumlah
sudah lebih mendekati jumlah pemberian cairan menurut teori walaupun belum mencapai
jumlah target pemberian cairan yang tepat sesuai dengan teori.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien
DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai
atau tanpa KID. Pada kasus tidak dilakukan transfusi FFP karena tidak dilakukan
pemeriksaan terkait dengan faktor-faktor pembekuan karena adanya keterbatasan
pemeriksaan, lalu tidak dilakukan transfusi PRC karena Hb >10 dan dilakukan transfusi
trombosit pada pasien yang menurut teori sudah sesuai indikasi yaitu trombosit <100.000
(trombosit pada kasus 8.000). Jadi kesimpulannya, terapi transfusi komponen darah pada
pasien ini sudah tepat sesuai teori.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan masif
(perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/ul,
47
dengan atau tanpa koagulasi intravaskuler. Biasanya perdarahan tidak akan terjadi sampai
jumlah trombosit dalam darah turun di atas 50.000/ml. Trombosit pekat atau TC
diindikasikan pada kasus perdarahan karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau
trombositopati kongenital/ didapat. Juga diindikasikan pada mereka selama operasi atau
prosedur invasif dengan trombosit <50.000/uL. Produk ini ditransfusikan intravena dengan
memakai saringan/filter darah standar. Sebaiknya diberikan trombosit pekat yang sama
golongan ABO nya dengan pasien.
Trombocyte Concentrate atau trombosit pekat ini berisi trombosit, beberapa leukosit
dan sel darah merah serta plasma. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml
darah lengkap dari seorang donor berisi kira-kira 5,5 x 1010 trombosit dengan volum sekitar
50 ml. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang donor
darah berisi sekitar 3 x 1010 trombosit, setara dengan 6 kantong trombosit yang berasal dari
donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum bekisar antara 150-400
ml. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah lengkap diperkirakan dapat
menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-11.000/ul/ m2 luas permukaan tubuh; pada
dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 5000-10.000/ul. Pada kasus
hari pertama pasien dirawat dengan trombosit 5000, dilakukan pemberian transfusi TC
sebanyak 1 kolf lalu setelahnya pasien dilakukan pengecekan darah lagi, didapatkan adanya
kenaikan trombosit menjadi 13.000. Lalu pada hari kedua dirawat inap, diberikan lagi 2 kolf
TC pada pasien dan keesokan harinya dilakukan pengecekan darah lagi. Didapatkan adanya
kenaikan trombosit lagi menjadi 33.000. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa 1 kolf TC dapat meningkatkan 5.000-10.000 trombosit.
Omeprazole dipilih sebagai pilihan utama karena dari segi harganya yang murah.
Obat ini diberikan sebagai pencegahan dan penatalaksanaan perdarahan mukosa lambung.
Obat ini juga diindikasikan pada pasien dengan adanya koagulopati (total trombosit <
50.000), sepsis, penggunaan antikoagulan, gagal ginjal dan hati. Lalu interval pemberian
omeprazole dapat diberikan setiap 24 jam, sesuai dengan farmakokinetiknya. Walaupun
obat ini memiliki waktu paruh singkat, durasi hambatannya terhadap asam dapat bertahan
24 jam karena terjadi inaktivasi pompa secara ireversibel dan waktu yang diperlukan untuk
sintesis pembentukan molekul pompa H+/K+ ATPase baru memerlukan waktu minimal 18
jam. Oleh sebab itu, obat ini cukup diberikan sekali sehari. Namun interval pemberian
awalnya bisa ditingkatkan karena frekuensi pemberian yang lebih sering di awal
diperlukan hanya untuk beberapa hari pertama untuk mempercepat pencapaian hambatan
asam yang maksimal akibat tidak semua pompa yang berhasil diinaktifkan pada dosis
pertama terapi. Maka, pada kasus terapi awal saat di IGD diberikan omeprazole 40 mg/12
jam intravena dan dilanjutkan 40 mg/24 jam saat di ruangan sudah tepat sesuai dengan
teori interval pemberian dan indikasi pemberian obatnya.
Selain itu, pada kasus diberikan juga sukralfat 3x1C. Pada teori dikatakan bahwa
penggunaan obat alternatif seperti sukralfat dapat dipertimbangkan untuk mengurangi efek
samping dari pemberian obat golongan PPI dan sukralfat dapat diberikan pada pasien DHF
dengan tujuan untuk melindungi mukosa lambung dari asam lambung. Sukralfat diberikan
sebanyak 3 kali dalam sehari. Jadi kesimpulannya, untuk pemberian sukralfat baik dosis
maupun indikasi pemberiannya sudah tepat sesuai teori.
Lalu, diberikan juga terapi simptomatik lain untuk mengatasi gejala demam pada
pasien yaitu terapi dengan antipiretik, yang harus diberikan pada pasien dengan hiperpireksia.
Dari berbagai standar yang ada, menyebutkan bahwa dalam tatalaksana DHF pemberian obat
antipiretik (parasetamol). Hal ini sesuai dengan kasus, di mana pemberian parasetamol
diberikan selain untuk antipiretik, parasetamol yang diberikan juga sebagai analgetik untuk
mengurangi gejala nyeri yang timbul pada pasien.
Asam traneksamat adalah obat yang sering digunakan dalam menangani perdarahan
yang bekerja sebagai anti fibrinolitik dengan menghambat pemecahan fibrin polimer oleh
49
plasmin, sehingga hemostasis dapat terjadi dengan lebih efektif. Hemostasis adalah proses
fisiologis dalam tubuh untuk menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Komponen-
komponen yang berperan dalam proses hemostasis yaitu pembuluh darah, trombosit,
faktorfaktor pembekuan darah, protein antikoagulasi dan enzim fibrinolisis. Perubahan dalam
keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi pada sistem hemostasis akan menyebabkan
kelainan berupa perdarahan atau trombosis. Asam traneksamat salah adalah obat yang
diharapkan dapat mengatasi efek gangguan koagulasi. Pada kasus ini, asam traneksamat
diberikan untuk menangani perdarahan yang terjadi di bagian saluran cerna berupa melena
(BAB Hitam), lalu perdarahan dari gusi dan ptekie (perdarahan di kulit). Asam traneksamat
dapat menurunkan jumlah perdarahan dan menghemat pemakaian faktor faktor koagulasi dan
demikian dengan pemberian obat ini diharapkan akan memperbaiki profil koagulasi pasien.
Sehingga pemberian asam traneksamat pada kasus ini sudah sesuai dengan teori.
50
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit Interna Publishing
WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorraghic Fever. India : WHO
CDC. 2008. Dengue and Dengue Haemorraghic Fever. San Juan, Puerto Rico : Centers for
Disease Control and Prevention
Yasin NM, Sunowo J, Supriyanti E. 2009. Drug Related Problems (DRP) dalam pengobatan
Dengue Haemorraghic Fever (DHF). Yogyakarta : Majalah Farmasi Indonesia, 20(1), 27 –
34
Mirdhatillah, Siti. 2015. Kajian Penggunaan Penghambat Pompa Proton di ruang Rawat Inap
Ilmu Penyakit Dalam RSCM. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Ningsih GHR, Anwar Y. 2020. Monitoring of Therapy In Patients with Hematemesis Melena
ec Ulkus Peptikum in X Hospital. Jakarta : Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal
Special Issue January 2020
Hijrineli, Soenarjo, Harahap MS. 2013. Pengaruh Asam Traneksamat pada Profil Koagulasi
Pasien yang Mendapatkan Ketorolak. Semarang : Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume V,
Nomor 3, Tahun 2013
Salimah, Lab. 2018. Evaluasi rasionalitas penggunaan obat pada pasien DBD di RSI
Aisyiyah Malang periode Januari – Desember 2016. Malang : FKIK UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Kemenkes RI. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia tahun 2017. Ditjen P2P,
Kemenkes RI
Depkes RI. 2015. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI