Anda di halaman 1dari 26

RESUME KEPERAWATAN ANAK

DENGAN MATERI
DIARE.PNEUMONIA,DAN DBD

NAMA : NURFAJRI RAMDHONI


NIM : 181440129

PRODI DIII KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG
TAHUN 2020

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak

Nurul Utami, Nabila Luthfiana


Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Mahasiswa, FakultasKedokteran, Universitas Lampung
Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan peningkatan
volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari (pada neonatus
lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Jenis diare ada dua, yaitu diare akut dan
diare kronik. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementaradiare kronik
yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.

Mikroorganisme seperti bakteri, virus dan protozoadapat menyebabkan diare. Eschericia coli
enterotoksigenic, Shigella sp, Campylobacterjejuni,dan Cryptosporidium spmerupakan
mikroorganisme tersering penyebab diare pada anak.
Virus atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman. Virus atau
bakteri tersebut akan sampai ke sel–sel epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi,
sehingga dapat merusak sel-sel epitel tersebut. Sel–sel epitel yang rusak akandigantikan oleh
sel-sel epitel yang belum matang sehingga fungsi sel–sel ini masih belum optimal.
Selanjutnya,vili–vili usus halus mengalami atrofi yang mengakibatkan tidak terserapnya
cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan yang tidak terserap akan terkumpul di
usus halus dan tekanan osmotik usus akan meningkat. Hal ini menyebabkan banyak cairan
ditarik ke dalam lumen usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan terdorong
keluar melalui anus dan terjadilah diare.

Manifestasi klinis dari diare yaitu mula– mula anak balita menjadi cengeng, gelisah,
demam, dan tidak nafsu makan. Tinja akan menjadi cair dandapat disertai dengan lendir
ataupun darah. Warna tinja dapat berubah menjadi kehijau–hijauan karena tercampur dengan
empedu. Frekeuensi defekasi yang meningkat menyebabkan anus dan daerah sekitarnya
menjadi lecet.Tinja semakin lama semakin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang
berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat
ditemukan sebelum atau sesudah diare. Muntah dapat disebabkan oleh lambung yang
meradang atau gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.Anak– anak adalah
kelompok usia rentan terhadap diare. Insiden tertinggi pada kelompok usia dibawah dua
tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak.

Faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada anak ada tiga. Faktor yang
pertama adalah faktor lingkungan. Diare dapat terjadi karena seseorang tidak memerhatikan
kebersihan lingkungan dan menganggap bahwa masalah kebersihan adalah masalah
sepele. Kebersihan lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang optimum sehingga dapat
memberikan pengaruh positif terhadap status kesehatan yang baik. Ruang lingkup
kebersihan lingkungan diantaranya adalah perumahan, pembuangan kotoran
manusia,penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan air kotor (limbah).
Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran penyakit diare pada anak yaitu
pembuangan tinja dan sumber air minum. Pengelolaan tinja yang kurang diperhatikan disertai
dengan cepatnya pertambahan penduduk akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan
melalui tinja seperti diare, yang merupakan penyakit menular berbasis lingkungan. Pembuangan
tinja yang sembarangan juga akan menyebabkan penyebaran penyakit. Penyebaran penyakit yang
bersumber dari tinja dapat melalui berbagai macam cara,baik melalui air, tangan, maupun tanah
yang terkontaminasi oleh tinja dan ditularkan lewat makanan dan minuman melalui vektor serangga
(lalatdankecoa). Selain itu, halaman rumah yang becek karena buruknya saluran pembuangan air
limbah(SPAL) memudahka npenularan diare, terutama yang ditularkan oleh cacing dan parasit.
Membuang sampah sembarangan akan menjadi faktor risiko timbulnya berbagai vektor bibit
penyakit sehingga ada hubungan yang signifikan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare
pada anak.
Faktor yang kedua adalah faktor sosiodemografi. Faktor sosiodemografi yang berpengaruh
terhadap kejadian diare pada anak yaitu pendidikan dan pekerjaan orang tua, serta umur
anak.19Jenjang pendidikan memegang peranan yang cukup penting dalam kesehatan
masyarakat.20Pendidikan seseorang yang tinggimemudahkan orang tersebut dalam penerimaan
informasi, baik dari orang lain maupun media masa. Banyaknya informasi yang masuk akan
membuat pengetahuan tentang penyakit diare semakin bertambah.

Terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat korelasi kuat antara tingkat pendidikan
ibu dengan perilaku pencegahan diare pada anak.Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki,
maka perilaku pencegahan terhadap penyakit diare akan semakin baik. 22 Tingkat pendidikan yang
tinggi pada seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada tindakan preventif,
memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan.

Pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera, atau masalah
kesehatan dalam suatu kelompok populasi dapat mencerminkan karakteristik pekerjaan seseorang.
Kejadian diare lebih sering muncul pada bayi dan balita yang status ekonomi keluarganya
rendah.Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan fasilitas kesehatan yang dimiliki mereka
akan baik pula, seperti penyediaan air bersih yang terjamin, penyediaan jamban sendiri, dan jika
mempunyai ternak akan diberikan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya.

Faktor sosiodemografi lain yang dapat memengaruhi kejadian diare adalah umur.Semakin
muda usia anak, semakin tinggi kecenderungan terserang diare. Daya tahan tubuh yang
rendahmembuat tingginya angka kejadian diare.

Faktor ketiga yang dapat memengaruhi kejadian diare yaitu faktor perilaku. Pemberian air
susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan merupakan faktor perilaku yang
berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan risiko terjadinya diare. Terdapat
hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi dibawah 3 tahun. Bayi yang
tidak mendapat ASI eksklusif sebagian besar (52.9%) menderita diare, sedangkan bayi dengan
ASI eksklusif hanya 32.31% yang menderita diare. Selain ASI, terdapat pula personal
hygiene,yaitu upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk
memeroleh kesehatan fisik dan psikologis. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah
buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat membahayakan anak, terutama ketika sang ibu
memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka makanan tersebut dapat terkontaminasi oleh
kuman sehingga dapat menyebabkan diare. Perilaku yang dapat mengurangi risiko terjadinya diare
adalah mencuci sayur dan buah sebelum dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah
melalui penyajian makanan yang tidak matang atau mentah.

Pada penderita diare, zat-zat makanan yang masih diperlukan tubuh akan terbuang
bersamaan dengan terjadinya dehidrasi. Oleh karena itu, apabila anak sering mengalami diare,
maka pertumbuhannya tidak dapat berlangsung secara optimal.

Terdapat 5 prinsip penanganan diare.Prinsip yang pertama yaitu berikan oralit. Oralit
bermanfaat untuk menggantikan cairan dan elektrolit tubuh yang hilang akibat diare. Cara
pemberiannya yaitu masukkan satu bungkus oralit ke dalam satu gelas air matang (200cc). Anak
dengan usia kurang dari satu tahun diberikan 50-100cc cairan oralit setiap setelah buang air besar
dan anak dengan usia lebih dari satu tahun diberikan 100-200cc cairan oralit setiap setelah buang
air besar.

Prinsip yang kedua yaitu berikan zink selama 10 hari berturut-turut. Pemberian zink dapat
mempercepat penyembuhan diare dengan cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada anak.
Zink diberikan satu kali sehari selama 10 hari berturut-turut dengan dosis untuk balita umur <6
bulan yaitu ½ tablet (10mg) per hari dan untuk balita ≥ 6 bulan diberikan dosis 1 tablet (20mg) per
hari

Prinsip yang ketiga yaitu teruskan ASI dan pemberian makan. Berikan ASI apabila anak
masih mendapatkan ASI dan sebanyak yang anak mau, serta berikan makanan dengan frekuensi
lebih sering sampai anak berhenti diare

Prinsip yang keempat yaitu berikan antibiotik secara selektif. Antibiotik hanya boleh
diresepkan oleh dokter.

Prinsip yang kelima yaitu memberi nasihat bagi ibu atau pengasuh. Berikan nasihat tentang
cara pemberan oralit, zink, ASI, dan makanan.Berikan informasi mengenai tanda-tanda untuk
segera membawa anaknya ke petugas kesehatan apabila ditemukan buang air besar cair berlebih,
makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam waktu 3 hari.

Diare dapat dicegah dengan cara memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan
sampai 2 tahun, memberikan makanan pendamping ASI sesuai umur, memberikan minum air yang
sudah direbus dan menggunakan air bersih yang cukup, mencuci tangan dengan air dan sabun
sebelum makan dan sesudah buang air besar, buang air besar di jamban, membuang tinja bayi
dengan benar, dan yang terakhir adalah memberikan imunisasi campak. 33Diare menyebabkan
kehilangan cairan yang berperan penting di dalam tubuh, seperti sodium, klorida, dan potasium.
Dehidrasi merupakan komplikasi diare yang paling berbahaya. Gejala dari dehidrasi, yaitu turgor
kulit yang buruk, anak menjadi lebih rewel dari biasanya, lidah dan mulut yang kering, demam
tinggi, serta mata dan pipi cekung.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Profil data dan kesehatan indonesia. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
2. WHO; 2013 (diakses pada tanggal 16 september 2016). Tersedia dari :
http://www.who.int/mediacentre/factshe ets/fs330/en/
3. Kemenkes RI. buletin jendela data dan informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
4. Profil Kesehatan Provinsi Lampung; 2012 (diakses pada tanggal 16 september 2016).
Tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/down
load/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/0 8_Profil_Kes_Prov.Lampung_2012.pdf
5. IDAI. Buku ajar gastroenterologi- hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2012.
6. Lailatul M. Ketersediaan sarana sanitasi dasar, personal hygiene ibu dan kejadian diare.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 8(2):167-73.
7. Mayo Clinic; 2013 (diakses pada tanggal
17 september 2016). Tersedia dari: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/diarrhea/basics/definition/con- 20014025
8. Sinthamurniwaty. Faktor risiko kejadian diare akut pada balita (studi kasus di kabupaten
semarang) [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2006.
9. Aziz. Diare pembunuh utama balita. Jakarta: Graha Pustaka; 2006.
10. Depkes RI. Lima langkah tuntaskan diare. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2011.
11. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S. Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: IDAI; 2010.
12. Kliegman RM, Marcdante KJ, Behrman RE, editor. Nelson essentials of pediatric. Edisi
5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
13. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and deaths
caused by rotavirus disease in children. Emergency Infectious Disease. 2003;9:565-72.
14. Tarwoto W. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika;
2012.
15. Depkes RI. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta: Ditjen PPM&PL; 2003.
16. Notoatmodjo S. Prinsip–prinsip dasar ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta;
2003.
17. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.
Jakarta: Erlangga; 2008.
18. Regassa G, Birke W, Deboch B, Belachew
T. Evironmental determinants of diarrhea among under five children in nekemte town,
western ethiopia. Ethiop J Health Sci. 2008;18(2):39-45.
19. Adisasmito W. Faktor risiko diare pada bayi dan balita di indonesia: systematic review
penelitian akademik bidang kesehatan masyarakat. Makara Kesehatan. 2007;11:1-
10.
20. Sander MA. Hubungan faktor sosio budaya dengan kejadian diare di desa candinegoro
kecamatan wonoayu sidoarjo. Jurnal Medika. 2005; 2(2):163-93.
21. Notoatmodjo S. Konsep perilaku dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
22. Dodi NS. Hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan perilaku pencegahan
diare pada anak di kelurahan pucangsawit surakarta [skripsi]. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret; 2009.
23. Susana SS, Yuni SA, Nuzul Q. Faktor kejadian diare pada balita dengan pendekatan teori
nola j. pender di igd rsud ruteng. Jurnal Pediomaternal. 2015; 2(3):238-40.
24. Widyiastuti P. Epidemiologi suatu pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005.
25. Rahmawati. Faktor–faktor perilaku penyebab diare [skripsi]. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret; 2009.
26. Suraatmaja S. Kapita selekta gastroenterologi. Jakarta: Sagung Seto; 2007.
Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kelurahan
Air Tawar Barat Padang

Yulia Efni, Rizanda Machmud, Dian Pertiwi


Affiliasi penulis: 1. Pendidikan Dokter FK UNAND (Fakultas Kedokteran Universitas Andala
Padang), 2. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNAND, 3. Bagian Patologi Klinik FK
UNAND Korespondensi: Yulia Efni, Email: efni_07@yahoo.com, Telp: 082386000155

