Anda di halaman 1dari 44

REFARAT

CARPAL TUNNEL SYNDROME


(CTS)

Disusun Oleh:

Serli Ulfa Novia Dewi


102119025

Pembimbing:

dr. Julia E. Ginting, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIS ILMU KEDOKTERAN NEUROLOGI


RSUD DR RM DJOELHAM BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga refarat ini dapat diselesaikan pada waktunya sebagai salah satu syarat yang
harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Ilmu
Neurologi RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai. Refarat ini menyajikan suatu pembahasan yang
diuraikan secara singkat mengenai “Carpal Tunnel Syndrome (CTS)”

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing yaitu
dr. Julia E Ginting, Sp.S atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF bagian Neurologi RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
tugas ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini memiliki banyak kekurangan dari
kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak. Harapan penulis semoga refarat ini bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, 27 Agustus 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan karpal adalah salah
satu gangguan pada lengan tangan karena terjadi penyempitan pada terowongan
karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun akibat kelainan
pada tulang-tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan terhadap nervus medianus
di pergelangan tangan. Carpal tunnel syndrome diartikan sebagai kelemahan pada
tangan yang disertai nyeri pada daerah distribusi nervus medianus.
Carpal tunnel syndrome merupakan neuropati tekanan terhadap nervus
medianus terowongan karpal di pergelangan tangan dengan kejadian yang paling
sering, bersifat kronik dan ditandai dengan nyeri tangan pada malam hari, parestesi
jari-jari yang mendapat inervasi dari saraf medianus, kelemahan dan atrofi otot thenar.
Dulu, sindroma ini juga disebut dengan nama acroparasthesia, median thenar
neuritis atau partialthenar atrophy.
Terowongan karpal terdapat di bagian depan dari pergelangan tangan dimana
tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan
sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor
retinakulum yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap
perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan penekanan
terhadap struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah penekanan saraf medianus pada


pergelangan tangan yang menimbulkan rasa nyeri, paresthesia, numbness, dan
kelemahan sepanjang perjalan saraf medianus. Neuropati ini disebabkan oleh
terperangkapnya saraf medianus pada area carpal tunnel, yang dibatasi oleh tulang-
tulang carpal dan juga transverse carpal ligament.

Di area carpal tunnel terjadi peningkatan tekanan sehingga terjadi penurunan


fungsi saraf medianus pada tingkatan tersebut. Keluhan yang timbul berupa kesemutan
pada jari jari tangan I sampai setengah jari IV bagian telapak tangan, numbness, nyeri,
dan kelemahan otot.

Sindroma ini juga dulu dikenal sebagai acroparesthesia, median thenar neuritis,
atau partial thenar atrophy. Diagnosis carpal tunnel syndrome berupa adanya nyeri,
mati rasa dan kesemutan yang dapat menjalar hingga pundak dan leher, gangguan ini
sering terjadi di malam hari saat tidur dengan posisi tidur berbaring ke satu sisi. Untuk
mencegah terjadinya carpal tunnel syndrome akibat aktivitas repetitif yang
menimbulkan mati rasa dan nyeri, perlu dilakukan gerakan pergelangan tangan, tangan
dan jari tangan.
B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.1. Anatomi Canalis carpi dan n.medianus

Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) merupakan terowongan sempit


yang berada di dalam dasar pergelangan tangan. Bagian bawah dan sisi terowongan ini
dibentuk oleh pergelangan tangan (karpal) tulang. Bagian atas terowongan ditutupi
oleh sebuah band yang kuat dari jaringan ikat yang disebut ligamentum karpal
transversal. Perjalanan saraf median dari lengan bawah ke tangan melalui terowongan
di pergelangan tangan. Saraf median mengontrol perasaan di sisi telapak ibu jari, jari
telunjuk, dan jari yang panjang. Saraf jugamengontrol otot-otot di sekitar dasar
jempol.

Tendon yang menekuk jari-jari dan ibu jari juga berjalan melalui terowongan
karpal, tendon ini disebut tendon fleksor Nervus dan tendon memberikan fungsi,
sensibilitas dan pergerakan pada jari-jari tangan. Jari tangan dan otot-otot flexor pada
pergelangan tangan beserta tendon-tendonnya berinsersi pada tulang-tulang
metaphalangeal, interphalangeal proksimal dan interphalangeal distal yang membentuk
jari tangan dan jempol.

Terowongan ini dilewati oleh n.medianus bersama dengan tendon otot- otot
fleksor dari jari-jari. Otot-otot tersebut yaitu m.flexor digitorum superficialis, m.flexor
digitorum profundus, m.flexor carpi radialis, dan m.flexor pollicis longus.
Gambar 2.2. Anatomi Otot-otot Pergelangan Tangan
Nervus medianus adalah salah satu saraf lengan bawah yang merupakan saraf
utama kompartemen anterior. Saraf ini berasal dari dua radix yaitu radix lateralis dan
radix medialis. Radix lateralis adalah lanjutan dari fasciculus lateralis yang menerima
serabut dari C6 dan C7 sedangkan radix medialis adalah lanjutan dari fasciculus
medialis yang menerima serabut dari C8 dan T1. Radix lateralis dan radix medialis
bergabung membentuk nervus medianus di sebelah lateral arteri axillaris..

Gambar 2.3. Anatomi plexus brachialis dan perjalanan n.medianus

Nervus medianus memersarafi otot – otot fleksor di lengan bawah kecuali m.


Flexor carpi ulnaris, bagian ulnar m. Flexor digitorum dan lima otot tangan. Nervus
medianus memasuki fossa cubitalis medial dari arteri brachialis, melintas antara caput
m. Pronator teres, turun antara m. Flexor digitorum superficialis dan m. Flexor
digitorum profundus dan terletak di dekat retinaculum flexorum sewaktu melalui
canalis carpi untuk sampai di tangan.

Gambar 2.4. sensasi persarafan n.medianus

N.medianus memberikan cabang sensorik ke permukaan jari pertama, kedua,


ketiga dan sisi radial jari keempat. Selain itu, nervus medianus juga memersarafi
permukaan dorsalnya bagian distal sendi interphalangeal proximal.
CTS terjadi ketika jaringan sekitarnya tendon fleksor pada pergelangan tangan
membengkak dan memberikan tekanan pada saraf median. Jaringan-jaringan ini
disebut sinovium. Sinovium melumasi tendon dan membuatnya lebih mudah untuk
memindahkan jari. Pembengkakan sinovium mempersempit ruang tertutup dari
terowongan karpal.
Otot-otot tangan instrinsik digolongkan menjadi empat kelompok, antara lain :
a. Otot-otot thenar berfungsi untuk melakukan gerakan oposisi pollex bersama dengan
musculus opponens policis.
b. Musculus adductor policis merupakan adductor ibu jari yang terletak di dalam,
berbentuk seperti kipas. Berfungsi untuk gerakan adduksi ibu jari, meggerakkan ibu
jari ke telapak tangan, sehingga memberikan kekuatan untuk menggenggam.
c. Otot-otot hipotenar (musculusabductor digiti minimi, musculus flexor digiti minimi
brevis, dan musculus opponens digiti minimi) yang berfungsi untuk menggerakkan
digitus minimus.
d. Musculi lumbricales dan musculi interossei yang mempengaruhi keempat jari medial.

Fascia Profunda bersama membrane interossea membagi lengan bawah menjadi


beberapa ruang. Dalam perspektif klinik, bagian pergelangan tangan merupakan tempat
yang paling sering mengalami cedera. Nervus yang melewati pergelangan tangan yaitu.

