Anda di halaman 1dari 15

PENGEMBANGAN KURIKULUM

PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat
kompleks dan berjangka panjang. Berbagai aspek yang
tercakup dalam proses tersebut berjalin berkelindan dan
bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai,
pengetahuan dan keterampilan hidup(life skill). Dalam
rumusan Ma’arif (1991) eksistensi institusi pendidikan
sesungguhnya dihajatkan untuk mengkonstruksi manusia
yang unggul dalam bidang intelektual, kaya dalam amal,
serta anggun dalam moral dan kebajikan.
Proses pendidikan dikatakan kompleks dikarenakan interaksi diantara aspek, seperti guru,
bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak
selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat di kendalikan. Hal ini
mengakibatkan eksplanasi terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda, baik karena waktu,
tempat, maupun subyek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut di atas,
kurikulum menempati posisi yang sangat menentukan. Ibarat tubuh, kurikulum merupakan
jantungnya pendidikan (Zamroni, 2000). Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai,
pengetahuan dan keterampilan yang harus ditransfer, kepada peserta didik dan bagaimana proses
transfer tersebut harus dilaksanakan.
Dari segi interval waktu, pendidikan berdimensi jangka panjang, karena proses pendidikan
adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tentu
tidak sama dengan masa sekarang. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini
memberikan pemahaman bahwa kurikulum harus merupakan mediasi bagi peserta didik untuk
dapat mengantarkan mereka dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan. Peserta didik
yang berada di bangku sekolah dewasa ini, dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan
bermanfaat, baik bagi diri, keluarga dan masyarakat di masa yang akan datang.
Seirama dengan perkembangan ilmu, teknologi, perubahan budaya dan pola hidup
masyarakat, perubahan dan/atau penyempurnaan kurikulum menjadi suatu keniscayaan. Karena
itu, kurikulum jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) selalu dikembangkan secara
berkesinambungan dan kurikulum baru (kurikulum yang disempurnakan) lazimnya di
implementasikan setiap 8-10 tahun sekali. Selama ini di Indonesia telah terjadi beberapa

1
perubahan dan penyempurnaan kurikulum (Jasin, 1987), seperti kurikulum 1947, 1964, 1968,
1975, 1984 dan 1994)
Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan “Gerakan
Peningkatan Mutu Pendidikan”pada tanggal 2 Mei 2002. Melalui gerakan ini, pemerintah telah
menetapkan dua kebijakan pokok untuk mendongkrak kualitas pendidikan kita. Kebijakan
tersebut berupa efisiensi pengelolaan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dan dalam rangka memacu akselerasi peningkatan mutu, pemerintah telah pula merancang KBK
(Kurikulum Berbasis Sekolah). Kebijakan ini diharapkan mampu menumbuhkan kecakapan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan lokal dalam prespektif global (Mulyasa, 2003)
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan
tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaian dengan lingkungan, sesuai dengan jenis dan
jenjang masing-masing satuan pendidikan. Karena kurikulum merupakan kunci untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, pemerintah selalu berusaha menyempurnakannya dan
mengembangkannya (Depdikbud,1994)

B. Kerangka Teori
Terma kurikulum, sesungguhnya sudah dikenal sejak tahun 1820. Secara etimologi,
kurikulum berasal dari bahasa latin currere yang berarti to run (menyelenggarakan) atau to run
the course (menyelenggarakan suatu pengajaran). Batasan tradisional ini mengartikan kurikulum
sebagai the course of study (materi yang dipelajari). Seorang ahli kurikulum Phoenix (1962)
beranggapan bahwa hakekat kurikulum adalah: The curriculum should consist of permanent
studies.The curriculum must consist essentially of disciplined study in fire great areas : local
language, mathematic, science, history, foreign languages.
Batasan ini mengacu kepada kurikulum sebagai produk. Terminologi ini mendapat
resistensi yang cukup intens dengan mengedepankan argumentasi berupa : bukankah informasi
dan pengetahuan yang terangkai dalam suatu disiplin keilmuan selalu bertambah kian waktu
kian banyak sehingga mustahil dimuat dalam suatu dokumen kurikulum dalam wujud the course
of study.
Sementara Schubert (1986) merubah paradigma lama tentang kurikulum dengan
paradigma baru menjadi meaning experience by students, not facts to be memorized or behaviour
to be demonsrated. Karena pengalaman mengacu kepada kehidupan manusia yang sangat
kompleks, maka pendidik sebagai pengimbang dan pelaksana kurikulum ditantang untuk dapat
merancang kurikulum yang mampu mentranspormasi materi pelajaran menjadi pengalaman
siswa.

2
Dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1,
menyebutkan bahwa : “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar. Selanjutnya pasal 37 : Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan pendidikan dan teknologi serta kesenian, sesuai
dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Batasan ini mengisyaratkan bahwa kurikulum itu mencakup berbagai aspek, seperti materi
(content) pengalaman siswa (experiences) dan tujuan pembelajaran (end / outcomes). Dengan
demikian, secara yuridis formal, batasan kurikulum sudah mencakup dua dimensi pokok
kurikulum, yaitu produk dan proses.

C. Komponen Pengembangan Kurikulum


Pengembangan kurikulum harus memperhatikan beberapa faktor (Taba, 1962), antara lain
:

1. Karakteristik Masyarakat
Pengembangan kurikulum perlu mengkaji karakteristik masyarakat sebagai institusi
pengguna (user) pendidikan. Informasi ini berguna untuk memahami fungsi sosial suatu program
pendidikan. Para pendidik profesional, biasanya memiliki tanggung jawab untuk menjembatani
antara sekolah dengan komponen luar sekolah dalam konteks sosial peserta didik. Misalnya,
komunikasi antara sekolah dan keluarga dapat diperoleh ketika orang tua secara langsung
terlibat dalam setiap tahapan pendidikan di sekolah. Orang tua dapat bekerja sama dengan guru
sebagai sukarelawan di sekolah dan orang tua dapat membantu anaknya belajar di rumah.
Pengembangan kurikulum perlu memperhatikan dan memperhitungkan kondisi keluarga
peserta didik sebagai unit terkecil masyarakat komponen lain yang juga termasuk dalam lingkup
masyarakat ini antara lain perkumpulan pemuda, pramuka, budaya dan paguyuban profesional.
Masyarakat memiliki andil dalam pembentukan kinerja lulusan sekolah. Nilai-nilai yang
diajarkan di rumah dan di perkumpulan agama biasanya diperkuat dalam kehidupan nyata dalam
masyarakat. Anak dan remaja belajar mencari nafkah,biasanya belajar dari orang tuanya atau
dari orang lain dalam masyarakat. Memang pengaruh pendidikan masyarakat menjadi berkurang
ketika lingkup masyarakat lebih luas /lebih padat, lebih heterogen dan sedikit kohesif.
Secara historis, keberadaan sekolah, banyak dilatar belakangi oleh keinginan masyarakat
untuk melestarikan budaya atau untuk membangun komitmen dalam persatuan bangsa. Pada

3
masa sekarang bentuk tuntutan masyarakat untuk dikembangkan disekolah, antara lain, sikap
hemat energi, kebiasaan mencegah kerusakan dilingkungan sekolah juga diminta memasukkan
unsur-unsur baru, yang lagi aktual menjadi perbincangan dimasyarakat, seperti pendidikan
kependudukan, lingkungan hidup, kesadaran hukum, kesehatan masyarakat, keluarga berencana,
budi pekerti. Diharapkan program-program pendidikan disekolah dapat menyentuh masalah
energi, lingkungan serta yang bertalian dengan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Juga
beberapa nilai yang diminta untuk dikembangkan disekolah seperti warisan budaya, nilai-nilai
politik, ekonomi, etika, moral dan sosial. Semua tuntutan ini akan mempengaruhi pola
pengembangan kurikulum.