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun terutama di
negara yang sedang berkembang. Kematian balita di Indonesia yang disebabkan penyakit respiratori
terutama adalah pneumonia.
Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan
gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Persentasenya yaitu 19% dari semua penyebab
kematian balita, kemudian disusul diare 17%, sehingga World Health Oganization (WHO)
menyebutnya sebagai pneumonia is the leading killer of children worldwide. Setiap tahun di dunia
diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total
kematian balita. Diantara lima kematian balita, satu disebabkan oleh pneumonia, namun tidak
banyak perhatian terhadap penyakit ini sehingga pneumonia disebut juga pembunuh balita yang
terlupakan atau the forgotten killer of children.
Dari 22 Puskesmas yang ada di Kota Padang, Puskesmas Air Tawar menempati urutan teratas
angka kejadian pneumonia dengan prevalensi yaitu 28,2%.4 Wilayah kerja Puskesmas Air Tawar
terdiri dari tiga Kelurahan yaitu Kelurahan Air Tawar Barat, Kelurahan Air Tawar Timur dan
Kelurahan Ulak Karang Utara, namun kasus pneumonia terbanyak yaitu di Kelurahan Air Tawar
Barat.
Kemungkinan terinfeksi pneumonia semakin tinggi jika terdapat faktor risiko yang
mendukung yaitu; kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan
(indoor polution), bayi berat lahir rendah, kepadatan dan kurangnya imunisasi campak
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada balita di Kelurahan Air Tawar Barat. Tujuan khusus penelitian ini ialah
mengetahui distribusi frekuensi; pemberian ASI eksklusif, adanya paparan asap rokok anggota
keluarga balita yang merokok di dalam rumah, bayi berat lahir rendah, imunisasi campak dan status
gizi pada kelompok kasus dan kontrol di Kelurahan Air Tawar Barat dan untuk mengetahui
hubungan pemberian ASI eksklusif, adanya paparan asap rokok anggota keluarga balita yang
merokok di dalam rumah, bayi berat lahir rendah, imunisasi campak dan status gizi dengan kejadian
pneumonia di Kelurahan Air Tawar Barat.

