Anda di halaman 1dari 118

UNIVERSITAS INDONESIA

ZEOLIT ALAM TERIMMOBILISASI NANOPARTIKEL


OKSIDA LOGAM TRANSISI (CuO DAN ZnO) SEBAGAI
KATALIS DEGRADASI TERMAL REMAZOL BRILLIANT
BLUE R MENGGUNAKAN H2O2

SKRIPSI

KANDHI PUSPA MELATI


1006682555

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI KIMIA
DEPOK
JANUARI 2014
UNIVERSITAS INDONESIA

ZEOLIT ALAM TERIMMOBILISASI NANOPARTIKEL


OKSIDA LOGAM TRANSISI (CuO DAN ZnO) SEBAGAI
KATALIS DEGRADASI TERMAL REMAZOL BRILLIANT
BLUE R MENGGUNAKAN H2O2

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

KANDHI PUSPA MELATI


1006682555

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI KIMIA
DEPOK
JANUARI 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Kandhi Puspa Melati

NPM : 1006682555

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Januari 2014

ii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Kandhi Puspa Melati
NPM : 1006682555
Program Studi : Kimia
Judul Skripsi : Zeolit Alam Terimmobilisasi Nanopartikel Oksida
Logam Transisi (CuO dan ZnO) sebagai Katalis
Degradasi Termal Remazol Brilliant Blue R
Menggunakan H2O2

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr.Yoki Yulizar, M.Sc ( )

.......
Pembimbing II : Drs. Sudirman, M.Sc, APU ( )

Penguji : Dr. Ridla Bakri, M.Phil ( )

Penguji : Dr. Ivandini Tribidasari Anggraninggrum ( )

Penguji : Dr. Rahmat Wibowo ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 10 Januari 2014

iii Universitas Indonesia


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya


penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Penulis menyampaikan terima
kasih atas dukungan penuh dari Hesti Anggrahini dan Amin Usman yang telah
menjadi orang tua dan selalu mendukung setiap langkah penulis dalam berkarya
semasa kuliah. Penulis sangat bersyukur dapat menyelesaikan pendidikan S1
Kimia UI dalam kurun waktu 3,5 tahun.
Penulis menyadari dalam proses penulisan skripsi ini maupun dalam
bangku perkuliahan telah banyak pihak yang turut membantu. Oleh karena itu
penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga Besar Priyambodo, terima kasih pada pa’de, bu ninu, bucil, fahri,
kiki, mas gunung, mba dini, mas agi, yang selalu membantu penulis dari
segi materil maupun moriil serta selalu memberikan keceriaan terhadap
penulis sehingga terus semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Yoki Yulizar, M.Sc selaku pembimbing penelitian yang senantiasa
meluangkan waktunya, memberikan motivasi bagi penulis, dan khususnya
menginspirasi penulis untuk selalu belajar dan tidak menyerah.
3. Drs. Sudirman, M.Sc, APU selaku pembimbing kedua penelitian.
Terima kasih atas bimbingan dan bantuannya selama ini, terutama mengenai
karakterisasi. Terima kasih selalu mendengarkan keluh kesah dari penulis
dalam menjalankan penelitian.Terima kasih juga terhadap Ibu Dirman yang
senantiasa membukakan pintu rumahnya sehingga penulis dapat melakukan
bimbingan.
4. Dr.Ridla Bakri, Dr.Ivandini, dan Dr.Rahmat Wibowo selaku dewan penguji
penulis.
5. Aditya Yudiana, S.Si yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam
penelitian, terima kasih banyak ya kak

iv Universitas Indonesia
6. Fathimah, S.Si terima kasih banyak ya kak mona atas pengarahannya dalam
penelitian ini, terima kasih selalu menjawab pertanyaan penulis terutama
terkait teknis hehe.
7. Nurul Shabrina, S.Si selaku kakak pertama NIC terima kasih banyak kak
atas bantuannya terutama dalam mengarahkan untuk karakterisasi GC dan
terima kasih banyak kepada semua kakak-kakak NIC atas saran-saran yang
diberikan untuk penulis dalam menghadapi setiap proses di penelitian ini.
8. Ibu Dr. Ivandini selaku pembimbing akademis yang senantiasa membantu
kelancaran akademik penulis.
9. Rekan Lab NIC Hore , terima kasih banyak sudah menemani penelitian ini,
dan selalu ada saat suka duka : Gea, Nanda, Wati, Kak Ando, Kak Menwa,
tari, Kak Leni, dan Ayun. Semangat terus ya kita
10. Rahmawati Fitri, terima kasih sudah menjadi sahabat baik dari semester 1,
kemana-mana selalu bareng kita hehe. Terima kasih telah menjadi sahabat
penulis yang rela menjadi teman curhat penulis baik dalam keadaan suka
dan duka.
11. Muhammad Safaat, S.Si, terima kasih banyak sudah banyak membantu
penulis dari segi akademik maupun non akademik dan terima kasih
senantiasa menginspirasi penulis. Terima kasih telah memperkenalkan
kimia fisik lewat seringnya dulu diskusi, terima kasih banyak ya kak,
semoga saya bisa sesukses dirimu...
12. Imah, Endang, Itin, Sari, Titin, Seto, Qivi, Kautsar, Novi, Fitriyanti, Arfin
dan teman-teman angkatan 2010, terima kasih atas kebersamaannya dan
dukungannya sehingga penulis merasa kuat untuk menjalani penelitian ini
hhe..
13. Pegawai lab afiliasi: Kak Puji dan Kak Ibam yang telah membantu penulis
terkait instrumen, serta Mba Ina, Mba Cucu, Pak Hedy, Pak Marji, Babeh
Sutrisno yang turut serta membantu kelancaran penelitian.
14. Kak yuni, nana, kak awi, ardan, kak zein, kak adilla, kak heru, heru, dan
rekan-rekan BPH MII 21 lainnya dterima kasih banyak telah memberikan
keceriaan dan motivasi. bismillah insyaAllah kita wisuda bareng.

v Universitas Indonesia
15. Adik –adik 2011,2012, 2013 terima kasih yang selalu memberikan semangat
agar penulis tetap kuat dalam penelitian. Terima kasih khususnya pada
praktikanku kevin, tiara, fajar, anas, sukma, magda, anjas, nisa, ilma, trina
terima kasih banyak telah memberikan keceriaan dan canda tawa hehe.
16. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebut satu per
satu, semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT.

Penulis

2014

vi Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Kandhi Puspa Melati


NPM : 1006682555
Program Studi : S1 Kimia
Departemen : Kimia
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Zeolit Alam Terimmobilisasi Nanopartikel Oksida Logam Transisi (CuO dan
ZnO) sebagai Katalis Degradasi Termal Remazol Brilliant Blue R
Menggunakan H2O2

dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak


menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Januari 2014
Yang menyatakan

(Kandhi Puspa Melati)

vii Universitas Indonesia


ABSTRAK

Nama : Kandhi Puspa Melati


Program Studi : Kimia
Judul : Zeolit Alam Terimmobilisasi Nanopartikel Oksida
Logam Transisi (CuO dan ZnO) sebagai Katalis Degradasi
Termal Remazol Brilliant Blue R Menggunakan H2O2

Remazol Brilliant Blue R (RBBR) adalah salah satu zat warna jenis
anthraquinone. RBBR umum digunakan di industri tekstil dan termasuk pewarna
reaktif dengan toksisitas tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk
menangani limbah RBBR . Salah satu solusi yang efektif dan efisien adalah
dengan mendegradasi RBBR menjadi senyawa yang tidak berbahaya melalui
Advanced Oxidation Processes (AOPs). Pada penelitian ini, digunakan zeolit alam
Indonesia terimmobilisasi nanopartikel CuO dan nanopartikel ZnO sebagai katalis
dalam degradasi termal RBBR menggunakan H2O2. Katalis dikarakterisasi
menggunakan FT-IR, XRD, SEM-EDS dan TEM. Katalis zeolit@CuO
diaplikasikan dalam degradasi termal RBBR menggunakan H2O2 dengan variasi
suhu, konsentrasi H2O2, jumlah katalis, dan waktu reaksi. Sebagai perbandingan,
katalis zeolit@ZnO dengan zeolit@CuO dibandingkan dari segi variasi jumlah
katalis dan waktu reaksi. Karakterisasi produk degradasi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa penambahan 100 mg zeolit@CuO
mampu mempercepat reaksi degradasi termal RBBR pada konsentrasi 1,60 x10-5
M, dengan % dye removal mencapai 100 % dalam waktu 45 menit dan
konsentrasi H2O2 optimum sebesar 4,62x10-1 M. Untuk katalis zeolit@ZnO
dicapai kondisi optimum yaitu pada penambahan 100 mg katalis dan % dye
removal yang dihasilkan 92,09% dalam waktu 60 menit. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas katalitik zeolit@CuO lebih baik dari zeolit@ZnO dalam
mendegradasi RBBR. Studi kinetika memperlihatkan bahwa degradasi termal
RBBR dengan penambahan 100 mg zeolit@CuO mengikuti kinetika orde satu
semu dengan nilai tetapan laju reaksi 2,55x 10-2 menit -1. Hasil percobaan
menandakan bahwa zeolit@CuO merupakan katalis yang berpotensi untuk
degradasi termal RBBR.

Kata kunci : degradasi, termal, Remazol Brilliant Blue R, Advanced


Oxidation Processes (AOPs), zeolit@CuO, zeolit@ZnO
xvi+99 halaman : 54 gambar; 4 tabel; 12 lampiran
Bibliografi : 60 (1976-2013)

viii Universitas Indonesia


ABSTRACT

Name : Kandhi Puspa Melati


Program Study : Chemistry
Title : Natural Zeolite Immobilized by Transition Metal Oxide
Nanoparticles (CuO and ZnO) as Thermal Degradation Catalyst
of Remazol Brilliant Blue R Using H2O2

Remazol Brilliant Blue R (RBBR) is one of many anthraquinone dyes.


RBBR used in textile industry, reactive dyes, and has high toxicity. Thus, we need
solution to handle RBBR waste. One of solution is Advanced Oxidation Process
(AOPs) method to degrade RBBR into harmless compounds. In this research, an
Indonesian natural zeolite immobilized CuO and ZnO nanoparticle was used as
catalyst thermal degradation of RBBR using H2O2. Catalyst was characterized by
FT-IR, XRD, SEM-EDS, and TEM. Application zeolite@CuO was studied in
various parameters such as temperature, H2O2 concentration, amount of catalyst,
reaction time, and RBBR concentration. For comparison, application
zeolite@ZnO was studied in amount catalyst and reaction time variation.
Characterization of UV-Vis Spectrophotometer showed that addition of 100 mg
of catalyst zeolit@CuO was able to speed the reaction time until 45 minutes with
% dye removal 100 % and maximum H2O2 concentration was 4,62x10 -1 M.
Zeolit@ZnO reached optimum condition when 100 mg addition of catalyst with
% dye removal 92,09% in 60 minutes. This result showed that zeolite@CuO has
well catalytic activity than zeolite@ZnO. Kinetic study showed that thermal
degradation of RBBR with addition of 100 mg zeolite@CuO followed pseudo
first-orde kinetics with rate constant k = 2,55x10-2 minute-1. The result showed
that zeolite@CuO was a potential catalyst thermal degradation of RBBR.

Keywords : degradation, thermal, Remazol Brilliant Blue R, Advanced


Oxidation Process(AOPs), zeolite@CuO, zeolite@ZnO
xvi+99 pages : 54 pictures; 4 tables; 12 attachments
Bibliography : 60 (1976-2013)

ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN... ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... vii
ABSTRAK .................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv

1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah............................................................................. 4
1.3. Hipotesis ............................................................................................. 4
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6


2.1. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan .......................... 6
2.2 Studi Literatur ..................................................................................... 8
2.2.1. Zeolit ...................................................................................... 8
2.2.2. Nanoteknologi ........................................................................ 9
2.2.3. Nanopartikel Oksida Logam ................................................. 11
2.2.3.1. Nanopartikel CuO................................................... 11
2.2.3.2 Nanopartikel ZnO ................................................... 11
2.2.4. Remazol Brilliant Blue R ....................................................... 12
2.2.5. Advanced Oxidation Processes ............................................ 13
2.2.6. Katalis .................................................................................. 13
2.2.7. Spektrofotometer UV-Vis ..................................................... 14
2.2.8 FT-IR ............................................................................... 16
2.2.9 GC ........................................................................................ 17
2.2.10. X-Ray Diffraction .................................................................. 18
2.2.11. SEM-EDS ............................................................................. 19
2.2.12. TEM ..................................................................................... 20
2.3.13. Density meter ....................................................................... 21
2.3.14. Turbidimeter ......................................................................... 22

3. METODE PENELITIAN ......................................................................... 23


3.1.Peralatan dan Bahan ........................................................................... 23
3.1.1. Peralatan ............................................................................... 23
3.1.2. Bahan ................................................................................... 23
3.2. Prosedur Kerja .................................................................................. 23

x Universitas Indonesia
3.2.1. Pembuatan Larutan Induk .................................................... 24
3.2.1.1. Pembuatan Larutan HCl dan NaOH 0,05 M ............ 24
3.2.1.2. Pembuatan Larutan NaOH 1 M............................... 24
3.2.1.3. Pembuatan Larutan NaCl 1M ................................. 24
3.2.1.4. Pembuatan Larutan Cu(NO3)2 1,0x10-2 M ............... 24
3.2.1.5. Pembuatan Larutan Zn (NO3)2 1,0x10-2 M.................24
3.2.2. Aktivasi Zeolit Alam............................................................. 24
3.2.2.1 Aktivasi Fisika ......................................................... 24
3.2.2.2 Aktivasi Kimia ......................................................... 25
3.2.2.3 Penyeragaman Kation ............................................... 25
3.2.3. Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nano CuO .......... 25
3.2.3.1 Pembuatan Zeolit@CuO ........................................... 25
3.2.4. Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nano CuO .......... 26
3.2.4.1 Pembuatan Zeolit@ZnO ........................................... 26
3.2.5 Penentuan Absorptivitas molar RBBR .................................. 26
3.2.6 Aplikasi Degradasi Termal RBBR ........................................ 26
3.2.7 Optimasi Degradasi Termal RBBR ....................................... 27
3.2.7.1 Variasi Konsentrasi H2O2 ......................................... 27
3.2.7.2 Variasi Suhu ............................................................. 27
3.2.7.3 Variasi Berat Katalis ................................................ 27
3.2.7.4 VariasiWaktu Reaksi ................................................ 28
3.2.8 Uji Adsorpsi .......................................................................... 28
3.2.9 Karakterisasi Produk akhir ................................................... 28
3.2.9.1 Karakterisasi dengan GC .......................................... 28
3.2.9.2 Karakterisasi dengan Density meter .......................... 28
3.2.9.3 Karakterisasi dengan Turbidimeter ........................... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 30


4.1. Aktivasi Zeolit .................................................................................. 30
4.1.1. Aktivasi Fisika ...................................................................... 30
4.1.2. Aktivasi Kimia ...................................................................... 30
4.1.3. Penyeragaman Kation Zeolit ................................................. 31
4.1.4. Karakterisasi zeolit ............................................................... 32
4.1.4.1Karakterisasi FT-IR .................................................... 33
4.1.4.2 Karakterisasi SEM-EDS...............................................34
4.2. Sintesis Katalis Zeolit@Oksida Logam Transisi ................................ 35
4.2.1.Pembuatan Zeolit@CuO ........................................................... 36
4.2.2.Pembuatan Zeolit@ZnO ........................................................... 40
4.3. Aplikasi Zeolit@CuO dan Zeolit@ZnO sebagai Katalis......................42
4.3.1. Penentuan Absorptivitas Molar RBBR ................................. 42
4.3.2. Aktivitas Katalis dan tanpa katalis Dalam Degradasi RBBR.. 44
4.3.2.1.Variasi Konsentrasi H2O2 tanpa katalis ...................... 44
4.3.2.2 Variasi Suhu Reaksi tanpa katalis...............................47
4.3.2.3 Variasi Berat Katalis ................................................ 48
4.3.2.4. Variasi Waktu reaksi dengan Katalis.........................52
4.3.2.5. Variasi konsentrasi H2O2 dengan katalis ................... 59

xi Universitas Indonesia
4.3.2.6. Variasi Konsentrasi Awal RBBR dengan
Katalis............................................................... ........ 61
4.3.2.7. Uji Adsorpsi..............................................................63
4.4. Studi Kinetika ........................................................................ ...... 65
4.4.1. Metode Orde Satu ................................................................. 65
4.4.2 Metode Laju Awal....................................................................67
4.5. Karakterisasi Produk Akhir .............................................................. 70
4.5.1. Karakterisasi dengan GC........................................................ 70
4.5.2 Karakterisasi dengan Density meter.........................................72
4.5.3 Karakterisasi dengan Turbidimeter ......................................... 73

5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 75


5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 75
5.2. Saran ................................................................................................ 75

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 76

LAMPIRAN .................................................................................................. 81

xii Universitas Indonesia


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur dasar zeolit ................................................................... 9


Gambar 2.2 Struktur wurzite ZnO .............................................................. 12
Gambar 2.3 Struktur RBBR ......................................................................... 12
Gambar 2.4 Transisi elektron......................................................................... 14
Gambar 2.5 Skema alat UV-Vis .................................................................... 16
Gambar 2.6 Skema kerja FT-IR ..................................................................... 16
Gambar 2.7 Skema kerja GC ......................................................................... 17
Gambar 2.8 Skema kerja XRD ...................................................................... 19
Gambar 2.9 Skema kerja SEM-EDS .............................................................. 20
Gambar 2.10 Skema kerja TEM ...................................................................... 21
Gambar 2.11 Alat Density meter ..................................................................... 22
Gambar 2.12 Turbidimeter .............................................................................. 22
Gambar 4.1 Tampak fisik zeolit dan Na-zeolit ............................................... 32
Gambar 4.2 Spektra FT-IR zeolit alam dan Na-zeolit .................................... 33
Gambar 4.3 SEM Na-zeolit ........................................................................... 34
Gambar 4.4 Grafik EDS zeolit alam dan Na-zeolit......................................... 35
Gambar 4.5. Tampak fisik Na-zeolit dan zeolit@CuO ..................................... 36
Gambar 4.6 Spektra FT-IR zeolit@CuO ........................................................ 37
Gambar 4.7 SEM zeolit@CuO ...................................................................... 37
Gambar 4.8 Grafik EDS zeolit@CuO dan Na-zeolit ...................................... 38
Gambar 4.9 X-ray Difraktogram zeolit@CuO dan Na-zeolit .......................... 38
Gambar 4.10 Hasil Pengukuran TEM zeolit@CuO .......................................... 39
Gambar 4.11 SEM zeolit@ZnO ..................................................................... 41
Gambar 4.12 Grafik EDS zeolit@ZnO ............................................................ 41
Gambar 4.13 X-ray Difraktogram zeolit@ZnO dan Na-zeolit .......................... 42
Gambar 4.14 Spektra absorpsi UV-Vis larutan standar RBBR ......................... 43
Gambar 4.15 Kurva Deret standar RBBR ........................................................ 44
Gambar 4.16 Spektra absorpsi UV-Vis degradasi RBBR variasi H2O2 ............. 45
Gambar 4.17 Kurva % dye removal variasi konsentrasi H2O2 ....................... 46

xiii Universitas Indonesia


Gambar 4.18 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi variasi suhu................. 47
Gambar 4.19 Spektra absorpsi UV-Vis terhadap variasi berat zeolit@CuO.......48
Gambar 4.20 Spektra absorpsi UV-Vis variasi berat zeolit@CuO
(Skala diperbesar) ...................................................................... 49
Gambar 4.21 Spektra absorpsi UV-Vis variasi berat zeolit@ZnO .................... 50
Gambar 4.22 Spektra absorpsi UV-Vis variasi berat zeolit@ZnO
(Skala diperbesar) ...................................................................... 52
Gambar 4.23 Kesetimbangan reaksi H2O2 ....................................................... 53
Gambar 4.24 Spektra absorpsi UV-Vis variasi waktu
100 mg zeolit@CuO ................................................................... 54
Gambar 4.25 Spektra absorpsi UV-Vis variasi waktu
100 mg zeolit@CuO (skala diperbesar) ...................................... 54
Gambar 4.26 Kurva penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 50 mg, 100 mg, dan 150 mg katalis zeolit@CuO ... 55
Gambar 4.27 Kurva % dye removal RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 50 mg, 100 mg, dan 150 mg katalis zeolit@CuO ... 55
Gambar 4.28 Kurva % dye removal terhadap waktu reaksi pada penambahan
zeolit@CuO dan Na-zeolit sebanyak 100 mg.............................. 57
Gambar 4.29 Spektra absorpsi UV-Vis degradasi RBBR katalis Na-zeolit
(skala diperbesar) ....................................................................... 57
Gambar 4.30 Kurva penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO dan
100 mg zeolit@ZnO ................................................................... 58
Gambar 4.31 Kurva % dye removal terhadap waktu reaksi pada penambahan
zeolit@ZnO dan Zeolit@CuO sebanyak 100 mg ........................ 59
Gambar 4.32 Kurva penurunan konsentrasi RBBR dengan variasi konsentrasi
H2O2 pada penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO .................. 60
Gambar 4.33 Kurva % dye removal RBBR dengan variasi konsentrasi H2O2
terhadap waktu reaksi pada penambahan 100 mg katalis
zeolit@CuO ................................................................................ 61
Gambar 4.34 Kurva penurunan konsentrasi RBBR dengan variasi konsentrasi
awal RBBR terhadap waktu reaksi ............................................ 62

xiv Universitas Indonesia


Gambar 4.35 Kurva % dye removal RBBR dengan variasi konsentrasi awal
RBBR terhadap waktu reaksi...................................................... 62
Gambar 4.36 Kurva % dye removal pada uji adsorpsi ...................................... 64
Gambar 4.37 Kurva hubungan konsentrasi dengan waktu terhadap kondisi
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO pada konsentrasi awal
RBBR 1,60x10-5 M .................................................................... 66
Gambar 4.38 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi dengan
konsentrasi RBBR 1,12x10 -5 M .................................................. 68
Gambar 4.39 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi dengan
konsentrasi RBBR 1,60x10 -5 M .................................................. 69
Gambar 4.40 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi dengan
konsentrasi RBBR 2,39x10 -5 M .................................................. 69
Gambar 4.41 Kurva hubungan laju awal terhadap variasi konsentrasi RBBR ... 70
Gambar 4.42 Kromatogram produk akhir hasil degradasi RBBR ..................... 71

xv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Pengaruh berat katalis zeolit@CuO terhadap waktu dan persen dye
removal .......................................................................................... 50
Tabel 4.2 Nilai tetapan laju reaksi berdasarkan konsentrasi awal RBBR .......... 68
Tabel 4.3 Nilai laju awal berdasarkan konsentrasi awal RBBR ........................ 68
Tabel 4.4 Nilai Turbiditas (NTU) pada produk akhir degradasi dengan katalis
zeolit@CuO ..................................................................................... 73

xvi Universitas Indonesia


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Karakterisasi XRF zeolit dan Na-zeolit .......................................... 80


Lampiran 2 Hasil Karakterisasi Zeolit dengan XRD .......................................... 80
Lampiran 3 Hasil Karakterisasi BET Zeolit Alam .............................................. 81
Lampiran 4 Karakterisasi BET Na-zeolit ........................................................... 82
Lampiran 5 Karakterisasi KTK Zeolit Alam ....................................................... 84
Lampiran 6 Data SEM-EDS Zeolit Alam dan Na-zeolit ..................................... 85
Lampiran 7 Optimasi Degradasi Termal Tanpa Katalis ...................................... 89
Lampiran 8 Optimasi Degradasi Termal dengan Katalis .................................... 90
Lampiran 9 Ilustrasi Mekanisme Kerja Katalis zeolit@CuO
dalam Degradasi Termal RBBR ....................................................... 96
Lampiran 10 Karakterisasi Produk Akhir Degradasi dengan GC ........................ 97
Lampiran 11 Karakterisasi XRD CuO dan ZnO ................................................. 98
Lampiran 12 Data SEM-EDS Zeolit@ZnO dan Zeolit@CuO ............................. 99

xvii Universitas Indonesia


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri tekstil mempunyai kontribusi yang penting di Indonesia. Selain


menyediakan kebutuhan pangan untuk negeri, industri tekstil juga menjadi sumber
cadangan devisa atas kegiatan ekspor yang ada, terlebih sejak eksistensi batik
sudah semakin terkenal pesonanya di mata dunia. Industri tekstil saat ini terus
mengalami perkembangan. Pada tahun 2006, ekspor tekstil dan produk tekstil
(TPT) mencapai 1.879 ribu ton (Raswatie, 2008). Perkembangan yang paling
meningkat terjadi pada tahun 2010, khususnya hasil ekspor yang menghasilkan
4.424 juta dolar amerika (Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2011). Hal ini
menunjukkan bahwa konsumsi terhadap produk tekstil terus mengalami
peningkatan. Akan tetapi, peningkatan ini juga berdampak negatif pada
lingkungan akibat limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil.
Bahan baku utama industri tekstil yaitu pewarna tekstil. Bahan penyusun
dari pewarna tekstil mengandung gugus fungsi azo, phthalocyanine,
anthraquinone, formazane, dan oxazine sebagai kromofor (Trivedi et al., 2009).
Keberadaan gugus-gugus fungsi tersebut menyebabkan limbah pewarna tekstil
cukup stabil dalam lingkungan dan akibatnya akan menyebabkan terjadinya
pencemaran. Sebanyak 280.000 ton pewarna tekstil terbuang sebagai limbah
industri di seluruh dunia setiap tahunnya (Jin et al., 2007). Hal ini akan
berdampak pada lingkungan seperti kehidupan antar makhluk hidup menjadi
terganggu, kehidupan biota air, dan tumbuhan akan terganggu sehingga
terganggunya rantai makanan. Selain itu, pewarna tekstil umumnya memiliki
potensi menjadi zat yang karsinogenik (Novotny et al., 2001, Mathur dan
Bhatnagar, 2007, Rindle dan Troll, 1975 ). Diantara pewarna tekstil yang ada,
Remazol Brilliant Blue R (RBBR) merupakan pewarna tekstil yang umum dipakai
sekaligus bahan baku untuk membuat pewarna lainnya, khususnya pewarna
polimer. Selain itu, RBBR merupakan pewarna reaktif jenis anthraquinone dan

1 Universitas Indonesia
2

termasuk dalam derivatif dari anthracene yang memiliki toksisitas cukup tinggi
dan termasuk dalam organopolutan (Machado et al., 2006). RBBR memiliki
struktur yang stabil bahkan di bawah kondisi normalnya.
Berbagai metode telah diuji untuk menangani limbah RBBR, diantaranya
dengan adsorpsi dan koagulasi (Trivedi et al., 2009). Metode ini cukup efektif,
tetapi kapasitas adsorpsi bergantung pada turbiditas air. Metode lain yang
digunakan yaitu biodegradasi dengan menggunakan mikroorganisme (Machado et
al., 2006; Santos et al., 2010). Namun, metode tersebut kurang efektif dan efisien.
Hal ini karena dalam prosesnya memakan waktu yang cukup lama untuk menjadi
produk akhir yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Proses oksidasi lanjutan atau
advanced oxidation processes (AOPs) dapat menjadi metode alternatif dalam
mendegradasi organopolutan, seperti RBBR, melalui pembentukan radikal
hidroksil (•OH) yang merupakan oksidator kuat. Dengan adanya •OH, senyawa
organopolutan akan dapat didegradasi. AOPs banyak dihasilkan dari proses
fotokimia maupun nonfotokimia Untuk menghasilkan spesi-spesi radikal, maka
AOPs membutuhkan suatu bantuan energi maupun oksidator, seperti : ozon,
H2O2/ozon, foton (fotokatalisis), katalis/oksidator, gelombang mikro, dan termal
(Munter, 2001).
Dalam AOPs diharapkan produk akhir yang dihasilkan, yaitu berupa air,
karbon dioksida, atau senyawa lain yang tidak berbahaya (Andreozzi et al.,
1999).Metode AOPs ini dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi senyawa zat
warna. Salah satu aplikasinya adalah degradasi dan penghilangan zat warna
(decolorization) menggunakan H2O2 dalam sistem Ultra Violet (UV) yang
memerlukan waktu 65 menit (Mahmoud et al., 2007).
Zeolit banyak digunakan sebagai katalis maupun support dalam proses
degradasi zat warna. Pada penelitian sebelumnya (Suparno, 2011)
zeolit alam teraktivasi menjadi katalis dalam degradasi zat warna indigosol. Selain
itu, zeolit/TiO2 menjadi katalis untuk fotodegradasi zat warna RBBR dalam
sistem UV penelitian tersebut RBBR berhasil didegradasi hampir 100 % dan laju
kinetika reaksi mengikuti orde satu semu (Kuo et al.,2012). Selain itu, zeolit
sintesis pun juga digunakan untuk katalis degradasi zat warna. Aravindhan et al.,
(2006) melakukan penelitian menggunakan kompleks Mn (III)-salen yang

Universitas Indonesia
3

diimobilisasi ke dalam zeolit Y dapat menjadi katalis heterogen dalam


penghilangan zat warna (decolorization) Acid Brown. Pada penelitian tersebut,
H2O2 tetap digunakan sebagai agent pengoksidasi yang kuat untuk mendegradasi
zat warna. Selain itu, degradasi zat warna Acid Blue 74 dapat menggunakan
Fe/zeolit ZSM-5 sebagai katalis heterogen foto Fenton (Kasiri et al., 2008). Pada
penelitian tersebut zat warna berhasil didegradasi ketika reaksi berlangsung
selama 120 menit. Hal ini tergolong masih kurang efisien dan efektif. Oleh karena
itu, untuk mengefektifkan dalam proses degradasi zat warna RBBR, pada
penelitian ini digunakan metode AOPs berdasarkan bantuan energi dan
katalis/H2O2. Sumber energi yang digunakan pada penelitian ini yaitu energi
termal (panas). Dengan adanya bantuan energi termal, dapat memicu sekaligus
meningkatkan pembentukan radikal hidroksil (•OH) dari H2O2 (Shirato et al.,
2011).
Nanopartikel logam mempunyai sifat optis, elektronik, dan magnetik yang
unik dan tidak dapat ditemukan dalam ukuran bulk (Roduner, 2006; Link dan
El-sayed, 2003). Zeolit yang dimodifikasi dengan nanopartikel logam dapat
meningkatkan aktivitas katalitiknya. Pada penelitian sebelumnya berhasil
mensintesis nanopartikel Au yang disupport oleh zeolit alam untuk katalis
degradasi termal Congo Red menggunakan H2O2 (Fathimah, skripsi 2013) . Hasil
ini menunjukkan aktivitas katalitik yang baik dari zeolit@nanopartikel Au
sehingga reaksi degradasi termal berlangsung selama 30 menit.
Nanopartikel oksida logam juga menarik untuk dilihat kemampuan daya
katalitiknya. Nanopartikel oksida logam mempunyai kelebihan tersendiri. Dengan
bentuknya sebagai oksida logam membuat sifat konduktivitas dan magnetiknya
juga meningkat. Hal ini membuat aktivitas katalitiknya menjadi besar. Pada
penelitian sebelumnya, oksida logam ZnO mampu mendegradasi RBBR dalam
waktu 60 menit (Gouvea et al., 2000), namun ukuran ZnO bukan dalam skala
nano. Selain itu, oksida logam CuO/nanozeolit-X juga dapat mendegradasi zat
warna azo yaitu Methylene Blue dan Rhodamine B (Ejhieh et al., 2013).
Wan et al., (2013) melakukan penelitian menggunakan oksida logam NiO dalam
ukuran nanopartikel untuk mendegradasi zat warna kationik Methylene Blue .
Dengan memanfaatkan sifat-sifat dari material nano, khususnya nano oksida

Universitas Indonesia
4

logam akan dikembangkan metode untuk mengatasi permasalahan limbah zat


warna RBBR yang efektif dan efisien. Pada penelitian ini akan dilakukan
immobilisasi nanopartikel CuO dan ZnO pada zeolit alam kemudian diaplikasikan
sebagai katalis oksidasi untuk degradasi termal zat warna RBBR.Hal ini pun
termasuk dalam pemanfaatan terhadap sumber daya alam. Dengan menggunakan
nanopartikel oksida logam transisi (CuO dan ZnO) yang disupport oleh zeolit
alam, diharapkan dapat meningkatkan aktivitas katalitik sehingga dihasilkan
produk akhir degradasi yang aman bagi lingkungan. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi solusi dalam penanganan limbah zat warna pada industri tekstil.

1.2 Perumusan Masalah

Berbagai metode telah dikembangkan untuk menjadi solusi dalam


mengatasi limbah zat warna industri tekstil. Salah satu zat warna yang banyak
digunakan adalah zat warna RBBR. RBBR telah diketahui sebagai pewarna tekstil
jenis reaktif dan merupakan bahan yang berbahaya karena sifatnya yang stabil di
lingkungan dan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang
efisien dan efektif dalam menangani limbah RBBR. Melalui metode oksidasi
lanjutan (AOPs), zat warna RBBR dapat didegradasi oleh radikal hidroksil (•OH)
yang merupakan oksidator kuat . Dengan adanya bantuan energi berupa termal
diharapkan dapat meningkatkan spesi radikal hidroksil (•OH) sehingga dapat
dihasilkan produk akhir degradasi yang tidak berbahaya. Zeolit alam memiliki
struktur channel dengan sisi aktif dan luas permukaan yang besar sehingga baik
untuk digunakan sebagai support katalis dan template untuk nanopartikel oksida
logam. Selain itu, zeolit membuat katalis menjadi bersifat heterogen sehingga
dapat dipisahkan dari produk. Immobilisasi nanopartikel oksida logam CuO dan
ZnO ke dalam zeolit diharapkan dapat meningkatkan aktivitas katalitik dalam
mendegradasi RBBR. Optimasi reaksi dilakukan untuk mendapatkan kondisi
sistem yang optimum dalam mendegradasi zat warna RBBR, serta dilakukan
analisis kinetika dari reaksi degradasi.

Universitas Indonesia
5

1.3 Hipotesis

a. Immobilisasi nanopartikel oksida logam transisi (CuO dan ZnO) ke dalam


zeolit dapat menunjukkan aktivitas katalitik dalam mendegradasi zat
warna RBBR.
b. Aktivitas katalitik dari zeolit@CuO dan zeolit@ZnO lebih tinggi daripada
Na-zeolit dalam mendegradasi RBBR.
c. Zeolit terimmobilisasi nanopartikel oksida logam transisi (CuO dan ZnO)
dapat berfungsi sebagai katalis degradasi termal RBBR
d. Produk akhir degradasi yang didapatkan yaitu air, karbon dioksida, atau
senyawa lain yang tidak berbahaya
e. Modifikasi zeolit menggunakan nanopartikel oksida logam transisi (CuO
dan ZnO) dapat mempercepat reaksi degradasi RBBR

1.4 Tujuan Penelitian

a. Memodifikasi zeolit alam Indonesia menggunakan nanopartikel oksida


logam transisi (CuO dan ZnO) serta mengaplikasikannya sebagai katalis
degradasi termal RBBR.
b. Membandingkan hasil degradasi termal RBBR dengan dan tanpa katalis
c. Mendapatkan kondisi optimum reaksi degradasi dari berbagai parameter :
variasi suhu, konsentrasi H2O2, konsentrasi RBBR, jumlah katalis,dan
waktu reaksi.
d. Melakukan studi kinetika katalitik degradasi termal RBBR
e. Membandingkan aktivitas katalitik dan hasil degradasi termal RBBR dari
zeolit@CuO, zeolit@ZnO, dan Na-zeolit.
f. Mempelajari produk akhir hasil degradasi termal RBBR

Universitas Indonesia
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka dari Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya mengenai degradasi Remazol Brilliant Blue R


(RBBR) menggunakan oksida logam baik dalam skala bulk maupun nanopartikel
sebagai katalis telah dilakukan. Degradasi RBBR menggunakan ZnO dalam skala
bulk, reaksi berjalan selama 60 menit untuk mendegradasi RBBR seluruhnya .
Degradasi menggunakan nanopartikel oksida logam TiO2 sinar UV menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi RBBR maka waktu reaksi degradasinya pun
semakin lama. Dengan penambahan H2O2 dalam sistem, akan membuat waktu
reaksi semakin singkat (Vinu et al., 2010 ; Kamel et al., 2009). Selain itu,
degradasi RBBR dilakukan dengan menggunakan metode oksidasi Fenton dan
Fe0/udara. Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) removal yang didapat dengan
metode Fe0/udara mencapai 98 % , nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan metode oksidasi Fenton. Pada uji toksisitas produk dengan
mikroba, didapatkan hasil bahwa produk tidak mengandung toksik dengan
treatment metode Fe0/udara (S-H Chang et al., 2009).
Pada penelitian lain, degradasi RBBR dilakukan dengan menggunakan
ozon hasil elektrolisis dengan menggunakan elektroda grafit dan elektroda PbO 2.
Hasil menunjukkan bahwa terjadi penurunan intensitas warna RBBR sebesar
85,37 % yaitu untuk pengolahan larutan RBBR sebanyak 50 mL (Indrawati et al.,
2008). Selain itu, treatment untuk RBBR dapat dilakukan dengan dekolorisasi
menggunakan sistem Cu(II)/asam organik/H2O2. Apabila logam Cu digantikan
dengan logam lain, maka aktivitas dekolorisasinya akan berubah. Didapatkan
bahwa Cu(II)/asam suksinat/H2O2 yang paling efektif dalam dekolorisasi RBBR
yaitu mencapai lebih dari 85 % (V.Shah et al., 2003).
Pada penelitian lain, dinyatakan bahwa oksida logam umum digunakan
sebagai katalis zat warna, tidak hanya RBBR saja. A. Mehrdad et al., (2011 )
melakukan studi kinetika degradasi Rhodamine B dengan adanya H2O2 dan oksida
logam. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan kinetika pada H2O2, H2O2 +

6 Universitas Indonesia
7

Al2O3, H2O2+ nano Al2O3, dan H2O2 + FeO. Orde reaksi bergantung pada
konsentrasi reaktan. Didapatkan bahwa efisiensi degradasi Rhodamine B, yaitu :
(FeO +H2O2) > (nano Al2O3 +H2O2) > (Al2O3 +H2O2) > (H2O2)
Selain itu, oksida logam transisi juga digunakan dalam degradasi zat
warna, yaitu Ejhieh et al., (2013) melakukan degradasi campuran zat warna azo
yaitu Rhodamine B dan Methylene Blue dengan menggunakan CuO/nanozeolit-X
dengan penyinaran sinar matahari. CuO dalam zeolit merupakan pusat aktif untuk
mendegradasi. Nanozeolit-X disintesis dengan menggunakan metode kristalisasi
hidrothermal. Ukuran partikel nanozeolit-X yaitu 7-10 nm. Didapatkan kinetika
dekolorisasi yaitu mengikuti hukum laju orde pertama. Didapatkan kondisi
optimum pada pH 2,5; penambahan katalis 2,50 g/L, dengan konsentrasi H2O2
16 mM, dan waktu reaksi 60 menit pada suhu 30◦C. Akyol et al., (2005)
melakukan degradasi secara fotokatalitik untuk zat warna Remazol Red F3B .
Fotokatalitik degradasi dilakukan di reaktor. Dengan keberadaan katalis ZnO
(emisi di 254 nm dan 365 nm ), efek degradasi meningkat. Hasil menunjukkan
bahwa penghilangan warna (decolourization) dan penghilangan atom karbon
Total Organic Carbon (TOC) terjadi maksimum pada pH 7. Dekolorisasi lebih
cepat pada 365 nm. Hasil ini menunjukkan bahwa panjang gelombang UV
mempengaruhi kecepatan degradasi.
Beberapa penelitian mengenai penggunaan zeolit sebagai katalis degradasi
zat warna, yaitu Kuo et al., 2012 melakukan fotodegradasi Reactive Blue 19 atau
Remazol Brilliant Blue R (RBBR) menggunakan zeolit/TiO2 dalam reaktor
beraliran kontinu. Didapatkan bahwa hampir 100 % zat warna RBBR dapat
didegradasi. Pada penelitian ini digunakan variasi tiga sumber cahaya, yaitu
lampu UV dengan λ max 254 nm, λmax 365 nm, dan sumber cahaya matahari.
Kinetika reaksi dari fotodegradasi RBBR mengikuti orde satu semu. Selain itu,
zeolit alam dapat juga dijadikan template untuk suatu katalis, salah satunya yaitu
modifikasi zeolit alam dengan nanopartikel Au sebagai katalis untuk degradasi
termal Congo Red (CR) menggunakan H2O2 (Fathimah, skripsi 2013). Pada
penelitian ini, CR dapat didegradasi 100 % dalam waktu 30 menit, yaitu dengan
penambahan 100 mg katalis zeolit@Au, penambahan 4,62 x10-1 M H2O2, dan
suhu optimum reaksi yaitu pada 95◦C. Kinetika reaksi degradasi termal senyawa

Universitas Indonesia
8

CR ini mengikuti orde satu. Selain itu, zeolit sintesis pun digunakan, salah
satunya yaitu penelitian mengenai sintesis zeolit Mn-Y yang dikapsulasi dengan
ligan N,N-bis(salicylaldehyde)-ethylenediamine (salen H2) sebagai katalis untuk
mendegradasi zat warna Acid Brown melalui mekanisme oksidasi dengan
peroksida (Aravindhan et al., 2006). Penelitian tersebut mempelajari efek
beberapa parameter seperti pH, jumlah katalis, dan konsentrasi H2O2. Didapatkan
nilai % dye removal sebesar 90% dengan waktu reaksi 20 menit pada suhu 30oC,
serta konsentrasi H2O2 dan jumlah katalis optimum sebesar 0,175 M dan 3 g/L.

