Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh
dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan.
Yang dimaksud dengan obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk
eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan
mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi maupun
profilaksis. Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik
akibat penyerapan obat di kulit. 1
Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat, yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction) atau
RSO. Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO
yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme
terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik, tetapi sebagian
besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik
disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu macam obat dapat dapat menyebabkan lebih
dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-
macam obat. 1
Exanthematous drug reactions atau erupsi eksantematosa merupakan salah satu
jenis erupsi obatyang dikarenakanreaksi hipersensitivitas tipe IV dikarenakan
pemakaian obat secara oral maupun parenteral.dengan gambaran klinisnya berupa
perubahaneritematosa tanpa disertai bula atau pustule Seringkali erupsi ini
generalisata dan simetris, dapat terdiri dari eritema, macula yang berkonfluens, dan
atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan, dan kaki. Erupsi obat ini disebut
juga erupsi makulopapular atau morbiliformis dan sangat jarang terjadi pada orang
yang berusia sangat muda. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian
obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 – 14 hari. Erupsi bermula dari

1
batang tubuh dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu
disertaipruritus. 1
Erupsi eksantematosa merupakansalah satu erupsi akibat obat paling tersering
yaitu sebanyak 91,2% dan dapat disebabkan oleh semua obat.Ampicillin, amoxicillin,
dan sulfonamide merupakan obat-obat yang paling sering menyebabkan erupsi
eksantematosa1. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun sangat jarang
terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau
dermatitis eksfoliativadengan melanjutkan terapi. Oleh karena itu perlu ditegakkan
diagnosa yang tepat dari gangguan ini karena kasus ini memberikan manifestasi yang
serupa dengan gangguan kulit lain, identifikasi dan anamnesis yang tepat dari
penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan
tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu
meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.1,2,4

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Exanthematous drug eruption adalah suatu reaksi simpang hipersensitivitas


terhadap obat yang diberikan secara parenteral atau ditelan. Ia ditandai dengan
erupsikulityang menyerupai campak seperti eksantem virus dan keterlibatan sistemik
yang rendah.1

II. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi

obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji

klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat

adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan

efek samping pemakaian obat-obatan.3,4,13

Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative

Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap

pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian

penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat

di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan.

Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal

setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang

sering timbul adalah3:

3
 eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
 urtikaria sebanyak 5,9%, dan
 vaskulitis sebanyak 1,4%

III. ETIOLOGI
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh semua obat. Obat-obat yang
berkemampuan tinggi untuk menimbulkan reaksi (3-5%) yaitu penicillin dan
antibiotik yang mempunyai struktur kimia yang sama (satu golongan),
carbamazepine, allopurinol, dan garam emas (10-20%). Obat-obat yang
berkemampuan menengah untuk menimbulkan reaksi yaitu sulfonamide
(bakteriostatik, antidiabetik, diuretik), NSAID, derivate hidantoin, isoniazid,
kloramfenikol, eritromicin, dan streptomisin. Sedangkan obat yang berkemampuan
rendah untuk menimbulkan reaksi (<1%) yaitu barbiturate, benzodiazepine,
fenotiazin, dan tetrasiklin. 1,2,4,14

IV. PATOGENESIS
Exanthematous drug eruption merupakan idiosinkratik, mediasi sel-T dan
melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe IV).3 Reaksi ini melibatkan
limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel Langerhans yang mempresentasi
antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan
terhadap antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.1,2,3,4,5,14,
Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi
setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi
sebelum reaksi terjadi. Pasien yang mengalami Sindrom hipersensitivitas obat
memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang
spesifik terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological interaction with immune
receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL- 5) dan interferon gamma (IFN-g).
Interleukin 5 merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi,

4
dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation
major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada keratinosit. Aktivasi MHC
kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+. Beberapa
jenis obat dapat langsung berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat
dengan sel T akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang
timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada
paparan pertama tanpa memerlukan proses sensitisasi sebelumnya1.

V. MANIFESTASI KLINIS
Ditandai dengan erupsi makulopapular atau morbiliformis yang dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris
terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus.1 Kadang-kadang ada demam, malese
dan nyeri sendi.1 Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi.1
Reaksi awal pada pasien yang sebelumnya sensitif, erupsi mulai timbul dalam
2 atau 3 hari setelah obat diberikani ulang. Untuk reaksi akhir, sensitisasi timbul
ketika mengkonsumsi atau setelah menyelesaikan pengobatan, puncak insidens
adalah hari kesembilan kemudian. Namun ACDR (Adverse Cutaneous Drug
Reaction) bisa timbul kapan saja antara hari pertama hingga minggu ketiga setelah
pengobatan dimulai.1
Simptom pada kulit biasanya pruritus juga menganggu tidur. Bagian lesi kulit
yang sakit menunjukkan perkembangan ACDR yang lebih serius seperti toksik
epidermal nekrolisis (TEN).2 Pasien juga bisa demam dan menggigil.1
Simetris, hampir selalu pada badan dan ekstremitas. Lesi konfluens di daerah
intertriginosa, yaitu, ketiak, selangkangan, daerah inframammary. Telapak tangan dan
telapak kaki terlibat secara bervariasi. Pada anak-anak, mungkin terbatas pada wajah
dan ekstremitas. Reaksi terhadap ampisilin biasa muncul awalnya di siku, lutut, dan
badan, memperluas simetris ke sebagian besar daerah tubuh.1,2

5
Gambar 1. Exanthematous drug eruption: ampicillin – tersebar dengan simetris,
eritem makula dan papul yang terang, berlainan di sebagian area dan konfluens pada
daerah lainnya, di badan dan ektremitas1

Gambar 2. Exanthematous drug eruption: ampicilin pada pasien dengan EBV


mononucleosis – Lesi makulopapular konfluens, generalisata.1

6
EFLORESENSI

Lesi pada kulit berbentuk makula dan/atau papul, dengan ukuran beberapa
millimeters sampai 1 cm. Merah terang. Lesi resolving memiliki nuansa cokelat dan
ungu. Kemudian lesi akan menjadi konfluen membentuk makula besar, polisiklik/
eritem berkisar, erupsi retikuler, lembaran seperti eritem (sheet-like erithema),
eritroderma, juga eritem seperti multiforme. Purpura dapat dilihat pada lesi di kaki
bagian bawah. Individu dengan trombositopenia, erupsi eksantematosa dapat
menyerupai vaskulitis akibat dari pendarahan intralesi. Scaling dan/atau deskuamasi
mungkin timbul dengan penyembuhan.1

Gambar 3. Exanthematous drug eruption dengan macula dan papul dalam berbagai
ukuran untuk membentuk plak. 3

7
Gambar 4. Exanthematous drug eruption dengan macula dan papul dalam berbagai
ukuran untuk membentuk plak. 3

VI. DIAGNOSIS
A. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan
obat
B. Pemeriksaan Klinis : Adanya kelainan klinis berupa erupsi eksantematosa
(makulopapular atau morbiliformis) dan penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi oleh obat
tersebut.
C. Pemeriksaan Penunjang
 Hemogram – Eosinofilia perifer1,2,5
 Dermatopathology – Limfosit perivaskuler dan eosinofil1,2,5

8
Gambar 5. Maculopapular drug eruption dengan spongiosis ringan disetengah lebih
rendah dari epidermis.7

VII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis erupsi eksantematosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinisnya. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala
klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat
sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium
dapat digunakan untuk menunjang diagnosis. Erupsi eksantematosa didiagnosis
bandingkan dengan penyakit yang memiliki gambaran seperti makulopapular atau
morbiliformis, yaitu:

A. Exathematous Viral Disease


Viral eksantema sebagian besarnya berhubungan dengan self-limited disease.4 Pada
measlesruam terdiri dari macula eritematosa dan papula yang muncul di belakang
telinga dan di garis rambut anterior, penggabungan, tersebar di bagian leher dan
tungkai distal, dan akhirnya mempengaruhi ekstremitas atas dan bawah termasuk
tangan dan kaki.1

9
Gambar 6. Exathematous Viral Disease

B. Dermatitis Kontak Alergik


Dermatitis kontak alergik hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif).6 Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana. Penderita umumnya
mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan
lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemdian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.1

10
Gambar 7. Dermatitis kontak alergi akibat deodorant. 1

C. Pitiriasis rosea
Pitiriasis Rosea adalah peradangan kulit berupa eksantema yang ditandai dengan lesi
makula-papula berwarna kemerahan (salmon colored) berbentuk oval (circinate)
tertutup skuama, soliter dan lama kelamaan menjadi konfluen. Daerah predileksinya
adalah badan, lengan atas bagian pr oksimal dan paha atas sehingga membentuk
seperti gambaran pakaian renang.1