2. Karakteristik Pebelajar
Kurikulum Dikdasmen, diperuntukkan bagi anak usia SD (7-12 tahun), usia SLTP (13-15
tahun) dan usia SMU (16-18 tahun). Perkembangan intelektul dan kepribadian anak pada usia
SD berbeda dengan usia SLTP dan berbeda juga dengan usia SMU. Perbedaan perkembangan
intelektual dan kepribadian ini merupakan aspek yang harus diperhitungkan dalam
pengembangan kurikulum.
Perkembangan intelektual anak terjadi terus menerus. Perubahan ini baru terjadi ketika
anak berusaha mencari keseimbangan mental antara peristiwa baru dengan apa yang sudah
diketahui. Keseimbangan ini berlangsung sebagai dampak proses kedewasaan, pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial. Proses keseimbangan ini berlangsung maju dan
terus menerus sampai terbangunnya struktur kognitif yang hirarkis (Karhami,2000).
Menurut Piaget (dalam Karhami,2000), struktur perkembangan kognitif anak terjadi dalam
empat fase : Sensory motory (masa kanak-kanak dimana interaksinya dengan dunia dilakukan
melalui indra dan keterampilan motorik). Dengan interaksi ini anak dapat membedakan “dirinya”
dengan “orang lain”. Preoprational (pada tahap ini informasi yang dikumpulkan dalam tatanan
yang lebih teratur ketika anak bekerja dengan benda, mulai memecahkan masalah, dan mengenal
beberapa kosa kata yang memberinya peluang untuk menamai benda dan kegiatannya). Concrete
operational (pada tahap ini pencarian menjadi lebih lebih banyak ketika anak mengamati hasil
kegiatan, belajar darinya, dan mulai meramalkan kegiatan lainnya). Formal thinking (pada tahap
ini anak sudah mulai memanipulasi gagasan dan proposisi serta menguji hipotesa dengan
berpikir abstrak. Mereka tidak lagi tergantung pada pengalaman langsung).
Selain perkembangan mental, pebelajar juga menglami perubahan kepribadian. Menurut
Erikson (dalam Karhami 2000), ada delapan tahapan dalam perkembangan kepribadian manusia

4
dan diilustrasikannya dalam dua kutub yang saling berlawanan yaitu kepribadian positif dan
kepribadian negatif.
Tahapan tersebut antara lain :
a. Basic trust lawan basic mistrust, berkaitan dengan lingkungan fisik yang menyenangkan,
termasuk perasaan pada lingkungan yang lebih sehat (pada masa bayi).
b. Autonomy lawan shame dan doubt, berkaitan dengan kemandirian atau keraguan karena
merasa malu-malu sewaktu melakukan kegiatan (pada masa kanak-kanak)
c. Initiative lawan quilt, berkaitan dengan keinginan anak melakukan kegiatan sendiri tanpa
terlalu banyak bimbingan (usia TK).
d. Industry lawan interiority, pada tahap ini anak ingin menghasilkan sesuatu namun mereka
ingin merasa lemah (Usia SD).
e. Identity lawan role confusion, pada tahap terjadi perubahan fisiologis secara nyata,
sehingga sering terjadi goncangan jiwa untuk mempertanyakan dirinya, apakah mereka
anak-anak atau orang dewasa (usia remaja).
f. Intimacy lawan isolation, pada tahap ini sudah mengenal identitas dirinya sehingga
mereka berusaha untuk mencari keakraban baik dengan teman sejenis ataupun yang
berlawanan jenis (awal dewasa).
g. Generativity lawan stagnation, pada tahap ini mereka sudah menyiapkan alih generasi
(dewasa).
h. Ego integrity lawan despair, pada tahap ini orang mulai menyadari kehidupannya.
Penetapan materi kurikulum, khususnya untuk jenjang Sekolah Dasar perlu
mempertimbangkan tingkat perkembangan mental pebelajar.

3. Karakteristik pengetahuan dalam hirarki keilmuan


Pengetahuan berkembang begitu pesat dan jumlahnya bertambah secara eksponensial. Ini
salah satu karakteristik pengetahuan. Dulu, sebelum ditemukan kertas, pengetahuan hanya
tersimpan dalam memori tiap individu. Cara mengkomunikasikannyapun hanya secara lisan.
Setelah kertas dan alat cetak ditemukan, semua informasi (pengetahuan) lebih banyak informatif
(pengetahuan yang bisa di komunikasikan). Sekarang, hampir fasilitas kantor, sudah dilengkapi
dengan komputer, kemampuan komputer menyimpan dan mengirim informasi sangat luar biasa.
Dengan demikian, tidak mungkin semua pengetahuan, disajikan guru dan pebelajar
menyimpannya dalam memori.
Menghadapi kemudahan itu, pengembangan kurikulum sudah harus, mengalihkan
paradigma tentang fungsi sekolah dan peran guru, dari penyampai pengetahuan ke

5
pemberdayaan pengetahuan alih pebelajar. Melimpahnya pengetahuan menyebabkan kesulitan
dalam memilih materi yang paling penting. Beberapa pedoman untuk memilih materi esensial,
(Karhami, 2000), antara lain :
a. Materi seyogyanya mengungkapkan gagasan kunci yang mewakili batang tubuh mata
pelajaran..
b. Materi perlu dipahami pebelajar sebagai struktur pohon suatu mata pelajaran.
c. Materi perlu memberi contoh penggunaan metode inquery yang digunakan mata pelajaran
tersebut.
d. Konsep dan prinsip yang dipilih perlu menyediakan pandangan terluas dan terlengkap
terhadap dunia.
e. Keseimbangan teori teoritik dengan materi praktis.
f. Materi perlu mendorong daya imajinasi pebelajar.
Ihwal metodologi pengajaran, perlu mengarah pada kondisi tertentu sehingga pebelajar
mau berpikir. Implikasinya kemampuan mensintesis dan menerapkan pengetahuan serta
kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan baru, perlu diprioritaskan.
Tanpa disadari, seringkali, pengembangan kurikulum, lebih didominasi oleh faktor
tertentu dengan menafikan faktor lainnya, sehingga pengembangan tertentu lebih
dilatarbelakangi oleh prespektif tertentu. Kepintaran aktor intelektual (tokoh) “membungkus”
dan komunikasikan gagasannya, sehingga perangkat kurikulum yang diajukan terkesan logis dan
relevan dengan tuntutan masa depan. Padahal, setelah diimplementasikan dan kemudian
menghasilkan lulusan, sering timbul masalah, terutama akibat mengabaikan prespektif kebutuhan
masyarakat dan karakteristik pebelajar.
Realitas empiris menunjukkan, bahwa pengembangan kurikulum, lebih didominasi
(sengaja didominasi) oleh pertimbangan keilmuan. Akibatnya, materi kurikulum lebih sering
didekati dengan alasan “hirarki konten” berdasarkan pertimbangan keilmuan, yang arsitek
pengembangannya adalah para pakar dan para ahli. Cara ini memang tidak salah, hanya pebelajar
dan masyarakat menjadi rugi.
Untuk menghasilkan effective curriculum, kegiatan pengembangan kurikulun perlu
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diatas, tetapi juga harus memahami hakekat kurikulum
dan mengikuti siklus logis pengembangan kurikulum, yang salah satu tahapannya adalah need
assessment. Pada tahap ini, sejumlah masukan pokok perlu diperhitungkan antara lain data
tentang need (kepentingan masyarakat) learner (pebelajar) dan keilmuan. Konteks masyarakat
disini adalah kondisi masyarakat sewaktu pengguna kurikulum sudah menjadi lulusan.

6
Selama pengembangan kurikulum, perlu dijaga keseimbangan antara tiga kepentingan ini.
Perlu dihindari kekuatan tertentu untuk mendominasi kekuatan lain sehingga kekuatan tertentu
dimenangkan dan kekuatan lain dikalahkan.

D. Pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum


Untuk melakukan pengembangan kurikulum, terlebih dahulu perlu dipahami hal-hal yang
berkaitan dengan pendekatan pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Syaodah (2000)
mengemukakan pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan dan
fokus sasaran.
1. Pendekatan Sistem Pengelolaan
Dilihat dari pengelolaannya, pengembangan kurikulum dibedakan antara sistem
pengelolaan pusat (sentralisasi) dan tersebar (desentralisasi). Pada masa sentralisasi, hanya ada
satu untuk satu jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat nasional, seragam,
dikembangkan, oleh pusat, guru-guru hanya berperan sebagai pelaksana di sekolah yakni
mengabarkan rencana tahunan, caturwulan, dan satuan pelajaran tiap pelajaran. Dalam
kurikulum 1984, telah ada muatan lokal yang disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai
dan hal ini lebih diintesifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994, muatan lokal tidak lagi
disisipkan pada setiap bidang studi, tetapi menggunakan pendekatan monostik berupa bidang
studi, baik pada bidang studi wajib maupun pilihan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi pendidikan, kemungkinan muatan lokalnya akan lebih besar, modelnya lebih
beragam dan sistemnya tidak terpusat lagi sehingga pengelolaannya menjadi desentralisasi.
Dengan bobot muatan lokal / daerah yang lebih besar berarati pengembangan kurikulum lebih
banyak dilakukan oleh tim pengembang yang terdiri atas para ahli dan guru-guru di daerah.
Kurikulum juga banyak diwarnai oleh unggulan daerah, baik kekayaan, perkembangan maupun
kebutuhan daerah. Model kurikulumnya akan beragam sesuai dengan tujuan, fungsi, dan isi
program pendidikan. Pengembangan kurikulum menjadi lebih berbasis daerah atau
kewilayahan. Kurikulum yang demikian ada yang menyebutnya kurikulum berbasis masyarakat
ada pula menyebutnya kurikulum berbasis sekolah.