2.2. Studi Literatur

2.2.1. Zeolit

Zeolit adalah material kristalin alumina silika. Alumunium, silika, dan


oksigen tersusun dalam struktur yang beraturan , unit tetrahedral [SiO 4]4+ dan
[AlO4]5- membentuk framework. Dengan kata lain, zeolit yaitu material yang
memiliki network (jaringan) terbuka aluminasilika yang tersusun dari corner-
sharing [AlO4]5- dan [SiO4]4+. Zeolit memiliki muatan negatif, hal ini akibat
penggantian Si oleh Al. Setiap penggantian ion silikon dan ion aluminium
memerlukan satu ion logam alkali atau alkali tanah yang monovalen atau setengah
ion logam divalen,seperti : Na+, K+, Ca2+ ,Mg2+ , Ba2+, dan Sr2+ untuk menetralkan
muatan negatifnya (Chetam,1992).
Pada zeolit alam, materialnya terbentuk dikarenakan proses kimia dan
fisika yang kompleks dari batu-batuan yang mengalami berbagai macam
perubahan di alam. Zeolit dapat berperan sebagai molecular sieves atau saringan
molekul sehingga zeolit banyak diaplikasikan sebagai adsorben dan support
katalis. Perbandingan komposisi Si/Al pada zeolit mempengaruhi kekuatan asam
dan sifat katalitiknya. Perubahan rasio Si/Al pada suatu material akan
mempengaruhi sifat dari material tersebut.Semakin tinggi rasio Si/Al suatu
material maka material tersebut semakin bersifat hidrofobik. Selain itu, bila
semakin rendah rasio Si/Al menandakan bahwa komposisi Al semakin tinggi, hal
ini berarti zeolit semakin bermuatan negatif. (Lestari,2010).

Universitas Indonesia
9

Gambar 2.1 Struktur dasar zeolit


[Sumber : http://ardra.biz/sain-teknologi/mineral/mineral-zeolit]

2.2.2. Nanoteknologi

Nanoteknologi adalah teknologi yang menggunakan nanopartikel, yaitu


partikel dengan ukuran antara 1nm hingga 100 nm (Horikoshi dan Serpone,
2013). Nanopartikel memiliki sifat fisik dan kimia yang khas, berbeda dengan
sifat dalam bentuk bulk. Contohnya yaitu nanopartikel Au memiliki titik leleh
yang lebih rendah dibandingkan dengan dengan keadaan Au saat bulk ( Buffat dan
Burrel, 1976). Hal ini disebabkan karena semakin kecil ukuran, maka
reaktivitasnya semakin besar. Penggunaan nanoteknologi meliputi berbagai
bidang seperti dunia kesehatan, kosmetik, tekstil, makanan, kesehatan lingkungan,
dan bidang pertanian aplikasi biomedik, seperti : sebagai antibakteri, antifungi,
UV-Blocking, katalis, fotokatalis, biologi, superkonduktor, optiselektronik, super
magnet, sensor, dan sebagainya. (Yulizar, 2004)
Dalam mensintesis nanopartikel perlu diperhatikan faktor berikut
(Hirokoshi dan Serpone, 2013) yaitu :
a. Kontrol ukuran partikel, distribusi ukuran, bentuk, struktur kristal dan
distribusi komposisi
b. Peningkatan kemurnian dari nanopartikel
c. Kontrol agregasi
d. Stabilisasi dari sifat fisik, struktur, dan reaktan
e. Biaya murah dan menghasilkan produk banyak.
Karakterisasi yang umum dilakukan untuk nanopartikel yaitu Scanning
Electron Microscopy (SEM), Transmission Electron Microscopy (TEM), Atomic
Force Microscopy (AFM), Dynamic Light Scattering (DLS), X-Ray Photoelectron

Universitas Indonesia
10

Spectroscopy (XPS), X-Ray Difraction (XRD), Fourier Transform Infrared


Spectroscopy (FT-IR), Ultra Violet-Visible (UV-Vis) (Yulizar, 2004).

2.2.3 Nanopartikel Oksida Logam

Oksida logam memiliki peranan yang sangat penting khususnya dalam


ilmu kimia. Logam dapat membuat beragam senyawa oksida, contohnya Al2O3,
MgO; ZrO2 ; CeO2, TiO2; ZnO; Fe2O3; SnO; NiO, dan CuO. Senyawa oksida
logam mempunyai karakteristik, antara lain (Garcia et al., 2007) :
- Densitas yang besar
- Bersifat semikonduktor (band gap energi cukup besar)
- Reaktivitas rendah
- Struktur kristalnya yang stabil
- Dapat diaplikasikan sebagai sensor, piezoelektrik devices, fuel cells,
untuk anti korosi, serta sebagai katalis.
Oleh karena itu, oksida logam banyak dibuat dalam bentuk nanopartikel.
Hal ini sesuai dengan konsep nanoteknologi, semakin kecil ukuran partikel, maka
akan meningkatkan luas permukaan sehingga akan lebih maksimal. Selain itu,
sifat nanopartikel oksida logam dapat memperbesar sifat konduktivitas dan
reaktivitas kimia, hal ini mengingat dalam keadaan bulk, oksida logam memiliki
reaktivitas yang rendah.

2.2.3.1 Nanopartikel CuO

CuO termasuk dalam oksida logam transisi yang bersifat semikonduktor.


CuO memiliki band gap 1,2 eV sampai 1,7 eV. CuO dalam bentuk nanopartikel
memiliki sifat dan dapat diaplikasikan untuk transfer panas. Pada penambahan
4 % nano CuO dapat meningkatkan konduktivitas termal dari air sebesar 20 %
(S. Lee et al., 1999). Selain itu, nanopartikel CuO termasuk dalam tipe
p-semikonduktor sehingga dengan bandgap nya yang kecil dapat mengabsorpsi
sinar tampak (Ejhieh et al., 2013).
Tampak fisik dari nanopartikel CuO yaitu berwarna coklat kehitaman.

Universitas Indonesia
11

Ada berbagai metode untuk membuat nanopartikel CuO, antara lain :


metode sonokimia, teknik sol-gel, metode presipitasi (Lanje et al., 2010). Selain
itu, ada metode reduksi secara kimia menggunakan pereduksi NaBH4 (Dang et al.,
2011) dan metode preparasi pada kondisi superkritis (Shah et al., 2011).

2.2.3.2 Nanopartikel ZnO

Nanopartikel ZnO termasuk dalam material semikonduktor dan saat ini


banyak diaplikasikan sebagai katalis, sensor, fotoelektron devices , dan material
fungsional. Karakteristik dari nanopartikel ZnO, yaitu (Kumar et al., 2013; Fan et
al., 2005; Shafei et al., 2010, Vaseem et al., 2010) :

- Semikonduktor (memiliki band gap yang besar yaitu 3,37 eV pada suhu
kamar)
- Aktivitas katalitik yang tinggi
- Mempunyai sifat sebagai UV blocking
- Mempunyai struktur kristal wurtzite yang stabil
- Murah
- Toksisitas rendah
- Tampak fisik nanopartikel ZnO berwarna putih.

Metode yang paling umum untuk mensintesis nanopartikel ZnO yaitu


metode presipitasi (Talam et al., 2012; Kumar et al., 2013). Pada metode ini
bahan utama yang digunakan yaitu zinc nitrat (Zn(NO3)2·4H2O) atau dapat juga
dengan zinc sulfat hepta hidrat (Zn(SO4)2.7H2O), serta NaOH sebagai prekursor.

Universitas Indonesia
12

Gambar 2.2 Struktur wurtzite heksagonal dari ZnO. Atom Zn yang


berwarna hitam dan atom O yang berwarna putih

[Sumber : Vaseem et al., 2010]

2.2.4 Remazol Brilliant Blue R (RBBR)

Remazol Brilliant Blue R (RBBR) merupakan pewarna biru pada tekstil


sekaligus bahan baku untuk membuat pewarna lainnya khususnya pewarna
polimer. Selain itu, RBBR ini termasuk dalam jenis pewarna anthraquinone dan
derivativ dari anthracene yang memiliki toksisitas cukup tinggi dan termasuk
dalam organopolutan (Machado et al., 2006). RBBR ini umum dipakai dalam
industri tekstil. Struktur dari RBBR menunjukkan bahwa RBBR merupakan
pewarna anionik.

Gambar 2.3 Struktur dari Remazol Brilliant Blue R (RBBR)


[Sumber : J.R. Guimarães et al., 2012]

Universitas Indonesia
13

RBBR memiliki rumus molekul C22H16N2Na2O11S3, dengan nama IUPAC


disodium 1-amino-9,10-dioxo-4-[3-(2sulfonatooxyethylsulfonyl)
anilino]anthracene-2-sulfonate. Berat molekul (Mr) dari RBBR adalah
626,543779 gram/mol. RBBR ini bersifat stabil dan berpotensi karsinogenik juga
dapat menghambat proses fosforilasi oksidatif dalam metabolisme.

2.2.5 Advance Oxidation Process (AOPs)

Advanced Oxidation Processes (AOPs) adalah teknik untuk mendegradasi


senyawa organopolutan menjadi senyawa yang aman bagi lingkungan dengan
mengandalkan spesi oksidator reaktif (radikal). Pada AOPs, spesi radikal yang
dihasilkan tidak hanya radikal OH saja,tetapi radikal-radikal lainnya juga
dihasilkan, seperti superoksida anion radikal (●O2 -) (Munter, 2001).
Terdapat beberapa cara untuk membentuk radikal OH dalam AOPs,yaitu
cara non-fotokimia dan fotokimia, seperti reaksi fenton, O3/H2O2, oksidasi
elektrokimia, ultrasonik, sub/superkritik, fotokatalitik heterogen, katalis/H2O2,
UV/H2O2, UV/O3. Selain itu, dapat juga dengan bantuan energi seperti termal dan
gelombang mikro (Munter, 2001).

2.2.6 Katalis

Katalis adalah suatu zat selain reaktan dan produk, yang ditambahkan
pada suatu sistem reaksi untuk mengubah atau meningkatkan laju reaksi kimia
dan setelah reaksi selesai, terbentuk kembali dalam kondisi tetap mencapai
keadaan kesetimbangan kimianya (Rufiati, 2011). Katalis ikut terlibat dalam
reaksi dan dihasilkan kembali pada akhir reaksi. Katalis terdiri dari dua tipe, yakni
katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang
mempunyai fasa yang sama dengan reaktan.Sementara itu, untuk katalis heterogen
kebalikan dari homogen, yaitu katalis berbeda fasa dengan reaktan. Pada proses
katalisis heterogen terjadi tahapan reaksi (Gates, 1991) :
1. Transport reaktan ke permukaan katalis
2. Interaksi antara reaktan dan katalis (adsorpsi).
3. Reaksi antara spesies-spesies teradsorpsi untuk menghasilkan
produk

Universitas Indonesia
14

4. Desorpsi produk dari permukaan katalis


5. Transport produk menjauhi katalis.

2.2.7 Spektrofotometer UV-Vis

Dasar dari spektroskopi UV-Vis adalah serapan cahaya. Bila cahaya jatuh
pada senyawa, maka sebagian dari cahaya diserap oleh molekul-molekul sesuai
dengan struktur dari molekul senyawa tersebut. Serapan cahaya oleh molekul
dalam daerah spektrum UV-Vis tergantung pada struktur elektronik dari molekul.
Dengan UV-Vis akan dapat diketahui transisi elektronik yang terjadi dalam suatu
molekul.

Gambar 2.4 Transisi elektron dalam sebuah molekul


[Sumber : http://teaching.shu.ac.uk]

Larutan yang dapat dianalisis oleh spektrofotometer UV-Vis yaitu


senyawa yang mempunyai gugus kromofor. Kromofor yaitu gugus tak jenuh yang
mengandung sistem elektronik dan dapat menyerap energi pada daerah UV-Vis.
Daerah UV yaitu berkisar pada 200 - 380 nm dan disebut sebagai UV pendek
(dekat). Sedangkan panjang gelombang daerah tampak berkisar antara 380 - 780
nm.

Transisi elektronik yang mungkin dari elektron π , σ, dan n yaitu (R.A Day
Underwood. 2002):

Universitas Indonesia
15

a. Transisi σ → σ*
Elektron σ (suatu ikatan kovalen tunggal) terikat lebih kuat sehingga
memerlukan energi lebih besar (atau foton dengan panjang gelombang yang
pendek) untuk menjalani transisi. Pada spektrofotometri UV-Vis, transisi ini
sulit dideteksi karena energinya yang besar.
b. Transisi n→ σ*
Senyawa jenuh mengandung atom dengan pasangan elektron menyendiri
(non-bonding electrons) yang dapat mengalami transisi n→ σ*. Transisi ini
membutuhkan energi yang lebih dari transisi σ → σ* sehingga dapat
diinisiasi oleh cahaya dengan panjang gelombang antara 150-250 nm.
c. Transisi n→ π* dan π → π *
Elektron dalam ikatan rangkap dua dan rangkap tiga mengalami eksitasi
elektron dari π ke π *. Pada molekul terkonjugasi yaitu molekul yang
memiliki ikatan rangkap berselang-seling dengan ikatan tunggal, absorpsi
bergeser ke panjang gelombang yang lebih panjang sehingga energi untuk
mengeksitasikan elektron lebih kecil. Untuk transisi n→ π *, umum terjadi
pada senyawa yang memiliki pasangan elektron bebas.
Spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak banyak pada senyawa
organik didasarkan pada transisi n→ π * atau π ke π *.

Spektrofotometer UV-Vis terdiri dari beberapa komponen pokok yaitu


(Gambar 2.5) yaitu sumber radiasi (lampu hidrogen, deuterium, atau wolfram),
kuvet (kuarsa, kaca, atau plastik), monokromator, detektor, dan rekorder. Untuk
Gambar 2.5 ditampilkan jenis spektrofotometer UV-Vis double beam.
Pada spektrofotometer UV-Vis double beam terdapat ciri khas yaitu
adanya rotating disc yang dapat memutar untuk tempat blanko sekaligus untuk
tempat sampel.

Universitas Indonesia
16

Gambar 2.5 Skema alat UV-Vis


[Sumber : http://chem-is-try.org]

2.2.8 Fourier Transform Infra Red (FT-IR)

FT-IR ini bekerja dalam daerah spekstroskopi infra merah. FT-IR


berkaitan dengan vibrasi molekul karena pada dasarnya molekul itu tidak diam.
Pada spektroskopi infra merah, radiasi IR dilewatkan melalui sampel. Daerah IR
dibagi menjadi tiga bagian, yiatu IR dekat (400-10 cm-1), tengah (4000-400 cm-1),
dan jauh (14000-4000 cm-1).

Gambar 2.6 Skema Kerja FTIR


[Sumber : http//flsmidth.com/en-us/en-us/Gas+Analysis/FTIR]

Universitas Indonesia
17

Foton IR mempunyai energi yang cukup untuk membuat molekul


bervibrasi (Khopkar,1984). Terdapat beberapa jenis vibrasi dalam IR, yaitu ulur
(stretching), tekuk (bending). Vibrasi ulur (stretching) umumnya terjadi pada
frekuensi yang lebih tinggi daripada frekuensi yang dimiliki oleh vibrasi tekuk
(bending). Syarat senyawa dapat terdeteksi dalam daerah IR yaitu harus
mempunyai minimal satu vibrasi akibat perbedaan momen dipol.

2.2.9 Gas Chromatography (GC)

Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan yang berdasarkan


kecepatan migrasi dan interaksi fasa gerak serta fasa diam dari suatu sampel.
Kromatografi gas umum dipakai untuk senyawa yang mudah menguap (volatil).
Kromatografi gas memakai fasa gerak dalam bentuk gas. Prinsip dasar dari
kromatografi gas yaitu berdasarkan perbedaan migrasi masing-masing komponen
dari sampel pada kolom. Hal ini dapat diketahui yaitu berdasarkan waktu
retensinya (Tr). Adapun syarat untuk analit harus memiliki titik didih rendah
(250-300oC) serta tidak terdegradasi dalam temperatur tinggi (Agilent
Technologies, 2002).

Gambar 2.7 Skema Kerja GC

[Sumber : http://teaching.shu.ac.uk/hwb/chemistry/tutorials/chrom/gaschrm.htm ]

Universitas Indonesia
18

2.2.10 X-Ray Diffraction (XRD)

XRD merupakan suatu instrumen yang dapat mengamati dan menganalisis


komposisi fasa atau senyawa pada material dan juga dapat digunakan untuk
karakterisasi kristal. XRD ini berdasarkan sinar-x yang merupakan foton
berenergi tinggi. Dasar dari pengukuran dengan XRD adalah dengan hukum
Bragg. Berkas sinar X yang dihamburkan harus mengikuti hukum Bragg, yaitu:

n.λ = 2.d.sin θ (dengan n = 1,2,...)

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X terjadi pada
hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik.
Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi
yang konstruktif.
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada
sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki
panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar
yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai
sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel,
makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul
pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu
dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran
ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua
jenis material. Standar ini disebut JCPDS (Birkholz, 2006). Prinsip kerja XRD
secara umum adalah sebagai berikut : XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu
tabung sinar-X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar X. Sinar X
dihasilkan di tabung sinar X yang berisi katoda memanaskan filamen, sehingga
menghasilkan elektron. Perbedaan teganganmenyebabkan percepatan elektron
akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi
dan menabrak elektron dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar X. Objek
dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar X.
Detektor merekam dan memproses sinyal sinar X dan mengolahnya dalam bentuk
grafik (Warren,1969).

Universitas Indonesia
19

Gambar 2.8 Skema Kerja XRD


[Sumber : http://www.spec2000.net/09-xrd.htm]

2.2.11 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy


(SEM-EDS)

SEM merupakan instrumen yang umum digunakan untuk mengamati


morfologi dari suatu bahan. Prinsip kerja dari SEM adalah berdasarkan sifat
gelombang dari elektron. Elektron dapat dihamburkan oleh sampel yang
bermuatan (karena sifat listriknya). Secara prinsip kerja, SEM memiliki
persamaan dengan alat mikroskop optik pada umumnya. Namun, ada perbedaan
yaitu pada berkas elektron yang disejajarkan dan difokuskan oleh magnet yang
berfungsi sebagai lensa. Dengan SEM morfologi dan topografi dari suatu sampel
secara imaging dapat tergambar, untuk secara kuantitatif SEM dilengkapi dengan
EDS. EDS dihasilkan dari sinar X yang memiliki karakteristik khas yang apabila
ingin diketahui komposisi. Pada penggunaan SEM-EDS, sampel harus bahan yang
konduktif, apabila tidak konduktif maka harus dilapisi logam seperti Au (emas)
(Goldstein et al., 2003).

Skema kerja dari SEM-EDS (Goldstein et al.,2003), antara lain:

- Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan


anoda.
- Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.
- Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan
diarahkan oleh koil pemindai.

Universitas Indonesia
20

- Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan


elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor
(CRT).

Gambar 2.9 Skema kerja SEM

[Sumber : J. W. S. Hearle, J. T.Sparrow, P. M. Cross, 1979]

2.2.12 Transmission Electron Microscope (TEM)

TEM dapat diaplikasikan untuk menganalisis mikrostruktur, identifikasi


defek, struktur kristal, analisa interfasa, dan terutama untuk analisa elemental
skala nanometer. Resolusi pada TEM lebih tinggi dari SEM, yaitu 0,1 sampai 0,2
nm, sedangkan SEM hanya 1 sampai 3 nm. Pada TEM, sample yang sangat tipis
ditembak dengan berkas elektron yang berenergi sangat tinggi (dipercepat pada
tegangan ratusan kV). Berkas elektron dapat menenbus bagian yang “lunak”
sampel tetapi ditahan oleh bagian keras sampel (seperti partikel). Detektor yang
berada di belakang sampel menangkap berkas elektron yang lolos dari bagian

Universitas Indonesia
21

lunak sample. Akibatnya detektor menangkap bayangan yang bentuknya sama


dengan bentuk bagian keras sampel (bentuk partikel). Dalam pengoperasian TEM
yang paling sulit dilakukan adalah mempersiapkan sampel. Sampel harus setipis
mungkin sehingga dapat ditembus elektron. Sampel ditempatkan di atas grid TEM
yang terbuat dari tembaga atau karbon. Jika sample berbentuk partikel, biasanya
partikel didispersi di dalam zat cair yang mudah menguap seperti etanol lalu
diteteskan ke atas grid TEM. Jika sampel berupa komposit partikel di dalam
material lunak seperti polimer, komposit tersebut harus diiris tipis (beberapa
nanometer) (Abdullah, Mikrajuddin dan Khairurrijal, 2008)

Gambar 2.10 Skema Kerja TEM

[Sumber : Williams, David B. dan Carter, C.Barry, 2009]

2.2.13 Density meter

Density meter merupakan alat pengukur densitas atau massa jenis dari
suatu bahan atau sampel. Densitas dari suatu bahan, terutama cairan merupakan
kunci utama dari pengontrolan proses di industri. Dengan diketahui densitas dari
suatu produk, maka akan dapat ditentukan kuantitas dan kualitas dari produk

Universitas Indonesia
22

tersebut (A.Furtado et al., 2009). Prinsip dasar dari pengukuran densitas pada alat
ini yaitu berdasarkan prinsip pipa U osilasi pada hukum osilasi harmonis.

