Anda di halaman 1dari 12

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konstruksi Belt Conveyor


Belt conveyor merupakan salah satu alat pengangkut batubara yang
digunakan di PTBA. Belt conveyer memindahkan material dari tempat satu ke
tempat lain sepanjang arah horizontal atau dengan kemiringan tertentu secara
kontinyu. Belt conveyer berada diatas roller-roller menumpu dan digerakkan oleh
motor penggerak. Untuk lebih jelas skema kontruksi belt conveyer secara umum
divisualisasikan pada Gambar 3.1 [9].

Gambar 3.1 Konstruksi Umum Belt Conveyor

Berdasarkan Gambar 3.1 dapat dilihat konstruksi penyusun belt conveyor


secara umum, bagian-bagian penting dari belt conveyor diantaranya.
 Inlet Chute, merupakan tempat masuknya batubara yang akan dialirkan
belt conveyor.
 Outlet Chute, merupakan tempat keluarnya batubara yang dialirkan belt
conveyor.
 Tail Pulley, merupakan pulley yang terdapat pada ujung belakang, yang
berfungsi sebagai tempat berputar belt.
 Drive Pulley, merupakan pulley yang langsung terhubung dengan gearbox
sehingga pulley tersebut merupakan pulley penggerak.

Universitas Bengkulu 14
 Return Idler, merupakan bagian yang berfungsi sebagai penyangga belt.
 Band Pulley, merupakan pembelok belt ke pengencang belt.
 Take Up Pulley, merupakan bagian yang berfungsi sebagai pengencang
dari pada belt.
 Carring Idler, merupakan bagian penyangga utama belt.
 Counter Weight, merupakan pemberat untuk mengencangkan belt [9].

3.2 Sistem Keamanan Belt Conveyor


Suatu belt conveyor tidak lengkap tanpa adanya sistem keamanan, karena
apabila suatu belt conveyor tidak memiliki hal tersebut maka conveyor bisa suatu
saat mengalami suatu gangguan yang mengakibatkan tidak berjalannya suatu
sistem conveyor sehingga proses produksi pun menjadi terhambat, gangguan pada
conveyor juga dapat menyebabkan kecelakaan yang membahayakan para pekerja.
Maka dari itu pentingnya sistem keamanan menjadi syarat penting agar conveyor
dapat berjalan dengan baik [3].
Manfaat dari penggunaan sistem keamanan itu sendiri antara lain untuk
mengurangi kerusakan-kerusakan yang terjadi pada belt conveyor. Hal itulah yang
menjadikan belt conveyor memiliki berbagai instrumen pendukung lainnya yang
dirancang sesuai dengan bentuk gangguan yang ada pada belt conveyor, yang
nantinya sistem keamanan tersebut akan saling berhubungan dan bekerja sama
dengan baik dalam mengatasi kerusakan yang terjadi pada sistem belt conveyor
yang bekerja secara kontinyu [3].
Salah satu gangguan yang terjadi pada belt conveyor adalah pada tingkat
kekencangan belt conveyor. Saat belt conveyor terlalu kencang dan melebihi batas
kekencangan yang ditentukan dapat menyebabkan belt robek atau terputus. Saat
belt terlalu kendor masalah yang terjadi adalah belt conveyor dapat mengalami
slip dan belt keluar jalur.
Belt tension masuk dalam syarat untuk jalannya belt conveyer. Dimana
syarat untuk berjalannya belt coveyer yaitu pada rangkain Stand-by. Rangkaian
stand-by merupakan rangkaian seluruh sistem keamanan yang disusun secara seri,
yang artinya jika salah satu sistem keamanan memutus aliran listrik maka sistem
belt conveyor akan berhenti.

Universitas Bengkulu 15
3.3 Belt Tension
Belt tension merupakan salah satu sistem keamanan pada belt conveyor
yang digunakan untuk mengukur atau memonitor kekencangan ataupun
kekendoran dari belt conveyor itu sendiri. Adapun fungsi dari belt tension sendiri
yaitu untuk memberikan peringatan apabila terjadi kekencangan atau kekendoran
pada belt yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada belt conveyor. Adapun
yang bekerja untuk mendeteksi kekencangan ataupun kekendoran pada belt
tension ini adalah load cell, yang nantinya akan mendeteksi adanya tekanan dari
material atau beban yang didapat dari tekanan atau gaya berat material yang
berada di belt conveyor, yang selanjutnya akan diubah menjadi sinyal elektrik
yang akan dikirmkan ke belt tension yang selanjutnya akan dapat kita lihat pada
indikator pembacaannya. Fungsi dari pada belt tension itu sendiri yaitu selain
untuk monitoring kekencangan dan kekenduran dari pada belt conveyer juga
memberi peringatan (warning) dan juga untuk menghentikan sistem yang berjalan
(tripping).
Terdapat dua jenis belt tension yang digunakan, yaitu Belt tension Analog
dan Belt tension Digital. Jenis Belt tension Analog lebih banyak digunakan,
sedangkan hanya dua unit belt conveyor yang menggunakan jenis Belt tension
Digital, karena belt tension digital sendiri merupakan pembaharuan dari belt
tension analog. Belt tension digital difungsikan pada belt conveyor CE 40 dan CE
41. Visulisasi belt tension digital dapat dilihat pada Gambar 3.2 [9].