Fisiologi Tangan
a. Pergerakan sendi pergelangan tangan (articulation radiocarpalis)
Pergerakan yang mungkin dilakukan pada sendi pergelakan tangan adalah
fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, dan sirkumduksi.Fleksi dilakukan oleh musculus
flexor carpi radialis, musculus flexor carpi ulnaris, dan musculus Palmaris
longus.Ekstensi dilakukan oleh m. extensor carpi radialis longus, m. extensor carpi
radialis brevis, dan m. extensor carpi ulnaris. Abduksi dilakukan oleh m. flexor carpi
radialis. Adduksi dilakukan oleh msculi flexor dan extensor carpi ulnaris.
b. Posisi tangan
Posisi istirahat adalah posisi tangan sewaktu jari istirahat dan tangan relaksasi.
Lengan bawah semi pronasi, sendi region karpalis sedikit ekstensi, jari kedua, ketiga,
keempat, kelima sedikit fleksi, dan permukaan kuku pollex pada posisi tegak lurus
dengan bidang jari lainnya.
Posisi fungsional adalah posisi tangan dengan sikap memegang berada diantara
pollex dan index. Gerakan halus dapat dilakukan oleh tangan bila posisi tangan dalam
posisi istirahat ketika membrane interossea tegang. Pada saat articulation
radiocarpalis sedikit extensi, tendo-tendo flexor dan extensor telapak tangan
berfungsi sebagai fiksator pada articulation radiocarpalis untuk menjaga agar
gerakan jari stabil.
c. Pergerakan tangan
1) Menggenggam kuat. Gerakan ini menunjukkan gerakan paksa jari yang bekerja
melawan telapak tangan. Menggenggam kuat melibat musculus flexor longus
sampai jari, otot instrinsik pada telapak tangan, dan extensor pergelangan tangan.
Extensor pergelangan tangan meningkatkan jarak kerja flexor jari. Sebaliknya,
sering meningkatnya flexi pada tangan, genggaman menjadi lemah dan kurang
kuat.
2) Genggaman kait. Gerakan ini membutuhkan energi yang lebih sedikit, terutama
melibatkan flexor longus yang difleksikan sampai beberapa derajat.
3) Menjepit. Menunjukkan kompresi sesuatu di antara ibu jari dan jari telunjuk.

C. EPIDEMILOGI
National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prefalensi
carpal tunnel syndrome yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah
sebesar 1.55% (2.6 juta). Kejadian CTS pada populasi diperkirakan 3% pada wanita dan
2% pada laki-laki dengan prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun, biasanya
antara 40-60 tahun.
Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah
diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan revalensi sekitar
50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. Orang tua setengah baya lebih
mungkin beresiko dibandingkan orang yang lebih muda, dan wanita tiga kali lebih
sering daripada pria.

D. KLASIFIKASI
Carpal tunnel syndrome biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat:
a. Level 1/ringan/mild
CTS ringan memiliki keluhan sensorik saja pada pengujian elektrofisiologis, rasa
perih / rasa tersengat dan nyeri atau gejala CTS yang terjadi dapat berkurang dengan
istirahat atau pijat.
b. Level 2/sedang/moderate
CTS sedang memiliki gejala sensorik dan motorik. Gejala lebih intensif, tes
orthopedic dan neurologic mengindikasikan adanya kerusakan saraf.
c. Level 3/berat/severe
Gejala lebih parah, mengalami penurunan sensorik dan rasa nyeri konstan. Dokter
menyarankan imobilisasi total dan pembedahan.

E. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Etiolgi CTS masih belum diketahui secara jelas. Beberapa teori telah diajukan
untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Teori yang paling
populer adalah teori kompresi mekanik, teori insufisiensi mikrovaskular, dan teori
getaran.
Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS timbul karena kompresi nervus
medianus di terowongan karpal. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor
seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hyperfunction, ekstensi pergelangan tangan
berkepanjangan atau berulang. Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa ia
menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang
mendasari kompresi mekanik.

Teori insufisiensi mikrovaskular menyatakan bahwa kurangnya pasokan darah


menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan perlahan-
lahan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf, sehingga jaringan
parut dan jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf. Karakteristik gejala
CTS, terutama kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversibel dianggap gejala untuk iskemia. Sejumlah penelitian
eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal
dan karena peningkatan tekanan di canalis carpi. Gejala akan bervariasi sesuai dengan
integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik.
Menurut teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan
jangka panjang alat yang bergetar pada N. Medianus di terowongan karpal. Adanya
edema epineural pada saraf median dalam beberapa hari berikut paparan alat getar
genggam kemudian terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma
kimia.
Hipotesis lain dari CTS berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular
memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara
kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap N. Medianus. Tekanan yang berulang-ulangdan lama akan mengakibatkan
peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler
melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti
oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan
kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural.
Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul
terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat
digerak-gerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada
aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang
merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi atrofi dan digantikan oleh
jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara
menyeluruh.
Faktor Resiko
a. Faktor Pekerjaan
- Sikap kerja (Posisi janggal pada tangan) Sikap Kerja
Sikap tubuh dalam bekerja adalah suatu gambaran tentang posisi badan,
kepala dan anggota tubuh (tangan) baik dalam hubungan antara bagian tubuh
tersebut maupun letak pusat gravitasinya. Pekerjaan yang mengunakan sikap kreja
yang tidak alamiah seperti tangan fleksi atau ektensi dalam waktu yang lama juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya CTS karena pergelangan tangan di paska
melakukan gerakan yang tidak sesuai dengan ergonomi, sehingga dapat
menghambat aliran darah ke jaringan tersebut dan mengakibatkan iskemik
jaringan. Postur pergelangan tangan menunjukkan risiko 4 kali lebih besar
terjadinya CTS.
Posisi tubuh yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak
ergonomis dalam waktu lama dapat menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan pada pekerja antara lain: (1) rasa sakit pada bagian tertentu
sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan seperti pada tangan dan sebagainya,
(2) menurunnya motivasi dan kenyamanan kerja, (3) gangguan gerakan
pada bagian tubuh tertentu (kesulitan menggerakkan tangan dan sebagainya
(4) dalam waktu lama bisa terjadi perubahan bentuk tubuh. Selain itu
hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja
akan menentukan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja, selain
Standard Operating Procedures (SOP) yang terdapat pada setiap jenis
pekerjaan.
- Masa kerja
Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja dari pertama
mulai masuk hingga sekarang masih bekerja. Masa kerja dapat diartikan
sebagai sepenggal waktu yang agak lama dimana seorang tenaga kerja
masuk dalam satu wilayah tempat usaha sampai batas waktu tertentu.
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung
munculnya gangguan musculoskeletal yang disebabkan oleh pekerjaan.
Proporsi carpal tunnel syndrome lebih banyak ditemukan pada responden
yang mempunyai masa kerja >4 tahun, dibandingkan dengan responden
dengan masa kerja 1-4 tahun yang mengalami kejadian positif.
Pekerja yang memiliki masa kerjanya >20 tahun mempunyai resiko
mengalami kejadian CTS 18.096 kali lebih besar dibandingkan dengan
pekerja yang masa kerjanya 1-4 tahun.
Hal ini terjadi karena semakin lama masa kerja, akan terjadi gerakan
berulang pada finger (jari tangan) secara terus menerus dalam jangka
waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan stress pada jaringan di
sekitar terowongan karpal.
- Lama kerja
Adanya hubungan antara lama kerja dengan kejadian CTS. Sebuah
survei nasional besar Inggris menemukan bahwa Keyboard yang
digunakan selama lebih dari 4 jam per hari meningkatkan risiko gejala
musculoskeletal pada pergelangan tangan. sedangkan penggunaan mouse
komputer lebih dari 20 jam setiap pekan atau 3 jam 20 menit setiap
harinya, memiliki risiko 2,6 kali untuk mengalami gejala CTS.
Pada beberapa pekerjaan yang mengunakan sikap kerja yang tidak
alamiah seperti tangan fleksi atau ektensi dalam waktu yang lama juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya CTS karena pergelangan tangan di
paksa melakukan gerakan yang tidak sesuai dengan ergonomi, sehingga
dapat menghambat aliran darah ke jaringan tersebut dan mengakibatkan
iskemik jaringan. Lama kerja lebih dari 8 jam per hari berisiko 1,415 kali
mengalami CTS penelitian di lakukan di Jember tahun 2013 pada operator
computer.

- Paparan alat yang bergetar pada tangan


Pada pekerja yang terpapar getaran selama bekerja
meningkatkan risiko terjadinya CTS karena dengan adanya getaran
yang mengenai tangan, maka tangan mengikuti pergerakan alat yang
bergetar sehingga timbul resonansi, apabila terjadi terus menerus dapat
mengakibatkan kerusakan syaraf. Penelitian di Amerika pada tahun
2007 menunjukkan Penggunaan alat yang bergetar secara terus menerus
meningkatkan risiko 0,2 kali lipat terjadinya CTS.
- Pekerjaan dengan tekanan tangan
Pada saat melakukan pekerjaan yang memerlukan tekanan pada
tangan, tangan dipaksa melakukan tekanan, pada saat melakukan
tekanan ada bagian di telapak tangan yang tidak dialiri darah, sehingga
terjadi jaringan iskemik, hal ini dapat menimbulkan CTS.
- Kecepatan tinggi
Gerakan pergelangan tangan yang cepat juga dapat
menimbulkan risiko terjadinya CTS karena pada saat terjadi gerakan
berulang pada pergelangan tangan, akan menimbulkan gesekan pada
jaringan-jaringan di dalam pergelangan tangan, gesekan yang terjadi
secara terus menerus dan dalam jangka masa kerja yang lama dapat
menimbulkan adanya luka, luka ini akan berubah menjadi jaringan
parut, jaringan parut ini akan meningkatkan volume jaringan di
terowongan carpal sehinggal menekan nervus medianus. Penelitian di
Purbalingga tahun 2008 menunjukkan frekuensi gerakan berhubungan
dengan kejadian CTS.
b. Faktor Personal
- Usia
Bertambahnya usia mengakibatkan jaringan-jaringan dalam
tubuh mengalami penurunan fungsi, hal ini dapat terjadi juga pada
ligamen- ligamen yang ada di sekitar pergelangan tangan, berkurangnya
kelenturan tangan ini dapat menyebabkan nervus medianus terjebak di
terowongan carpal dan menimbulkan CTS. Prevalensi tertinggi CTS
pada laki-laki terjadi pada usia 45-54 tahun dan pada wanita terjadi
pada rentang usia 55-64 tahun. Penelitian di Kudus pada peliting jenang
tahun 2013 menunjukkan ada hubungan antara usia dengan kejadian
CTS.
- Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko CTS dikarenakan oleh semakin
besarnya tekanan pada syaraf median seiring dengan semakin besarnya
indeks masa tubuh. BMI juga terkait dengan carpal tunnel syndrome baik
pada wanita maupun lelaki seperti yang dilaporkan dalam studi
sebelumnya. individu yang diklasifikasikan sebagai obesitas (BMI> 29)
adalah 2,5 kali lebih berisiko terdiagnosis Carpal Tunnel Syndrome
dibandingkan individu ramping (BMI<20).
- Riwayat penyakit (diabetes, arthritis, fraktur atau patah tangan)
Riwayat penyakit memberikan kontribusi terhadap CTS, perubahan
anatomi tulang karpal akibat cedera maupun patah tangan dapat
mempersempit volume tulang karpal. CTS akut jarang terjadi, biasanya
terjadi karena adanya trauma pada tulang karpal, akibat patah atau
retaknya distal radius. Gejala baru akan muncul setelah beberapa bulan-
tahun setelah trauma. Riwayat penyakit yang dapat menyebabkan resiko
CTS adalah :
• Arthritis Reumatoid
Gejala di terowongan carpal ini juga umum terjadi pada lansia
penderita rematik. Dalam hal ini, saraf terjepit bukan akibat
pembesaran otot melainkan sendi di pergelangan tangan berubah
bentuk. Rematik juga menimbulkan kesemutan atau rasa baal,
biasanya gejala terjadi pada pagi hari dan menghilang pada siang
hari. Gejala kesemutan karena rematik hilang sendiri bila
rematiknya sembuh.
• Fraktur/ Dislokasi
Keadaan lokal lainnya seperti inflamasi sinovial serta fibrosis
(seperti pada tenosinivitis), fraktur tulang carpal, dan cedera
termal pada tangan atau lengan bawah bisa berhubungan dengan
CTS. Pada saat terjadi trauma, struktur jaringan di sekitar
nervus medianus mengalami perubahan, misalnya terjadi
pembengkakan, terjadi jaringan parut, pergeseran jaringan di
sekitar syaraf yang dapat mengakibatkan syaraf terjepit dan
menimbulkan CTS.

• Diabetes Militus
Carpal tunnel syndrom ini juga sering terjadi berkaitan dengan
kelainan yang menimbulkan demielinasi atau kelainan saraf
iskemik seperti diabetes militus. Timbulnya neuropati pada
penderita diabetes tidak tergantung pada kadar gula darah, tetapi
pada lamanya si penderita mengidap diabetes. Semakin lama
menderita diabetes maka semakin tinggi pula rasa kesemutan itu
muncul. Jadi bisa saja seorang penderita merasakan kesemutan
meskipun diabetesnya sendiri terkontrol dengan baik.
Penderita diabetes, berpotensi mengalami CTS karena diabetes
meningkatkan risiko neuropati syaraf tepi, salah satunya dapat
terjadi pada nervus medianus.
• Gout
Pada penderita gout atau asam urat, penumpukan Kristal uric
acid pada daerah pergelangan tangan dapat menimbulkan
tekanan pada nervus medianus sehingga dapat menyebabkan
CTS.
• Hipotiroid
Hipotiroid menyebabkan jaringan di terowongan carpal
mengalami pembengkakan sehingga menekan nervus medianus
hal ini dapat menimbulkan CTS.
- Status Gizi
Kenaikan berat badan berpotensi menumbulkan CTS karena pada keadaan
tubuh mengalami kegemukan, jaringan yang membesar terjadi di seluruh tubuh
teremasuk di pergelangan tangan, kompresi yang terjadi pada nervus medianus
dapat menimbulkan keluhan CTS.
- Neuropati herediter
Neuropati herediter merupakan keadaan bawaan yang
mengakibatkan terjadinya neuropati sehingga dapat merusak sistem syaraf,
salah satunya menimbulkan CTS.
- Adanya infeksi dan peradangan
Infeksi menyebabkan adanya peradangan, dengan adanya
peradangan di sekitar nervus median meningkatkan volume jaringan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya tekanan pada syaraf tersebut.
- Pecandu Alkohol
Konsumsi alkohol terus menerus meningkatkan risiko neuropati,
neuropati adalah kerusakan fungsi syaraf, kerusakan ini dapat pula terjadi
pada syaraf tepi salah satunya nervus medianus, sehingga dapat
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome.
- Kelebihan vitamin atau kekurangan vitamin
Kelebihan vitamin B6 dapat menimbulkan iritasi pada syaraf, hal ini
juga dapat terjadi pada Nervus Medianus. Kekurangan vitamin B6
menimbulkan efek kesemutan karena Vitamin B6 berkerja atau berfungsi
untuk metabolisme protein serta memelihara manfaat dan fungsi normal
saraf- saraf.
- Kehamilan
Pada saat mengalami kehamilan hormon-hormon pertumbuhan
muncul pada ibu, hormon ini difungsikan untuk merangsang pertumbuhan
janin, namun tubuh kita tidak memiliki kontrol untuk mengarahkan hormon
ini untuk pertumbuhan rahim dan janin, namun juga pertumbuhan organ
lain termasuk tangan, dan daerah pergelangan tangan. Pada keadaan ini
jaringan akan menekan syaraf sehingga terjadilah kompresi yang dapat
menyebabkan rungsi syaraf terganggu.

F. PATOFISIOLOGI

G. GEJALA KLINIS
Gejala awal berupa kesemutan (parestesia), mati rasa (numbness), dan rasa
terbakar atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan
setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus. Sensasi rasa
tersebut dapat menjalar sampai ke daerah lengan dan bahu. Apabila berlangsung
lama maka keluhan mati rasa akan bertambah hebat, dan kemampuan untuk
membedakan panas dan dingin, serta daya genggam tangan menurun. Gejala
klinis umumnya bersifat progresif dalam kurun waktu minggu, bulan ataupun
tahun dan keluhan seringkali muncul di waktu malam hari saat pasien beristirahat.
Pembengkakan dan kekakuan pada jari tangan dan pergelangan tangan dapat
terjadi pula pada waktu pagi hari.
Tanda dan gejala CTS dapat dikategorikan menjadi 3 antara lain:
- Pada tahap ke 1, Pasien merasakan sensasi seperti bengkak pada malam
hari, selain itu pasien biasanya mengeluh mengalami nyeri dari
pergelangan tangan hingga ke bahu, dan mati rasa pada jari. Gejala ini
biasanya hilang pada saat pagi hari.
- Pada tahap ke 2, pasien merasakan gejala CTS sepanjang hari, kadang
kala benda yang mereka sentuh akan terjatuh karena mereka sudah
tidak bisa merasakan jari-jarinya lagi.
- Pada tahap ke 3, keluhan ini di sertai dengan adanya pembengkakan, pada
tahap ini nervus median mengalami kerusakan yang parah sehingga
memerlukan pembedahan, syaraf ini sudah tidak berfungsi lagi karena
tertekan oleh jaringan yang membengkak di sekitar nervus median.
H. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
a. Anamnesa
Anamnesa sangat membantu dalam menegakkan diagnosa. Nyeri dan
paraesthesia terjadi dalam distribusi nervus medianus. Setiap malam pasien
terbangun dengan nyeri terbakar, tingling, dan numbness. Tangan di atas
tempat tidur, atau menggoyangkan tangan dapat mengurangi nyeri. Pada
kasus lanjut terdapat clumsiness dan weakness, biasanya jika melakukan
pekerjaan yang memerlukan ketepatan. Discomfort atau numbness atau
keduanya dapat terjadi oleh aktivitas pergelangan tangan pada posisi fleksi
untuk periode tertentu seperti memegang steering wheel, menerima telepon,
buku, atau koran. Discomfort dan nyeri menjalar dari tangan ke lengan atas
atau leher.
American Academy of Neurology telah menggambarkan kriteria
diagnostik yang mengandalkan pada kombinasi gejala dan temuan
pemeriksaan fisik, serta kriteria diagnostik lainnya termasuk hasil dari
penelitian elektrofisiologi. Sedangkan diagnosa kejadian CTS sebagai akibat
pekerjaan menurut National Institute for Ocupational Safety and Health
(NIOSH) pada tahun 1989 berupa:
1. Terdapatnya salah satu atau lebih gejala parastesia, hipoanastesia, sakit /
baal/ mati rasa pada tangan yang berlangsung sedikitnya 1 minggu atau
bila tidak terjadi secara terus menerus, sering terjadi pada berbagai
kesempatan.
2. Secara objektif dijumpai hasil tes Tinel’s atau tes phalen positif atau
berkurang sampai hilangnya rasa sakit pada kulit telapak dan jari
tangan. Diagnosa dapat pula ditegakkan melalui pemeriksaan
elektrodiagnostik antara lain dengan pemeriksaan elektromiografi.
3. Adanya riwayat pekerjaan seperti melakukan pekerjaan berulang atau
repetitive, pekerjaan yang disertai kekuatan tangan, fleksi ekstensi, dan
deviasi gerakan pergelangan dan jari tangan, menggunakan alat dengan
getaran tinggi serta terjadi tekanan pada pergelangan tangan atau
telapak tangan.
Menurut NIOSH kriteria diagnosis klinis CTS harus dicurigai bila ada :
- Terdapatnya Keluhan gejala nyeri/baal/kesemutan pada daerah
persarafan nervus medianus.
- Terdapatnya salah satu atau dua tanda-tanda pemeriksaan fisik di bawah
ini:
b. Pemeriksaan Fisik
1) Phalen’s test : pada pemeriksaan ini, penderita diminta melakukan
gerakan fleksi tangan secara maksimal. Test ini dilakukan selama 60
detik, apabila timbul gejala seperti CTS, tes ini dapat mendukung
diagnosa CTS.

Gambar 2.5: Phalen’s test


Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua tangan pada
sendi pergelangan tangan, kemudian menekan kedua dorsum manus satu
dengan yang lain sekuat- kuatnya. Jika terdapat penyempitan pada
terowongan karpal yang dilintasi cabang-cabang nervus medianus, maka
penekukan tangan akan menimbulkan nyeri atau parastesi.
2) Tinel's sign :

Gambar 2.6: Tinel’s Test


Tes ini dapat mendukung diagnosa apabila timbul nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus jika dilakukan dengan cara melakukan
perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
3) Wrist extension test :

Gambar 2.7: Wrist extension test


Penderita diminta untuk melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan bersama pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala seperti CTS, maka
tes ini dapat mendukung diagnose CTS.
4) Flick’s sign: penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau
menggerak- gerakkan jarinya bila keluhan berkurang atau
menghilang akan menyokong diagnosa CTS. Harus di ingat bahwa
tanda ini juga dijumpai pada penyakit Raynaud.
5) Thenar wasting:

Gambar 2.8: Thenar wasting


Pada inspeksi dan palapasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot
thenar.
6) Pressure test:

Gambar: 2.9 Pressure test


Nervus medianus ditekan di canalis carpi dengan menggunakan
ibu jari. Jika 120 detik timbul gejala seperti CTS, maka
menyokong diagnose.
7) Luthy’sign atau Bottle’s sign:

Gambar: 2.9 Luthy’s sign


8) Pemeriksaan Sensibilitas: bila penderita tidak dapat membedakan dua
titik pada jarak lebih dari 6mm di daerah nervus medianus, tes dianggap
positif dan menyokong diagnosa.
9) Tourniquet Test: Torniket dipasang disekitar lengan atas diatas tekanan
sistolik. Pada pasien normal tes menyebabkan parestesia pada distribusi
nervus ulnaris, pada CTS parestesia pada distribusi nervus medianus.
Bila dalam 1 menit timbul gejala carpal tunnel syndrome, maka tes ini
menyokong.
10) Two Point Discrimination Test: Test ini sering hilang pada ujung
jari pasien. Sensasi pada aspek radial telapak tangan normal karena
palmar cutaneus branch nervus medianus tidak melalui carpal
tunnel.
11) Pemeriksaan fungsi otonom: Diperhatikan adalah perbedaan
keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah
inervasi nervus medianus. Bila ada, akan menyokong diagnosa
CTS.
12) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara
manual maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk
melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari dipertemukan
dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada
ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan
meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis
atau menyulam.
Dari pemeriksaan provokasi diatas phalen test dan tinel test adalah test yang
patognomonis untuk CTS.

c. Pemeriksaan Neurofisiologi (elektrodiagnostik).


