Anda di halaman 1dari 10

KAPASITAS MASYARAKAT KABUPATEN BONDOWOSO DALAM MENGHADAPI

ANCAMAN BENCANA ERUPSI GUNUNG RAUNG

Agus Purnomo
Prodi Pendidikan IPS, FIS Universitas Negeri Malang
agus.purnomo.fis@um.ac.id

Abstrak
Kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana merupakan salah satu upaya yang
dilakukan pada fase pra bencana. Upaya peningkatan kapasitas menjadi sangat penting
agar pada saat terjadi bencana, manusia dapat merespon dengan cepat dan tepat sehingga
jatuhnya korban jiwa dapat diminimalkan. Kapasitas sendiri dapat dibangun melalui
pendidikan atau pengalaman bencana. Masyarakat di sekitar Gunung Raung Kabupaten
Bondowoso dinilai memiliki kapasitas yang rendah dalam menghadapi bencana erupsi. Itu
karena pengalaman dari generasi sebelumnya tentang bencana dan pekerjaan yang sangat
bergantung terhadap alam. Sehingga mereka memperlakukan gunung sebagai sumber
penghidupan. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Sumber Wringin, Sempol, dan
Tlogosari. Desain untuk menjelaskan kapasitas masyarakat dalam menghadapi erupsi
Gunung Raung menggunakan deskriptif. Data tersebut dikumpulkan menggunakan teknik
angket pada 64 warga di 8 Desa. Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan
analisis tabulasi silang untuk menentukan pola. Hasil temuan menunjukkan bahwa beberapa
gunung memiliki nilai kultus tersendiri bagi warganya. Mereka beranggapan bahwa gunung
tidak akan menyakiti mereka dan memberikan mereka kehidupan dengan warisan abu
(tanah yang subur) bagi anak cucunya. Hal di atas menyimpulkan bahwa kapasitas
masyarakat Kabupaten Bondowoso dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Raung
perlu pengelolaan yang serius. Jika respon dari pemerintah dalam menyikapi bencana
erupsi Gunung Raung terlalu berlebihan, padahal hanya berupa erupsi kecil. Maka hal
tersebut akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam
penanganan bencana.
Kata Kunci: Kapasitas, Bencana