Gambar 2.11 Alat density meter

[Sumber : http://www.dichtheid-density.nl/]

2.2.14 Turbidimeter

Turbidimeter merupakan alat untuk menguji kekeruhan dengan sampel


cairan. Satuan yang digunakan yaitu Nephelometric Turbidity Units (NTU).
Prinsip dari turbidimeter yaitu sinar yang datang mengenai suatu partikel yang
diteruskan dan ada yang dipantulkan; sinar yang diteruskan (ditransmisikan dan
ini yang akan digunakan sebagai dasar pengukuran) (Sadar,1996).

Gambar 2.12 Turbidimeter

[Sumber : http://hach.com/2100p]

Universitas Indonesia
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : gelas kimia,
gelas ukur, labu bulat, pipet tetes, pipet volumetri, bulb, botol timbang, botol
semprot, tabung vial, tabung reaksi, test sieve 200 mesh , tabung sentrifuge,
batang pengaduk, spatula, corong, termometer, sentrifuge, oven (Memmert),
magnetic stirrer (Ika Work), magnetic bar, furnace (Nabhertem), dan neraca
analitik (Mettler Toledo).
Alat uji yang digunakan untuk karakterisasi pada penelitian ini yaitu :
Spektrofotometer Ultraviolet-Visible (Shimadzu 2600), Fourier Transform Infra
Red (FT-IR) (Prestige 21 Shimadzu), SEM-EDS (JEOL JED-2300), X-Ray
Diffraction (XRD) (Shimadzu XD610), dan Gas Chromatography (GC) (Agilent
Technologies 1635), Turbidimeter (Hach 2100P).

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit alam (CV.
Transindo Citra Utama), Remazol Brilliant Blue R (PT.Dystar Indonesia),
H2O2 30 % (Merck), HCl (Merck), NaOH (Merck), Cu(NO3)2·3H2O (Merck),
Zn(NO3)2·4H2O (Merck), akuabides (PT. Ikapharmindo Putramas) dan
gliserol 87%(Merck).

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Pembuatan Larutan Induk

23 Universitas Indonesia
24

3.2.1.1 Pembuatan larutan HCl 0,05 M dan larutan NaOH 0,05 M

Pembuatan larutan HCl 0,05 M yaitu dengan mengambil HCl 11,96 M


dipipet sebanyak 2,1 mL dan diencerkan dengan akuabides ke dalam labu ukur
500 mL sehingga konsentrasi larutan menjadi 0,05 M. Pembuatan larutan NaOH
0,05 M yaitu sebanyak 1 g NaOH padatan diencerkan dengan akuabides dalam
labu ukur 500 mL.

3.2.1.2 Pembuatan larutan NaOH 0,1 M

Sebanyak 1 g NaOH padatan diencerkan dengan akuabides dalam labu


ukur 250 mL.

3.2.1.3 Pembuatan larutan NaCl 1,0 M

Pada pembuatan 1L NaCl 1,0 M dilakukan dengan melarutkan sebanyak


58,50 g NaCl dilarutkan dengan 1 L akuabides.

3.2.1.4 Pembuatan larutan Cu(NO3)2 1,0 x 10-2 M

Sebanyak 0,2416 g Cu(NO3)2. 3H2O dilarutkan dalam 100 mL akuabides.

3.2.1.5 Pembuatan larutan Zn(NO3)2 1,0 x 10-2 M

Sebanyak 0,2614 g Zn(NO3)2. 4H2O dilarutkan dalam 100 mL akuabides.

3.2.2 Aktivasi Zeolit Alam

3.2.2.1 Aktivasi Secara Fisika

Secara fisika zeolit diaktifkan dengan cara mencuci zeolit dalam akuabides
dengan perbandingan zeolit : akuabides yaitu 1: 3 (w/v) (300 g zeolit dalam 900
mL akuabides) lalu zeolit diaduk selama 1 jam pada suhu 70 oC. Setelah diaduk
zeolit diendapkan selama 24 jam, lalu filtratnya di ambil. Filtrat yang diambil
selanjutnya dicuci kembali dengan menggunakan akuabides dan diaduk selama 1
jam pada suhu 70 oC lalu diendapkan selama 24 jam. Endapan yang terbentuk

Universitas Indonesia
25

kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC. Pencucian secara fisika dilakukan
sebanyak tiga kali.

3.2.2.2 Aktivasi secara Kimia

Aktivasi secara kimia dilakukan dengan asam encer HCl 0,05 M dan
dilanjutkan dengan basa encer NaOH 0,05 M. Untuk aktivasi kimia dengan asam
encer yaitu dengan perbandingan zeolit : HCl adalah 1 : 3 (w/v) ( 165 g zeolit :
495 mL HCl 0,05 M) dan campuran diaduk selama 1 jam pada suhu 70oC dan
diendapkan selama 24 jam. Endapan yang terbentuk diambil dan dikeringkan pada
suhu 105o C. Aktivasi dengan basa encer dilakukan dengan menggunakan NaOH
0,05 M dengan perbandingan zeolit : basa yaitu 1: 3 (150 g zeolit : 450 mL NaOH
0,05M) dan diperlakukan sama seperti pada aktivasi dengan asam encer.

3.2.2.3 Penyeragaman Kation pada Zeolit

Zeolit yang telah kering kemudian diseragamkan kationnya dengan NaCl


1 M dengan perbandingan 1:10 (w/v) (100 g zeolit dalam 1 L NaCl 1 M)
campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 8 jam pada 70 oC dan
diendapkan 2x24 jam. endapan dikeringkan pada suhu 105o C. Selanjutnya zeolit
dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 300 oC dan zeolit yang telah diseragamkan
kationnya dikarakterisasi dengan menggunakan FT-IR , SEM-EDS, dan XRD

3.2.3 Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel CuO

3.2.3.1 Pembuatan Zeolit@CuO

Sebanyak 20 mL Cu(NO3)2 1,0 x10-3 M dan 1 gram Na-Zeolit


dicampurkan serta diaduk dengan magnetic stirrer selama 4 jam pada suhu
80 oC dan diendapkan selama 24 jam. Setelah itu didekantasi, dilakukan
pencucian dengan akuabides. Setelah itu, padatan dikeringkan di oven pada suhu
60 oC. Produk yang dihasilkan yaitu zeolit@Cu2+ . Sebanyak 0,75 gram
zeolit@Cu2+ dicampurkan dengan 1,0 x10 -4 M NaOH sampai pH mencapai 8,0
(Fereshteh et al., 2013 , dengan modifikasi; Gupta , 2011; Novita, 2012).

Universitas Indonesia
26

Reaksi pencampuran ini dilakukan pada suhu 80 oC . Filtrat didekantasi dan


endapan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60oC dan dikalsinasi pada suhu
350 oC selama 2 jam. Karakterisasi zeolit@CuO dilakukan dengan FT-IR, XRD,
dan SEM-EDS.

3.2.4 Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel ZnO

3.2.4.1 Pembuatan Zeolit@ZnO

Sebanyak 20 mL Zn(NO3)2 1,0 x10-3 M dan 1 gram Na-Zeolit


dicampurkan, serta diaduk dengan magnetic stirrer selama 4 jam pada suhu
80oC dan diendapkan selama 24 jam (Fereshteh et al., 2013 dengan modifikasi;
Gupta , 2011; Novita, 2012). Setelah itu didekantasi, dilakukan pencucian
dengan akuabides. Setelah itu, padatan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60
o
C. Produk yang dihasilkan yaitu zeolit@ Zn2+ .
Sebanyak 0,75 gram zeolit@Zn2+ dicampurkan dengan 1,0 x10 -4 M
NaOH sampai pH mencapai 8. Reaksi pencampuran ini dilakukan pada suhu
80 oC. Filtrat didekantasi dan endapan dikeringkan di oven pada suhu 60 oC dan
dikalsinasi pada suhu 350 oC selama 2 jam. Zeolit yang telah kering
Karakterisasi zeolit@ZnO dilakukan dengan XRD dan SEM-EDS.

3.2.5 Penentuan Absorptivitas Molar RBBR

Sebanyak 0,25 gram padatan RBBR dilarutkan dalam labu ukur 250 mL
(1000 ppm). Larutan tersebut kemudian diencerkan menjadi 2 ppm, 4 ppm, 6
ppm, 8 ppm, dan 10 ppm. Penentuan panjang gelombang dan absorbansi
maksimum dilakukan menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Plot konsentrasi
dengan absorbansi untuk mendapatkan nilai ɛ yang merupakan absorptivitas
molar.

3.2.6 Aplikasi Degradasi Termal RBBR

Aplikasi degradasi termal ini merujuk pada penelitian sebelumnya


(Fathimah, skripsi 2013). Aplikasi dilakukan dengan memasukkan 4 mL larutan

Universitas Indonesia
27

RBBR 10 ppm ke dalam labu bulat. Kemudian ditambahkan sejumlah H 2O2 dan
katalis (Na-zeolit, zeolit@CuO, dan zeolit@ZnO). Selanjutnya reaktor dipanaskan
dalam oil bath (gliserol) sambil diaduk selama kurang lebih 90 menit. Produk
degradasi yang dihasilkan dianalisis menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

3.2.7 Optimasi Degradasi Termal RBBR

3.2.7.1 Variasi Konsentrasi H2O2

Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan beberapa konsentrasi


H2O2 yang ditambahkan ke dalam sampel RBBR. Variasi konsentrasi dilakukan
dengan menambahkan variasi volume dari H2O2 30 % sebanyak 0,1 mL; 0,2 mL;
0,3 mL, dan 0,4 mL ke dalam 4 mL larutan RBBR 10 ppm. Hal ini membuat
konsentrasi akhir (pencampuran) yaitu menjadi 2,37x10 -1 M; 4,62x10-1 M;
6,77x10-1 M; dan 8,82x10-1 M (Fathimah, skripsi 2013). Selanjutnya reaksi
dilakukan pada suhu 98◦C selama kurang lebih 90 menit.

3.2.7.2 Variasi Suhu Reaksi

Percobaan dilakukan dengan memvariasikan suhu reaksi degradasi RBBR


pada konsentrasi optimum H2O2 (sub bab 3.2.7.1) ditambahkan ke dalam 4 mL
larutan RBBR 10 ppm. Reaksi dilakukan selama kurang lebih 90 menit dengan
variasi suhu 45◦ C, 90 ◦ C, 92 ◦ C, 95 ◦ C, 98 ◦ C, dan 100 ◦ C.

3.2.7.3 Variasi Berat Katalis Zeolit@Oksida Logam (CuO dan ZnO)

Percobaan dilakukan dengan memvariasikan berat katalis zeolit@oksida


logam yang ditambahkan ke dalam reaksi degradasi RBBR pada konsentrasi H2O2
optimum(sub bab 3.2.7.1). Variasi berat katalis zeolit@oksida logam divariasikan
yaitu 20 mg, 50 mg, 100 mg, dan 150 mg. Kemudian, katalis ditambahkan ke
dalam 4 mL larutan RBBR 10 ppm. Reaksi dilakukan pada suhu optimum (sub
bab 3.2.7.2) selama kurang lebih 90 menit.

Universitas Indonesia
28

3.2.7.4 Variasi Waktu Reaksi

Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan waktu reaksi terhadap


hasil optimum dari variasi konsentrasi H2O2 (sub bab 3.2.7.1) dan variasi berat
katalis Zeolit@OksidaLogam (sub bab 3.2.7.3). Katalis ditambahkan ke dalam 4
mL larutan RBBR 10 ppm. Reaksi dilakukan pada suhu optimum (sub bab
3.2.7.2).

3.2.8 Uji Adsorpsi RBBR terhadap Katalis

Percobaan ini merujuk pada penelitian sebelumnya (Fathimah, skripsi


2013). Uji adsorpsi ini dilakukan dalam tiga tahap kondisi terhadap waktu.
Kondisi pertama adalah dengan menambahkan katalis zeolit@oksidalogam
dengan berat optimum (sub bab 3.2.7.3) ke dalam 4 mL larutan RBBR 10 ppm.
Kemudian kondisi dilanjutkan dengan penambahan panas pada suhu optimum
(sub bab 3.2.7.2). Kondisi terakhir dilanjutkan dengan penambahan H2O2 pada
konsentrasi optimum (sub bab 3.2.7.1).

3.2.9 Karakterisasi Produk Akhir Degradasi

3.2.9.1 Karakterisasi dengan GC (Gas Chromatoghrapy)

Produk akhir degradasi dikarakterisasi dengan GC dan dianalisis.

3.2.9.2 Karakterisasi dengan Density meter

Dilakukan pengukuran densitas pada reaksi awal, setengah reaksi (saat


% dye removal setengah dari % dye removal maksimum). Selain itu, dilakukan
pengukuran densitas akuabides yang digunakan.

3.2.9.3 Karakterisasi dengan Turbidimeter (Uji Kualitatif CO2)

Dilakukan pengukuran turbidimeter untuk akuabides, reaksi awal


ditambah Ba(OH)2 0,05 M dan reaksi optimum ditambah Ba(OH) 2 0,05 M.

Universitas Indonesia
29

3.2.10 Diagram Alir Kerja

Zeolit Alam
FT-IR

SEM-
Aktivasi Fisika Aktivasi Kimia Penyeragaman Kation EDS

FT-IR

XRD
Na-Zeolit SEM-EDS

Immobilisasi
FT-IR

Zeolit@CuO XRD

Zeolit@ZnO SEM-
EDS

TEM

Aplikasi sebagai Katalis


Degradasi Termal Remazol
Optimasi
Brilliant Blue R (RBBR)

Variasi Konsentrasi H2O2

Variasi Suhu
UV-Vis
Variasi Berat Katalis GC

Density
Variasi Waktu
meter

Variasi Konsentrasi RBBR Turbidi


meter

Uji Adsorpsi RBBR

Metode Laju
Studi Kinetika Awal dan Orde Nilai kr
Satu

Universitas Indonesia
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aktivasi Zeolit

Pada penelitian ini digunakan zeolit alam yang berasal dari daerah Bayah,
Jawa Barat dan didapat dari CV. Transindo Citra Utama. Zeolit alam masih
mengandung berbagai pengotor. Untuk menghilangkan pengotor sekaligus
mengaktifkan zeolit agar dapat diaplikasikan sebagai katalis, maka diperlukan
aktivasi zeolit alam. Namun, sebelum dilakukan aktivasi, zeolit alam terlebih
dahulu diayak dengan test sieve 200 mesh (75 mikron). Hal ini agar didapatkan
ukuran partikel zeolit alam yang seragam. Setelah itu, dapat dilakukan aktivasi
zeolit alam yang meliputi tiga tahapan, yaitu aktivasi fisika, aktivasi kimia, dan
penyeragaman kation.

4.1.1 Aktivasi Secara Fisika

Aktivasi fisika zeolit alam dilakukan dengan mencuci zeolit dengan


menggunakan akuabides yang dipanaskan pada 70 oC secara berulang. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan pengotor fisik yang menempel pada permukaan
zeolit seperti pasir, tanah , debu, maupun pengotor yang bersifat polar sehingga
dapat larut dalam air. Selain itu, pencucian dilakukan pada suhu 70 oC yang
bertujuan untuk membuka sedikit pori dari zeolit sehingga diharapkan pengotor
yang masih terjebak di dalam pori dapat terbawa lebih mudah. Dilakukan
pencucian sebanyak tiga kali bertujuan agar proses aktivasi fisika berlangsung
optimal.

4.1.2 Aktivasi Secara Kimia

Aktivasi secara kimia dilakukan menggunakan asam encer HCl 0,05 M


dan basa encer NaOH 0,05 M bertujuan menghilangkan pengotor-pengotor yang
larut dalam asam dan basa. Asam dan basa yang digunakan harus dalam
konsentrasi yang kecil atau encer. Hal ini untuk menghindari terjadinya

30 Universitas Indonesia
31

dealuminasi dan desilikasi pada zeolit. Aktivasi kimia berlangsung pada suhu
70 oC bertujuan agar dapat sedikit membuka pori-pori dan rongga pada zeolit
sehingga pengotor-pengotor yang terjebak di dalam pori dapat terbawa dan hilang
sehingga zeolit dapat aktif untuk digunakan sebagai support katalis.

4.1.3 Penyeragaman Kation Pada Zeolit Alam

Pada zeolit alam terdapat berbagai jenis kation penyeimbang (counter ion)
pada strukturnya. Hal ini dapat mengganggu immobilisasi nanopartikel CuO dan
nanopartikel ZnO pada zeolit. Oleh karena itu, diperlukan pengondisian zeolit
dengan hanya satu kation penyeimbang saja. Dilakukan proses penyeragaman
kation pada zeolit alam dengan menggunakan NaCl jenuh.
Pengondisian zeolit dengan NaCl jenuh dilakukan dengan mencuci zeolit
menggunakan NaCl 1M dengan perbandingan zeolit : NaCl (w/v) yaitu 1 : 10 dan
dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini bertujuan untuk mendifusikan kation Na+ ke
dalam pori zeolit. Ion Na+ akan menggantikan berbagai jenis dari kation
penyeimbang pada zeolit alam. Akan tetapi, tidak semua ion yang berada pada
struktur zeolit tergantikan oleh Na+ . Hal ini karena terjadinya proses
kesetimbangan saat pertukaran kation penyeimbang pada zeolit alam dengan Na+.
Semakin banyak ion Na+ dalam struktur zeolit, maka pergantian Na+ oleh Cu2+
dan Zn2+ serta proses immobilisasi nanopartikel CuO dan ZnO ke dalam zeolit
menjadi lebih mudah.
Setelah penyeragaman kation, prosedur uji bebas Cl- penting dilakukan,
yaitu dengan melakukan pencucian zeolit dengan akuabides panas. Langkah ini
sama dengan aktivasi fisika. Pencucian dengan akuabides panas dilakukan untuk
menghilangkan ion klorin (Cl-) setelah penyeragaman kation dengan NaCl. Hal ini
karena ion klorin (Cl-) mudah larut dalam air panas. Pencucian ini dilakukan
secara berulang hingga tidak terdapat ion Cl-. Uji bebas Cl- dilakukan pada filtrat
zeolit dengan menggunakan AgNO3 sampai tidak terdapat endapan putih (AgCl).
Endapan zeolit yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC dan
dikalsinasi pada suhu 300 oC selama 2 jam untuk menghilangkan sisa air yang
masih terjebak pada pori atau rongga zeolit serta untuk menguraikan pengotor-
pengotor organik yang terkandung dalam zeolit. Hasil yang didapat yaitu

Universitas Indonesia
32

Na-zeolit yang secara tampak fisik lebih putih dibandingkan warna zeolit alam
seperti pada Gambar 4.1.

a b
) )

Gambar 4.1 Tampak Fisik Zeolit : a) Zeolit Alam b) Na-Zeolit

4.1.4 Karakterisasi Zeolit Alam, Zeolit Aktif, dan Na-Zeolit

Zeolit alam dikarakterisasi dengan BET agar dapat diketahui luas


permukaan, volume pori, dan ukuran pori. Didapatkan ukuran pori zeolit 12,087
nm dengan luas permukaan pori sebesar 28,768 m2/g (Daud,2011) (terdapat pada
lampiran 3). Ukuran pori yang didapatkan yaitu termasuk dalam kategori
mesopori (2-50 nm). Selain dengan BET, zeolit aktif juga dikarakterisasi dengan
XRF dan XRD menggunakan data dari penelitian sebelumnya (Nova, 2011).
Hasil menunjukkan bahwa zeolit alam yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan campuran dari zeolit klinoptilolit dan zeolit modernit. Hal ini
berdasarkan rasio Si/Al yang ada serta pola puncak difraktogram yeng
menunjukkan kemiripan dengan pola difraktogram zeolit klipnotilolit dan
modernit (lampiran 2).

Universitas Indonesia
33

4.1.4.1 Karakterisasi FT-IR Zeolit Alam dan Na-Zeolit

Untuk mengetahui apakah Na-zeolit berhasil terbentuk, maka dilakukan


karakterisasi dengan FT-IR. Pada karakterisasi FT-IR akan dapat diketahui jenis
vibrasi yang terdapat pada zeolit alam dan Na-zeolit. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar.4.2.

