Anda di halaman 1dari 62

BAB 8

Operasi
pada Citra Biner

Dengan berakhirnya bab ini, diharapkan pembaca dapat


memahami berbagai hal berikut dan kemudian dapat
mencoba untuk mengimplementasikannya.
 Pengantar operasi biner
 Representasi bentuk
 Ekstraksi tepi objek
 Mengikuti kontur
 Kontur internal
 Rantai kode
 Perimeter
 Luas
 Diameter
 Fitur menggunakan perimeter, luas, dan
diameter
 Pusat massa dan fitur menggunakan pusat massa
 Fitur dispersi
 Pelabelan objek
288 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

8.1 Pengantar Operasi Biner

Beberapa pemrosesan citra mengacu pada citra biner. Sebagai contoh,


dengan menggunakan citra biner, perbandingan panjang dan lebar objek dapat
diperoleh. Di depan juga telah dibahas aplikasi citra biner pada morfologi.
Namun, tentu saja masih banyak operasi lain yang memanfaatkan citra biner.
Beberapa contoh diulas dalam bab ini.

8.2 Representasi Bentuk

Fitur suatu objek merupakan karakteristik yang melekat pada objek. Fitur
bentuk merupakan suatu fitur yang diperoleh melalui bentuk objek dan dapat
dinyatakan melalui kontur, area, dan transformasi, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 8.1. Fitur bentuk biasa digunakan untuk kepentingan identifikasi objek.
Sebagai contoh, rasio kebulatan dipakai sebagai salah satu fitur pada identifikasi
tanaman (Wu, dkk., 2007) dan Polar Fourier Transform (PFT) dapat dipakai
untuk identifikasi daun (Kadir, dkk., 2011).

Representasi
bentuk

Kontur Area Transformasi

 Kode rantai  Rasio kebulatan  Transformasi


 Hampiran  Transformasi Fourier
poligon jarak  Transformasi PFT
Gambar 8.1 Representasi bentuk

8.3 Ekstraksi Tepi Objek

Tepi objek pada citra biner dapat diperoleh melalui algoritma yang dibahas
oleh Davis (1990). Pemrosesan dilakukan dengan menggunakan 8-ketetanggaan.
Sebagai penjelas, lihatlah Gambar 8.2. Piksel P mempuyai 8 tetangga yang
dinyatakan dengan P0 hingga P7. Adapun algoritma tertuang pada Algoritma 8.1.
Operasi pada Citra Biner 289

P3 P2

P4 P

Gambar 8.2 Piksel dan 8 piksel tetangga

ALGORITMA 8.1 – Memperoleh tepi objek


Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berupa citra biner berukuran m baris
dan n kolom
Keluaran:
 g (m, n): Hasil citra yang berisi tepi objek

FOR q  2 to m-1
FOR p  2 to n-1
p0  f(q, p+1)
p1  f(q-1, p+1)
p2  f(q-1, p)
p3  f(q-1, p-1)
p4  f(q, p-1)
p5  f(q+1, p-1)
p6  f(q+1, p)
p7  f(q+1, p+1)
sigma  p0 + p1 + p2 + p3 + p4 + p5 + p6 + p7
IF sigma = 8
g(q, p)  0
ELSE
g(q, p)  f(q, p)
END-IF
END-FOR
END-FOR
290 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Catatan

Algoritma 8.1 mengasumsikan bahwa semua piksel pada kolom


pertama, kolom, terakhir, baris pertama, dan baris terakhir tidak
ada yang bernilai 1. Apabila ada kemungkinan bahwa piksel pada
posisi tersebut ada yang bernilai satu, perlu dibentuk larik baru
yang berukuran (m+2) x (n+2), yang mencakup seluruh nilai f dan
dengan bagian tepi larik berisi 0.

Perwujudan skrip berdasarkan algoritma di depan dapat dilihat berikut ini.

Program : tepibiner.m

function [G] = tepibiner(F)


% TEPIBINER Berguna untuk mendapatkan tepi objek
% pada citra biner

[jum_baris, jum_kolom] = size(F);

G = zeros(jum_baris, jum_kolom);

for q = 2 : jum_baris - 1
for p = 2 : jum_kolom - 1
p0 = F(q, p+1);
p1 = F(q-1, p+1);
p2 = F(q-1, p);
p3 = F(q-1, p-1);
p4 = F(q, p-1);
p5 = F(q+1, p-1);
p6 = F(q+1, p);
p7 = F(q+1, p+1);
sigma = p0 + p1 + p2 + p3 + p4 + p5 + p6 + p7;
if sigma == 8
G(q, p) = 0;
else
G(q, p) = F(q, p);
end
end
end

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi tepibiner dapat dilihat di bawah ini.


Operasi pada Citra Biner 291

>> Img = imread('C:\Image\daun_bin.png'); 


>> G = tepibiner(Img); 
>> imshow(G) 
>>

Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.3.

Gambar 8.3 Tepi objek yang diperoleh melalui tepibiner.m


292 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Catatan

Jika objek berlubang, kontur bagian dalam juga akan dibuat oleh
fungsi tepibiner. Contoh:

8.4 Mengikuti Kontur

Mengikuti kontur (contour following) merupakan suatu metode yang


digunakan untuk mendapatkan tepi objek. Terkait dengan hal itu, terdapat istilah
kontur eksternal dan kontur internal. Gambar 8.4 memberikan ilustrasi tentang
perbedaan kedua jenis kontur tersebut. Terlihat bahwa piksel yang menjadi bagian
kontur eksternal (ditandai dengan huruf E) terletak di luar objek, sedangkan piksel
yang menjadi bagian kontur internal terletak di dalam objek itu sendiri.

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
\ \
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kontur Kontur
Gambar 8.4 Kontur eksternal dan kontur internal internal
Operasi pada Citra Biner 293

Catatan

Istilah kontur identik dengan batas (boundary). Itulah sebabnya,


fitur yang berhubungan dengan kontur acapkali dinamakan
deskriptor batas.

Contoh pada Gambar 8.5 menunjukkan cara untuk memperoleh kontur


eksternal. Dengan menggunakan pendekatan 8-ketetanggaan, diperoleh hasil
sebagai berikut:

(3,2), (4,2), (5,2), (6,2), (7,2), (8,3), (8,4), (8,5), (8,6), (8,7), (7,8), (6,8), (5,8),
(4,8), (3,8), (2,7), (2,6), (2,4), (2,3)

Proses untuk mendapatkan titik awal (yaitu (3,1)) dilakukan dengan melakukan
pemindaian seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 8.5. Setelah titik awal
ditemukan, penelusuran dilakukan seperti terlihat pada Gambar 8.5(b).
Penelusuran kontur berakhir setelah bertemu kembali dengan titik awal.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 \ \
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0
3 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1
4 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1

5 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1
6 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1
7 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kontur
Titik awal
Gambar 8.5 Proses penelusuran kontur eksternal
294 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Label yang digunakan pada penelusuran kontur ditunjukkan pada Gambar


8.6(a). Piksel tetangga yang diberi latarbelakang hitam merupakan tetangga yang
dijadikan acuan untuk mencari titik kedua yang akan menjadi bagian kontur.
Dengan cara seperti itu, piksel yang berada di atas piksel titik awal ataupun yang
berada di kanannya tidak mungkin menjadi piksel kedua yang merupakan bagian
kontur.

3 2 1 3 2 1
4 P 0 4 P 0
5 6 7 5 6 7

(a) Label tetangga untuk (b) Tetangga berwarna hitam


Gambar 8.6 Label
penelusuran posisi tetangga dan Sebagai
kontur pencarian
basistetangga
pencarian titik kedua
untuk menentukan bagian kedua pada kontur

Penelusuran untuk piksel-piksel berikutnya dilakukan dengan cara yang


khusus. Untuk kepentingan ini, diperlukan suatu pencatatan untuk mengetahui
arah posisi sekarang (C) terhadap posisi sebelum (P) dan berikutnya (N). Sebagai
contoh, dcp digunakan untuk mencatat arah posisi sekarang terhadap piksel
sebelumnya, dpc untuk mencatat arah posisi sebelum terhadap posisi sekarang,
dan dcn untuk mencatat arah posisi sekarang terhadap piksel berikutnya.
Berdasarkan keadaan pada Gambar 8.6(a), hubungan antara dcp dan dpc adalah
berkebalikan. Oleh karena itu, hubungan tersebut dapat ditabelkan seperti berikut.