A. Pendahuluan
Gunung api Raung adalah gunung api terbesar di pulau Jawa dengan tipe letusan
yang eksplosif dan tercatat pernah meletus hebat sebanyak 6 kali, seperti yang terjadi pada
tahun 1586, 1597, 1638, 1890, 1953, dan 1956, menghasilkan abu yang dilontarkan ke
udara dan pernah terjadi awan panas yang meluncur menyelimuti sebagian tubuh gunung
apinya pada tahun 1953 (PVMBG, 2014). Bahaya utama letusan Gunung api Raung adalah
bahaya akibat langsung dari letusan seperti luncuran awan panas dan lontaran piroklastik.
Berdasarkan sejarah kegiatannya periode erupsi terpendek antara 2 letusan adalah 1 tahun
dan terpanjang 90 tahun.
Data di PPGA Raung mencatat sebanyak sembilan kecamatan terancam letusan
Gunung Raung, baik berupa awan panas maupun lemparan material vulkanik yang tersebar
di lima kecamatan Kabupaten Banyuwangi, tiga kecamatan di Kabupaten Bondowoso, dan
satu kecamatan di Kabupaten Jember. Lima kecamatan di Banyuwangi yang akan terkena
dampak erupsi Gunung Raung yakni Kecamatan Kalibaru, Glenmore, Songgon, Sempu, dan
Genteng, sedangkan di Kabupaten Bondowoso berada di Kecamatan Sumber Wringin,
Sempol dan Tlogosari, serta Kecamatan Sumberjambe di Kabupaten Jember. Kawasan
terdampak bencana letusan Raung terbagi atas kawasan Ring I dan Ring II yang tersebar di
Kecamatan Songgon, Sempu, Genteng, Kalibaru, Glenmore dan Singojuruh dengan jumlah
penduduk yang terdampak sebanyak 83.182 ribu jiwa (BPBD Banyuwangi, 2015).
Aktivitas Gunung Raung yang berada di perbatasan tiga wilayah, Banyuwangi,
Bondowoso dan Jember terpantau mengalami peningkatan sejak naik status menjadi Siaga
level III per 29 Juni 2015 (PVMBG. 2015). Peningkatan status Gunung api Raung segera
direspon oleh 3 pemerintah daerah yang berbatasan langsung. Pemerintah berupaya untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat guna meminimalkan korban
jiwa dan kerugian harta benda saat erupsi terjadi. kapasitas merupakan salah satu upaya
yang dilakukan pada fase pra bencana. Upaya peningkatan kapasitas menjadi sangat
penting agar pada saat terjadi bencana, manusia dapat merespon dengan cepat dan tepat
sehingga jatuhnya korban jiwa dapat diminimalkan (Charter, 1991).
Berdasarkan data dari PVMBG hujan abu dirasakan cukup deras pada warga yang
menghuni dua dusun terdekat dengan kawah Raung, di Kecamatan Sumber Wringin
Kabupaten Bondowoso, yaitu Dusun Legan dan Dusun Sipanas. Di dua dusun itu, dampak
aktivitas Raung lebih terasa dibandingkan dusun lain. Karena dua dusun itu ada di radius 7
km dari kawah. Hal itu didukung dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Bondowoso yang telah menganalisis daerah-daerah yang berpotensi terdampak jika
Gunung api Raung meletus besar. Dusun tersebut tetap di Kecamatan Sumber Wringin dan
Tlogosari. Diperkirakan penduduk yang berjumlah 4.985 orang itu tinggal di dua kecamatan.
Di Kecamatan Sumber Wringin ada 2.088 orang, sedangkan di Kecamatan Tlogosari 2.897
orang (BPBD Kabupaten Bondowoso. 2015).
Pada kasus erupsi Gunung api Kelud yang terjadi tahun 2014, masyarakat
Kabupaten Malang yang tidak memiliki pengalaman tentang erupsi gunung api terlihat
tenang meskipun sudah diberikan informasi yang berkelanjutan dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Malang. Akibatnya ketika erupsi terjadi banyak warga yang
tidak siap dan sebagian warga pada kelompok usia rentan terjebak di rumah karena
terlambat untuk menyelamatkan diri (Purnomo. 2015). Dari kenyataan itu kapasitas
masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari
erupsi gunung api kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan
anjuran dari pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas di radius 5 km dari Kawah Gunung
api Kelud saat statusnya siaga (Indra Wardhani, dkk. 2015)
Jika kapasitas pemerintah dalam menanggapi bencana tidak didukung oleh
masyarakat maka peristiwa yang ada pada erupsi Gunung api Kelud mungkin bisa terulang
kembali. Karena itu perlu adanya upaya pendidikan atau sosialisasi dari pemerintah
mengenai apa yang harus dilakukan oleh masyarakat ketika statusnya dinaikkan dari siaga
menjadi awas. Atas dasar kenyataan tersebut, analisis kapasitas masyarakat dalam
menghadapi ancaman erupsi Gunung api Raung menjadi topik yang sangat menarik untuk
dikaji.

B. Metode
Desain untuk menjelaskan kapasitas masyarakat dalam menghadapi erupsi Gunung
Raung menggunakan deskriptif. Pengukuran kapasitas mencakup (1) kelompok umur, (2)
tingkat pendidikan, (3) pengalaman bencana, dan (4) respon saat terjadi bencana. Data
tersebut dikumpulkan menggunakan teknik angket pada 64 warga di 8 Desa (3 Kecamatan)
Kabupaten Bondowoso. Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan analisis
tabulasi silang untuk menentukan pola.
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Sumber Wringin, Sempol, dan Tlogosari.
Berikut adalah peta lokasinya.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian


Sumber: Agus Purnomo. 2015

C. Hasil dan Pembahasan


Sebagian besar masyarakat yang tinggal di delapan desa tiga kecamatan memiliki
mata pencaharian sebagai petani. Komoditas andalan mereka adalah labu siam. Di
Kecamatan Tlogosari komoditas ini dikirim untuk memenuhi pasar di Kabupaten
Banyuwangi, Jember, dan Situbondo. Sedangkan komoditas perkebunan andalan mereka
adalah kopi dan karet. Pasca erupsi Gunung Raung pada tahun 2015, tanaman kopi yang
mereka miliki tidak menghasilkan buah sebanyak pada tahun sebelumnya. Produksi
tanaman kopi yang menurun dikarenakan tunas baru tanaman kopi terbakar oleh abu
sehingga bunga yang dihasilkan tidak banyak. Hingga tahun 2016 produksi yang dihasilkan
menurun sebanyak 50% dari produksi normal (1000 kg/ha/tahun).
Sementara pada perkebunan karet mereka tidak dapat melakukan penyadapan
karena pohon karet yang terkena abu menggugurkan daunnya. Tidak ada upaya untuk
memulihkan kondisi ini. Mereka hanya menunggu hujan datang membilas abu dari daun.
Berikut adalah tabel mayoritas pekerjaan utama dari delapan desa tersebut.
Tabel 1 Mayoritas Pekerjaan Utama
Mayoritas Pekerjaan
Kecamatan Desa/Kelurahan Jenis komoditas
Utama
Sumber Wringin Tegal Jati Petani Padi
Sumber Wringin Rejo Agung Petani Perkebunan
Sumber Wringin Sumber Wringin Petani Padi
Sempol Jampit Petani Perkebunan
Tlogosari Pakisan Petani Padi
Tlogosari Tlogosari Petani Padi
Tlogosari Kembang Petani Padi
Tlogosari Gunosari Petani Padi
Sumber: Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Bondowoso Tahun 2015

Selain pada sektor pertanian, sebagian warga juga bekerja pada sebagai TKI. Mereka
yang bekerja sebagai TKI berharap mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari pada
bekerja di sektor pertanian. Pengambil keputusan untuk melakukan migrasi mayoritas masih
pada perempuan. Mereka yang mengambil keputusan ini berpendapat bahwa harus ada
yang mengambil keputusan untuk bekerja di luar agar keluarga ini dapat memperbaiki
kondisi ekonominya.
Ditinjau dari latar belakang etnis masyarakat yang tinggal di Kabupaten Bondowoso
memang multi etnis. Sebagian besar merupakan etnis Jawa dan Madura. Ada etnis
minoritas yaitu Arab dan China. Terkait soal keputusan migrasi Etnis Arab dan China tidak
terlibat, karena mereka tinggal di lingkungan kota yang dekat dengan sektor perdagangan
dan jasa. Sementara di delapan desa tersebut mayoritas adalah etnis Jawa dan Madura.
Berikut adalah data jumlah pelaku migrasi internasional di delapan desa tersebut.
Tabel 2 Jumlah Pelaku Migrasi Internasional Berdasarkan Jenis Kelamin
Pelaku Migran Pelaku Migran
Kecamatan Desa/Kelurahan
Laki-laki Perempuan
Sumber Wringin Tegal Jati 0 15
Sumber Wringin Rejo Agung 4 35
Pelaku Migran Pelaku Migran
Kecamatan Desa/Kelurahan
Laki-laki Perempuan
Sumber Wringin Sumber Wringin 5 14
Sempol Jampit 0 2
Tlogosari Pakisan 14 7
Tlogosari Tlogosari 17 13
Tlogosari Kembang 31 25
Tlogosari Gunosari 8 8
JUMLAH 79 119
Sumber: Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Bondowoso Tahun 2015

Kondisi sosial dilihat berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa tersebut rata-
rata masih lulusan SMP-SMA. Banyak dari masyarakat yang tidak melanjutkan ke perguruan
tinggi meskipun secara ekonomi mampu. Program kerja sama Universitas Negeri Jember
dengan universitas swasta di Besuki Raya tidak mampu meningkatkan minat untuk
melanjutkan pendidikan. Mereka beranggapan bahwa ilmu agama lebih penting dari pada
ilmu yang diperoleh di bangku sekolah.
Selain faktor persepsi terhadap pendidikan. Delapan desa ini juga memiliki akses yang
cukup jauh terhadap SMP, SMA, dan PTN/PTS. Hal tersebut membuat orang tua lebih
memilih mengajak anaknya membantu di perkebunan atau di sawah.
Tabel 3 Jumlah dan Keterjangkauan Sarana Pendidikan
Kecamatan Desa/Kelurahan 1 2 3 (km) 4 5 6 (km) 7 (km)
Sumber Wringin Tegal Jati 0 2 0 2 29
Sumber Wringin Rejo Agung 0 1 0 1 31
Sumber Wringin Sumber Wringin 0 0 1 0 0 5 29
Sempol Jampit 0 0 7 0 0 42 61
Tlogosari Pakisan 1 1 0 1 17,5
Tlogosari Tlogosari 0 2 0 0 2,4 20,3
Tlogosari Kembang 0 1 0 0 2,4 23,4
Tlogosari Gunosari 1 0 0 0 6,3 26,6
Sumber: Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Bondowoso Tahun 2015
Keterangan
1= Jumlah SMP negeri
2= Jumlah SMP swasta
3= Jarak ke SMP terdekat dalam kilometer
4= Jumlah SMU negeri
5= Jumlah SMU swasta
6= Jarak ke SMU terdekat dalam kilometer
7= Jarak ke PTN/PTS terdekat dalam kilometer