PEMBAHASAN
Pada umumnya ibu di Kelurahan Air Tawar Barat tidak memberikan ASI eksklusif kepada
anaknya (>90%). Pemberian ASI eksklusif belum membudaya pada masyarakat. Prevalensi
pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih dibawah angka yang ditargetkan. Begitu juga dengan
hasil penelitian ini, pemberian ASI eksklusif masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara terdapat
berbagai alasan yang dikemukan oleh ibu sehingga mereka tidak memberikan ASI eksklusif kepada
anaknya. Nutrisi yang terkandung didalam ASI menjamin status gizi bayi sehingga angka kesakitan
dan kematian anak menurun. Beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi
bayi dan anak dari penyakit infeksi salah satunya yaitu pneumonia. Pada penelitian ini baik pada
kelompok kasus maupun kontrol pada umumnya (>90%) tidak memberikan ASI eksklusif, sehingga
tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
pneumonia pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Pamungkas pada tahun 2012 di empat provinsi di Indonesia bagian timur menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian pneumonia
(p=0,877).
Adanya paparan asap rokok terhadap sebagian besar balita dari anggota keluarga di
Kelurahan Air Tawar Barat. Riskesdas tahun 2010 Sumatera Barat termasuk dalam lima provinsi
tertinggi dalam prevalensi merokok tiap hari yaitu 33,1%. Kegiatan merokok terutama dilakukan
oleh kepala keluarga yaitu ayah balita itu sendiri dan tidak ditemukan kegiatan merokok yang
dilakukan oleh ibu, sebagianbesar kebiasaan merokok ayah memang sudah dilakukan sejak masa
remaja sampai saat ini. Selain ayah, terdapat anggota keluarga yang juga merokok yaitu kakek,
saudara ibu atau ayah. Asap rokok mengandung partikel seperti hidrokarbon polisiklik, karbon
monoksida, nikotin, nitrogen oksida dan akrolein yang dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia,
menurunkan klirens mukosiliar serta menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida sehingga
mengganggu sistem pertahanan paru. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna
antara adanya paparan asap rokok dengan kejadian pneumonia dengan nilai p=0,161. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Purnawan et al pada tahun 2012 di RSUP Sanglah
Denpasar, yaitu terdapat hubungan yang tidak bermakna antara adanya paparan asap rokok dengan
kejadian pneumonia dengan nilai p=0,458.
Pada penelitian yang telah dilakukan tidak didapatkan hubungan yang bermakna karena
mungkin ada faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian seperti adanya ventilasi. Keberadaan
luas ventilasi yang memenuhi syarat dapat menurunkan kejadian infeksi pada saluran nafas.
Ventilasi yang memenuhi syarat adalah ≥10% dari luas lantai.
Riwayat BBLR didapatkan sebagian besar balita di Kelurahan Air Tawar tidak ada riwayat
berat badan lahir rendah yaitu pada kelompok kasus (96,3%) dan kelompok kasus (92,6%). Bayi
dengan berat lahir rendah pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna, pertumbuhan dan
maturasi organ dan alat-alat tubuh belum sempurna akibatnya bayi dengan berat berat lahir rendah
lebih mudah mendapatkan komplikasi dan infeksi, terutama pneumonia dan penyakit pernafasan
lainnya. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara riwayat BBLR dengan
kejadian pneumonia nilai p=0,552. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Regina et al pada tahun
2013 di Semarang mendapatkan hubungan yang tidak bermakna antara
bayi berat lahir rendah dengan kejadian pneumonia(p=0,191). Berdasarkan hasil penelitian
ini
ditemukan bahwa riwayat berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor risiko terjadinya
pneumonia. Hal ini disebabkan pada kelompok kasus maupun kontrol sebagian besar (>90%) sama-
sama tidak ada riwayat berat badan lahir rendah, sehingga tidak didapatkan hubungan yang bermakna
antara riwayat berat badan lahir rendah dengan kejadian pneumonia. Pada saat ini penanganan dan
perawatan bayi dengan BBLR sudah semakin baik sehingga bisa mengurangi angka kesakitan dan
kematian akibat BBLR.
Persentase imunisasi campak balita yang tidak mendapatkan imunisasi lebih besar pada
kelompok kasus (40,7%) dibandingkan kelompok kontrol (22,2%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hariyanti pada tahun 2010 di RS. Islam Pondok
Kopi Jakarta didapatkan persentase balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak lebih besar
pada kelompok kasus (50%) dibandingkan kelompok kontrol (36%). WHO pada tahun 2006
menjelaskan terdapat tiga vaksin yang memiliki potensi dalam mengurangi pneumonia yaitu vaksin
campak, Hib dan pneumokokus. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian imunisasi campak
bukan merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia dengan nilai p=0,143. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pamungkas pada tahun 2012 yang
melakukan penelitian di empat provinsi di Indonesia bagian timur yang menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara status imunisasi campak dengan kejadian pneumonia
(p=0,570). Pada penelitian yang telah dilakukan pemberian imunisasi campak bukan merupakan
faktor risiko pneumonia. Hal ini disebabkan karena pada kelompok kasus maupun kontrol pada
umumnya telah mendapatkan imunisasi campak sehingga tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara pemberian imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Said M. Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI): Jakarta; 2012. hlm.350-65.
2. Wantania JM, Roni N, Audrey W. Infeksi respiratori akut. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI): Jakarta; 2012. hlm.268-74.
3. WHO/UNICEF. Pneumonia the forgotten killer of children. WHO; 2006.
4. Dinas Kesehatan Kota (DKK) Padang. Laporan bulanan program P2 ISPA Kota Padang 2013.
Padang: Dinas Kesehatan; 2014.
5. Laporan Tahunan Puskesmas Air Tawar Tahun 2013. Padang.
6. Rudan I, Cynthia BP, Zrinka B, Kim M, Harrys C. Epidemiology and etiology of childhood
pneumonia. Bulletin of the World Health Organization. 2008:408-16.
7. Departemen Kesehatan RI. Pelatihan konseling menyusui. direktorat bina gizi masyarakat.
2007 (diunduh 2 Desember 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://igi.fisipol.ugm.ac.id/index.php
/id/component/attachments/download/71
8. Pamungkas DR. Analisis faktor risiko pneumonia pada balita di 4 provinsi di Indonesia Timur
analisis data Riskesdas 2007 (skripsi). Universitas Indonesia. 2012. (diunduh 28
September 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://lib.ui.ac.id/ file?
file=digital/20289601-S-DianRahayu Pamungkas.pdf
9. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2010 (diunduh 3 Januari
2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK. http://www. litbang.
depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/ lapnas_riskesdas2010/Laporan_riskesdas_2010.
pdf
10. Sidhartani. Epidemiology community acquired pneumonia pada anak. simposium
respirologi anak masa kini. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. 1998: 11-8.
11. Purnawan ON, Purniti S, Bagus SI. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pneumonia
pada anak usia 2 bulan - 5 tahun. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. RSUP Sanglah Universitas
Udayana. 2012. (diunduh 2 Desember 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://jurnalika.com/page/download2/ faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan-pneumo nia-
pada-anak-usia-2-bulan-5-tahun.aspx
12. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/
SK/VII/1999 tentangPersyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta. 2000 (diunduh 22
November 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www.hukor.
depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMKNo.201077t tg-Pedoman-Penyehatan-Udara-Dalam-
Ruang- Rumah.pdf
13. Kementerian Kesehatan RI Pusat Buletin Jendela Epidemiologi. Pneumonia balita. 2010
(diunduh 3 Januari 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.depkes.go.id/download.php?file=downlo ad/pusdatin/buletin/buletin-pneumonia.pdf
14. Regina R, Kriswiharsi KS, Suharyo. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Miroto Semarang Tahun 2013. Staf Pengajar
Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang. 2013 (diunduh 13 Desember 2014).
Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://eprint. dinus.ac.id/6448/2/11691.pdf
15. Hariyanti I. Hubungan imunisasi campak dengan kejadian pneumonia pada balita usia 12-59
bulan di RS.Islam Pondok Kopi Jakarta (tesis). Iniversitas Indonesia. 2010. (diunduh 28
September 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://lib.ui.ac.id/ file?
file=digital/20307267031096-Hubunganimuni sasi-full text.pdf
16. Gani A. Strategi penurunan insiden pneumonia pada anak balita di Kecamatan Banyuasin
III dan Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (tesis). Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2008 (diunduh 2 Desember 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.USULybraryPerpustakaan Universitas Sumatera Utara.htm
17. Sugihartono N. Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012:82-5.
18. Sediaoetama AD. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi di Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat; 2000.
Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan

Aryu Candra

Demam berdarah dengue (DBD) meru- pakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian
besar wilayah tropis dan subtro- pis, terutama asia tenggara, Amerika ten- gah, Amerika dan Karibia.
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus den- gue yang termasuk ke dalam famili
Flaviri- dae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den
-41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nya- muk Aedes
aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.

Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari
sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh,
sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.

Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,
ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif, trom- bositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma
akibat pen- ingkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifi- kasikan sebagai demam, beracun dan pem- ulihan.
Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis, dengan kebocoran plasma
cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD,
yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif);
derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III
yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral
dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat
(profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya
berbeda dan menyebab- kan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas
pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam
dengue hal ini tidak terjadi.6 Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya
virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan
terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari tim- bul gejala panas.
Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih ban- yak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas an- tibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi
hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan ter- lepasnya
mediator-mediator yang merang- sang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya.

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume
plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleu- ra,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.

Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat
infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-
hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,
pada in- feksi dengue primer antibodi mulai ter- bentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi
yang telah ada jadi meningkat.
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5,
meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik
kadar IgG ber- beda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus
dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar
demam hari ke-14 se- dang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.

Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu mun- cul banyak teori
tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang mem- iliki aktivitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoklonal antibodi ter- hadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab
infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau
aktifasi komple- men. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan,
selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila
terjadi antibodi non- netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan penderita akan
menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest.
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue
berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini
menampilkan antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari mayor histocom- patibility complex (MHC).
Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)9;
ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.10 Host alami DBD adalah
manusia, agentnya adalah vi- rus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. 1 Dalam 50 tahun terakhir,
kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara- negara baru
dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.9 Penderitanya banyak ditemukan di sebagian
besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.

Virus dengue dilaporkan telah men- jangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan
yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia
Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan
2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus mening- kat12 dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya
menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa
provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita
79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun beri- kutnya jumlah
kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan ke- matian 1.384 orang
atau CFR 0,89%.

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya
yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis,
Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan
transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina me- lalui perkawinan serta penularan
transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfusi darah seperti ter- jadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita
asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan
melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara
4-6 hari dan dii- kuti dengan respon imun.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.
berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi tersebut
tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti
vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity
dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frek- uensi gigitan
pernyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus
dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya di- pengaruhi
oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk
Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif
akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nya- muk menggigit
manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; se- hingga diperkirakan nyamuk Ae.
aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap
manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan
penyerapan gizi. Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseim- bangan asupan dan
penyerapan gizi, khu susnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain
zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem
imun.

Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan
yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk da- lam tubuh manusia dan
penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu
[indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa
status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi
dan jumlah yang dibutuhkan [requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan
fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi mempengaruhi
fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja
otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu
membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu
melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak;
serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.28

Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur
<15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada
kelompok umur 15
-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun san- gat rendah
seperti yang terjadi di Jawa Ti- mur berkisar 3,64%.29
Munculnya kejadian DBD, dikare- nakan penyebab majemuk, artinya muncul- nya kesakitan
karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan
serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkem- bang biaknya nyamuk Aedes spp.30
Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk,
kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku
bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.31

Patogenesis DBD

Nyamuk Aedes spp yang sudah terin- fesi virus dengue, akan tetap infektif sepan- jang
hidupnya dan terus menularkan kepa- da individu yang rentan pada saat meng- gigit dan menghisap
darah.9 Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel
kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus lim- paticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa
penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai
dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan
membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,
virus dilepaskan dari dalam sel.7 Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap
serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.32

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi
virus, sitolisis komplemen, anti- body dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.33
Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki
serotipe spesifik yang dapat mencegah in- feksi virus, dan antibody non netralising serotype yang
mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam
pathogenesis DBD dan DSS(7).
Terdapat dua teori atau hipotesis im- munopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial
yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan anti- body dependent enhancement
(ADE).7 Da- lam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan
infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan ter- hadap infeksi
serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang be-
rat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk
kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi
bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,
selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A)
dan platelet activating factor (PAF); aki- batnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi
virus dengue.7 TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dind- ing pembuluh darah, merembesnya
cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. 34 Pendapat lain menjelaskan, kompleks
imun yang ter- bentuk akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan
ber- sifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan.35 Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi
infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka
akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan
teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.36-37

Pada teori ADE disebutkan, jika ter- dapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka
dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya
tidak dapat menetralisasi virus, justru akan men- imbulkan penyakit yang berat.7 Kinetik im-
munoglobulin spesifik virus dengue di da- lam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh
IgM, IgG1 dan IgG3.38

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di antaranya
adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda
antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada
penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan
kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara
IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya
dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori modera- tor
yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator
seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersa- ma endotoksin
bertanggungjawab pada ter- jadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.39

Pada infeksi virus dengue, viremia ter- jadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat
terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue de- struction) yang
ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena in- feksi virus; kematian yang terjadi
lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.
Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehing- ga memungkin terjadinya KLB.40 Faktor risiko lainnya
adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai ke- mampuan untuk menyediakan
rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. 11 Tetapi di
lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa
bepergian.41 Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyara- kat, jarak antar rumah, keberadaan tempat
penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan
tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.42

Faktor risiko yang menyebabkan mun- culnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan reaksi
infesksi primer, berdasar- kan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-
laki, kem- iskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risi- ko terjadinya infeksi sekunder yang me-
nyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki- laki, riwayat pernah terkena DBD pada periode
sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.

Vektor Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi vektor utama
serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di
seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut, 10 tapi
dari beberapa laporan dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai dengan1.500 meter, 44
bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada
ketinggian 2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa berukuran
lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.

Kedua spesies nyamuk tersebut terma- suk ke dalam Genus Aedes dari Famili Cu- licidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada
bagian sku- tumnya.46 Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di ba- gian
dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus
yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.

Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslanden- sis dan Ae.
aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika, sedangkan subspecies kedua hidup di
daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya
dibandingkan subspecies pertama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis.


Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease. 2007; Vol 30:329-40.
2. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO & Depar- temen Kesehatan RI; 2003.
3. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indo- nesia.
Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.
4. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Path- ophysiology and Management of Dengue
Hemorrhagic Fever. Bangkok: Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Ra- mathibodi
Hospital, Mahidol University; 2006.
5. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S. Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM&PL Depkes&Kesos R.I; 2001.
6. Harikushartono, Hidayah N, Dar- mowandowo W, Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue:
Ilmu Penyakit Anak, Di- agnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika; 2002.
7. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/20060220- 8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010];
Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
8. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue dan Dengue
Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol 134:46-9.
9. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition.
Geneva: World Health Organiza- tion; 2009.
10. Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes
aegypti (Linn.) dan Aedes albopic- tus (Skuse) (Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam
Rangka Dies Natalis 2008 Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas
Udayana Denpasar.
11. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever Threat
Spreading in the Americas. New York: Natural Resources Defense Council Issue Paper;
2009.
12. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-borne
Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis and Po- tential
candidates of Future Emerging Dis- eases. Vet Microbiol. 2010;Vol 140:271- 80.
13. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection. Postgraduate Medical
Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
14. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggu- langan Demam Berdarah Dengue Di Indo- nesia.
Jakarta: Depkes R.I; 2005.
15. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan Tahun 2008.
Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
16. Josi V, Sharma R. Impact of Vertically- transmitted Dengue Virus on Viability of Eggs of
Virus-Inoculated Aedes aegypti. Dengue Bulletin. 2001;Vol 25:103-6.
17. Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detec- tion of Transovarian Dengue for Field Caught Aedes
aegypti and Aedes albopic- tus Mosquitoes Using C6/36 Cool Line Culture and RT-PCR.
Institue for Medical Research press. Kuala Lumpur; 2005.
18. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue Hemorrhagic Fever
Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-
7.
19. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhag- ic Fever as a Public Health, Sosial and Economic
Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100- 13.
20. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. In:
Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal 1-9.
21. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.
22. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity: Tropical Infectious
and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and Tropical Medicine, James Cook
University; 2000.
23. Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara
Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.
24. Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan TumbuhKembang Anak Di Indonesia.: Makalah
Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Per- tanian Bogor.; 2004.
25. Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Ane- mia Gizi: Suatu Kompilasi Informasi da- lam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional
dan Pengembangan Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.
26. WHO-NHD. Nutrition for Health and De- velopment : A global agenda for combat- ing
malnutrition. Geneva: World Health Organization; 2000.
27. Zerfas AJ, Jelliffe DB, Jelliffe PEF. Epide- miology and Nutrion in Human Growth. : A
comprehensive Treatise Edisi 2, Meth- odology Ecological, Genetics, and Nutri- tional
Effects on Growth. New York.: Ple- num Press. p. 475 1986.
28. Gibson RS. Anthropometric Assessment. Dalam: Principles of Nutritional. New York:
Oxford Univ.Press. Madison Av. p. 45-7; 1990.
29. Wirahjanto A, Soegijanto S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam Berdarah
Dengue Edisi 2. Surabaya: Air- langga University Press. Hal 1-10.; 2006.
30. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epide- miologi. Jakarta: Mitra Cendikia Press; 2008.
31. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria Dan Demam
Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2005.
32. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al. Kinetics of
Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical
Outcome of Infection. J Clin Mi- crobio. 2001;Vol. 39 4332-8.
33. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap, pelatihan bagi
dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam pada tata laksana kasus DBD.
Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indone- sia; 1999.
34. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of Solube Tumour
Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion
Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Bul- letin. 2007;Vol 31:103-
10.
35. Gibson RV. Dengue Conundrums. Interna- tional Journal of Antimicrobial Agents. 2010;Vol
36(26-39).
36. Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan
Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di Indonesia 1998; RS Sumberwaras.
Jakarta.
37. Wang S, Patarapotikul HR. Antibody- Enhanced Binding of Dengue Vitus to Hu- man
Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.
38. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan Prevalensi di
Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun Pendidikan Dokter di FK Unair;
Surabaya; 2003.
39. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus Infection of Human
Endothelial Cells Leads to Chem- okin Production, Complement Activation, and Apoptosis. J
Immunol. 1998;Vol 161:6338-46.
40. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of Inter- national
Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.
41. U.S.D.T. International Travel and Trans- portation Trends. Washington D. C.: Bu- reau of
Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation; 2006.
42. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Keca- matan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.
43. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperança MA, Terzian ACB, Nogueira ML. Risk
Factors for Dengue Virus Infec- tion in Rural Amazonia: Population-based Cross-sectional
Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol 79 (4): p. 485–94.
44. Noor R. Nyamuk Aedes aegypti. 2009 [cited 24 Desember 2010]; Available from:
http://id.shvoong.com/medicine-and- health/epidemiology-public- health/2066459-nyamuk-
aedes-aegypti.
45. WHO. Insect and Rodent Control Through Environmental Management. Geneva: World
Health Organization; 1992.
46. Depkes RI. Pencegahan dan Pemberanta- san Demam Berdarah dengue di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI; 2005.

Anda mungkin juga menyukai