2. Pendekatan Fokus Sasaran


Berdasarkan fokus sasaran, pengembangan kurikulum dibedakan antara pendekatan yang
mengutamakan penguasaan dan pengetahuan, penguasaan kemampuan standar, penguasaan
kompetensi, pembentukan pribadi dan penguasaan kemampuan memecahkan masalah sosial
kemasyarakatan.

7
Pendekatan pengusaan dan pengetahuan, merupakan model pengembangan kurikulum
yang menekankan pada isi atau materi berupa pengetahuan, pemahaman, aplikasi, anasiasi,
sintesis dan evaluasi yang diambil dari bidang-bidang ilmu pengetahuan. Pendekatan
kemampuan standar, menekankan pada penguasaan kemampuan potensial yang dimiliki peserta
didik sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya.
Pendekatan kemampuan pribadi, menekankan pada pengembangan atau penekanan aspek-
aspek kepribadian secara utuh, baik pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap. Dalam
pelaksanaannya para pengembang kurikulum ini banyak memberikan perhatian terhadap aspek-
aspek sosial-emosional.
Pendekatan pemecahan masalah kemasyarakatan, diarahkan pada terciptanya masyarakat
yang lebih baik. Pengembangan kurikulumnya menekankan pada pengembangan kemampuan
memecahkan masalah-masalah penting dan mendesak yang ada dimasyarakat, baik masyarakat
sekitar maupun yang lebih jauh.
Pendekatan kompetensi, merupakan modal pengembangan kurikulum yang menekankan
pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi tertentu disekolah, yang berkaitan dengan
pekerjaannya yang ada dimasyarakat.

E. Kurikulum Multikultural Masa Mendatang


Proses pengembangan kurikulum haruslah meliputi tiga dimensi kurikulum yaitu
kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai proses
(Hasan,2000). Ketiga dimensi kurikulum ini berkaitan satu dengan lainnya dan kurikulum
sebagai proses dilaksanakan dengan berbagai kebijakan kurikulum. Kebijakan-kebijakan tersebut
merupakan operasionalisasi kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen. Dalam
diagram keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.

PENGEMBANGAN
IDE

SOSIALISASI

PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
DOKUMEN SOSIALISASI PROSES

Diagram 1: Pengembangangan Kurikulum Multikultural (Hasan, 2000).

8
Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan filosofi kurikulum, model kurikulum
yang digunakan, pendekatan dan teori belajar yang digunakan, pendekatan/model evaluasi hasil
belajar. Pengembangan dokumen berkenaan dengan pengembangan kurikulum sebagai dokumen
tertulis yang didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya Secara teknis
pengembangan kurikulum sebagai dokumen berkenaan dengan keputusan tentang informasi dan
jenis dokumen yang akan dihasilkan, bentuk/format GBPP, dan komponen kurikulum yang harus
dikembangkan. Apakah kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen akan dijadikan
satu atau dua dokumen yang terpisah harus pula ditentukan. Apapun keputusan-keputusan
tentang itu antara pengembangan kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen
diperlukan sosialisasi agar terjadi kesinambungan buah pemikiran para pengambil keputusan
kurikulum dengan para pengembang teknis.
Kedua dimensi kurikulum ini dapat dikembangkan pada tingkat nasional baik dalam
konteks otonomi dengan desentralisasi kewenangan pengembangan kurikulum maupun dalam
konteks sentralisasi. Perbedaan antara keduanya adalah pada jenis informasi yang akan diberikan
dimana untuk konteks otonomi kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan
rinci diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, pengembangan ide dan dokumen kurikulum lebih
banyak berisikan prinsip dan guidelines. Sedangkan dalam konteks sentralisasi pengembangan
kurikulum sebagai ide dan dokumen harus tetap memberikan ruang yang cukup besar bagi
daerah untuk memasukkan karakteristik budayanya.
Alternatif lain adalah kurikulum sebagai ide dikembangkan pada tingkat nasional
sedangkan kurkulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di daerah. Seperti dalam
alternatif di atas, proses sosialisasi ide yang telah ditetapkan perlu dilakukan. Dengan demikian,
keputusan tentang jenis informasi, bentuk format GBPP dan komponen kurikulum (tujuan,
konten, proses belajar dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula. Tentu saja dengan
pendekatan multikultural tingkat rincian tersebut tetap harus memperhitungkan keragaman
kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah-sekolah yang ada.
Alternatif kedua ini dapat dilakukan jika daerah telah memiliki tenaga pengembang yang
cukup. Jika belum maka sebaiknya alternatif pertama yang dipilih sedangkan jika daerah telah
memiliki tenaga yang cukup dan sudah berpengalaman maka peran pusat dapat saja semakin
longgar dan pengembangan ide dan dokumen sepenuhnya dapt diserahkan ke daerah. Pemerintah
pusat hanya perlu mengembangkan principle guidelines saja.
Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau sekolah.
Pengembangan ini haruslha didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat

9
mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana prinsip multikultural kurikulum. Sosialisasi
yang dilakukan haruslah dilakukan orang-orang yang terlibat paling tidak dalam proses
pengembangan kurikulum sebagai dokumen apabila orang yang terlibat dalam pengembangan
ide tidak mungkin secara teknis. Jika terjadi perluasan tim sosialisasi maka anggota tim yang
baru haruslah yang sepenuhnya faham dengan karakteristik kurikulum multikultural. Pada fase
ini target utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum
multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggung jawabnya.
1. Pengembangan Kurikulum Sebagai Ide
Pengembangan kurikulum sebagai ide adalah langkah awal dan langkah yang sangat
menentukan karakteristik kurikulum di masa mendatang : apakah yang akan dihasilkan adalah
kurikulum multikultural, kurikulum monokultural, ataukah kurikulum yang diberlakukan secara
umum tanpa memperhatikan perbedaan kultural yang ada. Oleh karena pembahasan dan
keputusan tentang dimensi ide suatu kurikulum yang kritikal.
Suatu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum multikultural
adalah ketiadaan keseragaman dalam kurikulum seperti yang terjadi pada saat sekarang. Pada
saat sekarang keseragaman tersebut terlihat pada keseragaman pendekatan kurikulum untuk
setiap jenjang pendidikan yaitu kurikulum pendidikan disiplin ilmu. Adanya nama mata
pelajaran seperti IPA, IPS atau pun program muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar (SD
dan SLTP) tetap tidak melepaskan kurikulum jenjang pendidikan dasar sebagai kurikulum
disiplin ilmu. Label IPA dan IPS bahkan sering dipertanyakan sebagai suatu yang lemah dan tak
dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu. Adalah sesuatu yang sulit diterima baha IPA
dan IPS bukan disiplin ilmu, tetapi label program pendidikan. Demikian pula dengan pendidikan
bahasa Indonesia, bahasa Inggris (SLTP), matematika, agama dan PPKN.
Untuk kurikulum multikultural pendekatan pendidikan disiplin ilmu bagi kurikulum
pendidikan dasar harus ditinggalkan sama sekali. Selain tidak semua orang akan menjadi
ilmuwan adalah terlalu dini untuk membawa siswa pendidikan dasar dalam kotak-kotak
kepentingan disiplin ilmu. Lagi pula, pendidikan dasar adalah pendidikan minimal untuk
memberikan kualitas minimal bangsa Indonesia. Pendidikan disiplin ilmu, dengan segala
kekuatannya, tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan keseluruhan aspek kepribadian
dan kemanusiaan sesorang siswa padahal pendidikan dasar harus bertujuan pada pengembangan
kualitas kemanusiaan.
Kurikulum harus secar tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk kepentingan
mata pelajaran tatetapi mata pelajaran adalah untuk medium mengembangkan kepribadian siswa.
Oleh karena itu, pendekatan banyaknya materi yang harus dipelajari dengan pendekatan cara