Terkait dengan sarana kesehatan, beberapa masih belum ada fasilitas yang memadai.
Masyarakat yang sakit ringan mengandalkan tanaman obat tradisional atau obat generik
yang dijual bebas untuk mengatasinya. Tapi di Desa Rejo Agung Kecamatan Sumber
Wringin dan Desa Jampit Kecamatan Sempol terdapat layanan kesehatan sebulan sekali.
Layanan tersbeut merupakan fasilitas yang diberikan oleh pihak Perhutani guna menjaga
kesehatan para pekerjanya.
Berikut adalah data dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Pos Kesehatan Desa) yang ada
pada masing-masing desa.
Tabel 4 Jumlah dan Keterjangkauan Sarana Pendidikan
Keberadaa
Jarak Poskesdes
Kecamatan Desa/Kelurahan n Jumlah Aksesibilitas
terdekat (km)
poskesdes
Sumber Wringin Tegal Jati Tidak ada 0,1 sangat mudah
Sumber Wringin Rejo Agung Ada 1
Sumber Wringin Sumber Wringin Ada 1
Sempol Jampit Tidak ada 7 Sulit
Tlogosari Pakisan Tidak ada 2,5 Mudah
Tlogosari Tlogosari Ada 1
Tlogosari Kembang Tidak ada 1 Mudah
Tlogosari Gunosari Tidak ada 1 Mudah
Sumber: Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Bondowoso Tahun 2015

Data pendidikan menunjukkan rata-rata tingkat pendidikan warga di delapan desa di


tiga kecamatan antara SMP-SMA. Keterkaitan tingkat pendidikan dengan umur sangat erat.
Banyak warga yang berusia di atas 40 tahun hanya mengenyam pendidikan SD-SMP.
Mereka mengaku bahwa sudah dirasa cukup menempuh pendidikan pada tingkat tersebut
karena di wilayahnya dulu tidak ada fasilitas untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Selain itu masyarakat sekitar juga masih menganggap bahwa agama lebih utama dari pada
pendidikan formal. Berikut adalah data dari tabulasi silang antara Tingkat Pendidikan dan
Usia Responden.
Tabel 5 Tabulasi Silang antara Tingkat Pendidikan dan Usia Responden

Tingkat Pendidikan  
 
Kelompok Umur SD SMP SMA PT Total
20-24 3 4 1 8
25-29 2 11 4 17
30-34 1 1 11 2 15
35-39 1 4 7 12
40-44 1 1
45-49 3 3 6
>50 5 5
Total 12 12 33 7 64
Sumber: Pengolahan data primer

Tingkat pendidikan sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk mencari


informasi. Mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih mampu untuk mengakses
informasi dari berbagai sumber. Meskipun mereka yang berusia lebih muda diberikan
pengertian oleh mereka yang lebih tua bahwa bencana tidak akan membahayakan.
Generasi yang lebih tua pernah mengalami bencana lebih parah dari ini dan tidak
mengungsi. Namun jika dilihat dari pola yang ada mereka yang lebih muda memiliki
kapasitas lebih dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman bencana.
Kemampuan ini dilihat dari respon mereka. Kemampuan merespon bencana merupakan
bentuk dari persepsi mereka terhadap bencana. Pada halaman berikut disajikan analisis
tabulasi silang antara Tingkat pendidikan dan Respon saat bencana terjadi.
Tabel 6 Tabulasi silang antara Tingkat Pendidikan dengan Respon Saat Terjadi Bencana

Tingkat Pendidikan Jumlah


Respon saat terjadi bencana SD SMP SMU PT
Tidak ada yang dilakukan 8 4 1 12
Melihat dan mengikuti situasi 4 8 33 6 52
          64
Sumber: Pengolahan data primer