Tabel 8.1 Hubungan antara dpc dan dcp

dcp dcp =
kebalikan(dcp)
0 4
1 5
2 6
3 7
4 0
5 1
6 2
7 3
Operasi pada Citra Biner 295

Algoritma untuk mendapatkan hasil seperti yang telah dibahas dapat dilihat
di bawah ini (Costa & Cesar, 2001).

ALGORITMA 8.2 – Mengikuti kontur


Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom berisi
kontur
Keluaran:
 e (n): kontur dengan n piksel

1. Cari piksel pertama yang akan dijadikan sebagai kontur


melalui pemindaian dan disimpan di e[1].
2. n  2 // Indeks kedua pada kontur e
3. Cari piksel kedua yang menjadi bagian kontur dengan cara
yang telah dibahas dan diletakkan di piksel_berikutnya
4. dcn  arah dari e[1] ke piksel kedua.
5. WHILE (piksel_berikutnya  e[1]
e[n]  piksel_berikutnya
cari_piksel_berikutnya(e(n), dpc, piksel_berikutnya, dcn)
nn+1
END-WHILE

ALGORITMA 8.3: Memperoleh piksel berikutnya pada kontur

cari_piksel_berikutnya(pc , dpc, pb, dcn)


// pc = piksel sekarang
// dpc = arah piksel sebelumnya ke piksel sekarang
// pb = piksel berikutnya yang akan dihasilkan oleh fungsi
// dcn = arah piksel sekarang ke piksel berikutnya
dcp  kebalikan(dpc)
FOR r  0 TO 6
dE  MOD(dcp + r, 8) // Arah eksternal
dI  MOD(dcp + r + 1, 8); // Arah internal

pE  peroleh_piksel_berikutnya(pc, dE)
pI  peroleh_piksel_berikutnya(pc, dI)

IF adalah_latarbelakang(pE) AND adalah_objek(pI)


pb  pE
dcn  dE
296 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

END-IF
END-FOR

ALGORITMA 8.4: Memperoleh piksel berikutnya

peroleh_piksel_berikutnya(pc, d)
// pc = piksel sekarang
// d = arah piksel berikutnya
// Nilai balik: piksel berikutnya
XP  [1, 1, 0, -1, -1, -1, 0, 1];
YP  [0, -1, -1, -1, 0, 1, 1, 1];

cx  bagian x dari pc + XP(d+1);


cy  bagian y dari pc + YP(d+1);

Implementasi metode “mengikuti kontur” ditunjukkan berikut ini.


Program : get_contour.m

function [Kontur] = get_contour(BW)


% GET_CONTOUR Berfungsi untuk memperoleh kontur eksternal
% dari suatu citra biner BW
% Hasil berupa Kontur yang berisi pasangan X dan Y dari setiap
% piksel yang menyusun kontur. Kolom 1 menyatakan Y dan
% kolom 2 menyatakan X

% Peroleh kontur

% Proses rantai kode

% Arah sebelumnya ke sekarang


DPC = [0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7];

% Arah sekarang ke sebelumnya


DCP = [4, 5, 6, 7, 0, 1, 2, 3];

% Arah 0 1 2 3 4 5 6 7
% terhadap posisi sekarang
XP = [1, 1, 0, -1, -1, -1, 0, 1];
YP = [0, -1, -1, -1, 0, 1, 1, 1];

% Peroleh titik awal


[tinggi, lebar] = size(BW);
Operasi pada Citra Biner 297

% Cari titik awal


x1 = 1;
y1 = 1;
selesai = false;
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 :lebar
if BW(baris, kolom) == 1
y1 = baris;
x1 = kolom-1;
selesai = true;

Kontur(1,1) = y1;
Kontur(1,2) = x1;
break;
end
end

if selesai
break;
end
end

% Proses piksel kedua


for i = 4 : 7
if BW(y1+YP(i+1), x1+XP(i+1)) == 0
dcn = i; % Arah sekarang ke sesudahnya
break;
end
end

yberikut = y1 + YP(dcn+1);
xberikut = x1 + XP(dcn+1);

indeks = 2; % Indeks kedua

% Proses peletakan piksel kedua dan seterusnya


% ke array Kontur
while (yberikut ~= Kontur(1,1)) || (xberikut ~= Kontur(1,2))
Kontur(indeks,1) = yberikut;
Kontur(indeks,2) = xberikut;
dpc = dcn; % Arah sebelum ke sekarang diisi
% dengan arah sekarang ke berikutnya

% Cari piksel berikutnya


for r = 0 : 7
dcp = DCP(dpc+1);
de = rem(dcp+r, 8);
di = rem(dcp+r+1, 8);

cxe = Kontur(indeks,2) + XP(de+1);


cye = Kontur(indeks,1) + YP(de+1);
cxi = Kontur(indeks,2) + XP(di+1);
cyi = Kontur(indeks,1) + YP(di+1);

if (BW(cye, cxe) == 0) && (BW(cyi, cxi) == 1)


yberikut = cye;
xberikut = cxe;
298 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

break;
end
end

% Naikkan indeks
indeks = indeks + 1;
end

Akhir Program

Contoh untuk menguji fungsi get_contour:

>> Daun = imread('c:\image\daun_bin.png'); 


>> C = get_contour(Daun); 
>>

Dengan cara seperti itu, C berisi data piksel yang menjadi kontur citra biner
daun_bin.png.
Untuk membuktikan bahwa C berisi kontur daun, berikan kode seperti
berikut:

>> D = zeros(size(Daun)); 
>> for p=1:length(C) 
D(C(p,1), C(p,2)) = 1; 
end 
>> imshow(D) 

Pertama-tama, perintah

D = zeros(size(Daun)); 

digunakan untuk membentuk matriks berukuran sama dengan citra Daun dan
seluruhnya diisi dengan nol. Selanjutnya,

>> for p=1:length(C) 


D(C(p,1), C(p,2)) = 1; 
Operasi pada Citra Biner 299

end 
>>

digunakan untuk membuat matriks D yang sesuai dengan nilai-nilai koordinat


pada larik C diisi dengan angka 1. Dengan demikian, D merekam kontur yang
tercatat pada C. Gambar 8.7 menunjukkan hasil imshow(D).

Gambar 8.7 Gambar kontur yang diperoleh


melalui get_contour
300 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

8.5 Kontur Internal

Salah satu cara untuk mendapatkan kontur internal yang telah diurutkan
menurut letak piksel, yaitu dengan memanfaatkan algoritma pelacakan kontur
Moore. Algoritma ini antara lain digunakan pada peta topografik digital (Pradha,
dkk., 2010).

ALGORITMA 8.5 – Memperoleh kontur internal dengan


pelacakan kontur Moore
Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom
Keluaran:
 kontur (s): Larik yang berisi piksel-piksel kontur sebanyak s

1. Dapatkan piksel terkiri dan teratas yang bernilai 1.


Selanjutnya, posisi piksel dicatat pada b0 dan posisi untuk
memperoleh piksel berikutnya dicatat pada c0, yang mula-
mula diisi dengan 4 (arah barat pada Gambar 8.8(d)).
2. Periksa 8 tetangga b0 searah jarum jam dimulai dari c0.
Piksel pertama yang bernilai 1 dicatat pada b1. Adapun
posisi yang mendahului b1 dicatat pada c1.
3. kontur(1)  b0, kontur(2)  b1, jum  2
4. b  b1 dan c  c1
5. WHILE true
a. Cari piksel pada 8 tetangga yang pertama kali
bernilai 1 dengan pencarian dimulai dari arah c
dengan menggunakan pola arah jarum jam.
b. Catat posisi piksel tersebut ke b.
c. Catat posisi yang mendahului piksel tersebut ke
c.
d. Tambahkan b sebagai bagian kontur:
jum  jum + 1
kontur(jum)  b

e. IF b = b0
Keluar dari WHILE
END-IF
END-WHILE

Algoritma di atas akan membuat indeks pertama dan indeks terakhir pada
kontur berisi nilai yang sama yaitu b0. Jika dikehendaki untuk tidak
Operasi pada Citra Biner 301

menyertakan nilai yang sama pada bagian akhir larik kontur, elemen tersebut
tinggal diabaikan saja.
Untuk memahami proses kerja pada algoritma Moore, perhatikan Gambar
8.8. Gambar 8.8(a) menyatakan keadaan objek pada citra. Piksel yang bernilai 1
menyatakan bagian objek dan yang bernilai 0 adalah bagian latarbelakang. Pada
contoh tersebut, pelacakan akan dimulai pada posisi (2,2), yaitu piksel bagian
objek yang terletak paling kiri dan paling atas. Adapun titik pencarian untuk
piksel kedua dimulai di arah barat atau arah kiri piksel (2,2) tersebut. Pencarian
dilakukan searah jarum jam. Pada langkah pertama, diperoleh piksel pada posisi
(2,3). Pencarian berikutnya akan dimulai di posisi (1,3), yaitu yang ditandai
dengan bulatan. Pada pencarian kedua, piksel yang didapat, yaitu posisi (2,4),
dengan titik pencarian berikutnya dimulai di posisi (1,4). Pada pencarian ketiga,
piksel yang didapat adalah pada (2,5), dengan titik pencarian berikutnya dimulai
di posisi (1,5). Pada pencarian keempat, piksel yang didapat yaitu (3,5), dengan
titik pencarian berikutnya dimulai di posisi (3,6). Jika langkah seperti itu terus
diulang, suatu ketika akan diperoleh piksel yang sama dengan piksel yang pertama
kali menjadi bagian kontur. Saat itulah proses untuk melacak kontur diakhiri.
Semua langkah yang terjadi untuk contoh Gambar 8.8(a) ditunjukkan pada
Gambar 8.8(b). Penomoran arah pencarian ditunjukkan pada Gambar 8.8(d),
sedangkan hasil kontur diperlihatkan pada Gambar 8.8(c).
302 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

1 2 3
1 2 3 4 5 6
1 0 0 0 0 0 0
2 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1
3 0 0 1 1 1 0 1 1 1
4 0 1 1 1 0 0 1 1 1
5 0 0 1 1 1 0 1 1 1
6 0 0 0 0 0 0

Objek
(a) (b)
Piksel objek paling
kiri dan paling atas
0 0 0 0 0 0 sebagai titik awal
pelacakan
0 1 1 1 1 0 2
3
0 0 1 0 1 0
0 1 0 1 0 0 4
Kontur
0 0 1 1 1 0 5
6
0 0 0 0 0 0

(c) (d)
Gambar 8.8 Penjelasan pelacakan kontur dengan
menggunakan Algoritma Moore

Implementasi algoritma Moore ditunjukkan berikut ini.

Program : inbound_tracing.m

function [Kontur] = inbound_tracing(BW)


% INBOUND_TRACING Memperoleh kontur yang telah terurutkan
% dengan menggunakan algoritma pelacakan kontur Moore

[jum_baris, jum_kolom] = size(BW);

% Peroleh piksel awal


selesai = false;
for p = 1 : jum_baris
for q = 1 : jum_kolom
if BW(p, q) == 1
b0.y = p;
Operasi pada Citra Biner 303

b0.x = q;

selesai = true;
break;
end
end

if selesai
break;
end
end

c0 = 4; % Arah barat

% Periksa 8 tetangga dan cari piksel pertama yang bernilai 1


for p = 1 : 8
[dy, dx] = delta_piksel(c0);
if BW(b0.y + dy, b0.x + dx) == 1
b1.y = b0.y + dy;
b1.x = b0.x + dx;

c1 = sebelum(c0);
break;
else
c0 = berikut(c0);
end
end

Kontur=[];
Kontur(1, 1) = b0.y;
Kontur(1, 2) = b0.x;
Kontur(2, 1) = b1.y;
Kontur(2, 2) = b1.x;

%Kontur

n = 2; % Jumlah piksel dalam kontur

b = b1;
c = c1;

% Ulang sampai berakhir


while true
for p = 1 : 8
[dy, dx] = delta_piksel(c);
if BW(b.y + dy, b.x + dx) == 1
b.y = b.y + dy;
b.x = b.x + dx;

c = sebelum(c);

n = n + 1;
Kontur(n, 1) = b.y;
Kontur(n, 2) = b.x;

break;
304 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

else
c = berikut(c);
end
end

% Kondisi pengakhir pengulangan

if (b.y == b0.y) && (b.x == b0.x)


break;
end
end

return

function [b] = berikut(x)


if x == 0
b = 7;
else
b = x - 1;
end

function [s] = sebelum(x)


if x == 7
s = 0;
else
s = x + 1;
end

if s < 2
s = 2;
elseif s < 4
s = 4;
elseif s < 6
s = 6;
else
s = 0;
end

function [dy, dx] = delta_piksel(id)


if id == 0
dx = 1; dy = 0;
elseif id == 1
dx = 1; dy = -1;
elseif id == 2
dx = 0; dy = -1;
elseif id == 3
dx = -1; dy = -1;
elseif id == 4
dx = -1; dy = 0;
elseif id == 5
dx = -1; dy = 1;
elseif id == 6
dx = 0; dy = 1;
elseif id == 7
dx = 1; dy = 1;
end
Operasi pada Citra Biner 305

Akhir Program

Contoh penggunaan inbound_tracing :

>> D = [ 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 0
0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 ]; 
>> P = inbound_tracing(D) 
P =

2 2
2 3
2 4
2 5
3 5
4 4
5 5
5 4
5 3
4 2
3 3
2 2

>>

Perhatikan, elemen pertama dan terakhir pada P sama.

8.6 Rantai Kode

Rantai kode (code chain) merupakan contoh representasi kontur yang


mula-mula diperkenalkan oleh Freeman pada tahun 1961. Representasi bentuk
306 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

dilakukan dengan menggunakan pendekatan 8-ketetanggan. Kode rantai setiap


tetangga piksel dinyatakan dengan sebuah angka sebagaimana terlihat pada
Gambar 8.9.

3 2
4

Gambar 8.9 Arah rantai kode beserta kodenya

Untuk mempermudah perolehan kode rantai piksel yang menjadi tetangga


suatu piksel, perlu pembuatan indeks yang dapat dihitung melalui rumus berikut:

indeks=3 ∆ y+ ∆ x+ 5 (8.1)

Dalam hal ini, ∆ xmenyatakan selisih nilai kolom dua piksel yang bertetangga dan
∆ y menyatakan selisih nilai baris dua piksel yang bertetangga. Hubungan kode
rantai dan indeks pada Persamaan 8.1 tersaji pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2 Indeks dan kode rantai dua piksel yang bertetangga
∆x ∆y Kode Rantai Indeks ¿ 3 ∆ y +∆ x +5
0 +1 6 8
0 -1 2 2
-1 +1 5 7
-1 -1 3 1
+1 +1 7 9
+1 -1 1 3
-1 0 4 4

Kode untuk memperoleh kode rantai dapat dilihat berikut ini.

Program : chain_code.m
Operasi pada Citra Biner 307

function [kode_rantai, xawal, yawal] = chain_code(U)


% CHAIN_CODE Digunakan untuk mendapatkan titik awal (x, y) dan
% kode rantai dari kontur U yang datanya telah terurutkan
% misalnya melalui get_contour

% Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kode = ['3', '2', '1', '4', '0', '0', '5', '6', '7' ];

xawal = U(1,2);
yawal = U(1,1);
kode_rantai = '';
for p=2: length(U)
deltay = U(p, 1) - U(p-1, 1);
deltax = U(p, 2) - U(p-1, 2);
indeks = 3 * deltay + deltax + 5;
kode_rantai = strcat(kode_rantai, Kode(indeks));
end

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi chain_code:

>> Daun = imread('c:\image\daun_bin.png'); 


>> C = inbound_tracing(Daun); 
>> [kode, x, y] = chain_code(C) 
kode =
007067565666666666665666666666666666666666666766676676676667666766
767666767666676676667666766676667676766667666766666676670676766666
676666766667666676666667667667677676776776776777677767777777676766
677677767776767677677676767676706767776767677676767676776767676767
667667676766766676676767667666766666543434333343343233433333433333
443333333333323233323323342333333433334334333434234434344344444444
445555655656665656666566666656666666666666666666666666666666666666
666666676567666666666666667666666666667666666666676666666666667666
666666666676666666666666766667666766666676666766766767666766766676
666706666766666666666666666666656664566656656665665656565656656566
656666666666666666766666444343233332332332233323333323333333333333
333233334333333233323232323232222322222232221231222222212222121212
212121212122122221221212221222222212222222222222222220122222222222
222222212222212222222222222212222222222222221222222222222223222221
222222222222222222222222222222222212322222222222222222322222223222
323234233343444545554555456455555555556555655655665656566656566566
566656565656656656565645656565656566566656565554533322322322322322
223222223222222322322132222221222221222121221221212122121212121221
212212222212222122212211212121120121211121111211110111111111111211
221112121221211221221222212122122212212221122122122212221212212122
012211212122212121121221221212121212112121221212122221222222222222
22222232222222222100001

x = 131
y = 8
>>
308 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Fungsi show_contour berikut digunakan untuk menguraikan kembali


kode rantai menjadi koordinat piksel dan kemudian menggambarkan konturnya.

Program : show_contour.m

function show_contour(x, y, rantai_kode)


% SHOW_CONTOUR Contoh untuk menggambar kontur
% melalui rantai kode
% Masukan fungsi ini adalah hasil
% fungsi chain_code

% 0 1 2 3 4 5 6 7
Dx = [ +1, +1, 0, -1, -1, -1, 0, +1];
Dy = [ 0, -1, -1, -1, 0, +1, +1, +1];
U = zeros(1,2);
U(1,1) = y;
U(1,2) = x;

for p=2: length(rantai_kode)


bilangan = rantai_kode(p) - 48;
posx = U(p-1, 2) + Dx(bilangan + 1);
posy = U(p-1, 1) + Dy(bilangan + 1);

U(p, 1) = posy;
U(p, 2) = posx;
end

% Membentuk gambar kontur


maks_x = max(U(p,2));
maks_y = max(U(p,1));

D = zeros(maks_y, maks_x);
for p=1: length(U)
D(U(p,1), U(p,2)) = 1;
end

imshow(D);

Akhir Program

Dengan mendasarkan kode yang dihasilkan melalui get_counter, dapat


dilakukan pengujian seperti berikut:

>> show_contour(x,y,kode)
>>
Operasi pada Citra Biner 309

Dengan cara begitu, gambar kontur daun ditampilkan kembali.


Kode rantai digunakan pada beberapa penelitian, antara lain untuk
pencocokan kurva (Yu, dkk., 2010) dan pengenalan huruf Arab/Farsi (Izakian,
dkk., 2008). Namun, representasi kode rantai sebenarnya memiliki kelemahan
sebagai berikut (Levner, 2002).
1. Kode cenderung panjang.
2. Sensitif terhadap distorsi dan segmentasi yang tidak sempurna.
3. Sangat bergantung pada penyekalaan ataupun rotasi.

Levner menguraikan secara kasar langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk


menghilangkan ketergantungan terhadap rotasi dan penyekalaan.

8.7 Perimeter

Perimeter atau keliling menyatakan panjang tepi suatu objek. Ilustrasinya


dapat dilihat pada Gambar 8.10. Perimeter dapat diperoleh dengan menggunakan
algoritma berikut.

ALGORITMA 8.6 – Estimasi perimeter


Masukan:
 f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
 perimeter

1. Peroleh citra biner.


2. Kenakan algoritma deteksi tepi.
3. Perimeter  jumlah piksel pada tepi objek hasil langkah 2.
310 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Perimeter
daun

Luas daun

Gambar 8.10 Perimeter dan luas daun

Contoh berikut menunjukkan cara menghitung perimeter dengan


menggunakan pendekatan di atas.

Program : perim1.m

function hasil = perim1(BW)


% PERIM1 Untuk menghitung perimeter suatu objek pada
% BW (citra biner)
% hasil menyatakan hasil perhitungan perimeter

U = inbound_tracing(BW);
hasil = length(U) - 1;

Akhir Program
Operasi pada Citra Biner 311

Pada skrip di atas, -1 diberikan mengingat elemen pertama dan terakhir U


sebenarnya berisi nilai yang sama. Itulah sebabnya, jumlah piksel pada kontur
perlu dikurangi satu.
Contoh pengujian fungsi perim1:

>> Img = imread('C:\Image\daun_bin.png'); 


>> perim1(Img) 
ans = 1409
>>

Algoritma estimasi perimeter di depan memberikan hasil yang baik ketika


tepi objek terhubung dengan 4-ketetanggaan, tetapi tidak tepat kalau terhubung
menurut 8-ketetanggaan (Costa & Cesar, 2001). Hal itu terjadi karena jarak antara
dua piksel tidak bersifat konstan (dapat berupa 1 atau √ 2) pada 8-ketetanggaan,
sedangkan jarak selalu 1 pada 4-ketetanggaan. Ilustrasi mengenai jarak antarpiksel
dapat dilihat pada Gambar 8.11.

1 1 1 1
1 1

1
1

Gambar 8.11 Jarak antarpiksel pada 8-ketetanggaan

Apabila tepi objek diproses dengan menggunakan rantai kode (dibahas


pada Subbab 8.4), perimeter dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus:

P=N e + N o √ 2 (8.2)
312 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

dengan Ne menyatakan jumlah kode genap dan No menyatakan jumlah kode


ganjil. Contoh berikut menunjukkan penggunaan cara seperti itu.

Program : perim2.m

function hasil = perim2(BW)


% PERIM2 Untuk menghitung perimeter suatu objek pada
% BW (citra biner) dengan menggunakan
% chain code
%
% hasil menyatakan hasil perhitungan perimeter

U = inbound_tracing(BW);
kode_rantai = chain_code(U);

jum_genap = 0;
jum_ganjil = 0;
for p=1: length(kode_rantai)
kode = kode_rantai(p);
if (kode == '0') || (kode == '2') || (kode == '4') || ...
(kode == '6') || (kode == '8')
jum_genap = jum_genap + 1;
else
jum_ganjil = jum_ganjil + 1;
end
end

hasil = jum_genap + jum_ganjil * sqrt(2);

Akhir Program

Contoh:

>> Daun = imread('C:\Image\daun_bin.png'); 


>> perim2(Daun) 
ans = 1605.8
>>
Operasi pada Citra Biner 313

8.8 Luas

Cara sederhana untuk menghitung luas suatu objek adalah dengan cara
menghitung jumlah piksel pada objek tersebut. Algoritmanya sebagai berikut.

ALGORITMA 8.7 – Menghitung luas objek


Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
 luas

luas  0
FOR p = 1 to m
FOR j = 1 to n
IF piksel(p, q) dalam objek
luas  luas + 1
END-IF
END-FOR
END-FOR

Contoh berikut adalah implementasi algoritma di atas.

Program : luas.m

function hasil = luas(BW)


% LUAS Untuk menghitung luas citra BW (citra biner)

[tinggi, lebar] = size(BW);

hasil = 0;
for p = 1 : tinggi
for q = 1 : lebar
if BW(p, q) == 1
hasil = hasil + 1;
end
end
end
314 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Akhir Program

Contoh:

>> D = [ 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 0
0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 ]; 
>> luas(D) 
ans = 13
>>
>> Daun = imread('c:\image\daun_bin.png'); 
>> luas(Daun) 
ans = 31862
>>

Pendekatan yang lain untuk menghitung luas suatu objek dilakukan


melalui kode rantai (Putra, 2010). Perhitungannya sebagai berikut:

 Kode 0: Area = Area + Y


 Kode 1: Area = Area + (Y + 0.5) = Area + Y + 0.5
 Kode 2: Area = Area + 0 = Area
 Kode 3: Area = Area – (Y + 0,5) = Area – Y – 0.5
 Kode 4: Area = Area - Y
 Kode 5: Area = Area – (Y - 0,5) = Area – Y + 0.5
 Kode 6: Area = Area + 0 = Area
 Kode 7: Area = Area + (Y - 0,5) = Area + Y – 0.5
Operasi pada Citra Biner 315

Contoh pada Gambar 8.12 mempunyai kode rantai berupa


0770764554341234201. Perhitungan luas dijabarkan dalam Tabel 8.3. Luasnya
adalah ∑ Area= 22,5.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

9
8
7
6
5
4
3
2
1
Gambar 8.12 Objek dengan rantai kode
berupa 0770764554341234201

Area = 0

Tabel 8.3 Perhitungan luas objek melalui rantai kode


Kode pada Ordinat (Y) Luas
Rantai Kode
0 8 8
7 8 7,5
7 7 6,5
0 6 6
7 6 5,5
6 5 0
4 4 -4
5 4 -3,5
5 3 -2,5
4 2 -2
3 2 -2,5
4 3 -2
1 3 3,5
2 4 0
3 5 -5,5
316 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Kode pada Ordinat (Y) Luas


Rantai Kode
4 6 -6
2 6 0
0 7 7
1 7 7,5

Berikut adalah contoh skrip yang digunakan untuk melakukan perhitungan


dengan cara di depan.

Program : luas2.m

function hasil = luas2(BW)


% LUAS2 Untuk menghitung luas citra BW (citra biner)
% melalui kode rantai

[tinggi, lebar] = size(BW);


U = inbound_tracing(BW);

kode_rantai = chain_code(U);
hasil = 0;
for p=1: length(kode_rantai)
kode = kode_rantai(p);
y = tinggi + 1 -U(p);

switch kode
case '0'
hasil = hasil + y;
case '1'
hasil = hasil + y + 0.5;
case '3'
hasil = hasil - y - 0.5;
case '4'
hasil = hasil - y;
case '5'
hasil = hasil - y + 0.5;
case {'2','6'}
hasil = hasil ;
case '7'
hasil = hasil + y - 0.5;
end
end

Akhir Program
Operasi pada Citra Biner 317

Contoh penggunaan fungsi luas2:

>> X = [
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ];
>> luas2(X) 
ans = 22.5000
>>

8.9 Diameter

Diameter adalah jarak terpanjang antara dua titik dalam tepi objek. Hal itu
dapat dihitung dengan menggunakan metode “Brute force” (Costa dan Cesar,
2001). Algoritmanya sebagai berikut.

ALGORITMA 8.8 – Estimasi diameter bentuk


Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom
Keluaran:
 diameter

1. U  tepi objek (misalnya melalui morfologi)


2. c  jumlah elemen U
3. jarak_maks  0
4. FOR p1 TO c-1
FOR qp+1 TO c
318 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

IF | U(p) – U(q) | > jarak_maks


jarak_maks  | U(p) – U(q) |
piksel1  p
piksel2  q
END-IF
END-FOR
END-FOR
5. diameter  jarak_maks

Pada algoritma di atas, piksel1 dan piksel2 mencatat posisi dua piksel yang
memiliki jarak terpanjang.
Contoh implementasi algoritma tersebut diberikan berikut ini. Dalam hal
ini, fungsi peroleh_diameter memerlukan citra biner sebagai masukan dan
memberikan nilai balik berupa panjang objek, dan dua piksel yang mewakili nilai
panjang tersebut.

Program : peroleh_diameter.m

function [diameter, x1, y1, x2, y2] = peroleh_diameter(BW)


% PEROLEH_DIAMETER Digunakan untuk menghitung panjang objek
% pada citra BW (citra biner).
% Hasil:
% diameter : panjang objek
% x1, y1, x2, y2 : menyatakan dua titik yang
% mewakili panjang tersebut

U = get_contour(BW);
n = length(U);
jarak_maks = 0;
piksel1 = 0;
piksel2 = 0;
for p=1 : n-1
for q=p+1 : n
jarak = sqrt((U(p,1)-U(q,1)) ^ 2 + (U(p,2)-U(q,2)) ^ 2);
if jarak > jarak_maks
jarak_maks = jarak;
piksel1 = p;
piksel2 = q;
end
Operasi pada Citra Biner 319

end
end

y1 = U(piksel1, 1);
x1 = U(piksel1, 2);
y2 = U(piksel2, 1);
x2 = U(piksel2, 2);

diameter = jarak_maks;

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi peroleh_diameter diberikan di bawah


ini:

>> Daun = imread('c:\image\daun_bin.png'); 


>> [d,x1,y1,x2,y2] = peroleh_diameter(Daun); 
>> d
d = 515.1641

>> X = [x1,x2] 
X =

144 131

>> Y = [y1,y2]; 
>> line(X,Y, 'Color','r') 
>>

Hasil dalam bentuk gambar diperlihatkan pada Gambar 8.13.


320 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Gambar 8.13 Garis merah menyatakan diameter daun

Berdasarkan diameter yang telah dibahas, lebar objek dapat diperoleh.


Sebagai contoh, perhatikan Gambar 8.14. Pada contoh tersebut, lebar adalah garis
terpanjang yang menghubungkan dua piksel di tepi objek yang tegak lurus
terhadap panjang maksimum pada objek. Setelah dua titik dengan jarak terpanjang
diperoleh, gradien garis yang melalui kedua piksel tersebut dihitung dengan
menggunakan rumus:

( y 2− y 1 )
grad 1= (8.3)
(x 2−x 1)
Operasi pada Citra Biner 321

Selanjutnya, garis yang tegak lurus dengan garis dengan gradien sebesar grad1
mempunyai gradien sebesar:

−1
grad 2= (8.4)
grad 1

Persoalan berikutnya adalah mencari jarak terbesar antara dua piksel pada kontur
daun yang mempunyai gradien sama dengan grad2. Namun, dalam praktiknya
toleransi sebesar 10% perlu diberikan karena sangat sulit untuk mendapatkan garis
yang tepat sama dengan grad2, terutama kalau objek berukuran kecil.

panjang

Gambar 8.14 Panjang dan lebar objek

Implementasi perhitungan panjang dan lebar objek dapat dilihat pada


program berikut.

Program : peroleh_lebar.m
322 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

function [panjang, lebar, x1, y1, x2, y2, x3, ...


y3, x4, y4] = peroleh_lebar(BW)
% PEROLEH_LEBAR Digunakan untuk memperoleh panjang dan
% lebar objek yang terdapat pada
% citra biner BW.
% Hasil:
% panjang = panjang objek
% lebar = lebar objek
% (x1,y1,x2,y2) = menyatakan posisi lebar objek
% (x3,y3,x4,y4) = menyatakan posisi panjang objek

U = get_contour(BW);
n = length(U);
jarak_maks = 0;
piksel1 = 0;
piksel2 = 0;
for p=1 : n-1
for q=p+1 : n
jarak = sqrt((U(p,1)-U(q,1)) ^ 2 + ...
(U(p,2)-U(q,2)) ^ 2);
if jarak > jarak_maks
jarak_maks = jarak;
piksel1 = p;
piksel2 = q;
end
end
end

y1 = U(piksel1, 1);
x1 = U(piksel1, 2);
y2 = U(piksel2, 1);
x2 = U(piksel2, 2);

panjang = jarak_maks;

% Cari dua titik terpanjang yang tegak lurus dengan garis


terpanjang

maks = 0;
posx3 = -1;
posx4 = -1;
posy3 = -1;
posy4 = -1;

if (x1 ~= x2) && (y1 ~= y2)


% Kedua titik tidak pada kolom atau baris yang sama
grad1 = (y1 - y2) / (x1 - x2);
grad2 = -1/grad1;

for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p, 2); y3 = U(p, 1);
x4 = U(q, 2); y4 = U(q, 1);
pembagi = (x4 - x3);
if pembagi == 0
continue;
end;
Operasi pada Citra Biner 323

grad3 = (y4-y3)/(x4-x3);

if abs(grad3-grad2) < 0.1 * abs(grad2)


jarak = sqrt((x3-x4)^2+(y3-y4)^2);
if jarak > maks
maks = jarak;

posx3 = x3;
posx4 = x4;
posy3 = y3;
posy4 = y4;
end
end
end
end
else
if (y1 == y2)
% kalau kedua titik pada baris yang sama
grad1 = 0;
grad2 = inf;

for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p,2); y3 = U(p, 1);
x4 = U(q,2); y4 = U(q, 1);
deltax = (x4 - x3);
if (deltax < 0.01) || (deltax > 0.01)
continue;
end;

jarak = sqrt((x3-x4)^2+(y3-y4)^2);
if jarak > maks
maks = jarak;

posx3 = x3;
posx4 = x4;
posy3 = y3;
posy4 = y4;
end
end
end
else
% kalau kedua titik pada kolom yang berbeda
grad1 = inf;
grad2 = 0;

for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p,2); y3 = U(p, 1);
x4 = U(q,2); y4 = U(q, 1);
deltay = (y3 - y4);
if (deltay < 1.0) || (deltay > 1.0)
continue;
end

jarak = sqrt((x4-x3)^2+(y4-y3)^2);
324 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

if jarak > maks


maks = jarak;

posx3 = x3;
posx4 = x4;
posy3 = y3;
posy4 = y4;
end
end
end
end
end

x3 = posx3;
y3 = posy3;
x4 = posx4;
y4 = posy4;

lebar = maks;

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi peroleh_lebar dapat dilihat di bawah ini:

>> close all; 


>> Daun = imread('C:\Image\daun_bin.png'); 
>> [d,l,x1,y1,x2,y2,x3,y3,x4,y4] =
peroleh_lebar(Daun); 
>> imshow(Daun); 
>> Xp = [x1 x2]; 
>> Yp = [y1 y2]; 
>> Xl = [x3 x4]; 
>> Yl = [y3 y4]; 
>> line(Xl,Yl, 'Color','r') 
>> line(Xp,Yp, 'Color','r') 

Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.15.


Operasi pada Citra Biner 325

Gambar 8.15 Contoh yang menunjukkan


panjang dan lebar daun

8.10 Fitur Menggunakan Perimeter, Luas, dan Diameter

Fitur seperti perimeter, luas, dan diameter seperti yang telah dibahas tidak
dapat digunakan secara mandiri sebagai fitur identifikasi objek. Fitur seperti itu
dipengaruhi oleh ukuran objek. Nah, agar tidak bergantung penyekalaan, beberapa
fitur dapat diturunkan dari ketiga fitur tersebut. Contoh dapat dilihat di bawah ini.

 Kebulatan bentuk adalah perbandingan antara luas objek dan kuadrat


perimeter, yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:

A( R)
kebulatan ( R )=4 π (8.5)
P2 ( R)
326 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Hasilnya berupa nilai < 1. Nilai 1 menyatakan bahwa objek R berbentuk


lingkaran. Kadang fitur ini dinamakan kekompakan (Lee dan Chen, 2003).
Contoh dapat dilihat pada Gambar 18.16.

 Fitur alternatif yang menggunakan perbandingan antara luas dan perimeter


dapat dilihat berikut ini (Rangayyan, 2005).

4 πA
cf =1− (8.6)
P2

Berdasarkan rumus di atas, nilai kekompakan berkisar antara 0 sampai


dengan 1. Nilainya berupa nol kalau objek berbentuk lingkaran.

 Kerampingan bentuk adalah perbandingan antara lebar dengan panjang,


yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:

lebar
kerampingan= (8.7)
panjang

dengan panjang adalah panjang objek dan lebar adalah lebar objek. Fitur
ini terkadang disebut sebagai rasio aspek (Wu, dkk., 2007). Dengan
menggunakan fitur ini, objek yang gemuk dan yang kurus dapat dibedakan
(lihat Gambar 8.17).
Operasi pada Citra Biner 327

Gambar 8.16 Kebulatan bentuk membedakan bentuk daun


yang kurus dan yang gemuk

Gambar 8.17 Kerampingan bentuk membedakan bentuk daun


yang kurus dan yang membulat

Berikut adalah contoh fungsi yang digunakan memperoleh kebulatan.


328 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Program : peroleh_kebulatan.m

function rasio = peroleh_kebulatan(BW)


% PEROLEH_KEBULATAN Untuk memperoleh rasio kebulatan milik objek
% yang terdapat pada citra biner BW

p = perim2(BW);
a = luas2(BW);

rasio = 4 * pi * a / (p^2);

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi peroleh_kebulatan:

>> Daun1 = imread('C:\Image\adv.png'); 


>> peroleh_kebulatan(Daun1) 
ans = 0.28708
>> Daun2 = imread('C:\Image\aw.png'); 
>> peroleh_kebulatan(Daun2) 
ans = 0.66130
>>

Adapun contoh berikut menunjukkan implementasi fungsi yang dipakai untuk


menghitung kerampingan objek.

Program : peroleh_kerampingan.m

function rasio = peroleh_kerampingan(BW)


% PEROLEH_KERAMPINGAN Untuk memperoleh rasio kerampingan
% milik objek yang terdapat pada citra biner BW

[panjang, lebar] = peroleh_lebar(BW);

rasio = lebar / panjang;


Operasi pada Citra Biner 329

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi peroleh_kerampingan:

>> Daun1 = imread('C:\Image\adv.png'); 


>> peroleh_kerampingan(Daun1) 
ans = 0.14605
>> Daun2 = imread('C:\Image\aw.png'); 
>> peroleh_kerampingan(Daun2) 
ans = 0.76921
>>

8.11 Pusat Massa dan Fitur Menggunakan Pusat Massa

Pusat massa atau sentroid (centroid) lazim ditemukan dengan


menggunakan nilai rerata koordinat setiap piksel yang menyusun objek.
Algoritmanya sebagai berikut.

ALGORITMA 8.9 – Estimasi diameter bentuk

Masukan:
 f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom

Keluaran:
 pusat_x dan pusat_y

1. pusat_x  0
2. pusat_y  0
3. luas  0
4. FOR q = 1 to m
FOR p = 1 to n
IF F(q, p) = 1
luas  luas + 1
pusat_x  pusat_x + p
pusat_y  pusat_y + q
END-IF
END-FOR
END-FOR

5. pusat_x  pusat_x / luas


6. pusat_y  pusat_y / luas
330 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Berikut adalah implementasi untuk memperoleh pusat massa.

Program : centroid.m

function [pusat_x, pusat_y] = centroid(BW)


% CENTROID Untuk memperoleh pusat massa sebuah objek
% yang terletak pada citra biner BW

[tinggi, lebar] = size(BW);

pusat_x = 0;
pusat_y = 0;
luas = 0;
for q = 1 : tinggi
for p = 1 : lebar
if BW(q, p) == 1
luas = luas + 1;
pusat_x = pusat_x + p;
pusat_y = pusat_y + q;
end
end
end

pusat_x = pusat_x / luas;


pusat_y = pusat_y / luas;

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi centroid:

>> Daun = imread('C:\Image\daun_bin.png'); 


>> [x, y] = centroid(Daun); 
>> imshow(Daun); 
>> [panjang, lebar] = size(Daun); 
>> line([0 lebar], [round(y) round(y)],’Color’,’b’) 
>> line([round(x) round(x)], [0 panjang],’Color’,’b’) 
>>
Operasi pada Citra Biner 331

Pada contoh di atas, line digunakan untuk membuat garis tegak dan garis datar
yang melewati pusat massa dan berwarna biru. Hasilnya dapat dilihat pada
Gambar 8.18.

Pusat massa

Gambar 8.18 Contoh untuk menunjukkan centroid

Pusat massa banyak digunakan untuk memperoleh fitur lebih lanjut.


Beberapa contoh dapat dilihat di bawah ini.

 Pusat massa untuk memperoleh fitur dispersi (dibahas pada Subbab 8.12).
 Menghitung jarak terpanjang antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmax).
 Menghitung jarak terpendek antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmin).
332 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

 Menghitung jarak rata-rata antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmean).
 Histogram jarak antara pusat massa dan titik dalam kontur.
Dmax Dmax Dmin
 Perbandingan: , ,
Dmin Dmean D mean

Contoh program yang memanfaatkan beberapa fitur yang memanfaatkan


pusat massa dapat dilihat di bawah ini.

Program : pusat.m

function [] = pusat(BW)
% PUSAT Contoh untuk menguji beberapa fitur yang
% menggunakan pusat massa. BW = Citra biner

[px, py] = centroid(BW);


U = inbound_tracing(BW);
U(length(U),:) = []; % Hapus elemen terakhir

rerata = 0;
terkecil = 99999999;
terbesar = 0;
jum_piksel = length(U);
for j = 1 : jum_piksel
panjang = sqrt((U(j,1)-py)^2 + (U(j,2)-px)^2);
rerata = rerata + panjang;

if panjang > terbesar


terbesar = panjang;
end

if panjang < terkecil


terkecil = panjang;
end
end

rerata = rerata / jum_piksel;

terbesar
terkecil
dmaxmin = terbesar / terkecil;
dmaxmean = terbesar / rerata;
dminmean = terkecil / rerata;

disp(sprintf('max/min = %f', dmaxmin));


disp(sprintf('max/mean = %f', dmaxmean));
Operasi pada Citra Biner 333

disp(sprintf('min/mean = %f', dminmean));

Akhir Program

Contoh pemakaian fungsi pusat:

>> Daun1 = imread('C:\Image\adv.png'); 


>> Daun2 = imread('C:\Image\aw.png'); 
>> pusat(Daun1) 
terbesar = 499.18
terkecil = 64.493
max/min = 7.740069
max/mean = 1.994929
min/mean = 0.257741
>>
>> pusat(Daun2) 

terbesar = 137.58

terkecil = 79.565

max/min = 1.729221

max/mean = 1.399380

min/mean = 0.809255

>>

8.12 Fitur Dispersi

Untuk bentuk yang tidak teratur (atau biasa disebut bentuk tidak kompak),
Nixon dan Aguado (2002) menyarankan penggunaan fitur dispersi. Sebagai
contoh, terdapat tiga bentuk seperti terlihat pada Gambar 8.19. Penggunaan
kekompakan bentuk untuk objek pada Gambar 8.19(c) sebagai diskriminator tidak
tepat. Mereka menyarankan penggunaan dispersi pada bentuk yang tidak teratur,
karena dispersi sangat tepat untuk bentuk seperti itu.
334 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

(b) Teratur (c) Teratur


Gambar 8.19 Kekompakan objek pada berbagai bentuk(a) Tidak teratur

Berdasarkan definisi Chen di tahun 1995 (Nixon dan Aguado, 2002),


dispersi (atau juga disebut ketidakteraturan) diukur sebagai perbandingan panjang
chord utama terhadap area objek. Bila dinyatakan dalam rumus berupa seperti
berikut:

2 2

I ( S)=

π max ⁡( ( x i− x́ ) + ( yi − ý ) )
(8.8)
A (S)

dengan (x́, ý) adalah titik pusat massa area A(S) dan A(S) sendiri menyatakan luas
objek. Alternatif yang kedua, dispersi dinyatakan sebagai rasio radius maksimum
terhadap radius minimum, yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:

2 2

IR ( S ) =

max ⁡( ( x i− x́ ) + ( y i− ý ) )
(8.9)
2 2
min ⁡( √( x − x́ ) + ( y − ý ) )
i i

Fungsi bernama dispersi berikut dapat digunakan untuk memperoleh


fitur kedua dispersi di depan.

Program : dispersi.m

function [d1, d2] = dispersi(BW)


% DISPERSI Contoh untuk menguji beberapa fitur yang
% menggunakan pusat massa. BW = Citra biner

[px, py] = centroid(BW);


Operasi pada Citra Biner 335

U = inbound_tracing(BW);
U(length(U),:) = []; % Hapus elemen terakhir

rerata = 0;
terkecil = 99999999;
terbesar = 0;
jum_piksel = length(U);
for j = 1 : jum_piksel
panjang = sqrt((U(j,1)-py)^2 + (U(j,2)-px)^2);
rerata = rerata + panjang;

if panjang > terbesar


terbesar = panjang;
end

if panjang < terkecil


terkecil = panjang;
end
end

a = perim2(BW);
d1 = pi * terbesar / a;
d2 = terbesar / terkecil;

Akhir Program

Contoh pemakaian fungsi dispersi:

>> Daun1 = imread('C:\Image\adv.png'); 


>> Daun2 = imread('C:\Image\aw.png'); 
>> [d1, d2] = dispersi(Daun1) 
d1 = 0.78285
d2 = 7.7401
>> [d1, d2] = dispersi(Daun2) 
d1 = 0.57999
d2 = 1.7292
>>

8.13 Pelabelan Objek

Citra biner seringkali memperlihatkan sejumlah objek. Sebagai contoh,


perhatikan Gambar 8.20. Pada gambar tersebut terdapat 6 objek. Nah, bagaimana
336 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

membuat aplikasi yang dapat menghitung jumlah objek? Jawabannya adalah


melalui pelabelan objek.

Gambar 8.20 Citra dengan enam objek

Pelabelan terhadap objek sesungguhnya berupa tindakan untuk


memberikan label yang berbeda (berupa nomor) pada setiap objek.
Pemrosesannya dapat dilaksanakan pada citra biner. Ketentuan yang dilakukan
sebagai berikut:

0 piksel latarbelakang
B ( y , x )=
{ 1 piksel latardepan
2,3 , … label objek
(8.10)

Contoh berikut memberikan gambaran tentang hasil pelabelan citra biner di


Gambar 8.20.
Operasi pada Citra Biner 337

Gambar 8.21 Pelabelan pada citra biner

Objek yang diberi label akan terlihat jelas jika nilai nol dihilangkan. Hal seperti
itu terlihat pada Gambar 8.22.

Gambar 8.22 Objek-objek citra yang telah diberi label


338 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Cara yang umum digunakan untuk melakukan pelabelan adalah melalui


metode pembanjiran (flood filling). Tiga cara untuk melakukan pembanjiran
dibahas oleh Burger & Burge (2008), yaitu sebagai berikut.

 Pembanjiran secara rekursif: Pendekatan ini dapat diterapkan dengan


bahasa pemrograman yang mendukung proses rekursif.
 Pembanjiran melalui Depth-first: Teknik ini memerlukan struktur data
tumpukan untuk melaksanakan pembanjiran.
 Pembanjiran melalui Breadth-first: Teknik ini memerlukan struktur data
antrian untuk melaksanakan pembanjiran.

Secara umum, proses pelabelan dilakukan melalui algoritma berikut.

ALGORITMA 8.10 – Melakukan pelabelan area pada citra


biner
Masukan:
 f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
 g (M, N): Hasil citra yang telah diberi label

1. g  f
2. label  2
3. FOR baris  1 TO M
4. FOR kolom  1 TO N
5. IF g(baris, kolom) = 1
6. banjiri(g, baris, kolom, label)
7. label  label + 1
8. END-IF
9. END-FOR
10. END-FOR
11. RETURN g
Operasi pada Citra Biner 339

Algoritma di atas melibatkan fungsi bernama banjiri. Fungsi tersebut akan


diwujudkan dengan tiga cara.
Dengan menggunakan pendekatan 4-ketetanggaan, pembanjiran secara
rekursif dapat dituangkan dalam bentuk algoritma seperti berikut.

ALGORITMA 8.11 – Pelabelan suatu area secara rekursif

banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
 f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
 i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
 label menyatakan label untuk area
Keluaran:
 f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label

1. IF koordinat (i, j) berada dalam citra dan f(i, j) = 1


2. f(i, j)  label
3. banjiri( f, i-1, j, label)
4. banjiri( f, i+1, j, label)
5. banjiri( f, i, j-1, label)
6. banjiri( f, i, j+1, label)
7. END-IF

Perhatikan bahwa fungsi banjiri memanggil empat fungsi banjiri. Keadaan


itulah yang menyatakan bahwa fungsi banjiri adalah fungsi rekursif (fungsi
yang memanggil dirinya sendiri).
Pembanjiran melalui depth-first (mendalam dulu) memiliki algoritma
seperti berikut.

ALGORITMA 8.12 – Pelabelan suatu area dengan pendekatan


340 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

mendalam dulu

banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
 f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
 i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
 label menyatakan label untuk area
Keluaran:
 f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label

1. Menciptakan tumpukan kosong T


2. Menaruh koordinat (i,j) ke tumpukan sebagai biji (push(T, (i,j))
3. WHILE tumpukan T tidak kosong
4. Mengambil sebuah elemen dari tumpukan T ( (y,x)  pop(T))
5. IF koordinat (y, x) berada dalam citra dan f(i, j) = 1
6. f(y, x)  label
7. push(S, (y-1, x))
8. push(S, (y+1, x))
9. push(S, (y, x-1))
10. push(S, (y, x+1))
11. END-IF
12. END-WHILE

Untuk mewujudkan Algoritma 8.12, dibutuhkan struktur data bernama tumpukan


(stack). Di dalam struktur data tumpukan, push berguna untuk memasukkan data
ke dalam tumpukan, sedangkan pop digunakan untuk mengambil data dari
tumpukan. Perlu diketahui, tumpukan adalah struktur data yang mempunyai sifat
LIFO (Last-In First-Out). Artinya, data yang dimasukkan terakhir kali akan
diambil pertama kali.
Adapun algoritma pembanjiran melalui breadth-first (melebar dulu)
berupa seperti berikut.
Operasi pada Citra Biner 341

ALGORITMA 8.13 – Pelabelan suatu area dengan pendekatan melebar


dulu

banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
 f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
 i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
 label menyatakan label untuk area
Keluaran:
 f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label

1. Menciptakan antrean kosong A


2. Menaruh koordinat (i,j) ke antrean sebagai biji (insert(A, (i,j))
3. WHILE antrean A tidak kosong
Mengambil sebuah elemen dari antrean A ( (y,x)  remove(A))
IF koordinat (y, x) berada dalam citra dan f(i, j) = 1
f(y, x)  label
insert(A, (y-1, x))
insert(A, (y+1, x))
insert(A, (y, x-1))
insert(A, (y, x+1))
END-IF
END-WHILE
4. RETURN f(M,N)

Untuk mewujudkan Algoritma 8.13, dibutuhkan struktur data bernama antrean


(queue). Di dalam struktur data antrean, insert berguna untuk memasukkan
data ke dalam antrean, sedangkan remove digunakan untuk mengambil data dari
antrean. Perlu diketahui, tumpukan adalah struktur data yang mempunyai sifat
342 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

FIFO (First-In First-Out). Artinya, data yang dimasukkan pertama kali akan
diambil pertama kali.
Berdasarkan ketiga jenis pendekatan pembanjiran tersebut, Burger &
Burge (2008) menyatakan bahwa hanya pembanjiran melalui breadth-first yang
secara praktis memberikan hasil yang terbaik. Pembanjiran secara rekursif
umumnysnya memiliki kendala terhadap penggunaan tumpukan (stack), yang
biasanya sangat terbatas pada bahasa pemrograman tertentu. Adapun pembanjiran
menggunakan depth-first mempunyai kelemahan pada eksekusi yang sangat lama.
Meski faktanya seperti itu, pembanjiran melalui breadth-first pun memakan waktu
yang sangat lama bila ukuran citra melebihi 50 x 50 piksel dan mengandung objek
yang berbentuk kompleks.

Catatan

Itulah sebabnya, disarankan untuk mempelajari algoritma yang


lain, untuk mendapatkan komputasi yang efisien. Sebagai contoh,
pada Octave dan MATLAB terdapat fungsi bwlabel yang berguna
untuk melakukan pelabelan objek. Kode fungsi tersebut dapat
dipelajari untuk memungkinkan penulisan kode dengan bahasa
pemrograman yang lain.

Sebagai contoh, akan diberikan implementasi algoritma yang


menggunakan pendekatan breadth-first. Kodenya seperti berikut.

Program : labeli.m

function G = labeli(F)
% Memberi label pada area di dalam citra biner F
% dengan menggunakan 4-ketetanggan
% Hasil berupa citra G

% Bentuk Antrean awal


Maks_antre = 50000;
Antrean = cell(Maks_antre,1);
depan = 1;
Operasi pada Citra Biner 343

belakang = 1;

G = double(F); % Agar bisa diisi dengan nilai selain 0 dan 1


[m, n] = size(G);
label = 2;
for i=1 : m
for j=1 : n
if G(i, j) == 1
% Kosongkan antrean
depan = 1;
belakang = 1;

% Bentuk simpul dan masukkan ke dalam antrean


simpul.y = i;
simpul.x = j;

if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end

while belakang ~= depan % Selama antrean tidak kosong


%Ambil dan hapus data pada Antrean

simpul = Antrean{depan};
if depan == 50000
depan = 1;
else
depan = depan + 1;
end

if simpul.x > 0 && simpul.x <= n && ...


simpul.y > 0 && simpul.y <= m && ...
G(simpul.y, simpul.x) == 1
G(simpul.y, simpul.x) = label;

x = simpul.x; y = simpul.y;

simpul.y = y-1; simpul.x = x;


% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
344 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end

simpul.y = y+1; simpul.x = x;


% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end

simpul.y = y; simpul.x = x-1;


% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end

simpul.y = y; simpul.x = x+1;


% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
Operasi pada Citra Biner 345

else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end
end
end

label = label + 1;
end
end
end

Akhir Program

Contoh:

>> A = [
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ]; 
>> B = labeli(A) 

Hasil B dapat dilihat pada Gambar 8.21.


346 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Latihan

1. Jelaskan bahwa fitur suatu objek dapat diperoleh melalui citra biner.
2. Apa yang dimaksud dengan kontur?
3. Pada CD yang tersedia bersama buku ini terdapat citra gambar bernama fork-
3.gif. Kenakan fungsi tepibiner terhadap citra tersebut untuk memperoleh
tepinya. Perlu diperhatikan, citra tersebut bukan berupa citra biner. Jika
perintah Anda benar, Anda akan memperoleh hasil seperti berikut:

4. Jelaskan perbedaan antara kontur internal dan kontur eksternal.


5. Gambarkan kontur eksternal untuk citra seperti berikut dengan menggunakan:
(a) 4-ketetanggaan
(b) 8-ketetanggaan.

0 0 0 0 0 0 0
\
0 0 0 0 0 0 0
0
0 0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 1 1
0 0 0 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0
Operasi pada Citra Biner 347

6. Apa fungsi algoritma Moore?


7. Berapa kode rantai untuk gambar yang tertera pada soal Nomor 5?
8. Apakah objek dengan ukuran dan bentuk yang sama tetapi mempunyai posisi
yang berbeda (objek yang mengalami translasi) memiliki kode rantai yang
sama? Jelaskan!
9. Apa sebenarnya pengertian perimeter itu?
10. Jelaskan kehadiran √ 2pada Persamaan 8.2.
11. Luas suatu objek dapat diperoleh dengan menghitung jumlah piksel dalam
objek. Tuliskan algoritma untuk menghitung luas dengan cara seperti itu,
dengan asumsi citra berukuran m x n.

12. Pendekatan yang lain untuk menghitung luas suatu objek dilakukan melalui
kode rantai dengan ketentuan seperti berikut.

Kode 0: Area = Area + Y


Kode 1: Area = Area + (Y + 0.5)
Kode 2: Area = Area + 0
Kode 3: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 4: Area = Area - Y
Kode 5: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 6: Area = Area + 0
Kode 7: Area = Area + (Y + 0,5)

Berapakah luas objek yang terdapat pada citra berikut?


348 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

0 0 0 0 0 0 0
\
0 0 0 0 0 0 0
0
0 0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 1 1
0 0 0 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1
0 0 1 1 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0

13. Jelaskan fitur-fitur berikut:


(a) kebulatan
(b) kekompakan
(c) kerampingan

14. Apa yang dimaksud dengan centroid? Apa kegunaannya?


15. Apa yang dimaksud dengan panjang chord utama dalam dispersi? Kalau perlu,
gambarkan.
16. Terdapat citra seperti berikut.

Bagaimana hasil pelabelan atas objek-objek yang terdapat di dalamnya?

Anda mungkin juga menyukai