10
belajar sesuatu dengan pernyataan it is not a matter how much you have learned but a matter of
how you learn it.
Secara teknis filsafat kurikulum pendidikan dasar harus berubah dari esensialisme ke
progresif, humanisme dan rekonstruksi sosial. Melalui filsafat ini masyarkat dijadikan sumber
dan juga dijadikan objek dalam belajar. Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat,
kebutuhan masyarakt dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Dengan
perubahan ini maka kurikulum tidak menutup dindingnya terhadap masyarakat tetapi menjadikan
masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan proses belajar dan sebagai sumber belajar.
Dengan perubahan filosofi ini maka sifat kurikulum lebih terbuka terhadap berbagai
perkembangan yang terjadi di masyarakat termasuk perubhana dan pengembangan kebudayaan.
Kurikulum untuk SMU dapat dikembangkan berdasarkan pendekatan pendidikan disiplin
ilmu sedangkan untuk SMK pendekatan teknologi/vokasional. Meskipun demikian, sebagaiman
aperlu ada revisi terhadap filsafat progresif dan rekonstruksi sosial yang digunakan, diperlukan
pula revisi terhadpa tujuan, materi, proses belajar, dan evaluasi yang dikembangkan.
Keterampilan-keterampilan dalam bidang teknologi tertentu dan vokasional tertentu yang
dibutuhkan oleh suatu lingkungan budaya dijadikan konten utma kurikulum. Dalam proses
belajar yang dikembangkan Kurikulum 1975 posisi siswa adalah sebagai dependent variable
yang sangat tergantung dari metode yang digunakan guru dan bukan sebagai orang yang belajar
untuk mencapai kualitas yang dinyatakan dalam tujuan. Pendekatan pembelajaran yang
dianjurkan Kurikulum 1994 belum menampakkan hasilnya.
Apabila kurikulum pendidikan dasar harus diutamakan pada pengembangan kepribadian
kemanusiaan siswa pada kurikulum pendidikan menengah ini penekanan sudah dapat berbagi
antara pengembangan kepribadian siswa dan penguasaan kemampuan dan keterampilan yang
dipersyaratkan untuk menguasai suatu dasar awal disiplin ilmu (wawasan, teori, konsep,
kemampuan berpikir, dan proses ) dan teknologi/vokasional (wawasan, teori, konsep, prinsip,
dan prosedur).
Dalam pengembangan kepribadian ini pendekatan multikultural menghendaki kurikulum
mampu menjadi media pengembangan kebudayaan lokal tetapi juga merupakan media
pengembang kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal menjadi dasar dalam mengembangkan
kebudayaan nasional. Prinsip ini mutlak harus dikembangkan karena keragaman budaya adalah
sumber yang tak ternilai bagi perkembangan kebudayaan nasional. Pengembangan kurikulum
dalam dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam
pengembangan dokumen kurikulum.

11
2. Pengembangan Kurikulum Sebagai Dokumen
Pengembangan kurikulum sebagai dokumen yang menyangkut pengembangan berbagai
komponen kurikulum seperti tujuan, konten, pengalaman belajar, dan evaluasi. Tujuan adalah
kualitas yagn diharapkan dimiliki siswa yang belajar berdasarkan kurikulum tersebut.
Pengembangan kurikulum multikultural harus terbuka pada berbagai pandangan dan pendekatan
perumusan tujuan. Rumusan yang berdasakan pandangan behaviorisme dan menghendaki
rumusan tujuan yang terukar sudah tidak dapt dipertahankan lagi. Para pengembang kurikulum
harus dapat membuka diri bahwa tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan terukur
berdasarkan kriteria tertentu. Ada tujuan-tujuan yang dapat diukur dan bersifat dapat dikuasai
dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu
belajar yang lebih panjang. Oleh karena itu, pemaksanaan suatu pendekatan dalam
pengembangan tujuan tidak dapat dpertahankan lagi.
Sesuai dengan pendekatan multikultural, sumber kualits yang dinyatkan dalam kurikulum
tidak pul aterbatas pada kualitas yagn ditentukan oleh disiplin ilmu semata. Kualitas manusia
seperti yang ditentukan oleh disiplin ilmu semata. Kualitas manusi aseperti yagn dinyatakan
banyak tokoh dan anggota masyarakat seperti kreativitas, disiplin, kerja keras, kemampuan
kerjasama, toleransi, berpikir kritis, manusi ayagn religius, dan sebagainya harus dapat
ditonjolkan sebagai tujuan kurikulum. Kualitas tertentu yang dirasakan penting oleh kelompok
budaya dan sosial tertentu harus dapat dikembangkan dan oleh karenanya dokuemn kurikulum
harus memberikan kemungkinan adanya pengembangan tujuan di komunitas dan lingkungan
budaya tertentu. Demikian pula kualitas seperti kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakt, kemampuan mencari dan mengolah informasi, kemampuan berkomunikasi dan
sebagainya harus dapt dikemukakan sebagi tujuan yang sama penting dengan tujuan yang berasal
dari disiplin ilmu. Dengan perkataan lain, kurikulum multikultural harus dapat menekan fungsi
pendidikan sama atau lebih penting dibandingkan fungsi pengajaran.
Kurikulum multikultural menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda dari
pengertian yang dianut dalam kurikulum terutama oleh Kurikulum 1975 dan 1981. Kurikulum
1984 memang mencoba untuk mengembangkan pengertian konten yang leibh luas tetapi belum
merupakan keseluruhan gerak pengembangan. Dalam kedua kurikulum tersebut, pengertian
konten harus diartikan leibh luas mencakup hal-hal yang substantif (teori, generalisasi, konsep,
fakta), nilai, keterampilan dan proses.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten
kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan adat/tradisi dan cultural traits tertentu harus
dapat diakomodasi sebagai konten kurikulum. Konten kurikulum haruslah tidak bersifat formal