1) Pemeriksaan EMG (Electro myography): Pada pemeriksaan ini,
penerita CTS dmenunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang
positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. EMG
bisa normal pada 31 % kasus Carpal Tunnel Syndrome.
2) Kecepatan Hantar Saraf (KHS): Pada pendertia CTS, 15-25% kasus
menunjukkan hasil KHS normal. Namun pada kasus lainnya KHS akan
menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang,
menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan
tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.
d. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan sinar X dilakukan pada pergelangan untuk melihat adakah
penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher digunakan
untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. Pemeriksaan
CT scan dan MRI dilakukan untuk penderita yang akan dioperasi,
pemeriksaan USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf
median di carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal
tunnel syndrome.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi dari carpal tunnel syndrome belum jelas seperti pada usia
muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid,
kadar uric acid ataupun darah lengkap. Pemeriksaan laboratorium
umumnya diperlukan untuk menyingkirkan penyakit yang mendasari.
Pasien diskrining pada pemeriksaan awal untuk tanda-tanda atau gejala
diabetes, hipotiroidisme, kehamilan, artritis, dan penyakit inflamasi
terkait. Pemeriksaan ini jarang diindikasikan kecuali pasien dengan
gejala/tanda menjamin laboratorium khusus.
f. Rappid Upper Limb Assessment (RULA)
RULA adalah sebuah metode menilai postur, gaya, beban dan pergerakan
yang berhubungan dengan pekerjaan menetap dan berkaitan dengan
penggunaan tubuh bagian atas.
Tahapan aplikasi metode RULA, sebagai berikut :
1) Menentukan siklus kerja dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus
kerja tersebut.
2) Mengumpulkan data dan video mengenai postur pekerja setiap kegiatan
menggunakan foto atau video.
3) Menentukan skor postur tubuh saat bekerja pada bagian, seperti: Lengan
atas, lengan bawah, pergelangan tangan, leher, badan dan kaki.
4) Menentukan skor penggunaan otot dan pembebanan atau pengerahan
tenaga.
5) Menghitung grand skor dan action level untuk menilai kemungkinan
risiko yang terjadi.

American Academy of Neurology telah menggambarkan kriteria


diagnostik yang mengandalkan pada kombinasi gejala dan temuan pemeriksaan
fisik, serta kriteria diagnostik lainnya termasuk hasil dari penelitian
elektrofisiologi.
Sedangkan diagnose kejadian Carpal Tunnel Syndrome sebagai akibat
pekerjaan menurut National Institute for Ocupational Safety and Health (NIOSH)
pada tahun 1989 berupa :
1) Terdapatnya salah satu atau lebih gejala parastesia, hipoanastesia, sakit / baal/
mati rasa pada tangan yang berlangsung sedikitnya 1 minggu atau bila tidak
terjadi secara terus menerus, sering terjadi pada berbagai kesempatan.
2) Secara objektif dijumpai hasil tes Tinel’s atau tes phalen positif atau
berkurang sampai hilangnya rasa sakit pada kulit telapak dan jari tangan.
Diagnosa dapat pula ditegakkan mlalui pemeriksaan elektrodiagnostik antara
lain dengan pemeriksaan elektromiografi.
3) Adanya riwayat pekerjaan seperti melakukan pekerjaan berulang atau
repetitive, pekerjaan yang disertai kekuatan tangan, fleksi ekstensi, dan
deviasi gerakan pergelangan dan jari tangan, menggunakan alat dengan
getaran tinggi serta terjadi tekanan pada pergelangan tangan atau telapak
tangan.

g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari CTS antara lain :
1. Cervical radiculopathy
Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan
bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai
dermatomnya.
2. Thoracic outlet syndrome
Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar.
Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnarisdari tangan dan lengan
bawah.
3. Pronator teres syndrome
Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeridi telapak tangan
daripada CTS karena cabang nervus medianus kekulit telapak tangan
tidak melalui terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome
Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor pollicis longus dan
ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakantangan yang
repetitif.
Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan padapergelangan tangan
di dekat ibu jari, KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot
abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri
bertambah.
Gambar Nukleus Pulposus

Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nukleus pulposusnya


adalah bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang merupakan bagian peka nyeri
adalah:
h. Lig. Longitudinale anterior
i. Lig. Longitudinale posterior
j. Corpus vertebra dan periosteumnya
k. Articulatio zygoapophyseal
l. Lig. Supraspinosum
m.Fasia dan otot

Stabilitas vertebrae tergantung pada integritas korpus vertebra dan diskus


intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan otot
(aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap kolumna vertebrale ini stabilitas
daerah pinggang sangat bergantung pada gerak kontraksi volunter dan refleks otot-
otot sakrospinalis, abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring.
Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus pulposus menurun dan diganti
oleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur, dan
sukar dibedakan dari anulus. Ligamen longitudinalis posterior di bagian L5-S1 sangat
lemah, sehingga HNP sering terjadi di bagian postero lateral.
I. Definisi
Hernia adalah protrusi atau penonjolan dari sebuah organ atau jaringan melalui
lubang yang abnormal. Nukleus pulposus adalah massa setengah cair yang terbuat
dari serat elastis putih yang membentuk bagian tengah dari diskus intervertebralis.
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan suatu gangguan yang melibatkan ruptur
annulus fibrosus sehingga nukleus pulposis menonjol (bulging) dan menekan kearah
kanalis spinalis HNP mempunyai banyak sinonim antara lain : Hernia Diskus
Intervertebralis, Ruptur Disc, Slipped Disc, Prolapsed Disc dan sebagainya.

Gambar Herniated Nucleus Pulposus

J. Epidemiologi
Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi. HNP lumbalis paling sering
(90%) mengenai diskus intervetebralis L5-S1, L4-L5. Biasanya nyeri pinggang bawah
(NPB) oleh karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira-kira 6 minggu.
HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada
dekade ke-4 dan ke-5. HNP lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang
banyak membungkuk dan mengangkat. Karena ligamentum longitudinalis posterior
pada daerah lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi discus
cenderung terjadi ke arah postero lateral, dengan kompresi radiks saraf.
K. Etiologi
Hernia nukleus pulposus dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Degenerasi diskus intervertebralis
b. Trauma minor pada pasien tua dengan degenerasi
c. Trauma berat atau terjatuh
d. Mengangkat atau menarik benda berat
Faktor resiko
1. Faktor Resiko yang tidak dapat dirubah yakni umur, jenis kelamin, dan
riwayat trauma sebelumnya
2. Faktor resiko yang dapat diubah diantaranya pekerjaan dan aktivitas, postur
tubuh yang salah, olah raga tidak teratur, latihan berat dalam jangka waktu yang lama,
merokok, berat badan berlebih.