11
Gambar 8. Pityriasis Rosea1

VIII. PENATALAKSANAAN
Langkah definitif dalam penatalaksanaan adalah untuk mengidentifikasi obat
yang menyebabkan erupsi dan harus segera dihentikan. Indikasi untuk penghentian
obat adalah urtikaria, edema pada wajah, nyeri, blister, melibatkan mukosa, ulkus,
purpura yang teraba atau meluas, demam, limfadenopati. Untuk pengobatan
simptomatik dengan oral antihistamin untuk mengurangi pruritus. Penggunaan
glukokortikoid adalah pemberian secara topikal membantu mempercepat resolusi
erupsi. Oral atau IV (Intra-vena) meringankan gejala simptomatik, jika obat yang
diberikan tidak dapat diganti atau dihilangkan, glukokortikoid bisa diberikan untuk
mengobati ACDR, juga untuk menginduksi remisi lebih cepat.1,2,3,4,12,14,15

IX. PENCEGAHAN

Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dipastikan, maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis
obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut ditunjukkan bilamana diperlukan

12
(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat.1,9

X. PROGNOSIS
Prognosis pada erupsi eksantema adalah :
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam.
Exanthematous drug eruption atau erupsi eksantematosa merupakan salah
satu jenis erupsi obat yang dikarenakan reaksi hipersensitivitas tipe IV sehingga
sangat berkemungkinan untuk mengalami lagi hal yang sama . Pada dasarnya erupsi
kulit dapat menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan
dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 – 14 hari.1,7,8

XI. KOMPLIKASI
Jika obat yang menyebabkan timbulnya erupsi masih tetap digunakan, ruam
dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa. 7
Beberapa erupsi eksantematosa bisa mengalami progresivitas menjadi reaksi obat
yang lebih berat seperti Sindrom Stevens-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik,
serta ruam kulit dengan gejala sistemik dan eosinofilia. 1

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Klaus Wolff and Richard Allen Johnson. Adverse Cutaneus Drug Reactions.
Dalam: Fitzpatrick Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Edition.
San Fransisco.p.557-560
2. Fitzpatrick TB, Freedberg IM. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th Edition. San Fransisco.p.356
3. Stern. R. S. Exanthematous Drug Eruptions. The New England Journal of
Medicine. England: Masachusetts Medical Society, 2012.p.2492-2500
4. Mochtar Hamzah. Erupsi Obat Alergik. In. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti
Aisah, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-6. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011. p.154-6.
5. Baratawidjaya K G. Dalam Buku “Imunologi Dasar” Edisi ke 9. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. James, William. et al. Andrews’ Disease Of The Skin: Clinical Dermatology. 10th
edition. USA: Departments of Dermatology and Pathology. 2005. p. 117
7. Weyers, Wolfgang,.Hystopathology of Drug Eruption – General Criteria,
Common Patterns, and differential Diagnosis. Germany: Department of
Dermatology, universitas of Munster. 2011. p.43
8. Kim, Y. Dermatomyositis and Paclitaxel-Induced Cutaneus Drug Eruption
Associated with Metastatic Breast Cancer. Korea: Department of Internal
Medicine.2015.p198
9. Ravishankar, M. Phenytoin/ Albendazole Induced Exanthematous Eruption.
2016. P586-588
10. Grattan CEH, Black AK. Drugs Eruption. Burn T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8 th edition. USA; Wiley-Black
Well;2010.p 75.22-75.23

14
11. Sidoroff A, Dunant A, Viboud C, et.al. Risk Factor for Acute Generalized
Exanthematous Pustulosis (AGEP). British Journal of Dermatology. Vol
157.2007.p 989-996
12. Ziemer M, Mockenhaupt. Severe Drugs Induced skin Reactions Clinical Pattern,
Diagnostics and Therapy. Departmen of Dermatology, Venerologi and
Allergology. Germany.2011.p89-102
13. Ahronowitz S, fox LP. Severe Drugs Induced Dermatoses. Seminars in Cutaneus
Mediciene and Surgery. Vol.33. 2014.p 49-58
14. Law RM, Law DTS. Dermatologic Drugs Eruptions and Common Skin
Condition. McGraw-Hill education.2014.p 347-358

15

Anda mungkin juga menyukai