Universitas Bengkulu 16
Gambar 3.2 Gambar Belt Tension Digital.
Berdasarkan Gambar 3.2 Parameter yang ditampilkan oleh belt tension
sudah menggunakan tampilan digital, pada tampilan tersebut terdapat parameter
rentang warning, parameter rentang tripping, nilai aktual kekencangan belt, dan
lain-lain. Pada bagian bawah terdapat beberapa indikasi berupa lampu untuk
menunjukkan keadaan belt conveyor diantaranya indikasi warning minimum dan
maksimum, indikasi tripping minimum dan maksimum, serta indikasi power
ready untuk menunjukkan indikasi belt tension sedang dalam kondisi stand by.

3.4 Kondisi Kekencangan Belt conveyor


Kemampuan angkut belt conveyor tergantung lebar dan kecepatannya.
Suatu belt conveyor akan bekerja dengan optimal apabila tingkat kekencangan
belt sesuai dengan kapasitas yang telah ditentukan. Sehingga belt conveyor akan
berjalan dengan stabil tanpa adanya gangguan. Nilai optimal tersebut juga dapat
dijadikan sebagai acuan untuk dapat menentukan batasan maksimum untuk
mengetahui bahwa belt dalam keadaan kekencangan dan batasan minimumnya
untuk mengetahui bahwa belt dalam keadaan kekenduran.
Setiap jenis belt conveyor memiliki nilai optimal kekencangan belt
conveyor berbeda. Dengan begitu menentukan nilai optimal kekencangan belt
conveyor ditentukan sesuai dengan spesifikasi motor penggerak, jumlah
motor, dan kecepatan pada masing-masing jenis belt conveyor. Besarnya gaya
yang bekerja pada belt conveyor dapat dirumuskan pada Persamaan 3.1 [1].

n. Pm .η . M s
w=
v
(3.1)

dengan:

w = Gaya Berat (N)

n = Jumlah Motor

Universitas Bengkulu 17
Pm = Daya Motor (W)

η = Efisiensi Motor (%)


Ms = Rata-Rata Faktor Pengali Torka
v = Kecepatan Belt conveyor (m/s)
Berdasarkan Persamaan 3.1 Maka dapat ditentukan nilai set point
kekencangan pada belt conveyor dengan meninjau Persamaan 3.2 [9].
w
m p= (3.2)
a

Mengacu pada nilai kekencangan optimal, maka dapat ditentukan


presentase toleransi untuk limit warning dan tripping baik pada saat keadaan
kendur (minimum) maupun pada saat keadaan kencang (maksimum) yang dapat
dilihat pada Tabel 3.1 [9].

Tabel 3.1 Toleransi Limit Warning dan Tripping Belt Tension

Warning Tripping
Minimum (%) Maksimum (%) Minimum (%) Maksimum (%)

15 20 20 30

Berdasarkan Tabel 3.1 toleransi nilai warning minimum adalah 15% dan
toleransi nilai warning maksimum adalah 20%. Sedangkan toleransi nilai tripping
minimum adalah 20% dan toleransi nilai tripping maksimum adalah 30%.
Besarnya persentase toleransi kekencangan pada belt conveyor dapat dihitung
dengan menggunakan Persamaan 3.4.

mact −m p
mT = x 100 % (3.3)
mp

dengan:
mT = Toleransi kekencangan (%)
mact = Berat aktual (Ton)

Universitas Bengkulu 18
mp = Berat Set Point (Ton)

3.5 Tensioning Drive


Belt tension berfungsi memonitoring tingkat kekecangan ataupun
kekenduran belt conveyor, metode pengaturan tingkat kekencangan belt conveyor
dapat menggunakan bandul pemberat (Counter Weight) dan juga dapat diatur
tingkat kekencangannya dengan menggunakan tensioning drive, dimana take up
pulley akan ditarik menggunakan motor sehingga tingkat kekencangan dapat
diatur dengan memutar knob secara manual pada operating box. Pada belt
conveyor CE-40 digunakan metode tensioning drive [9].
Tensioning Drive digerakan dengan motor AC 3 phasa dengan daya motor
15kW serta motor brake jenis Eldro yang berfungsi sebagai brake atau untuk
penghentian putaran dari motor penggerak sistem Tensioning Drive. Pergerakan
motor sendiri yaitu secara mekanis dimana take up pulley akan ditarik oleh motor
dengan menggunakan seling. Sehingga motor akan menggerakan tension drive
dengan perintah forward atau reverse, dengan forward yang artinya
mengencangkan belt sedangkan reverse untuk mengendurkan belt seperti
divisualisasikan pada Gambar 3.3 [9].