L. Patofisiologi
a. Proses Degenaratif

Diskus intervertebralis tersusun atas jaringan fibrokartilago yang berfungsi


sebagai shock absorber, menyebarkan gaya pada kolumna vertebralis dan juga
memungkinkan gerakan antar vertebra. Kandungan air diskus berkurang dengan
bertambahnya usia (dari 90% pada bayi sampai menjadi 70% pada orang usia lanjut).
Selain itu serabut-serabut menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut
membantu terjadinya perubahan ke arah herniasi nukleus pulposus melalui anulus dan
menekan radiks saraf spinal. Pada umumnya hernia paling mungkin terjadi pada
bagian kolumna vertebralis dimana terjadi peralihan dari segmen yang lebih mobile
ke yang kurang mobile (perbatasan lumbosakral dan servikotolarak).

b. Proses Traumatik

Dimulainya degenerasi diskus mempengaruhi mekanika sendi intervertebral, yang


dapat menyebabkan degenerasi lebih jauh. Selain degenerasi, gerakan repetitive,
seperti fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi, dan mengangkat beban dapat memberi
tekanan abnormal pada nukleus. Jika tekanan ini cukup besar sampai bisa melukai
annulus, nucleus pulposus ini berujung pada herniasi. Trauma akut dapat pula
menyebabkan herniasi, seperti mengangkat benda dengan cara yang salah dan jatuh
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan herniasinya,
dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan hernia yang sesungguhnya, yaitu:

i. Protrusi diskus intervertebralis : nukleus terlihat menonjol ke satu


arah tanpa kerusakan annulus fibrosus.
ii. Prolaps diskus intervertebral : nukleus berpindah, tetapi masih
dalam lingkaran anulus fibrosus.
iii. Extrusi diskus intervertebral : nukleus keluar dan anulus fibrosus
dan berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
iv. Sequestrasi diskus intervertebral : nukleus telah menembus
ligamentum longitudinalis posterior

Gambar Grade HNP Lumbal

Bangunan peka nyeri mengandung reseptor nosiseptif (nyeri) yang terangsang


oleh berbagai stimulus lokal (mekanis, termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon
dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang akan menimbulkan persepsi
nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah
pergerakan sehingga proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi
adalah spasme otot, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemia.

Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya
berbagai mediator inflamasi; atau nyeri neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada
sistem saraf.

Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan 2 kemungkinan. Pertama,


penekanan hanya terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari
nervi nevorum yang menimbulkan nyeri inflamasi.
Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan
serabut saraf misalnya karena pergerakan. Kemungkinan kedua, penekanan mengenai
serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan biomolekuler di mana terjadi
akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya
mechano-hot spot yang sangat peka terhadap rangsang mekanikal dan termal. Hal ini
merupakan dasar pemeriksaan Laseque.

M. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul tergantung lokasi lumbal yang terkena. HNP
dapat terjadi kesegala arah, tetapi kenyataannya lebih sering hanya pada 2 arah, yang
pertama ke arah postero lateral yang menyebabkan nyeri pinggang, sciatica, dan
gejala dan tanda tanda sesuai dengan radiks dan saraf mana yang terkena. Berikutnya
ke arah postero sentral menyebabkan nyeri pinggang dan sindroma kauda equina.
Kedua saraf sciatic (N. Ischiadicus) adalah saraf terbesar dan terpanjang pada
tubuh. masing-masing hampir sebesar jari. Pada setiap sisi tubuh, saraf sciatic
menjalar dari tulang punggung bawah ,di belakang persendian pinggul, turun ke
bokong dan dibelakang lutut. Di sana saraf sciatic terbagi dalam beberapa cabang dan
terus menuju kaki.
Ketika saraf sciatic terjepit, meradang, atau rusak, nyeri sciatica bisa
menyebar sepanjang panjang saraf sciatic menuju kaki. Sciatica terjadi sekitar 5%
pada orang Ischialgia, yaitu suatu kondisi dimana saraf Ischiadikus yang
mempersarafi daerah bokong sampai kaki terjepit. Penyebab terjepitnya saraf ini ada
beberapa faktor, yaitu antara lain kontraksi atau radang otot-otot daerah bokong,
adanya perkapuran tulang belakang atau adanya Herniasi Nukleus Pulposus (HNP),
dan lain sebagainya.
Sciatica merupakan nyeri yang terasa sepanjang perjalanan nervus ischiadicus
sampai ke tungkai, biasanya mengenai hanya salah satu sisi. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk jarum, sakit nagging, atau nyeri seperti ditembak. Kekakuan kemungkinan
dirasakan pada kaki. Berjalan, berlari, menaiki tangga, dan meluruskan kaki
memperburuk nyeri tersebut, yang diringankan dengan menekuk punggung atau
duduk.
Gejala yang sering ditimbulkan akibat ischialgia adalah :
a. Nyeri punggung bawah.
b. Nyeri daerah bokong.
c. Rasa kaku/ tertarik pada punggung bawah.
d. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam beberapa minggu
sampai beberapa tahun).
e. Nyeri yang menjalar atau seperti rasa kesetrum dan dapat disertai baal,
yang dirasakan dari bokong menjalar ke daerah paha, betis bahkan
sampai kaki, tergantung bagian saraf mana yang terjepit.
f. Rasa nyeri sering ditimbulkan setelah melakukan aktifitas yang berlebihan,
terutama banyak membungkukkan badan atau banyak berdiri dan
berjalan.
g. Rasa nyeri juga sering diprovokasi karena mengangkat barang yang berat,
batuk, bersin akibat bertambahnya tekanan intratekal.
h. Jika dibiarkan maka lama kelamaan akan mengakibatkan kelemahan
anggota badan bawah/ tungkai bawah yang disertai dengan mengecilnya
otot-otot tungkai bawah dan hilangnya refleks tendon patella (KPR) dan
achilles (APR).
i. Bila mengenai konus atau kauda ekuina dapat terjadi gangguan defekasi,
miksi dan fungsi seksual. Keadaan ini merupakan kegawatan neurologis
yang memerlukan tindakan pembedahan untuk mencegah kerusakan
fungsi permanen.
j. Kebiasaan penderita perlu diamati, bila duduk maka lebih nyaman duduk
pada sisi yang sehat.

N. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
i. Awitan
Penyebab mekanis NPB menyebabkan nyeri mendadak yang timbul setelah
posisi mekanis yang merugikan. Mungkin terjadi robekan otot, peregangan
fasia atau iritasi permukaan sendi. Keluhan karena penyebab lain timbul
bertahap.
ii. Lama dan frekuensi serangan
NBP akibat sebab mekanik berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan.
Herniasi diskus bisa membutuhkan waktu 8 hari sampai resolusinya.
Degenerasi diskus dapat menyebabkan rasa tidak nyaman kronik dengan
eksaserbasi selama 2-4 minggu.
iii. Lokasi dan penyebaran
Kebanyakan NPB akibat gangguan mekanis atau medis terutama terjadi di
daerah lumbosakral. Nyeri yang menyebar ke tungkai bawah atau hanya di
tungkai bawah mengarah ke iritasi akar saraf. Nyeri yang menyebar ke tungkai
juga dapat disebabkan peradangan sendi sakroiliaka. Nyeri psikogenik tidak
mempunyai pola penyebaran yang tetap.
iv. Faktor yang memperberat/memperingan
Pada lesi mekanis keluhan berkurang saat istirahat dan bertambah saat
aktivitas. Pada penderita HNP duduk agak bungkuk memperberat nyeri.
Batuk, bersin atau manuver valsava akan memperberat nyeri. Pada penderita
tumor, nyeri lebih berat atau menetap jika berbaring.
v. Kualitas/intensitas
Penderita perlu menggambarkan intensitas nyeri serta dapat
membandingkannya dengan berjalannya waktu. Harus dibedakan antara NPB
dengan nyeri tungkai, mana yang lebih dominan dan intensitas dari masing-
masing nyerinya, yang biasanya merupakan nyeri radikuler. Nyeri pada
tungkai yang lebih banyak dari pada NPB dengan rasio 80-20% menunjukkan
adanya radikulopati dan mungkin memerlukan suatu tindakan operasi. Bila
nyeri NPB lebih banyak daripada nyeri tungkai, biasanya tidak menunjukkan
adanya suatu kompresi radiks dan juga biasanya tidak memerlukan tindakan
operatif. Gejala NPB yang sudah lama dan intermiten, diselingi oleh periode
tanpa gejala merupakan gejala khas dari suatu NPB yang terjadinya secara
mekanis.
Harus diketahui pula gerakan-gerakan mana yang bisa menyebabkan
bertambahnya nyeri NPB, yaitu duduk dan mengendarai mobil dan nyeri
biasanya berkurang bila tiduran atau berdiri, dan setiap gerakan yang bisa
menyebabkan meningginya tekanan intra-abdominal akan dapat menambah
nyeri, juga batuk, bersin dan mengejan sewaktu defekasi.
b. Pemeriksaan Motoris
i. Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai
yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki
yang berjingkat.
ii. Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.