12
semata tetapi society and cultural-based, dan open to problems yang hidup dalam masyarakat.
Konten kurikulum haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang
tidak berkaitan dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosila yang hidup dan
berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten kurikulum harus dapat menunjang tujuan
kurikulum dalam mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik. Selain agama,
kesusasteraan, bahasa, olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang
pengembangan kemanusiaan siswa.
Pengembangan komponen tersebut dalam kurikulum sebagai dokumen menghendaki
pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar. Dalam posisi ini maka siswa
yang belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar (termasuk masyarakat) dan guru bertindak
sebagai orang yang memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam
kurikulum multikultural pendekatan siswa sebagai subjek dalam belajar memberi arti bahwa
metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar, bukan siswa belajar karena metode
guru. Metode guru ditentukan oleh cara siswa belajar. Secara diagramatik posisi metode ini
digambarkan sebagai berikut.

TUJUAN

MATERI
KEBUDAYAAN

SUMBER CARA SISWA


BELAJAR

METODE

Diagram 2: Pengembangan Kurikulum sebagai Dokumen (Hasan 2000).

3. Pengembangan Kurikulum Sebagai Proses


Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh guru. Baik dalam konteks
sentralisasi maupun dalam konteks otonomi, peran guru tersebut tetap sama, mereka adalah
pengembang kurikulum pada tataran empirik yang langsung berkaitan dengan siswa. Oleh
karena itu, jika kurikulum yang dikembangkan tidak sesuai dengan apa yang sudah ditetnukan
dalam kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen, maka kurikulum sebagai ide dan
kurikulum sebagai dokumen, maka kurikulum sebagai proses bukan lagi kelanjutan dari

13
keduanya. Dalam konteks yang lebih ekstrim, kurikulum sebagai proses dapat merupakan
kurikulum yang berbeda sama sekali dengan keduanya. Pengetahuan, pemahaman dan sikap
serta kemauan guru terhadap kurikulum multikultural akan sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan kurikulum sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai
proses, yaitu : (1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang
ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakt dan
pribadi siswa adalah entry behavior kultural siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber
belajar.

F. SIMPULAN
Pengembangan kurikulum dalam rangka menuju keefektifannya dapat dilakukan dengan
merubah filosofi kurikulum, dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih
ssuai dengan tujuan,misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk
tingkat pendidikan dasar, filosofi konseervatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah
dapat dirubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan
kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
Teori kurikulum tentang konten harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai
aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula
nilai, moral, proseudur, proses dan keterampilan yang harus dimiliki oleh generasi muda.

14
DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud, 1994. Kurikulum Sekolah Dasar, Jakarta:Depdikbud.

Hasan, S. Hamid,2000. “Pendidikan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”.


Pendidikan dan Kebudayaan, No. 026, Tahun Ke-6.

Jasin, A. 1987. Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar : Sejak Proklamasi Kemerdekaan,


Jakarta: Balai Pustaka.

Karhami, 2000. “Pengembangan Kurikulum”. Pendidikan dan Kebudayaan, No. 024, Tahun
Ke-6.

Ma’arif, A. Syafi’i, 1991. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mulyasa, Enncoo, 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Phonix, P.H., 1962. The Disciiplines as Curricullum Content, New York: Teachers Colleggge
Press.

Schubert, W.H., 1986. Curricullum Perspective, Paradigm and Possibility, New York: Mcmillan
Publishing.

Taba, H., 1962. Curricullum Deplomment: Theory and Practic, New York:Harcourt brace
Jovanovichh.

Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nsional.

Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.

15

Anda mungkin juga menyukai