Saat terjadi bencana sumber informasi sudah terkoordinir dengan baik pada 1 pintu
yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bondowoso. Namun sumber
informasi tunggal ini dimaknai berbeda oleh masyarakat. Mereka menganggap bahwa tidak
terjadi ancaman serius dari bencana yang terjadi. Sehingga mereka juga tidak
mempersiapkan diri dengan serius.
Pengalaman bencana dalam 5 tahun terakhir dari data Potensi Desa Tahun 2015
menunjukkan bahwa wilayah tersebut pernah mengalami bencana Puting Beliung dan tanah
Longsor pada tahun 2013. Pengalaman bencana yang terjadi akan membentuk
pengetahuan yang ada. Pada kasus ini pengalaman bencana erupsi gunung api mereka
dapatkan terakhir pada tahun 1950. Mereka yang berusia lebih muda dari pengalaman
bencana tidak memiliki pengetahuan untuk menghadapi bencana tersebut. Karena itu
pengetahuannya terbangun dari persepsi generasi sebelumnya terhadap bencana.
Masyarakat di sekitar Gunung Raung membangun pengetahuan tentang ancaman
bencana erupsi dari pengalaman erupsi tahun 1956. Banyak warga yang menganggap
bahwa erupsi Raung hanya terjadi di dalam kawah dan tidak menimbulkan ancaman. Di
Kabupaten Bondowoso hanya beberapa warga yang mau mengungsi saat erupsi tahun
2015. Alasannya adalah lokasi yang mereka tinggali saat ini adalah milik pihak Perhutani,
sehingga mereka tidak merasa keberatan untuk meninggalkannya. Warga dengan usia di
bawah 40 tahun yang tidak mengalami erupsi tahun 1956 hanya mendapatkan pengetahuan
dari informasi yang diberikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Saat
hendak melakukan persiapan mengungsi, generasi sebelumnya memberikan informasi
bahwa, ”Erupsi tidak akan membahayakan, dulu waktu erupsi tahun 1950an kami juga apa-
apa. Tenang saja!”.
Di Kabupaten Bondowoso, masyarakat memaknai Gunung Raung sebagai tempat
hidup yang tidak akan membahayakan bagi mereka. Beberapa dusun terdekat masuk dalam
kawasan kerja Perhutani. Mereka bekerja untuk mengelola tanaman kopi dan karet dan
memiliki tempat tinggal di wilayah bawah yang lebih aman. Ketika ada himbauan untuk
mengungsi mereka tidak keberatan karena merasa tidak ada yang perlu diperjuangkan atau
dilindungi.
Saat sosialisasi dengan warga di Desa Gunosari Kecamatan Tlogosari, Bondowoso,
pihak BPBD memberikan bukti bahwa wilayah mereka termasuk daerah aliran lahar. Namun
masyarakat memaknai aliran lava tersebut sebagai aliran darah akibat peperangan Dhamar
Wulan dan Menak Jinggo. Mitos ini menjadi keyakinan ketika berbaur dengan pengalaman
generasi pendahulu pada erupsi Raung tahun 1956. Mereka yakin tidak perlu mengungsi
karena erupsi Raung merupakan letusan dalam kawah saja dan tidak akan keluar.

Gambar 2. Lava Flow di Kali Asat Desa Gunosari Kecamatan Tlogosari


Sumber: Dokumentasi penelitian

Pengetahuan dan keyakinan dalam bentuk mitos ini dikenal luas dan mendapat
banyak dukungan, khususnya daerah perdesaan (Dove. 2011). Pengetahuan yang
dipadukan dengan aspek pengalaman akan membangun persepsi masyarakat terhadap
lingkungannya. Persepsi ini terbangun dari sumber informasi/pengetahuan yang bersifat
tradisional. Pada masyarakat dengan golongan umur yang lebih muda, persepsi merupakan
perpaduan antara pengetahuan dan informasi dari generasi sebelumnya. Inilah merupakan
persepsi yang bersifat modern.
Gambar 3. Skema pembentukan persepsi terhadap bencana erupsi Gunung api Raung masyarakat Kabupaten
Bondowoso

Usia yang lebih lama artinya makin banyak pengalaman dalam menghadapi ancaman
bencana dari lingkungan tempat tinggal sehingga membangun persepsi terhadap bencana
(Sattler, dkk. 2000, Miceli, dkk. 2008, Russell, dkk. 1995, Lindell and Perry 2000, Tekeli-
Yesil, dkk. 2010). Pengalaman ini ditransmisikan ke generasi berikutnya melalui
pembelajaran saat terjadi bencana. Namun bila kejadian bencana dirasakan tidak
berpengaruh signifikan dalam kehidupannya maka generasi baru ini akan membangun
persepsi bahwa bencana adalah aktivitas rutin lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Persepsi tersebut semakin kuat ketika seluruh sumber penghidupan mereka
bergantung pada lingkungan sekitar tanpa ada diversifikasi. Mereka akan menganggap
bahwa bencana yang terjadi adalah bagian dari kehidupan mereka yang memiliki 2 sisi
(dualisme). Yaitu sebagai sumber penghidupan (tanah yang subur) dan bencana (merusak
sumber penghidupan).

D. Kesimpulan
Pengetahuan lokal masyarakat tentang gunungapi memiliki dua makna, yaitu sebagai
pemberi kehidupan dan mengambil kehidupan. Sedangkan pada pengetahuan modern
hanya memandang gunungapi sebagai pengambil kehidupan (bencana). Mereka yang
tinggal sejak lahir disekitar guungapi sudah menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan.
Meski saat erupsi gunungapi mengambil semua yang dimiliki. Mereka akan kembali lagi ke
tanah kelahirannya. Ikatan ini dimaknai sebagai bentuk hubungan manusia dengan alam.
Beberapa gunung memiliki nilai kultus tersendiri bagi warganya. Mereka beranggapan
bahwa gunung tidak akan menyakiti mereka dan memberikan mereka kehidupan dengan
warisan abu (tanah yang subur) bagi anak cucunya. Seluruh temuan di atas menyimpulkan
bahwa kapasitas masyarakat Kabupaten Bondowoso dalam menghadapi bencana erupsi
Gunung Raung perlu pengelolaan yang serius. Jika respon dari pemerintah dalam
menyikapi bencana erupsi Gunung Raung terlalu berlebihan, padahal hanya berupa erupsi
kecil. Maka hal tersebut akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dalam penanganan bencana.

E. Daftar Pustaka
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Banyuwangi. 2015
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Bondowoso. 2015
Charter, 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Manila: ADB
Dove, Michael R. dan Bambang Hudayana. 2011. The view from the volcano: an
appreciation of the work of Piers Blaikie. www.elsevier.com/locate/geoforum
Indra Wardhani, dkk. 2015. Pengelolaan Bencana Kegunungapian Kelud pada Periode
Krisis Erupsi 2014. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lindell, M. K., and R. W. Perry. 2000. Household adjustment to earthquake hazard: a review
of research. Environment and Behavior 32:461-501.
http://dx.doi.org/10.1177/00139160021972621
Miceli, R., I. Sotgiu, and M. Settanni. 2008. Disaster preparedness and perception of flood
risk: a study in an alpine valley in Italy. Journal of Environmental Psychology 28:164-
173. http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvp.2007.10.006
PVMBG (Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi). 2015
Purnomo, Agus. 2015. Study of Gender in Adaptation Strategies Post Kelud Volcano
Eruption 2014. The Proceeding of 1st UPI International Conference on Sociology
Education.
Potensi Desa. Kecamatan Sempol. 2015
Potensi Desa. Kecamatan Sumber Wringin. 2015
Potensi Desa. Kecamatan Tlogosari. 2015
Russell, L. A., J. D. Goltz, and L. B. Bourque. 1995. Preparedness and hazard mitigation
actions before and after two earthquakes. Environment and Behavior 27:744-770.
http://dx.doi.org/10.1177/0013916595276002
Sattler, D. N., C. F. Kaiser, and J. B. Hittner. 2000. Disaster preparedness: relationships
among prior experience, personal characteristics, and distress. Journal of Applied Social
Psychology 30:1396-1420. http://dx.doi.org/10.1111/j.1559-1816.2000.tb02527.x
Tekeli-Yesil, S., N. Dedeoglu, M. Tanner, C. Braun Fahrlaender, and B. Obrist. 2010.
Individual preparedness and mitigation actions for a predicted earthquake in Istanbul.
Disasters 34:910-930. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-7717.2010.01175.x

Anda mungkin juga menyukai