c. Pemeriksaan Sensorik
i. Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat.
ii. Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat
sementara.

d. Tes-tes Khusus
i. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT)
Tes untuk mengetaui adanya jebakan nervus ischiadicus. Pasien tidur dalam
posisi supinasi dan pemeriksa memfleksikan panggul secara pasif, dengan
lutut dari tungkai terekstensi maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri
pada saat mengangkat kaki dengan lurus, menandakan ada kompresi dari akar
saraf lumbar.
ii. Lasegue Menyilang
Caranya sama dengan percobaan lasegue, tetapi disini secara otomatis timbul
pula rasa nyeri ditungkai yang tidak diangkat. Hal ini menunjukkan bahwa
radiks yang kontralateral juga turut tersangkut.

Gambar Pemeriksaan Lasegue


iii. Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara aktif oleh penderita sendiri maupun
secara pasif oleh pemeriksa. Pemeriksaan ROM ini memperkirakan derajat
nyeri, function laesa, atau untuk memeriksa ada/ tidaknya penyebaran rasa
nyeri.
iv. Tanda Kerning
Pada pemeriksaan ini penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggung sampai membuat sudut 90 derajat. Selain itu
tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat
melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan
tungkai atas, bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini,
maka dikatakan tanda kerning positif

Gambar Pemeriksaan Kernign Sign

v. Ankle Jerk Reflex


Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi
pada kaki, hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna
vertebra L5-S1. Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama
ibu jari kaki (L5), atau plantar fleksi (S1).
1. Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit
2. Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki
Gambar Level Neurologis yang Terganggu Sesuai dengan Hasil Pemeriksaan Fisik

vi. Knee-Jerk Reflex


Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut,
hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra
L2-L3-L4.
vii. Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine,
merupakan indikasi untuk segera operasi.
viii. Kadang-kadang terdapat anestesia di perineum, juga merupakan
indikasi untuk operasi.
ix. Tes provokasi : tes valsava dan naffziger untuk menaikkan tekanan
intratekal.

e. Pemeriksaan Penunjang
i. X-Ray
X-Ray tidak dapat menggambarkan struktur jaringan lunak secara akurat.
Nucleus pulposus tidak dapat ditangkap di X-Ray dan tidak dapat
mengkonfirmasikan herniasi diskus maupun jebakan akar saraf. Namun, X-
Ray dapat memperlihatkan kelainan pada diskus dengan gambaran
penyempitan celah atau perubahan alignment dari vertebra.
ii. Mylogram
Pada myelogram dilakukan injeksi kontras bersifat radio-opaque dalam
columna spinalis. Kontras masuk dalam columna spinalis sehingga pada X-ray
dapat nampak adanya penyumbatan atau hambatan kanalis spinalis.
Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi
dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk
menentukan tingkat protrusi diskus.
iii. MRI
Merupakan gold standard diagnosis HNP karena dapat melihat struktur
columna vertebra dengan jelas dan mengidentifikasi letak herniasi.

Gambar Hasil Pemeriksaan MRI

iv. Elektromyografi
Untuk melihat konduksi dari nervus, dilakukan untuk mengidentifikasi
kerusakan nervus. EMG : untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati
perifer.

O. Penatalaksanaan
a. Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi
fisik pasien dan melindungi dan meningkatkan fungsi tulang punggung secara
keseluruhan. Perawatan utama untuk diskus hernia adalah diawali dengan istirahat
dengan obat-obatan untuk nyeri dan anti inflamasi, diikuti dengan terapi fisik.
Dengan cara ini, lebih dari 95 % penderita akan sembuh dan kembali pada
aktivitas normalnya. Beberapa persen dari penderita butuh untuk terus mendapat
perawatan lebih lanjut yang meliputi injeksi steroid atau pembedahan.
Terapi konservatif meliputi:
i. Tirah baring
Tujuan tirah baring untuk mengurangi nyeri mekanik dan tekanan
intradiskal, lama yang dianjurkan adalah 2-4 hari. Tirah baring terlalu lama
akan menyebabkan otot melemah. Pasien dilatih secara bertahap untuk
kembali ke aktifitas biasa.
Posisi tirah baring yang dianjurkan adalah dengan menyandarkan
punggung, lutut dan punggung bawah pada posisi sedikit fleksi. Fleksi ringan
dari vertebra lumbosakral akan memisahkan permukaan sendi dan
memisahkan aproksimasi jaringan yang meradang.
ii. Medikamentosa
1. Analgetik dan NSAID
obat ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi
sehingga mempercepat kesembuhan. Contoh analgetik : paracetamol,
Aspirin Tramadol. NSAID : Ibuprofen, Natrium diklofenac.
2. Pelemas otot: digunakan untuk mengatasi spasme otot bermanfaat bila
penyebab NPB adalah spasme otot. Efek terapinya tidak sekuat
NSAID, seringkali di kombinasi dengan NSAID. Sekitar 30%
memberikan efek samping mengantuk. Contoh Tinazidin, Esperidone
dan Carisoprodol
3. Opioid: tidak terbukti lebih efektif dari analgetik biasa. Pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan
4. Kortikosteroid oral: pemakaian masih menjadi kontroversi namun
dapat dipertimbangkan pada kasus HNP berat untuk mengurangi
inflamasi.
5. Analgetik ajuvan: dipakai pada HNP kronis karena ada anggapan
mekanisme nyeri pada HNP sesuai dengan neuropatik. Contohnya :
amitriptilin, Karbamasepin, Gabapentin.
6. suntikan pada titik picu
Cara pengobatan ini dengan memberikan suntikan campuran anastesi
lokal dan kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada titik picu
disekitar tulang punggung. Cara ini masih kontroversi. Obat yang
dipakai antara lain lidokain, lignokain, deksametason, metilprednisolon
dan triamsinolon