100
Zeolit Alam
Na-Zeolit

80 T-O ulur simetris


% Transmittan

60

H-O-H tekuk
40
-OH ulur
T-O ulur asimetris
O-T-O tekuk
20
4000 3000 2000 1000
-1
Bilangan Gelombang (cm )

Gambar 4.2 Spektra FT-IR Zeolit Alam dan Na-Zeolit

Karakterisasi Na-Zeolit dan Zeolit alam menunjukkan hasil spektrum


yang tidak jauh berbeda. Hal ini ditunjukkan pada jenis vibrasi Na-Zeolit dan
zeolit alam. Pada bilangan gelombang 3625 cm-1 terdapat vibrasi ulur –OH pada
zeolit terhidrasi. Pada bilangan gelombang 1630 cm-1 terdapat vibrasi tekuk
H-O-H. Jenis vibrasi lain pada zeolit adalah vibrasi ulur asimetris T-O dari Al-O
pada TO4 pada bilangan gelombang 1030 cm-1, sedangkan pada 798 cm-1 terdapat
vibrasi ulur simetris T-O. Pada bilangan gelombang 451 cm-1 menunjukkan
adanya vibrasi tekuk dari O-Si-O atau O-Al-O (Pechar et al.,1979). Hal ini
menunjukkan bahwa proses aktivasi dan penyeragaman kation untuk
mendapatkan Na-zeolit tidak merusak struktur zeolit.

Universitas Indonesia
34

4.1.4.2 Karakterisasi Zeolit Alam dan Na-Zeolit dengan SEM-EDS

Hasil karakterisasi FT-IR pada Gambar 4.2 didukung oleh data SEM-EDS
dari Na-Zeolit pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 ,yaitu bahwa Na+ telah berhasil
masuk dalam zeolit dan kuantitas % atom Na melebihi atom Ca dan K. Pada
Gambar 4.3 yaitu hasil SEM Na-zeolit terlihat bahwa Na-zeolit secara morfologi
mempunyai pori dan rongga. Secara kuantitas, apabila kuantitas % atom Na
dibandingkan dengan zeolit alam, terlihat bahwa terjadi peningkatan kuantitas
% atom Na pada Na-zeolit. Pada zeolit alam, % atom Na hanya 0,62 % , hal ini
berbeda dengan % atom Na pada Na-zeolit yaitu sebesar 1,99%. Pada atom Ca
dan K terjadi pengurangan % atom. Pada zeolit alam % atom Ca 2,05 %,
sedangkan pada Na-zeolit yaitu terjadi penurunan cukup besar yaitu menjadi
0,41%.

a) b)

Gambar 4.3 SEM Na-zeolit a) Perbesaran 750 x b) Perbesaran 3000 x

Hal yang sama juga terjadi pada atom K, % atom K mengalami


pengurangan yaitu dari 1,11 % menjadi 0,41 %. Selain itu, pada Na-zeolit sudah
tidak terdapat atom Mg dan Fe, seperti tertera pada hasil EDS Gambar 4.4. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena akibat proses aktivasi dan pengondisian zeolit oleh
NaCl yang membuat % atom Na menjadi lebih bertambah. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa Na-zeolit telah berhasil terbentuk dan penyeragaman kation
dengan NaCl pada zeolit berhasil dilakukan.

Universitas Indonesia
35

70,00

60,00

50,00

40,00
% Atom

30,00

20,00

10,00

0,00
O Na Al Si K Ca Mg Fe C
Na-Zeolit 68,04 1,99 3,54 25,62 0,41 0,405
Zeolit Alam 65,03 0,62 4,42 19,51 1,11 2,05 0,53 0,39 13,71

Gambar 4.4 Grafik EDS zeolit alam dan Na-zeolit

4.2 Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel Oksida Logam


Transisi

Immobilisasi nanopartikel oksida logam transisi ke dalam zeolit meliputi


dua tahapan, yaitu impregnasi atau mengisi rongga zeolit oleh ion Cu 2+ dan Zn2+
serta sintesis nanopartikel CuO dan ZnO dalam rongga zeolit melalui penambahan
NaOH sebagai sumber oksida sehingga akan dapat terbentuk CuO dan ZnO.
Penambahan NaOH untuk membentuk zeolit@CuO dan zeolit@ZnO dipengaruhi
oleh pH. Selain itu, pada proses ini dibutuhkan suhu 80oC (Fereshteh et al.,2013).

4.2.1 Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel CuO

Pada pembuatan zeolit@CuO, prekursor yang digunakan untuk sebagai


sumber Cu yaitu larutan Cu(NO3)2 1,0x10-3 M. Larutan Cu(NO3)2 1,0x10-3 M
dicampurkan dengan zeolit dan diaduk dengan stirrer selama 4 jam pada suhu
80 oC. Hal ini bertujuan untuk mendifusikan ion Cu2+ ke dalam pori-pori zeolit
serta menggantikan posisi Na+ pada pori zeolit. Selanjutnya, dilakukan proses

Universitas Indonesia
36

aging atau pengendapan selama 24 jam. Hal ini agar proses tukar kation antara
Na+ dengan Cu2+ dapat berlangsung optimal sehingga Cu2+ akan benar-benar
masuk ke dalam pori zeolit. Selanjutnya, dilakukan penambahan NaOH
1,0x10-4 M setetes demi tetes pada zeolit@Cu2+ hingga mencapai rentang pH 8,0.
Pemilihan pH pada 8,0 karena pada proses pembentukan CuO terlebih dahulu
akan terbentuk Cu(OH)2, dengan pemanasan, H2O akan menguap, maka akan
dapat terbentuk CuO. Pembentukan Cu(OH)2 ini termasuk dalam rentang pH basa,
khususnya pH 8,0. Pada proses ini, dibutuhkan panas yaitu pada suhu 80 oC. Hal
ini mengingat bahwa reaksi dasar dari pembentukan CuO, yaitu :

Cu(NO3)2 (aq) + 2NaOH (aq) CuO (s) + NaNO3(aq) + H2O

a b
) )
)
Gambar 4.5 Tampak fisik dari : a)Na-zeolit b)Zeolit@CuO

Pada Gambar 4.5 terdapat perbedaan warna yang jelas antara Na-zeolit
dengan zeolit@CuO. Zeolit@CuO berwarna coklat dan Na-zeolit berwarna putih.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara kualitatif, CuO telah masuk ke dalam
zeolit. Pada karakterisasi zeolit@CuO dengan FT-IR yaitu pada Gambar 4.6,
terdapat vibrasi khas Cu-O pada 598 cm-1 (Ejhieh et al., 2013). Hasil FT-IR ini
didukung oleh hasil SEM-EDS dan XRD dari zeolit@CuO. Hasil SEM
zeolit@CuO yang terdapat pada Gambar 4.7 yang terlihat adalah morfologi dari
zeolit saja, sementara untuk nanopartikel CuO yang terperangkap dalam rongga
zeolit belum terlihat, hal ini disebabkan perbesaran yang digunakan belum mampu
memperlihatkan keberadaan nanopartikel CuO dalam zeolit. Oleh karena itu,
dibutuhkan perbesaran yang lebih besar dari perbesaran 10000x pada SEM.

Universitas Indonesia
37

100 Na-Zeolit
Zeolit-CuO

80
% Transmittan

60 Cu-O

40

20
4000 3000 2000 1000
-1
Bilangan Gelombang (cm )
Gambar 4.6 Spektra FT-IR Zeolit@CuO

a) b)

Gambar 4.7 SEM Zeolit@CuO

a) Perbesaran 3000x b) Perbesaran 10000x

Universitas Indonesia
38

70 68,04

60
50,56
50

40
% Atom

36,31

30 25,62

20

10 6,36
3,54
1,52 1,99 1,65
0
O Na Al Si Cu

Zeolit@CuO Na-zeolit

Gambar 4.8 Grafik EDS zeolit@CuO dan Na-zeolit

800

700 Zeolit-CuO
Na-Zeolit

600
Intensitas (counts)

500

400

300

200

100

0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

2 theta (deg)

Gambar 4.9 X-ray Difraktogram zeolit@CuO dan Na-zeolit

Pada Gambar 4.8 yaitu pada zeolit@CuO, % atom Na telah berkurang dari
1,99 % menjadi 1,52 %. Hal ini menandakan bahwa sebagian Na+ telah bertukar

Universitas Indonesia
39

kation dengan Cu2+ dari CuO. Hal ini juga dibuktikan bahwa % atom Cu yang
dihasilkan yaitu sebesar 1,65 %. % CuO yang berhasil masuk pada zeolit yaitu

2,07%. Hal ini berdasarkan perhitungan :

Pada hasil XRD terdapat CuO dengan intensitas lemah pada 2 theta di 31˚
(Fereshteh et al., 2013); 35,750; dan 38,930 sesuai dengan JCPDS No: 45-0937.
Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan zeolit@CuO telah berhasil dilakukan. Ini
ditunjukkan pada Gambar 4.9. Selain itu, dilakukan karakterisasi dengan
Transmission Electron Microscope (TEM). Pada Gambar 4.10 terlihat bahwa
pada bagian gelap yaitu nanopartikel CuO telah terbentuk dan terperangkap di
dalam zeolit (bagian yang terang). Bagian gelap menunjukkan densitas yang lebih
besar, dalam hal ini yaitu nanopartikel CuO. Ukuran partikel nano CuO < 20 nm
bila dilihat dari scale bar100 nm, 50 nm, dan 20 nm. Namun, disini terlihat bahwa
distribusi nanopartikel CuO kurang merata.

a) b)

c)

Gambar 4.10 Hasil Pengukuran TEM zeolit@CuO


a) Scale bar 100 nm b) Scale bar 50 nm c) Scale bar 20 nm

Universitas Indonesia
40

4.2.2 Pembuatan Katalis Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel ZnO


(Zeolit@ZnO)

Pada pembuatan zeolit@ZnO, prekursor yang digunakan untuk sebagai


sumber Zn yaitu larutan Zn(NO3)2 1,0x10-3 M. Ini merupakan jenis prekursor yang
sama dengan yang digunakan untuk membuat zeolit@CuO, yaitu prekursor jenis
nitrat(NO3-). Jenis prekursor yang digunakan harus dalam jenis yang sama, hal ini
karena mengingat akan dibandingkan aktivitas katalitik dari zeolit@CuO dan
zeolit@ZnO. Apabila jenis prekursor yang digunakan berbeda, yaitu dengan ligan
yang berbeda, hal ini akan turut memberikan pengaruh. Perlu diketahui bahwa
setiap ligan mempunyai kekuatan yang berbeda-beda sesuai deret spektro ligan.
Larutan Zn(NO3)2 1,0x10-3 M dicampurkan dengan zeolit dan diaduk
dengan stirrer selama 4 jam pada suhu 80oC. Hal ini bertujuan untuk
mendifusikan ion Zn2+ ke dalam pori-pori zeolit serta menggantikan posisi Na+
pada pori zeolit. Selanjutnya, dilakukan proses aging atau pengendapan selama
24 jam. Hal ini agar proses tukar kation antara Na+ dengan Zn2+ dapat
berlangsung optimal sehingga Zn2+ akan benar-benar masuk ke dalam pori zeolit.
Selanjutnya, dilakukan dekantasi dan dilakukan pencucian dengan akuabides
untuk zeolit@Zn2+. Hal ini selain untuk menghilangkan pengotor, tetapi juga
untuk menghindari terbentuknya nanopartikel ZnO di permukaan. Hal ini
mengingat yang akan dibuat adalah zeolit yang diimobilisasi oleh nanopartikel
ZnO (Zeolit@ZnO). Selanjutnya, dilakukan penambahan NaOH 1,0x10 -4 M
setetes demi tetes pada zeolit@Zn2+ hingga mencapai rentang pH 8,0. Pada proses
ini, dibutuhkan panas yaitu pada suhu 80oC. Pemilihan pH 8,0 disebabkan pada
proses pembentukan ZnO terlebih dahulu akan terbentuk Zn(OH) 2, dengan
pemanasan, H2O akan menguap, maka akan dapat terbentuk ZnO. Hal ini
mengingat bahwa reaksi dasar dari pembentukan ZnO, yaitu :

Zn (NO3)2 (aq) + 2NaOH (aq) ZnO (s) + NaNO3(aq) + H2O

Terbentuknya zeolit@ZnO dibuktikan oleh karakterisasi dengan SEM-EDS


dan XRD. Pada Gambar 4.11 terlihat morfologi dari zeolit@ZnO, tetapi
keberadaan nanopartikel ZnO kurang dapat terlihat, hal ini karena hasil
penggambaran dengan SEM yang belum dapat terlihat dengan jelas. Ini

Universitas Indonesia
41

dikarenakan perbesaran yang digunakan belum cukup untuk menggambarkan


keberadaan nanopartikel ZnO di dalam zeolit.
Pada Gambar 4.12, yaitu pada grafik hasil EDS terdapat % atom Zn yaitu
1,45. Hal ini menandakan bahwa atom Zn berhasil masuk ke dalam zeolit. Untuk
membuktikan adanya ZnO pada zeolit dapat dilihat pada X-ray difraktogram
zeolit@ZnO pada Gambar 4.13. Pada Gambar 4.13 terdapat peak ZnO dengan
intensitas lemah di 2 theta 36,25o sesuai dengan JCPDS No:36-1451. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa pembuatan zeolit@ZnO berhasil dilakukan.

a) b)

Gambar 4.11 SEM zeolit@ZnO a) Perbesaran 1500x b) Perbesaran 10000x

60 55,1

50

40
32,67
% Atom

30

20

10 6,91
1,38 1,45
0
O Na Al Si Zn

Zeolit@ZnO

Gambar 4.12 Grafik EDS zeolit@ZnO

Universitas Indonesia
42

800 Zeolit-ZnO
Na-Zeolit

600
Intensitas (counts)

400

200

0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

2 theta (deg)
Gambar 4.13 X-ray Difraktogram zeolit@ZnO dan Na-zeolit

4.3 Aplikasi Zeolit Terimmobilisasi Nanopartikel CuO sebagai Katalis


Termal Degradasi Remazol Brilliant Blue R (RBBR)

4.3.1 Penentuan Absorptivitas Molar RBBR

Penentuan nilai absorptivitas molar dari RBBR bertujuan untuk pengukuran


secara kuantitatif terhadap hasil dari degradasi RBBR. Nilai absorptivitas molar
ini didapatkan dari kurva standar yang telah dikarakterisasi dengan
spektrofotometer UV-Vis. Dari nilai absorptivitas molar (ɛ) akan dapat diketahui
konsentrasi RBBR pada produk degradasi, % dekolorisasi zat warna (% dye
removal) RBBR sehingga akan dapat diketahui seberapa besar aktivitas katalitik
dari zeolit@CuO dan zeolit@ZnO dalam mendegradasi RBBR. Pada gambar 4.14
diperoleh spektra absorpsi pada λ max 589 nm. Konsentrasi larutan induk yang
digunakan adalah RBBR 1000 ppm, sedangkan pada penentuan nilai absorptivitas
molar larutan baku dibuat berturut-turut 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10
ppm. Dari hasil spektra UV-Vis pada Gambar 4.14, terlihat bahwa semakin besar
konsentrasi, maka absorbansi atau serapannya semakin meningkat. Hal ini sesuai

Universitas Indonesia
43

dengan hukum Lambert Beer. Absorbansi suatu senyawa pada panjang gelombang
tertentu bertambah seiring bertambahnya konsentrasi larutan. Hal ini dinyatakan
dalam persamaan 4.1.

0.2
2 ppm
4 ppm
6 ppm
8 ppm
10 ppm
Absorbansi

0.1

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.14 Spektra absorpsi UV-Vis larutan standar RBBR

Selain pada panjang gelombang 589 nm, puncak-puncak spektra juga


teramati pada panjang gelombang 236 nm dan 310 nm. Puncak 236 nm
merupakan serapan cincin aromatis. Puncak 310 nm merupakan puncak khas dari
gugus kromofor anthraquinone (J.-M. Fanchiang, D.-H. Tseng, 2009). Gugus ini
merupakan gugus khas dari RBBR sehingga RBBR umum disebut sebagai
pewarna jenis anthraquinone. Setelah itu, didapatkan kurva deret standar dari
RBBR dan dapat diketahui nilai absorptivitas molar (ɛ) didapatkan yaitu
6663,67954 M-1 cm-1 setelah dikonversi. Nilai absorptivitas molar dapat dihitung
menggunakan hukum Lambert Beer yang dinyatakan dalam persamaan 4.1.

A = ɛ b c.......................................... (4.1)

Keterangan :

Universitas Indonesia
44

A= absorbansi
ɛ = absorptivitas molar (M-1 cm-1)
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi (M)

Nilai koefisien relasi (r) dari deret standar RBBR yang didapat yaitu
0,999. Hal ini menandakan bahwa deret standar yang didapat memiliki tingkat
kelinieritasan yang tinggi. Kurva deret standar RBBR disajikan pada Gambar
4.15.

0.1

y = a*x
0.08 a=1.063636x10 -2 ppm-1cm-1
|r|=0.999
Absorbansi

0.06

0.04

0.02

00 2 4 6 8 10

Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.15 Kurva Deret Standar RBBR

4.3.2 Aktivitas Katalis dalam Degradasi Termal RBBR

4.3.2.1 Variasi Konsentrasi H2O2 tanpa Katalis

Untuk mengetahui seberapa besar peran katalis dalam degradasi termal


RBBR, maka terlebih dahulu dilakukan proses degradasi termal RBBR tanpa
menggunakan katalis. Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi
H2O2 yang ditambahkan dalam larutan RBBR, untuk mendapatkan konsentrasi
H2O2 yang optimum. Konsentrasi H2O2 sebagai agent pengoksidasi yang

Universitas Indonesia
45

divariasikan, yaitu 2,37x10-1 M; 4,62x10-1 M; 6,77x10-1 M; dan 8,82x10-1 M. Hasil


dari proses degradasi selanjutnya dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer
UV-Vis.
Didapatkan bahwa konsentrasi H2O2 optimum tanpa katalis, yaitu pada
konsentrasi 4,62 x10-1 M. Hal ini terlihat pada gambar 4.16. Pada konsentrasi
H2O2 4,62x10-1 M, absorbansi pada λ max 589 nm yaitu 0,01. Penurunan
absorbansi ini paling maksimal diantara konsentrasi H2O2 lainnya.

0.3

0M
2,37x10 -1M
4,62x10 -1M
6,77x10 -1M
0.2 -1
8,82x10 M
Absorbansi

0.1

0
200 400 600 800
Panjang gelombang (nm)

Gambar 4.16 Spektra absorpsi UV-Vis degradasi RBBR

dengan berbagai variasi H2O2

Pada Gambar 4.16, terlihat bahwa penambahan H2 O2 menyebabkan


terjadinya degradasi senyawa RBBR. Penambahan H2O2 akan membentuk radikal
hidroksil (•OH) yang dipicu oleh bantuan panas (termal). Radikal hidroksil ini
yang akan akan mengoksidasi senyawa RBBR dan menyebabkan senyawa RBBR
terdegradasi. Pada awal penambahan H2O2, dengan bantuan panas, •OH akan
terus terbentuk hingga pada konsentrasi optimum. Semakin banyak konsentrasi
H2O2 yang ditambahkan akan memperbanyak jumlah radikal OH yang terbentuk
sehingga semakin banyak pula jumlah molekul RBBR yang terdegradasi. Nilai %

Universitas Indonesia
46

dye removal maksimum yang didapatkan, yaitu 90,65 %, didapat pada


penambahan H2O2 dengan konsentrasi 4,62x10 -1 M. Hal ini terlihat pada Gambar
4.17.
% Dye removal didapatkan melalui perhitungan secara kuantitatif yaitu
pada persamaan 4.2

........................ (4.2)

Keterangan :
Co = Konsentrasi awal larutan (ppm)
Cs = Konsentrasi akhir larutan (ppm)

Pada penambahan H2O2 dengan konsentrasi yang lebih besar, yakni


6,77x10-1 M dan 8,82x10-1 M, terjadi penurunan nilai % dye removal. Hal ini
terjadi karena penambahan H2O2 pada konsentrasi berlebih menyebabkan
terbentuknya radikal hidroperoksil (HO2•) yang kurang reaktif karena memiliki
potensial oksidasi yang lebih rendah dari • OH sehingga akan mengakibatkan
menurunnya efisiensi untuk menghidroksilasi cincin aromatik pada RBBR dan
hasil degradasi menurun (J.R. Guimarães et al., 2012., Fathimah, skripsi 2013).

100

80
% Dye Removal

60

40

20

0
0 2 4 6 8

Konsentrasi H 2O2 (M) [x10 -1]


Gambar 4.17 Kurva % dye removal terhadap variasi konsentrasi H2O2

Universitas Indonesia
47

Kondisi percobaan dilakukan pada suhu 98oC untuk semua penambahan


konsentrasi H2O2. Pada Gambar 4.16 terlihat bahwa tanpa penambahan H2O2,
senyawa RBBR tidak terdegradasi atau masih dalam keadaan stabil. Dari hasil
perhitungan % dye removal, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi H2O2
optimum adalah 4,62x10 -1 M.