Gambar 3.3 Mekanisme Pergerakan Tensioning Drive

Berdasarkan Gambar 3.3 dapat dilihat mekanisme pergerakan tensioning


drive. Drive pulley bertumpu pada penyangga yang tetap, sedangkan Take Up
Pulley bertumpu pada penyangga yang dapat bergerak mengikuti gaya tarik yang
diberikan oleh tensioning drive. Saat perintah forward diberikan maka yang
terjadi adalah tensioning drive akan memberikan tarikan ke take up pulley

Universitas Bengkulu 19
menjauhi drive pulley sehingga belt akan mengencang, sebaliknya saat perintah
reverse diberikan maka tersioning drive akan menggerakkan take up pulley
mendekati drive pulley sehingga belt akan mengendur.
Perintah pergerakan tensioning drive dapat dikendalikan secara manual
dengan memutar knob yang ada pada operating box. Visalisasi operating box
dapat dilihat pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Operating Box untuk Tensioning Drive

Berdasarkan Gambar 3.4 Operating box terdapat knob untuk


menggerakkan tensioning drive baik reverse maupun forward. Untuk
mengencangkan belt conveyor dapat dilakukan dengan memutar knob ke kanan
maka tensioning drive akan bergerak forward. Untuk mengendurkan belt
conveyor dapat dilakukan dengan memutar knob ke kiri maka tensioning drive
akan bergerak reverse.

3.6 Load Cell


Sensor load cell pada umumnya digunakan untuk mendeteksi tekanan atau
berat sebuah beban. Prinsip kerja dari load cell adalah dengan memanfaatkan
berat dari suatu beban yang nantinya akan diubah kedalam bentuk sinyal listrik,
yang nilai keluarannya akan berbanding lurus dengan berat yang diukur. Setiap
load cell memiliki data teknis masing-masing baik mengenai tegangan referensi

Universitas Bengkulu 20
maupun arus refrensi untuk menentukan nilai maksimum dan minimumnya.
Sensor load cell yang digunakan pada belt tension adalah jenis load cell compress
dengan kapasitas 50 Ton. Visualisasi load cell compress dapat dilihat pada
Gambar 3.5 [9].

Gambar 3.5 Gambar Sensor Load Cell

Sensor load cell menggunakan konsep elektronika, dari rangkaian


jembatan Wheatstone yang tersusun oleh beberapa strain gauge yang kemudian
dikonversi dalam bentuk sebuah sensor load cell. Perbedaan potensial menjadi
acuan dari berat yang diukur. Perbedaan akan terdeteksi dalam bentuk perambatan
tegangan yang diakibatkan oleh tekanan mekanis yang bekerja. Load cell sendiri
merupakan sensor gaya yang di dalamnya berisi pegas logam mekanik yang
terbuat dari beberapa foil metal strain gauge. Strain dari pegas mekanik muncul
sebagai pengaruh dari pembebanan. Pengukuran sinyal yang dihasilkan dari load
cell adalah dari perubahan resistansi strain gauge yang linier dengan gaya yang
diaplikasikan.
. Perhitungan nilai tegangan keluaran sensor load cell dapat dihitung
dengan meninjau spesifikasi sensor load cell yang digunakan diantaranya
kapasitas maksimum, rated output dan tegangan eksitasi yang diberikan ke
sensor. Maka dari spesifikasi tersebut dapat diketahui nilai tegangan keluaran
sensor load cell pada saat menerima beban maksimum dengan menggunakan
persamaan 3.4 [9].

V max =V sig x V ext (3.4)

Universitas Bengkulu 21
dengan:
V max = Tegangan keluaran maksimal load cell (Volt)
V sig = Rated output load cell (Volt)
V ext = Tegangan eksitasi (Volt)

Kemudian mengacu pada nilai tegangan maksimum keluaran sensor load


cell, maka dapat dihitung tegangan keluaran sensor berdasarkan beban yang
diberikan pada belt conveyor dengan menggunakan Persamaan 3.5.

V max . m act
V out = (3.5)
m max

dengan:
V out = Tegangan keluaran load cell (Volt)
V max = Tegangan keluaran maksimal load cell (Volt)
mact = Berat aktual (Ton)
m max = Berat maksimal (Ton)

3.7 Analog to Digital Converter (ADC)


Belt tension digital akan melakukan pemrosesan data secara digital, dalam
hal ini masukan yang diterima dari sensor load cell masih berupa sinyal analog.
Maka dari itu dibutuhkan suatu perangkat untuk mengubah sinyal analog menjadi
sinyal digital agar dapat diproses lebih lanjut oleh belt tension digital.
Analog to Digital Converter (ADC) adalah suatu perangkat
elektronika yang dapat mengubah suatu data yang kontinu terhadap waktu
(analog) menjadi suatu data yang diskrit terhadap waktu (digital).
Kontinu merupakan proses berkesinambungan, dapat dianalogikan seperti
jalanan yang menanjak, antara titik satu dengan yang berikutnya tidak terlihat
nyata perbedaannya. Sedangkan diskrit kebalikan dari kontinu, dapat dianalogikan
seperti anak-anak tangga, lompatan satu anak tangga ke yang berikutnya terlihat
nyata.

Universitas Bengkulu 22
Data analog akan menjadi masukan dan diproses oleh ADC, proses yang
terjadi dalam ADC adalah pencuplikan, pengkuantisasian dan pengkodean.
Selanjutnya keluaran ADC akan berupa data Digital. Diagram blok proses ADC
dapat dilihat pada Gambar 3.6 [9].

Gambar 3.6 Diagram blok proses ADC

3.7.1 Pencuplikan
Pencuplikan merupakan proses mengambil suatu nilai pasti (diskrit)
dalam suatu data kontinu dalam satu titik waktu tertentu dengan periode yang
tetap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi pada Gambar 3.7 [9].

Gambar 3.7 Proses Pen-cuplik-an dalam ADC.

Semakin besar frekuensi pen-cuplik-an, berarti semakin banyak data


diskrit yang didapatkan, maka semakin cepat ADC tersebut memproses suatu
data analog menjadi data digital.

3.7.2 Pengkuantisasian
Pengkuantisasian adalah proses pengelompokan data diskrit yang
didapatkan pada proses pertama ke dalam kelompok- kelompok data.
Kuantisasi, dalam matematika dan pemrosesan sinyal digital, adalah proses
pemetaan nilai input seperti pembulatan nilai. Visualisasi Penkuantisasian dalam
ADC dapat dilihat pada Gambar 3.8 [9].

Universitas Bengkulu 23
Gambar 3.8 Proses Peng-kuantisasi-an dalam ADC.

Semakin banyak kelompok-kelompok dalam proses kuantisasi, berarti


semakin kecil selisih data diskrit yang didapatkan dari data analog, maka
semakin teliti ADC tersebut memproses suatu data analog menjadi data digital.

3.7.3 Pengkodean
Pengkodean adalah meng-kode-kan data hasil kuantisasi ke dalam bentuk
digital (0/1) atau dalam suatu nilai biner. Visualisasi pengkodean dalam ADC
dapat dilihat pada Gambar 3.9 [9].

Gambar 3.9 Proses Peng-kode-an dalam ADC

Banyak masukan, terutama yang berasal dari transduser, merupakan


isyarat analog yang harus disandikan menjadi informasi digital sebelum
masukan itu diproses, dianalisa atau disimpan di dalam kalang digital. Pengubah
mengambil masukan, mencobanya, dan kemudian memproduksi suatu kata
digital bersandi yang sesuai dengan taraf dari isyarat analog yang sedang
diperiksa. Keluaran digital bisa berderet (bit demi bit) atau berjajar dengan
semua bit yang disandikan disajikan serentak. Dalam sebagian besar pengubah,
isyarat harus ditahan mantap selama proses pengubahan.

Universitas Bengkulu 24
3.8 Precision Calibrator
Precision calibrator bisa menggantikan satu atau lebih transduser untuk
memeriksa kalibrasi, linearitas, sensitivitas, atau untuk pemecahan masalah
umum indikator, perekam, atau sebuah sistem pengukur beban atau kekuatan
yang lengkap. Precision calibrator juga bisa digunakan dengan Suplai DC atau
AC yang diketahui untuk pengecekan dan mengkalibrasi belt tension. Bentuk
fisik dari precision calibrator dapat dilihat pada Gambar 3.10 [9].

Gambar 3.10 Precision Calibrator model 625

Pada Precision Calibrator untuk belt tension digunakan Model 625


dimana calibrator ini merupakan kalibrator dengan tingkat akurasi yang tinggi,
jaringan reistansi portable yang dirancang khusus untuk mensimulasikan output
strain gauge (jembatan wheatstone) pada transduser yang digunakan.
Calibrator jenis ini penggunaannya yang stabil juga dapat mensimulasikan
transuder pada resitansi 120 ohm atau 350 ohm.

Universitas Bengkulu 25

Anda mungkin juga menyukai