iii. Terapi fisik


1. Diatermi/kompres panas/dingin
Tujuannya adalah mengatasi nyeri dengan mengatasi inflamasi dan
spasme otot. keadaan akut biasanya dapat digunakan kompres dingin,
termasuk bila terdapat edema. Untuk nyeri kronik dapat digunakan
kompres panas maupun dingin.
2. Korset lumbal
Korset lumbal tidak bermanfaat pada HNP akut namun dapat
digunakan untuk mencegah timbulnya eksaserbasi akut atau nyeri HNP
kronis. Sebagai penyangga korset dapat mengurangi beban diskus serta
dapat mengurangi spasme.
3. Latihan
Direkomendasikan melakukan latihan dengan stres minimal punggung
seperti jalan kaki, naik sepeda atau berenang. Latihan lain berupa
kelenturan dan penguatan. Latihan bertujuan untuk memelihara
fleksibilitas fisiologik, kekuatan otot, mobilitas sendi dan jaringan
lunak. Dengan latihan dapat terjadi pemanjangan otot, ligamen dan
tendon sehingga aliran darah semakin meningkat.
4. Proper body mechanics
Pasien perlu mendapat pengetahuan mengenai sikap tubuh yang baik
untuk mencegah terjadinya cedera maupun nyeri. Beberapa prinsip
dalam menjaga posisi punggung adalah sebagai berikut:
a. Dalam posisi duduk dan berdiri, otot perut
ditegangkan, punggung tegak dan lurus. Hal ini
akan menjaga kelurusan tulang punggung.
b. Ketika akan turun dari tempat tidur posisi
punggung didekatkan ke pinggir tempat tidur.
Gunakan tangan dan lengan untuk mengangkat
panggul dan berubah ke posisi duduk. Pada saat
akan berdiri tumpukan tangan pada paha untuk
membantu posisi berdiri.
c. Posisi tidur gunakan tangan untuk membantu
mengangkat dan menggeser posisi panggul.
d. Saat duduk, lengan membantu menyangga badan.
Saat akan berdiri badan diangkat dengan bantuan
tangan sebagai tumpuan.
e. Saat mengangkat sesuatu dari lantai, posisi lutut
ditekuk seperti hendak jongkok, punggung tetap
dalam keadaan lurus dengan mengencangkan otot
perut. Dengan punggung lurus, beban diangkat
dengan cara meluruskan kaki. Beban yang diangkat
dengan tangan diletakkan sedekat mungkin dengan
dada.
f. Jika hendak berubah posisi, jangan memutar
badan. Kepala, punggung dan kaki harus berubah
posisi secara bersamaan.
g. Hindari gerakan yang memutar vertebra. Bila
perlu, ganti wc jongkok dengan wc duduk sehingga
memudahkan gerakan dan tidak membebani
punggung saat bangkit.

b. Terapi Operatif
Terapi bedah berguna untuk menghilangkan penekanan dan iritasi saraf sehingga
nyeri dan gangguan fungsi akan hilang. Tindakan operatif HNP harus berdasarkan
alasan yang kuat yaitu berupa:
i. Defisit neurologik memburuk.
ii. Gangguan otonom (miksi, defekasi, seksual).
iii. Paresis otot tungkai bawah.
iv. Pasien mengalami HNP grade 3 atau 4.
v. Tidak ada perbaikan lebih baik, masih ada gejala nyeri yang
tersisa, atau ada gangguan fungsional setelah terapi konservatif
diberikan selama 6 sampai 12 minggu.
vi. Terjadinya rekurensi yang sering dari gejala yang dialami pasien
menyebabkan keterbatasan fungsional kepada pasien, meskipun
terapi
konservatif yang diberikan tiap terjadinya rekurensi dapat menurunkan gejala
dan memperbaiki fungsi dari pasien.
vii. Terapi yang diberikan kurang terarah dan berjalan

dalam waktu lama Pilihan terapi operatif yang dapat

diberikan adalah:

1. Distectomy
Pada discectomy, sebagian dari discus intervertebralis diangkat untuk
mengurangi tekanan terhadap nervus. Discectomy dilakukan untuk
memindahkan bagian yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya
sekitar 2 – 3 hari tinggal di rumah sakit. Akan diajurkan untuk berjalan
pada hari pertama setelah operasi untuk mengurangi resiko
pengumpulan darah. Untuk sembuh total memakan waktu beberapa
minggu. Jika lebih dari satu diskus yang harus ditangani jika ada
masalah lain selain herniasi diskus. Operasi yang lebih ekstensif
mungkin diperlukan dan mungkin memerlukan waktu yang lebih lama
untuk sembuh (recovery).
2. Percutaneous distectomy :Pengambilan sebagian diskus intervertabralis
dengan menggunakan jarum secara aspirasi.
3. Laminotomy/laminectomy/foraminotomy/facetectomy
Melakukan dekompresi neuronal dengan mengambil beberapa bagian
dari vertebra baik parsial maupun total. Laminectomy, yaitu tindakan
operatif membuang lamina vertebralis, dapat dilakukan sebagai
dekompresi terhadap radix spinalis yang tertekan atau terjepit oleh
protrusi nukleus pulposus.
4. Spinal fusion dan sacroiliac joint fusion
Penggunaan graft pada vertebra sehingga terbentuk koneksi yang rigid
diantara vertebra sehingga terjadi stabilitas
P. Prognosis
a. Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi konservatif.
b. Sebagian kecil akan berkembang menjadi kronik meskipun sudah diterapi.
c. Pada pasien yang dioperasi : 90% akan membaik terutama nyeri tungkai,
kemungkinan terjadinya kekambuhan adalah 5%
Beberapa larangan yang harus dilakukan untuk mencegah kekambuhan yaitu:
peregangan yang mendadak pada punggung, jangan sekali-kali mengangkat benda
atau sesuatu dengan tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk,
hindari kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk mengurangi kambuhnya gejala
setelah episode awal.
BAB III

KESIMPULAN

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu penyakit, dimana bantalan lunak
diantara ruas-ruas tulang belakang (soft gel disc atau Nukleus Pulposus) mengalami tekanan
dan pecah, sehingga terjadi penyempitan dan terjepitnya urat-urat saraf yang melalui tulang
belakang kita. Saraf terjepit lainnya di sebabkan oleh keluarnya nukleus pulposus dari diskus
melalui robekan annulus fibrosus keluar menekan medullas pinalis atau mengarah ke
dorsolateral menekan saraf spinalis sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat.

Hernia Nukelus Pulposus(HNP) merupakan suatu gangguan yang melibatkan ruptur


annulus fibrosus sehingga nucleus pulposis menonjol (bulging) dan menekan kearah kanalis
spinalis. Pada penelitian HNP paling sering dijumpai pada tingkat L4-L5; titik tumpuan tubuh
di L4-L5-S1.

Untuk mendiagnosis HNP butuh pemeriksaan radiologi. MRI merupakan pilihan dari
berbagai pemeriksaan radiologi karena memiliki spesitifitas dan sensitivitas yang tinggi.
Tidak seperti pada pemeriksaan foto polos yang hanya dapat melihat komponen tulang
vertebre saja tetapi dari pemeriksaan foto polos dapat mencurigai kearah HNP dapat
dilakukan sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti myelografi, MRI.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pinzon, Rizaldy. Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung Akibat Hernia Nukelus
Pulposus. Vol 39. SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta. Indonesia. 2012. Hal 749-
751.
2. Kumala, poppy. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta. Edisi Bahasa
Indonesia. 1998. hal 505
3. Company Saunder. B. W. Classification, diagnostic imaging, and imaging
characterization of a lumbar. Volume 38. 2000
4. Autio Reijo. MRI Of Herniated Nucleus Pulposus. Acta Universitatis Ouluensis D
Medica. 2006. Hal 1-31
5. Meli Lucas, Suryami antradi. Nyeri Punggung. Use Neurontin. 2003. Hal 133-148
6. Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep-konsep prose penyakit.
Jakarta : 1995. EGC. Hal 1023-1026.
7. Rasad, Sjahriar. Radiologi Doagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FK Universitas
Indonesia. Jakarta.2005. Hal 337
8. S.M Lumbantobing. Neurologi Klinik. Badan Penerbit FK UI. Jakarta Badan
Penerbit FK UI. Hal 18-19

Anda mungkin juga menyukai