4.3.2.2 Variasi Suhu Reaksi tanpa Katalis

Pada proses degradasi termal RBBR, dibutuhkan suhu optimum agar dapat
meningkatkan pembentukan spesi radikal OH dari H2O2. Pengaruh dari variasi
suhu reaksi terhadap absorbansi hasil degradasi termal terlihat pada Gambar 4.18.
Terlihat bahwa suhu reaksi optimum didapatkan pada suhu 98 ◦C.

0.2

450 C
900 C
920 C
Absorbansi

950 C
980 0C
100 C
0.1

0
200 400 600 800

Panjang gelombang (nm)

Gambar 4.18 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi


terhadap variasi suhu reaksi

Adanya pemanasan akan memicu terbentuknya •OH serta terjadinya


peningkatan spesi •OH yang nantinya akan menyerang RBBR sehingga RBBR
terdegradasi. Didapatkan suhu reaksi optimum untuk degradasi termal yaitu 98 oC.
Untuk selanjutnya reaksi akan dilakukan pada suhu optimum 98 oC.

Universitas Indonesia
48

4.3.2.3 Variasi Berat Katalis Zeolit@CuO dan Zeolit@ZnO

Variasi ini dilakukan yaitu untuk mengetahui aktivitas katalitik dari


Zeolit@CuO terhadap waktu reaksi degradasi termal RBBR. Penambahan katalis
dilakukan dengan berbagai variasi yaitu 20 mg, 50 mg, 100 mg, dan 150 mg.
Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi termal terhadap variasi berat katalis
diperlihatkan pada Gambar 4.19.

0.3

0 mg 90 menit
20 mg 70 menit
0.2 50 mg 58 menit
Absorbansi

100 mg 40 menit
150 mg 40 menit

0.1

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)


Gambar 4.19 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi terhadap
variasi berat katalis Zeolit@CuO

Penambahan katalis zeolit@CuO terlihat dapat menurunkan waktu reaksi.


Hal ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.19. Reaksi degradasi tanpa
katalis membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 90 menit. Dengan
menggunakan 20 mg katalis zeolit@CuO, reaksi berlangsung selama 70 menit.
Hasil ini lebih cepat dari tanpa katalis. Selain itu, % dye removal yang dihasilkan,
yaitu 92,52 % dan hasil ini lebih tinggi dari degradasi RBBR tanpa katalis. Selain
itu, percepatan waktu reaksi juga ditunjukkan untuk penambahan 50 mg, 100 mg
dan150 mg. Semakin banyak katalis yang ditambahkan, maka akan semakin

Universitas Indonesia
49

mempercepat waktu reaksi. Hal ini karena dengan bertambahnya katalis akan
meningkatkan situs aktif dari katalis.

0.8
20 mg 70 menit
50 mg 58 menit
100 mg 40 menit
Absorbansi

0.6 150 mg 40 menit

0.4

0.2

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.20 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi terhadap


variasi berat katalis Zeolit@CuO (skala diperbesar)

Berat katalis zeolit@CuO yang optimum didapatkan pada penambahan


100 mg. Penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO mampu menurunkan waktu
reaksi 50 menit dari yang tanpa katalis. % Dye removal yang dihasilkan yaitu
96,26%. Hasil % dye removal serta waktu reaksi pada variasi berat katalis terdapat
pada Tabel 4.1.
Pada penambahan 150 mg katalis % dye removal yang dihasilkan sama
dengan penambahan 100 mg katalis. Oleh karena itu, berdasarkan Tabel 4.1, maka
berat katalis zeolit@CuO dipilih sebagai berat katalis optimum untuk
mendegradasi senyawa RBBR. Untuk melihat perbandingan aktivitas katalitik
dari zeolit@CuO dan zeolit@ZnO, maka dilakukan perbandingan dalam variasi
berat katalis yang sama baik untuk zeolit@CuO maupun zeolit@ZnO.

Universitas Indonesia
50

Tabel 4.1 Pengaruh berat katalis zeolit@CuO terhadap waktu dye removal dan
% dye removal

Berat Katalis (mg) Waktu Dye removal % Dye Removal


(menit)
0 90 90,65 %
10 80 92,52 %
20 70 92,52 %
50 58 92,52 %
100 40 96,26 %
150 40 96,26 %

0.4

0.3
Absorbansi

20 mg 80 menit
50 mg 75 menit
100 mg 60 menit
0.2
150 mg 50 menit

0.1

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.21 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi terhadap variasi


berat katalis Zeolit@ZnO

Pada Gambar 4.21 disajikan spektra absorpsi UV-Vis dari hasil degradasi
terhadap variasi berat katalis zeolit@ZnO. Terdapat persamaan pada berat
optimum katalis zeolit@CuO dan zeolit@ZnO yang digunakan untuk
mendegradasi RBBR , yaitu 100 mg. Namun, bila dilihat dari waktu dekolorisasi,

Universitas Indonesia
51

katalis zeolit@ZnO lebih lama dalam waktu dekolorisasi. Pada penambahan


100 mg katalis zeolit@ZnO membutuhkan waktu dekolorisasi 60 menit. Hal ini
berbeda dengan zeolit@CuO, pada penambahan 100 mg katalis hanya
membutuhkan waktu dekolorisasi 40 menit. Selain itu, % dye removal yang
dihasilkan oleh produk degradasi melalui zeolit@ZnO lebih rendah dari
zeolit@CuO, yaitu hanya mencapai 92,09 % selama 60 menit. Hal ini disebabkan
karena pada katalis zeolit@ZnO, orbital d pada ZnO sudah penuh terisi oleh
elektron (d10) sehingga Zn kurang dapat menjadi media transfer elektron ke
elektron lain dalam proses degradasi RBBR. Hal ini juga yang menyebabkan peak
H2O2 utuh masih ada pada spektra produk degradasi yang terdapat pada
Gambar 4.22. Bila dilihat spektra produk degradasi zeolit@CuO, sudah tidak
terdapat peak H2O2 utuh (Gambar 4.20). Hal ini karena atom O pada CuO telah
berinteraksi dengan H2O2 membentuk superoksida anion radikal(•O2-) yang
selanjutnya akan menjadi radikal hidroksil (•OH) sesuai dengan proses
kesetimbangan H2O2 (Gambar 4.23). Selain itu, zeolit@CuO mempunyai orbital d
yang kosong karena konfigurasi dari CuO adalah d 9 sehingga orbital d yang
kosong dapat menjadi penerima elektron sekaligus media transfer elektron ke
elektron lain pada proses degradasi RBBR.
Bila ditinjau dari perbandingan band gap, CuO memiliki band gap kecil
sekitar 1,20 eV hingga 1,70 eV dan termasuk dalam tipe p-semikonduktor . Selain
itu, CuO dapat mengabsorbsi cahaya tampak (visible) untuk menghasilkan
electron hole pairs dalam waktu reaksi kimia yang cukup relatif (Ejhieh et al;
2013; A.Zainelabdin et al; 2012). Pada penelitian ini, yaitu degradasi dilakukan
dengan bantuan panas (termal), hal ini turut memberikan sumbangan energi pada
CuO untuk dapat mencapai pita konduksi. Selain itu, ketika penggunaan katalis
zeolit@CuO, adanya pengaruh cahaya tampak (visible) tidak dapat dihindarkan
dan tampaknya memberikan pengaruh terhadap reaksi degradasi RBBR. Hal ini
mengingat CuO dapat mengabsorbsi cahaya tampak (visible) karena memiliki
band gap yang relatif kecil. Sementara itu, untuk zeolit@ZnO memiliki aktivitas
katalitik yang kecil karena bila ditinjau dari band gap, ZnO memiliki band gap
yang besar yaitu 3,37 eV. Apabila dikonversi menjadi panjang gelombang (λ)
yaitu 368 nm, hal ini menandakan bahwa zeolit@ZnO aktivitas katalitiknya akan

Universitas Indonesia
52

lebih baik jika dilakukan dengan bantuan sinar UV (fotokatalisis) mengingat


besarnya band gap yang dimiliki oleh ZnO. Hal ini yang membedakan hasil
degradasi yang terjadi melalui katalis zeolit@CuO dengan zeolit@ZnO. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa aktivitas katalitik dari zeolit@CuO lebih
baik dari zeolit@ZnO pada cahaya tampak (visible) dalam proses mendegradasi
RBBR.

Peak H2O2

4
Absorbansi

20 mg 80 menit
3 50 mg 75 menit
100 mg 60 menit
150 mg 50 menit
2

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.22 Spektra absorpsi UV-Vis hasil degradasi terhadap variasi


berat katalis Zeolit@ZnO (dengan skala diperbesar).

4.3.2.4 Variasi Waktu Reaksi dengan Katalis

Variasi waktu reaksi ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas katalitik


dari zeolit@CuO dan zeolit@ZnO. Percobaan ini dilakukan pada penambahan
katalis 100 mg, penambahan H2O2 optimum, dan suhu optimum. Produk degradasi
dimonitori setiap 5 menit sampai 45 menit dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis. Spektra absorpsi ditunjukkan pada gambar 4.24.
Pada penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO selama waktu reaksi 5
menit, peak utuh dari H2O2 masih ada yaitu seperti yang ditunjukkan pada gambar
4.25 (dengan skala diperbesar). Hal ini menandakan bahwa pada waktu reaksi
selama 5 menit, H2O2 dengan katalis zeolit@CuO masih dalam proses untuk

Universitas Indonesia
53

bereaksi. Namun, ketika waktu reaksi berlangsung selama 10 menit, peak H2O2
utuh sudah tidak ada lagi. Hal ini menandakan bahwa zeolit@CuO telah bereaksi
dengan H2O2. Atom O pada CuO akan berinteraksi dengan H2O2 membentuk
superoksida anion radikal (•O2-) yang selanjutnya akan menjadi radikal hidroksil
(•OH) sesuai dengan proses kesetimbangan H2O2 , seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.23 .

Gambar 4.23 Kesetimbangan reaksi dari H2O2

[Sumber : Andreozzi et al; 1999]

Pada waktu reaksi selama 5 menit sampai 45 menit, puncak absorbansi


pada λmax sudah semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi
proses degradasi pada molekul RBBR. Waktu reaksi degradasi optimum dicapai
pada waktu 45 menit dengan % dye removal yaitu 100 %.
Pada masing-masing variasi waktu reaksi didapatkan penurunan nilai
absorbansi dari hasil pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis. Nilai
absorbansi ini dikonversi menjadi satuan konsentrasi (M) sehingga akan
didapatkan penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi. Kurva
penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi ditunjukkan pada Gambar
4.26.

Universitas Indonesia
54

0.3

5 menit
10 menit
15 menit
0.2 20 menit
Absorbansi 30 menit
40 menit
45 menit

0.1

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.24 Spektra absorpsi produk degradasi terhadap variasi waktu reaksi
pada penambahan 100 mg zeolit@CuO

Peak
4 H2O2 5 menit
10 menit
15 menit
20 menit
Absorbansi

30 menit
3 40 menit
45 menit

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)


Gambar 4.25 Spektra absorpsi produk degradasi terhadap variasi waktu reaksi
pada penambahan 100 mg zeolit@CuO dengan skala diperbesar

Universitas Indonesia
55

[10-5]

1.5

Konsentrasi RBBR (M)


1.25
50 mg
100mg
1 150 mg

0.75

0.5

0.25

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)
Gambar 4.26 Kurva penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 50 mg, 100 mg, dan 150 mg katalis zeolit@CuO

100

80
Dye Removal (%)

60
50 mg
100 mg
150 mg
40

20

0
0 10 20 30 40

Waktu (menit)

Gambar 4.27 Kurva % dye removal RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 50 mg, 100 mg, dan 150 mg katalis zeolit@CuO

Universitas Indonesia
56

Pada penambahan 50 mg katalis zeolit@CuO, hingga waktu reaksi


mencapai waktu 45 menit, masih ada senyawa RBBR yang belum terdegradasi
secara keseluruhan. Akan tetapi, penurunan konsentrasi RBBR pun terjadi. Pada
waktu 45 menit, penurunan konsentrasi RBBR yaitu mencapai 1,61 x 10 -6 M dan
% dye removal yang dicapai yaitu 89,72 %. Pada penambahan 100 mg dan 150
mg katalis zeolit@CuO dihasilkan penurunan konsentrasi RBBR yang
maksimum, yaitu mendekati 0 M. % Dye removal yang dihasilkan yaitu 100 %.
Adanya penambahan katalis zeolit@CuO memberi peran terhadap proses
degradasi termal dari RBBR. Semakin besar penambahan katalis zeolit@CuO,
maka akan membuat sisi aktif dari katalis meningkat, luas permukaan bertambah
besar, serta nanopartikel CuO yang terdapat dalam zeolit@CuO juga akan
semakin banyak sehingga akan mempercepat proses degradasi senyawa RBBR.
Pada penambahan katalis 150 mg zeolit@CuO dalam waktu 45 menit juga
dihasilkan % dye removal 100 %. Hal ini sama dengan ketika penambahan katalis
100 mg dalam 45 menit. Ini menandakan bahwa aktivitas katalitik zeolit@CuO
telah konstan. Oleh karena itu, penambahan katalis zeolit@CuO sebanyak 100 mg
dengan waktu 45 menit dipilih sebagai kondisi optimum dalam proses degradasi
RBBR.
Untuk mengetahui peranan dari nanopartikel CuO dalam degradasi RBBR,
maka dilakukan proses degradasi termal dengan menggunakan Na-zeolit dan
hasilnya akan dibandingkan dengan zeolit@CuO pada kondisi optimum. Pada
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO dalam waktu 45 menit menghasilkan
% dye removal 100 %, sedangkan pada penambahan 100 mg Na-zeolit dalam
waktu 45 menit hanya menghasilkan % dye removal 78,98 %. Hal ini ditunjukkan
pada Gambar 4.28.
Na-zeolit disini juga mempunyai peran sebagai katalis reaksi oksidasi
RBBR. Pada Na-zeolit terdapat sisi aktif asam Bronsted dan Lewis sehingga laju
reaksi dapat meningkat. Namun, pada penambahan Na-zeolit, masih terdapat peak
H2O2 utuh (Gambar 4.29). Hal ini terjadi karena pada sisi aktif yang ada pada Na-
zeolit tidak dapat berinteraksi lebih dengan H2O2. Ini sangat berbeda dengan yang
terjadi pada zeolit@CuO, atom O pada CuO dapat berinteraksi dengan H 2O2
sehingga sudah tidak terdapat peak H2O2 utuh.

Universitas Indonesia
57

100

80

Dye Removal (%) 60

40
Zeolit-CuO
Na-Zeolit

20

0
0 10 20 30 40
Waktu (menit)
Gambar 4.28 Kurva % dye removal terhadap waktu reaksi pada penambahan
zeolit@CuO dan Na-zeolit sebanyak 100 mg

Peak H2O2
5

4
Absorbansi

0
200 400 600 800

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4.29 Spektra produk akhir degradasi dengan katalis Na-zeolit


(skala diperbesar)

Universitas Indonesia
58

Apabila dibandingkan variasi waktu reaksi katalis antara zeolit@CuO


dengan zeolit@ZnO, pada waktu 45 menit melalui zeolit@CuO sudah tidak
terdapat lagi senyawa RBBR yang tersisa. % Dye removal yang dihasilkan pun
mencapai 100 %. Sementara itu, dengan zeolit@ZnO pada waktu 60 menit
dihasilkan % dye removal hanya sebesar 92,09%. Hal ini terjadi karena orbital d
pada ZnO sudah penuh elektron (d10) sehingga kurang dapat menjadi media
transfer elektron sehingga lebih lambat dalam proses mendegradasi RBBR. Selain
itu, hal ini juga dipengaruhi oleh band gap yang dimiliki oleh CuO dan ZnO,
seperti yang dipaparkan pada pembahasan sub bab (4.3.2.3). Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa aktivitas katalitik dari zeolit@CuO lebih baik
dibandingkan dengan zeolit@ZnO.
Perbandingan waktu reaksi mendegradasi RBBR antara zeolit@CuO dan
zeolit@ZnO ditunjukkan pada Gambar 4.30. Penurunan konsentrasi RBBR
dengan katalis zeolit@CuO lebih tajam dibandingkan dengan penurunan
konsentrasi RBBR dengan katalis zeolit@ZnO.Untuk perbandingan % dye
removal zeolit@CuO dan zeolit@ZnO ditunjukkan pada Gambar 4.31.

[10-5]

1.5

1.25
Konsentrasi RBBR (M)

1
Zeolit-ZnO 100 mg
Zeolit-CuO 100 mg
0.75

0.5

0.25

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Waktu (menit)

Gambar 4.30 Kurva penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi pada
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO dan 100 mg zeolit@ZnO

Universitas Indonesia
59

100

80

Dye removal (%) Zeolit-ZnO


Zeolit-CuO
60

40

20

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Waktu (menit)

Gambar 4.31 Kurva % dye removal terhadap waktu reaksi pada penambahan
100 mg katalis zeolit@CuO dan zeolit@ZnO

4.3.2.5 Variasi Konsentrasi H2O2 dengan Katalis Zeolit@CuO

Variasi konsentrasi H2O2 dengan katalis ini dilakukan untuk melihat


bagaimana pengaruh katalis zeolit@CuO terhadap kinerja H2O2 dalam
mengoksidasi RBBR serta untuk mengetahui konsentrasi H2O2 optimum yang
dibutuhkan katalis untuk mendegradasi RBBR. Variasi dilakukan pada
konsentrasi H2O2 2,37x10-1 M, 4,62x10-1 M, dan 6,77x10-1 M dengan
penambahan100 mg katalis zeolit@CuO dan dimonitori terhadap waktu.
Penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu pada variasi konsentrasi H 2O2
ditunjukkan pada Gambar 4.32.
Pada Gambar 4.32 terlihat bahwa pada konsentrasi H2O2 4,62x10-1 M,
penurunan konsentrasi RBBR paling maksimal. Pada waktu 5 menit, dengan
konsentrasi H2O2 4,62x10-1 M mampu menurunkan konsentrasi RBBR hingga
mencapai 5,70x10-6 M. Apabila dibandingkan dengan konsentrasi H2O2 2,37x10-1
M, pada waktu 5 menit konsentrasi RBBR yang tersisa yaitu 8,55 x10-6 M.
Sementara itu, untuk konsentrasi H2O2 6,77x10-1 M, pada waktu 5 menit

Universitas Indonesia
60

konsentrasi RBBR yang tersisa yaitu 1,04 x10-5 M. Pada konsentrasi H2O2
4,62x10-1 M, dalam waktu 45 menit konsentrasi RBBR sudah tidak bersisa yaitu
0 M. % Dye removal yang dihasilkan pun maksimal yaitu mencapai 100 %. Nilai
% dye removal dari masing-masing konsentrasi H2O2 terhadap waktu reaksi pada
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO ditunjukkan pada Gambar 4.33
Bila dilihat pada waktu 45 menit reaksi, dengan penambahan konsentrasi
H2O2 2,37x10-1 M hanya menghasilkan % dye removal RBBR sebesar 87,85 %,
sedangkan pada konsentrasi H2O2 6,77x10-1 M pada waktu 45 menit hanya
menghasilkan % dye removal RBBR sebesar 83,18 %. Apabila hasil ini
dibandingkan dengan variasi konsentrasi H2O2 yang tanpa katalis, variasi
konsentrasi H2O2 dengan katalis zeolit@CuO memberikan hasil berupa peningkatan
% dye removal yang signifikan. Selain itu, dengan katalis yaitu zeolit@CuO waktu
reaksi menjadi lebih cepat. Pada konsentrasi H2O2 2,37x10-1 M dengan tanpa katalis
dalam waktu 90 menit hanya dihasilkan % dye removal sebesar 61,68 %;
sedangkan dengan katalis zeolit@CuO, dalam waktu 45 menit dihasilkan % dye
removal 87,85 %.
[10-5]

1.5
Konsentrasi RBBR (M)

1.25
2,37x10 -1M
-1
4,62x10 M
1 6,77x10 -1M

0.75

0.5

0.25

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)

Gambar 4.32 Kurva penurunan konsentrasi RBBR dengan variasi konsentrasi


H2O2 terhadap waktu reaksi pada penambahan 100 mg katalis
zeolit@CuO

Universitas Indonesia
61

100

80
Dye Removal (%)

60
-1
2,37x10 M
4,62x10 -1
-1
M
6,77x10 M
40

20

0
0 10 20 30 40
Waktu (menit)

Gambar 4.33 Kurva % dye removal RBBR dengan variasi konsentrasi H2O2
terhadap waktu reaksi pada penambahan 100 mg katalis
zeolit@CuO

Pada penambahan konsentrasi H2O2 4,62x10-1 M dengan tanpa katalis


dalam waktu 90 menit hanya dihasilkan % dye removal sebesar 90,65%; dengan
katalis zeolit@CuO % dye removal meningkat hingga 100 %. Hal ini menandakan
bahwa dengan penambahan katalis zeolit@CuO mampu mengoptimalkan kinerja
H2O2 dalam membentuk radikal OH(•OH) dan dapat mengoksidasi senyawa
RBBR sehingga waktu degradasi menjadi lebih singkat. Berdasarkan kelinieran
serta % dye removal yang maksimum, maka konsentrasi H2O2 yang optimum pada
penambahan 100 mg zeolit@CuO yaitu 4,62x10 -1 M.

4.3.2.6 Variasi Konsentrasi Awal RBBR dengan Katalis Zeolit@CuO

Untuk mencari kinetika reaksi degradasi termal RBBR ini, maka dilakukan
variasi konsentrasi awal RBBR. Selain itu, hal ini juga dapat melihat bagaimana
pengaruh konsentrasi awal RBBR terhadap hasil degradasi RBBR serta untuk
mengetahui konsentrasi awal RBBR yang optimum.

Universitas Indonesia
62

Variasi konsentrasi RBBR yang digunakan yaitu 7 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm
atau setara dengan 1,12 x10 -5 M; 1,60 x10-5 M; dan 2,39 x10-5 M. Penurunan pada
tiap konsentrasi RBBR terhadap waktu reaksi ditunjukkan pada Gambar 4.34.

[10-5]

1.5
Konsentrasi RBBR (M)

1.25

1
1,12x10 -5 M
1,60x10 -5 M
2,39x10 -5 M
0.75

0.5

0.25

00 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)

Gambar 4.34 Kurva penurunan konsentrasi RBBR dengan variasi konsentrasi


awal RBBR terhadap waktu reaksi

100

80
Dye Removal (%)

60
1,12x10 -5M
1,60x10 -5M
2,39x10 -5M
40

20

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)
Gambar 4.35 Kurva % dye removal RBBR dengan variasi konsentrasi awal
RBBR terhadap waktu reaksi

Universitas Indonesia
63

Pada Gambar 4.34 terlihat bahwa pada konsentrasi awal RBBR 10 ppm
atau setara dengan 1,60x10 -5 M memiliki penurunan konsentrasi RBBR yang
besar yaitu pada waktu 45 menit dan sudah tidak terdapat konsentrasi RBBR yang
tersisa. Pada Gambar 4.35 diperlihatkan bahwa % dye removal mencapai 100 %
ketika konsentrasi awal RBBR 1,60x10 -5 M. Hal ini berbeda ketika konsentrasi
awal RBBR 7 ppm atau 1,12x10-5 M yang digunakan. % Dye removal hanya
mencapai 95,32 % pada waktu 45 menit. Sementara itu, untuk konsentrasi awal
RBBR 15 ppm atau 2,39x10-5 M , % dye removal yang dihasilkan menurun, yaitu
menjadi 97,19 %. Hal ini terjadi karena terbatasnya kemampuan aktivitas katalitik
dari zeolit@CuO.
Kemampuan katalis zeolit@CuO dalam mengkatalisis reaksi degradasi
termal RBBR bergantung pada jumlah molekul senyawa RBBR. Semakin besar
konsentrasi larutan RBBR, maka jumlah molekul RBBR yang berinteraksi dengan
permukaan katalis akan semakin banyak hingga mencapai konsentrasi
optimumnya. Aktivitas katalitik terjadi pada permukaan katalis (Fathimah, skripsi
2013). Apabila konsentrasi RBBR berlebih, maka akan terdapat molekul RBBR
yang tidak berinteraksi dengan permukaan katalis zeolit@CuO.Hal ini mengingat
bahwa katalis zeolit@CuO memiliki kapasitas kemampuan katalitik dan ini
bergantung pada konsentrasi RBBR optimum.

4.3.2.7 Uji Adsorpsi

Untuk mengetahui apakah penurunan konsentrasi RBBR ini benar karena


molekul-molekul RBBR telah terdegradasi atau melainkan akibat teradsorpsi,
maka penting untuk dilakukan uji adsorpsi. Zeolit yang digunakan sebagai
template untuk nanopartikel CuO bersifat baik sebagai adsorben. Hal ini
dipengaruhi oleh struktur zeolit yang berongga dan mempunyai channel. Uji
adsorpsi ini dibagi dalam tiga kondisi yang diamati. Kondisi percobaan merujuk
pada penelitian sebelumnya (Fathimah, skripsi 2013). Kondisi pertama dilakukan
penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO pada larutan RBBR 10 ppm tanpa
menggunakan panas, kemudian dilanjutkan dengan penambahan panas dengan
suhu 98 ⁰C, kondisi terakhir ditambahkan H2O2 pada konsentrasi optimum. % Dye
removal pada tiap-tiap kondisi terhadap waktu ditunjukkan pada Gambar 4.36.

Universitas Indonesia
64

Gambar 4.36 Kurva % dye removal pada uji adsorpsi dengan


berbagai kondisi waktu

Pada Gambar 4.36 terlihat bahwa pada menit ke-5 hingga menit ke-25,
katalis zeolit@CuO mampu mengadsorpsi secara konstan sehingga menghasilkan
% dye removal 41 %. Maka dapat dikatakan bahwa kapasitas adsorpsi dari
zeolit@CuO terhadap senyawa RBBR yaitu 41 %. Pengadukan terus dilakukan
dan disertai pemanasan pada kondisi suhu optimum yakni 98 oC. Terlihat pada
menit ke-30, % dye removal mengalami penurunan yaitu mencapai % dye removal
sebesar 29 %. Pada kondisi tersebut katalis mengalami desorpsi akibat awal
pemberian panas. Pada menit ke-35 dan menit ke-40, % dye removal perlahan
mulai meningkat. Hal ini karena pengaruh dari katalis yaitu pada CuO, pemberian
panas turut memberikan sumbangan energi pada CuO untuk mencapai band gap
nya. Selain itu, perlu diketahui bahwa CuO memiliki stabilitas termal yang baik
sehingga umum digunakan sebagai penghantar konduktivitas termal
(Kaur et al; 2006).
Pada kondisi berikutnya, pengadukan secara kontinu dilakukan dengan
suhu yang dijaga pada 98 ⁰C. Pada kondisi tersebut, ditambahkan H2O2 pada
konsentrasi optimum yaitu 4,62x10-1 M. Hal ini berdampak pada % dye removal

Universitas Indonesia
65

yang dihasilkan. Pada menit ke-45, didapat % dye removal sebesar 66,36 %.
Kenaikan % dye removal terus terjadi hingga pada menit ke-70 mencapai
92,52 %. Penambahan H2O2 yang dipicu oleh adanya energi termal dapat
membentuk sekaligus meningkatkan spesi radikal OH. Radikal OH tersebut akan
menyerang struktur RBBR sehingga RBBR akan terdegradasi. Dari data-data
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penurunan konsentrasi RBBR bukan dari
adsorpsi katalis zeolit@CuO, melainkan karena molekul-molekul RBBR telah
terdegradasi yaitu dengan bantuan katalis zeolit@CuO dan oksidator H 2O2.

4.4 Studi Kinetika Degradasi Termal RBBR

Pada penelitian ini, dilakukan studi kinetika degradasi termal RBBR. Hal
ini untuk mengetahui kinetika reaksi dan nilai tetapan laju reaksi (kr). Terdapat
berbagai metode untuk menentukan nilai tetapan laju reaksi serta orde reaksi.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode orde satu dan metode
laju awal (initial rate).

4.4.1 Metode Kinetika Orde Satu

Studi kinetika ini menggunakan pendekatan dengan orde satu. Reaksi yang
terjadi pada setiap kondisi merupakan pendekatan reaksi berorde satu, yaitu
reaktan yang bereaksi hanyalah senyawa RBBR saja. Pada metode ini diharapkan
akan didapatkan nilai tetapan laju reaksi (kr). Hal ini dapat dibuktikan dengan
menggunakan persamaan orde satu dibawah ini:

Universitas Indonesia
66

.............................................. (4.3)

Reaksi orde satu dapat terjadi apabila dicapai kondisi dimana saat
pengaluran waktu t ([At]) terhadap waktu reaksi (t) menghasilkan kurva yang
fitting (r > 0,9) dengan persamaan 4.3. Kurva pengaluran konsentrasi terhadap
waktu untuk reaksi degradasi menggunakan 100 mg katalis zeolit@CuO terdapat
pada Gambar 4.37. Nilai tetapan laju reaksi teramati (kobs) didapat dari nilai c
yang berasal dari persamaan 4.3. Nilai k obs yang didapat untuk kondisi katalisis
dengan 100 mg zeolit@CuO pada konsentrasi awal RBBR 10 ppm atau
1,60 x 10-5 M seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.33 adalah sebesar
1,96x10-1 menit -1.

[10-5]

1.5

1.25
Konsentrasi RBBR (M)

y = 8.549x10-7 + 1,502x10 -5*exp(-1,96x10 -1x)


1 |r|=0,993
kobs = 1,96x10 -1menit -1

0.75

0.5

0.25

00 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)

Gambar 4.37 Kurva hubungan konsentrasi dengan waktu terhadap kondisi


penambahan 100 mg katalis zeolit@CuO pada konsentrasi awal
RBBR 1,60x10-5 M

Universitas Indonesia
67

4.5.2 Metode Laju Awal (Initial Rate)

Metode ini digunakan untuk menentukan nilai tetapan laju reaksi dengan
melakukan variasi konsentrasi awal larutan. Persamaan laju reaksi awal yaitu
sebagai berikut :

............................ (4.4)

Untuk mendapatkan nilai v0 dilakukan pengambilan beberapa titik


penurunan konsentrasi RBBR terhadap waktu. Beberapa titik ini kemudian dibuat
model persamaan kuadrat y = ax2 + bx + c. Jika persamaan kuadrat ini diturunkan
sekali , persamaan tersebut akan menjadi :

Nilai y akan maksimum jika turunan pertama bernilai 0 yang merupakan


nilai laju awal,v0 jika :

Maka, akan didapatkan nilai v0 = b. Penentuan tetapan laju reaksi yaitu


dilakukan dengan melakukan variasi konsentrasi awal RBBR.

Pada Tabel 4.2 diketahui bahwa tetapan laju reaksi degradasi teramati
(kobs) RBBR dan % dye removal paling besar terjadi pada konsentrasi RBBR
1,60 x10-5 M. Nilai tetapan laju reaksi pada konsentrasi tersebut adalah
1,96 x10-1 menit -1. Selain itu, dilakukan pula penentuan kinetika reaksi dengan
metode laju awal (initial rate) pada Gambar 4.38-4.40. Ketika laju awal dari
masing-masing konsentrasi awal larutan RBBR didapatkan, maka akan dapat
diketahui kinetika reaksi dari reaksi degradasi RBBR ini.

Universitas Indonesia
68

Tabel 4.2 Nilai tetapan laju reaksi berdasarkan konsentrasi awal RBBR

[RBBR] % Dye Removal kobs

(M) (45 menit) (menit-1)

1,12x10-5 M 95,33 9,53x10-2


1,60x10-5 M 100 1,96x10-1
2,39x10-5 M 97,19 1,16x10-1

Tabel 4.3 Nilai laju awal (v0) berdasarkan konsentrasi awal RBBR

[RBBR] v0
(M) (M menit-1)

1,12x10-5 M 9,021x10-7

1,60x10-5 M 1,077x10-6

2,39x10-5 M 1,505x10-6

[10-5]

1.5
Konsentrasi RBBR (M)

1.25 y= 1,45x10-8x2 - 9,021x10 -7 x + 1,525x10 -5


|r|=0,988

0.75

0.5

0.25

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu (menit)

Gambar 4.38 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi


dengan Konsentrasi RBBR1,12x10-5M

Universitas Indonesia
69

[10-5]

1.5
y= 1,90x10-8x2 -1,077x10 -6x + 1,367x10 -5
|r|=0,936

Konsentrasi RBBR (M)


1.25

0.75

0.5

0.25

0
0 10 20 30

Waktu (menit)
Gambar 4.39 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi dengan
Konsentrasi RBBR1,60x10-5M

[10-5]

1.5
y=4,052x10-8x2 -1,505x10 -6x + 1,641x10 -5
|r|=0,988
1.25
Konsentrasi RBBR (M)

0.75

0.5

0.25

00 10 20 30

Waktu (menit)

Gambar 4.40 Kurva fitting persamaan kuadrat kondisi degradasi dengan


Konsentrasi RBBR 2,39x10-5M

Berdasarkan Gambar 4.41 yaitu grafik pengaluran kurva hubungan laju


awal dengan variasi konsentrasi awal RBBR, maka dapat dipastikan bahwa reaksi

Universitas Indonesia
70

degradasi termal RBBR termasuk dalam orde satu semu dengan nilai kr sebesar
2,55x10-2 M menit -1.

[10-6]
1.5

1.25

1
v (M menit )
-1

0.75
y = 2,55x10-2x + 6,37x10 -7
|r|=0,985
kr = 2,55x10 -2 M menit-1
0

0.5

0.25

0
0 0.5 1 1.5 2
-5
[10 ]
Konsentrasi RBBR (M)
Gambar 4.41 Kurva hubungan laju awal (v0 ) terhadap variasi konsentrasi RBBR
untuk menentukan tetapan laju reaksi

4.5 Identifikasi Produk Akhir Hasil Degradasi

4.5.1 Karakterisasi dengan Gas Chromatography (GC)

Untuk mengetahui hasil dari produk akhir degradasi termal senyawa


RBBR pada penelitian ini, maka perlu dilakukan karakterisasi produk akhir hasil
reaksi optimum. Karakterisasi dilakukan menggunakan GC (Gas
Chromatography). GC umum digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-
senyawa organik berdasarkan sifatnya yang volatil. Pada penelitian ini digunakan
GC untuk melihat komposisi produk akhir yang dihasilkan dari degradasi RBBR.
Hasil yang diharapkan yaitu degradasi RBBR berlangsung sempurna dan
terbentuk produk akhir yang tidak berbahaya, yaitu karbon dioksida, air, dan
produk mineralisasi (NO3- dan SO42- ). pH pada produk degradasi yaitu 6,9
termasuk dalam kategori netral. Oleh karena itu, pada kondisi teknis pengukuran

Universitas Indonesia
71

GC produk akhir degradasi ditambahkan 25 % pelarut metanol. Hal ini untuk


memudahkan proses pengukuran GC mengingat pengukurannya berdasarkan sifat
volatilitas. Hasil kromatogram produk akhir degradasi diperlihatkan pada Gambar
4.42.

Gambar 4.42 Kromatogram produk akhir hasil degradasi termal RBBR

Gambar 4.42 merupakan kromatogram produk akhir hasil degradasi termal


RBBR dengan waktu running hingga 70 menit, dan pada kromatogram tersebut
hanya terlihat satu puncak kromatogram pada waktu retensi 1,647 menit yang
berasal dari pelarut metanol (lampiran 10 Gambar 2 ). Pada kromatogram pelarut
yaitu metanol terdapat height dari puncak yaitu sebesar 5,61 x104 . Pada
kromatogram hasil degradasi, height dari puncak kromatogram telah berkurang
menjadi 4,87 x104 . Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keberadaan senyawa
lain yang dapat terbentuk sebagai intermediet dari reaksi degradasi senyawa
RBBR. Dari hasil karakterisasi menggunakan GC, dapat disimpulkan bahwa
produk akhir hasil degradasi termal senyawa RBBR tidak mengandung senyawa
organik lain ataupun senyawa intermedietnya.

Universitas Indonesia
72

4.5.2 Karakterisasi dengan Densitymeter

Density meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur densitas.


Densitas adalah pengukuran massa setiap volume suatu benda atau sampel.
Pengukuran dengan Density meter bertujuan untuk memonitori produk degradasi
berdasarkan densitas (ρ ) mulai dari reaksi awal, setengah reaksi, dan pada kondisi
optimum reaksi. Kondisi pada reaksi awal yaitu degradasi dilakukan pada 0 menit
dan hanya ada katalis, penambahan H2O2, serta RBBR. Kondisi pada setengah
reaksi yaitu reaksi degradasi pada saat setengah reaksi dan saat mencapai setengah
dari % dye removal maksimum. Kondisi optimum yaitu saat reaksi degradasi
menghasilkan % dye removal yang maksimum. Pada pengukuran ini, diukur juga
densitas akuabides yang digunakan selama penelitian sebagai pembanding.
Berikut data densitas sampel hasil pengukuran dengan density meter:

ρ akuabides (H2O) = 0,9962 gram/mL

a) Reaksi degradasi dengan katalis zeolit@CuO

ρ reaksi awal = 1,0078 gram/mL

ρ setengah reaksi = 0,99858 gram/mL

ρ reaksi optimum = 0,99299 gram/mL

b) Reaksi degradasi dengan katalis zeolit@ZnO

ρ reaksi awal = 1,00317 gram/mL

ρ setengah reaksi = 1,00168 gram/mL

ρ kondisi optimum = 0,99018 gram/mL

Berdasarkan dari data di atas, hasil yang didapatkan yaitu pada reaksi
degradasi dengan katalis zeolit@CuO terlihat ada perubahan densitas (ρ ) pada
reaksi awal, setengah reaksi, dan pada reaksi sempurna. Hal ini menandakan
bahwa reaksi terjadi dan diindikasikan terjadi degradasi pada molekul-molekul
RBBR. Selain itu, pada reaksi sempurna dihasilkan densitas yang mendekati harga
ρ dari akuabides. Hal ini mengindikasikan bahwa produk akhir degradasi

Universitas Indonesia
73

mengandung air. Untuk reaksi degradasi dengan katalis zeolit@ZnO didapatkan


adanya perubahan densitas pada setiap kondisi reaksi. Selain itu, dihasilkan
densitas pada kondisi optimum yang juga tidak terlalu berbeda jauh dari densitas
akuabides. Hal ini mengindikasikan bahwa produk akhir degradasi mengandung
air.

4.5.3 Karakterisasi dengan Turbidimeter

Karakterisasi produk akhir dengan turbidimeter bertujuan untuk melihat


derajat kekeruhan atau turbiditas pada produk akhir degradasi. Sebelum diukur
dengan turbidimeter, produk akhir degradasi mengalami perlakuan yaitu
ditambahkan dengan 1 tetes Ba(OH)2 0,05 M. Penambahan larutan Ba(OH)2 ini
bertujuan sebagai uji kualitatif untuk menentukan ada atau tidaknya CO 2 pada
produk akhir degradasi, yaitu berdasarkan pembentukan BaCO3. Bila hasil yang
diperoleh yaitu keruh atau dengan kata lain derajat kekeruhan meningkat, maka
pada produk akhir degradasi dinyatakan mengandung CO2. Pengukuran dilakukan
untuk produk akhir degradasi dengan katalis zeolit@CuO. Hal ini dikarenakan
produk akhir degradasi yang mencapai % dye removal 100 %

Tabel 4.4 Nilai turbiditas (NTU) pada produk akhir degradasi dengan katalis
zeolit@CuO

Sampel Nilai Turbiditas (NTU)

Akuabides (H2O) 0

Reaksi awal degradasi + Ba(OH)2 13

Reaksi optimum degradasi + Ba(OH)2 20

Berdasarkan data pada tabel di atas, hasil yang didapatkan yaitu pada
produk degradasi dengan kondisi reaksi optimum memiliki nilai turbiditas yang
meningkat dari reaksi awal degradasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat

Universitas Indonesia
74

kekeruhan sedikit meningkat dan menunjukkan secara kualitatif bahwa CO2


terbentuk pada produk degradasi.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Zeolit alam Indonesia telah berhasil dimodifikasi dengan Nanopartikel


CuO dan ZnO dengan karakterisasi XRD, FT-IR, dan SEM-EDS
b. Zeolit alam termodifikasi nanopartikel CuO (zeolit@CuO) telah
diaplikasikan sebagai katalis degradasi termal RBBR dengan suhu
optimum 98 ⁰C menggunakan H2O2 dengan konsentrasi optimum
4,62x10-1 M pada konsentrasi awal larutan RBBR1,60x10-5 M
c. Aktivitas katalitik zeolit@CuO lebih baik daripada zeolit@ZnO. Pada
Penambahan Zeolit@CuO 100 mg selama 45 menit dihasilkan % Dye
Removal = 100 %.
d. Penambahan Zeolit@ZnO 100 mg membutuhkan waktu dekolorisasi 60
menit, dan dihasilkan % Dye Removal = 92,09 %
e. Tetapan laju reaksi degradasi termal RBBR dengan penambahan katalis
zeolit@CuO sebanyak 100 mg adalah 2,55 x 10-2 menit -1
f. Degradasi termal RBBR terjadi pada orde satu semu

5.2 Saran

a. Membandingkan aktivitas katalitik dari zeolit@CuO dan zeolit@ZnO


dengan zeolit termodifikasi nanopartikel oksida logam lain.
b. Melakukan uji penggunaan kembali katalis Zeolit@CuO dalam degradasi
termal RBBR.
c. Membandingkan aktivitas katalis Zeolit@CuO dalam mendegradasi
RBBR dengan menggunakan sonikator, vortex, microwave, dan lain-lain,
selain dengan menggunakan termal.
d. Melakukan karakterisasi produk degradasi dengan LC/MS agar semakin
terlihat senyawa intermediet dari produk akhir

75 Universitas Indonesia
76

DAFTAR PUSTAKA

A. Mehrdad., Massoumi, Bakhshali., Hashemzadeh., Robab. 2011. Kinetic study


of degradation of Rhodamine B in the presence of hydrogen peroxide and
some metal oxide . Chemical Engineering Journal 168 (2011) 1073–1078

A.Furtado, E.Batista, I.Spohr, E.Filipe. 2009. Measurement of density using


oscillation-type densitymeters calibration, traceability and uncertainties.
Instituto Portugues da Qualidade (IPQ).

Abdullah, Mikrajuddin, Khairurrijal. 2008. Review Karakterisasi Nanomaterial.


Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi.

Agilent Technologies. 2002. Fundamentals of Gas Chromatography.

Akyol, M.Bayramoǧlu. 2005. Photocatalytic degradation of Remazol Red F3B


using ZnO catalyst. Journal of Hazardous Materials, Volume 124, Issues
1-3, 241-246.

Andreozzi, Caprio, Insola, Marotta. 1999. Advanced oxidation processes (AOP)


for water purification and recovery. Catalysis Today, 53, 51-59.
Aravindhan, Fathima, Rao, Raghava, Nair. 2006.Wet oxidation of acid brown dye
by hydrogen peroxide using heterogeneous catalyst Mn-salen-Y zeolite: A
potential catalyst. Journal of Hazardous Materials, B138, 152–159.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia. 2011. Indonesia Garment Industry Review.
Buffat., Borel. 1976. Size effect on the melting temperature of gold particles.
Phys. Rev.A, vol.13, p.2287
Daud, Suryantini. 2011. Sintesa Katalisis Molibden Zeolit Klinoptilolit dan
Aplikasinya untuk Desulfurisasi Senyawa Asam Merkaptopropanoat.Karya
Utama Sarjana Kimia, Departemen Kimia FMIPA UI, Depok.
Ejhieh, Alireza Nemzadeh., Shamsabadi, Maryam Karimi. 2013. Decolorization
of a binary azo dyes mixture using CuO incorporated nanozeolite-X as a
heterogeneous catalyst and solar irradiation . Chemical Engineering
Journal 228 631–641

Universitas Indonesia
77

Fathimah, Skripsi. 2013. Modifikasi Zeolit alam dengan Nanopartikel Au Sebagai


Katalis untuk Degradasi Termal Congo Red menggunakan H2O2. Depok :
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia.
Fereshteh, Zeinab., Estarki, Mohammad Reza., Razavi, Reza Shoja. 2013. Template
synthesis of zinc oxide nanoparticles entrapped in the zeolite Y matrix and
applying them for thermal control paint. Materials Science in
Semiconductor Processing, 547-553
Garcia, Marcos Fernandez., Rodriguez, Jose. 2007. Metal oxide Nanoparticles.
Published in Nanomaterials: Inorganic and Bioinorganic Perspectives
Gates, C. N. 1991, B. C. 1979. Chemistry and catalytic process. New York. Mc
Graw Hill
Gouvea, Carlos A.K., Wypych, Fernando., Moraes, Sandra G., Duran, Nelson.
2000. Semiconductor-assisted photocatalytic degradation of reactive
dyes in aqueous solution
Gupta. 2011. Synthesis and Characterization of Nickel Oxide Nanoparticles. India
http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=17409
(diakses pada 15 Juli 21.30 WIB)
http://ardra.biz/sain-teknologi/mineral/mineral-zeolit
(diakses pada 15 Juli 22.00 WIB)
http://teaching.shu.ac.uk (diakses pada 17 Juli 20.30 WIB)
http://www.spec2000.net/09-xrd.htm (diakses pada 2 Desember 2013 20.00 WIB)
http://teaching.shu.ac.uk/hwb/chemistry/tutorials/chrom/gaschrm.htm
(diakses pada 2 Desember 2013 21.00 WIB)
http://hach.com/2100p (diakses pada 2 Januari 2014)
http://www.flsmidth.com/enus/Gas+Analysis+Technology/Products/Measuring+P
rinciples/FTIR (diakses 30 Januari 2014 Pukul 10.00 WIB)
http://www.dichtheid-density.nl/] (diakses pada 30 Januari 2014 Pukul 11.19
WIB)
Horikoshi, Satoshi., Nick Serpone. 2013.Introduction to Nanoparticles. Wiley-
VCH Verlag GmbH
Indrawati, Gunawan, Didik. 2008. Dekolorisasi Larutan Remazol Brilliant Blue R
Menggunakan Ozon Hasil Elektrolisis.

Universitas Indonesia
78

Indriati. 2011. Imobilisasi Nano Au pada Zeolit Alam serta Modifikasinya dengan
Asam 11-Merkapto Undekanoat dan L-Sistein untuk Adsorpsi Ion Logam
Berat. Depok : Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
J.M Fanchiang., D.H Tseng. 2009 Degradation of anthraquinone dye C.I Reantive
Blue 19 in aqueous solution by ozonation. Chemosphere 77, 214-221
J.R Guimaraes., Maniero, Milena Guedes., de Araujo, Renata Nogueira. 2012.
Journal of Environmental Management 110, 33-39
Jin, Liu, Xu, Tao 2007. Decolorization of a dye industry effluent by Aspergillus
fumigatus XC6. Appl Microbiol Biotechnol,74, 239–243
Kamel, Sihem, Halima, Tahar. 2009. Decolourization process of an azoı¨que dye
(Congo red) by photochemical methods in homogeneous medium.
Desalination, 247, 412-422.
Khophar. S. M. 1984. Kimia Dasar Analitik. Jakarta : UI Press.
Kumar, Surabhi Siva.,Venkateswarlu,Putcha., Rao, Vanka Ranga., Rao,Gollapalli
Nagewsara. 2013. Synthesis, characterization and optical properties
of zinc oxide nanoparticles. International Nano Letters 3:30

Kuo et al., 2012. Photodegradation of aqueous reactive dye using TiO2zeolite


admixtures in a continuous flow reactor. Water Sci Technol, 65(11)

Lanje, Amrut.S., Sharma, Satish.J., Pode, Ramchandara B..,


Ningthoujam.,Raghumani S. 2010. Synthesis and optical characterization
of copper oxide nanoparticle. Applied Science Research, 1(2) 36-40

Lestari, Dewi Yuanita. 2010. Kajian Modifikasi dan Karakterisasi Zeolit Alam
dari Berbagai Negara. Yogyakarta : Jurdik Kimia UNY.

Mahmoud et al., 2007. Decolorization of Remazol Brilliant Blue Dye Effluent by


Advanced Photo Oxidation Process (H2O2/UV system). American Journal
of Applied Sciences 4 (12): 1054-1062, 2007
Mathur, N., Bhatnagar, P. 2007. Mutagenicity assessment of textile dyes from
Sangner(Rajasthan). Journal of Environmental Biology, 28, pp 123-126.
Munter, Rein. 2001. Advanced Oxidation Processes-Current status and prospects.
Proc. Estonian Acad.Sci.Chem, 50, 2, 59-80

Universitas Indonesia
79

Nova, Reka, Skripsi.2012. Modifikasi Zeoit ALam Terimmobilisasi Nanopartikel


Ag dengan L-Sistein dan Asam 3-Merkaptopropanoat sebagai Adsorben
Ion Logam Berat. Depok. Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
Novotny, Cenek., Rawal, Bhavin., Bhatt, Manish. 2001. Capacity of Irpex lacteus
and Pleurotus ostreatus for decolorization of chemically different dyes.
Journal of Biotechnology, 89 113-122
R.A.Day, Tr., Underwood, AL.2002. Analisa Kimia Kuantitatif. Jilid V. Jakarta :
PT.Erlangga
Raswatie. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT) Indonesia. Bogor : Program Studi Ekonomi Pertanian dan
Sumberdaya, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rindle, E., Troll, W. J., (1975) Metabolic reduction of benzidine azo dyes to
benzidine in the Rhesus monkey. Journal of National Cancer Institute, 55,
pp 181.
Rufiati, Erna. 2011. Handout Katalis. Perkumpulan Guru Indonesia
S.Lee, U.S. Choi, S.Li, J.A. Eastman. 1999. J.Heat Transfer, 121, 280
Sadar, M.J. 1996. Understanding Turbidity Science. Technical Information
Series-Booklet No.11. Hach Company.
Santos, Rafaella C.B., Durrant, Lucia Regina., Sette, Lara Duraes. 2010.
Biodegradation of Textile dyes decolorization and ligninolyticactivity by
marine-derived Peniophorasp.
Shah,M.Asharf., Al-Ghamdi,M.S.2011. Preparation of Copper (Cu) and Copper
Oxide (Cu2O) Nanoparticles under Supercritical Conditions. Materials
Sciences and Application, 2, 977-980
Shirato, Midori., Ikai, Hiroyo., Nakamura, Keisuke. 2011. Booster Effect of
Thermal Energy on Bactericidal Action of Hydroxyl Radical generated by
Photolysis of H2O2. Springer
Suparno, Tesis.2011. Degradasi zat warna Indigosol dengan Metode Oksidasi
Katalitik Menggunakan zeolit alam teraktivasi dan ozonasi. Depok.
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia.
S-H Chang., Chuang, Shun-Hsing., Ching Li,Heng., Hao Liang,Hsiu. 2010.
Comparative study on the degradation of I.C. Remazol Brilliant Blue R

Universitas Indonesia
80

and I.C.Acid Black 1 by Fenton oxidation and Fe0/air process and toxicity
evaluation. Journal of Hazardous Materials 166 1279–1288
Talam,Satyanarayana, Karumuri,Srinivas Rao., Gunnam,Nagarujan. 2012.
Synthesis, Characterization, and Spectroscopic Properties of ZnO
Nanoparticles. International Scholarly Research Network Nanotechnology,
Vol.2012, 6 pages
Trivedi et al., 2009. Adsorption of Remazol Brilliant Blue R Dye From Water by
Polyaluminum Chloride. J.Chem,Vol.2, No.2 , 379-385
V. Shah, Verma, Pradeep., Stopka, Pabel., Gabriel, Jiri. 2003. Decolorization of
dyes with copper(II)/organic acid/hydrogen peroxide systems . Applied
Catalysis B: Environmental 46, 287–292
Vaseem,Mohammad., Umar, Ahmad., Hahn,Yoon-Bong. 2010. ZnO
Nanoparticles: Growth, Properties, and Applications. American Scientific
Publishers.

Vinu R, Akki SU, Madras G. 2010. Investigation of dye functional group on the
photocatalytic degradation of dyes by nano-TiO2. J.Hazard Mater,
176 (1-3) : 765-73

Wan, Xia., Yuan,Meng.,Tie,Shao-long.,Lan, Sheng. 2013. Effects of catalyst


characters on the photocatalytic activity and process of NiO nanoparticles
in the degradation of methylene blue. Applied Surface Science 277, 40– 46
Yulizar, Yoki. 2004. Handout Kapita Selekta Kimia Fisik Nanopartikel. Depok :
Departemen Kimia FMIPA UI

Universitas Indonesia
81

Lampiran 1

Karakterisasi XRF Zeolit Alam dan Na-Zeolit

Tabel 1. Karakterisasi XRF zeolit dan Na-Zeolit

Zeolit Alam Na-Zeolit


Senyawa Berat (%) Senyawa Berat (%)
Al 2,93 Al 2,91
Si 32,13 Si 30,02
K 1,07 K 0,67
Ca 3,51 Ca 1,35
Mg 0,10 Mg <0,00005
Fe 1,17 Fe 0,56
Na 0,41 Na 2,62
Ba 0,018 Ba 0,018
[Sumber: Nova, Skripsi 2011]

Lampiran 2

Hasil Karakterisasi Zeolit dengan XRD

Zeolit-Awal
Zeolit Aktivasi
Intensitas (A.U)

2 Tetha
10 20 30 40 50 60 70 80

Gambar 1. Difraktogram XRD zeolit dan Na-Zeolit [Sumber: Nova, Skripsi 2011]

Universitas Indonesia
82

Tabel 2. Nilai 2θ zeolit alam, Na-Zeolit, standar klinoptilolit, dan standar


mordenit

2θ Zeolit Alam 2θ Na-Zeolit 2θ Standar Klinoptilolit 2θ Standar Mordenit


9,86 9,84 9,87 9,80
22,05 21,94 22,34 22,34
22,40 21,94 22,34 22,34
25,76 25,67 26,03 25,72
26,77 26,75 26,87 26,39
27,79 27,74 28,14 27,77
[Sumber: Nova, Skripsi 2011]

Lampiran 3
Hasil Karakterisasi BET Zeolit Alam
Tabel 3. Karakterisasi BET zeolit alam

Luas Permukaan Pori Volume Pori Ukuran Pori

28,768 m2/g 8,963 x 10-2cc/g 12,087 nm

[Sumber: Daud, Tesis 2011]

Universitas Indonesia
83

Lampiran 4
Karakterisasi BET Na-Zeolit

Universitas Indonesia
84

(Lanjutan)

Universitas Indonesia
85

Lampiran 5

Karakterisasi Kapasitas Tukar Kation (KTK) Zeolit Alam

Universitas Indonesia
86

Lampiran 6

Data SEM-EDS Zeolit Alam dan Na-Zeolit

1. Zeolit Alam

Universitas Indonesia
87

Universitas Indonesia
88

2. Na-Zeolit

Universitas Indonesia
89

Universitas Indonesia
90

Lampiran 7
Optimasi Degradasi Termal RBBR Tanpa Katalis

Tabel 4. Data hasil degradasi termal senyawa Remazol Brilliant Blue R(RBBR)
10 ppm tanpa menggunakan katalis dengan waktu reaksi 90 menit

Konsentrasi (M) Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(λmax 589 nm) (x10-6 M)
2,37 x10-1 0,041 6,153 61,68 %
4,62x10-1 0,010 1,501 90,65 %
6,77 x10-1 0,020 3,001 81,31%
8,82x10-1 0,050 7,503 53,27 %

Tabel 5. Data hasil degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm tanpa menggunakan
katalis dengan konsentrasi H2O2 optimum selama 90 menit

Suhu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(˚C) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
45 0,074 11,105 30,84 %
90 0,055 8,254 48,59 %
92 0,028 4,202 73,83 %
95 0,016 2,401 85,05 %
98 0,010 1,501 90,65 %
100 0,062 9,304 42,06 %

Universitas Indonesia
91

Lampiran 8
Optimasi Degradasi Termal RBBR dengan Katalis

Tabel 6. Data degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm dengan menggunakan


katalis zeolit@CuO dan konsentrasi H2O2 optimum

Berat Waktu Absorbansi Konsentrasi % Dye


Katalis (mg) Dekolorisasi (x10-6 M) Removal
(menit)
0 90 0,010 1,501 90,65 %

20 70 0,008 1,201 92,52 %

50 58 0,008 1,201 92,52 %

100 40 0,004 0,6003 96,26 %

150 40 0,004 0,6003 96,26 %

Tabel 7. Data degradasi termal senyawa RBBR10 ppm dengan penambahan


50 mg katalis zeolit@CuO pada kondisi optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,064 9,604 40,19 %
10 0,049 7,353 54,21 %
15 0,025 3,7517 76.64 %
20 0,021 3,151 80,37 %
30 0,015 2,251 85,98 %
40 0,014 2,101 86,92 %
45 0,011 1,6057 89,72 %

Universitas Indonesia
92

Tabel 8. Data degradasi termal senyawa RBBR10 ppm dengan penambahan


100 mg katalis zeolit@CuO pada kondisi optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)

5 0,038 5,703 64,49 %


10 0,023 3,452 78,5 %
15 0,017 2,551 84,11 %
20 0,009 1,351 91,59 %
30 0,007 1,051 93,86 %
40 0,004 0,6003 96,26 %
45 0 0 100 %

Tabel 9. Data degradasi termal senyawa RBBR10 ppm dengan penambahan


150 mg katalis zeolit@CuO pada kondisi optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,035 5,252 67,29 %
10 0,028 4,202 73,83 %
15 0,020 3,001 81,31 %
20 0,013 1,951 87,85 %
30 0,004 0,6003 96,26 %
40 0,002 0,3001 98,13 %
45 0 0 100 %

Universitas Indonesia
93

Tabel 10. Data degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm dengan penambahan 100
mg katalis Na-zeolit pada kondisi optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,088 13,206 17,76 %
10 0,060 9,004 43,93 %
15 0,058 8,704 45,79 %
20 0,049 7,353 54,21 %
30 0,028 4,202 74,16 %
40 0,023 3,452 78,32 %
45 0,022 3,3014 78,92 %

Tabel 11. Data degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm dengan menggunakan
katalis zeolit@ZnO dan konsentrasi H2O2 optimum

Berat Waktu Absorbansi Konsentrasi % Dye


Katalis (mg) Dekolorisasi (x10-6 M) Removal
(menit)
0 90 0,010 1,501 90,65 %

20 80 0,042 6,303 60,75 %

50 75 0,016 2,403 85,03 %

100 60 0,0085 1,269 92,09 %

150 50 0,0123 1,853 88,46 %

Universitas Indonesia
94

Tabel 12. Data degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm dengan penambahan 100
mg katalis zeolit@ZnO pada kondisi optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,0542 8,104 49,53 %
10 0,0348 5,223 67,47 %
15 0,0338 5,076 68,39 %
20 0,0267 4,014 75 %
30 0,021 3,158 80,33 %
40 0,0192 2,887 82,02 %
50 0,0086 1,293 91,95 %
60 0,00845 1,268 92,09 %

Tabel 13.Data hasil degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm menggunakan


katalis zeolit@CuO dengan konsentrasi H2O2 2,37x10-1 M terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,057 8,554 46,73 %
10 0,041 6,153 61,68 %
15 0,039 5,853 63,55 %
20 0,034 5,102 68,22 %
30 0,031 4,652 71,02 %
40 0,018 2,701 83,18 %
45 0,013 1,951 87,85 %

Universitas Indonesia
95

Tabel 14.Data hasil degradasi termal senyawa RBBR 10 ppm menggunakan


katalis zeolit@CuO dengan konsentrasi H2O2 6,77x10-1 M terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,057 10,355 35,51 %
10 0,041 6,303 60,74 %
15 0,039 5,252 67,29 %
20 0,034 5,102 68,22 %
30 0,031 4,802 70,09 %
40 0,018 4,202 73,83 %
45 0,013 2,701 83,18 %

Tabel 15. Data hasil degradasi termal senyawa RBBR 7 ppm menggunakan katalis
zeolit@CuO dengan konsentrasi H2O2 optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,057 10,355 35,51 %
10 0,046 6,903 57,01 %
15 0,032 4,802 70,09 %
20 0,027 4,052 74,77 %
30 0,024 3,602 77,57 %
40 0,014 2,101 86,92 %
45 0,005 0,7503 95,32 %

Universitas Indonesia
96

Tabel 16. Data hasil degradasi termal senyawa RBBR 15 ppm menggunakan
katalis zeolit@CuO dengan konsentrasi H2O2 optimum terhadap waktu

Waktu Absorbansi Konsentrasi RBBR % Dye Removal


(menit) (λmax 589 nm) (x10-6 M)
5 0,057 10,955 31,77 %
10 0,046 4,352 73,12 %
15 0,032 3,301 79,44 %
20 0,027 3,301 79,44 %
30 0,024 2,251 85,98 %
40 0,014 1,351 91,59 %
45 0,005 0,4502 97,19 %

Universitas Indonesia
97

Lampiran 9
Ilustrasi Mekanisme Kerja Katalis zeolit@CuO dalam degradasi termal RBBR

Pembuatan
zeolit@Cu2+

Penambahan OH- untuk


sintesis zeolit@CuO

Kalsinasi

350oC

+ RBBR

H2O2

∆ 98oC

Universitas Indonesia
98

Lampiran 10
Karakterisasi Produk Akhir Degradasi dengan GC

Gambar 2. Kromatogram Produk Akhir Degradasi RBBR

Tabel 17. Hasil Karakterisasi GC Produk Akhir Degradasi RBBR


Senyawa Waktu Retensi Luas Area Height
(menit)
Metanol 1,647 6,07657 x104 4,868 x104

Gambar 3. Kromatogram Pelarut (Metanol)

Universitas Indonesia
99

Tabel 18. Hasil Karakterisasi GC untuk pelarut


Senyawa Waktu Retensi Luas Area Height
(menit)
Metanol 1,647 6,40308 x 104 5,61204 x 104

Lampiran 11

Gambar 4. X-ray Difraktogram CuO

Gambar 5. X-ray Difraktogram ZnO

Universitas Indonesia
100

Lampiran 12
Data SEM-EDS Zeolit@ZnO dan Zeolit@CuO

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai