Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Dosen Pengampu :
Dr. Opsatria, M.Si., Apt.

Disusun Oleh :
Atika Cahya Pratiwi (23175273A)
Eva Fitriana (23175274A)
Erlinda Novita Sari (23175287A

PROGAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019
A. Pendahuluan
Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran
cerna kronik dan idiopatik. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti
perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna berperan
dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke II sampai dasa warsa 90-an meningkat dan
cenderung terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok,
pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah. Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat
berbentuk ringan jika mencapai remisi tanpa penggunaan obat jangka lama atau
bentuk kronik aktif yaitu pasien mengalami remisi jika mengonsumsi obat jangka
lama. Patofisiologi IBD berupa respons imun berlebihan pada saluran cerna. Terapi
IBD saat ini lebih banyak berupa anti-inflamasi atau imunosupresan. Dalam beberapa
waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi
biologi. Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya berupa terapi medis melainkan
harus melalui tiga pendekatan yakni rencana diagnostik, rencana terapeutik dan
rencana edukasional. Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada rencana terapeutik
IBD.

B. Definisi Penyakit
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik yang
diperkirakan melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua
tipe mayor daripada penyakit ini adalah Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn Disease
(CD). Seperti namanya, UC terbatas pada kolon, sedangkan CD mencakup semua
segmen daripada traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus.

C. Patofisiologi Penyakit Segi Imunlogi


Jalur akhir patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal
menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air, dan elektrolit.
Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, mediatormediator ini
memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik. Sitokin yang
dikeluarkan makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik,
berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek
autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit
menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD,
sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak
mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.

D. Sistem Imun atau Antibodi yang Terlibat


Respon imun terhadap antigen intraluminal atau proses autoimun dimana ada
respon imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang
inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel intestinal
(contohnya perubahan fungsi barrier). Autoantibodi yang ditemukan pada IBD
menimbulkan bahwa IBD merupakan penyakit autoimun. Anti-saccharomices
cerevisiae antibody (ASCA) dideteksi pada 50%-60% penderita dengan PC.
Perinuclear anti neutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) ditemukan pada sekitar
70% individu dengan KU sedangkan pada PC sekitar 6% dan dipercaya sebagai tanda
disregulasi imunoregulator genetik.

E. Reaksi Hipersensitif
Reaksi alergi berbeda-beda setiap orang ada yang prosesnya lama, ada yang
tiba-tiba. Pertama terjadi kontak tubuh dengan antigen kemudian sel darah putih
memproduksi antibody (IgE) yang spesifik terhadap antigen tersebut yang disebut
sensitisasi. Antibodi ini kemudian memancing produksi beberapa zat kimia dan
hormon yang disebut sebagai mediator terutama histamine. Mediator-mediator ini
akan lebih merangsang dan mengaktivasi kembali sel darah putih. Bila mediator
keluar dengan sangat tiba-tiba dan dalam jumlah banyak, terjadilah reaksi alergi yang
berat yang disebut reaksi anafilaktik Reaksi hipersensitivitas langsung atau segera
(immediate type) timbul karena antibodi reagenik yakni IgE atau IgG4 yang
menempel pada membrane mastosit terpapar ulang antigen. Reaksi IgE-Ag memicu
proses degranulasi mastosit menyebabkan keluarnya mediator, terbentuk mediator
baru dengan segala pengaruh di dalam jaringan tubuh.
F. Tanda dan Gejala Penyakit
Melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan
submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC.
Selain itu, CD tidak berkesinambungan dan memiliki skip area antara satu atau lebih
dari area yang terkena penyakit.
Gejala Klinis Gejala klinis IBD bervariasi, tergantung jenis IBD dan berat
ringannya penyakit, meliputi gejala gastrointestinal dan gejala ekstraintestinal.
o Gejala Intestinal
Gejala utama PC adalah nyeri abdomen, sedangkan gejala utama pada KU adalah
diare dan perdarahan rektal. Gejala lainnya adalah defekasi pada malam hari,
abses perianal, dan gambaran klinis mirip apendisitis.
o Gejala ekstraintestinal IBD adalah sebagai berikut:
 Kegagalan pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan terjadi pada sekitar 30%
dengan PC dan pada 5-10% dengan KU
 Manifestasi pada sendi. Atralgia sering dikeluhkan lebih dari 25% dengan
IBD.
 Manifestasi pada tulang. Penderita IBD, terutama PC, mempunyai risiko tinggi
menderita osteoporosis, yang dapat menyebabkan fraktur tulang, deformitas
tulang, dan nyeri.
 Manifestasi IBD pada kulit meliputi eritema nodosum, pioderma
gangrenosum, dan Sweet’s syndrome.
 Lesi pada mata yang tersering adalah episkleritis dan uveitis.
 Kelainan hati yang dapat ditemukan pada penderita IBD meliputi hepatitis,
perlemakan hati, kolelitiasis, amyloidosis, dan kolangitis sklerosing primer.
Abses hati sangat jarang terjadi.
 Kelainan hematologi pada penderita IBD adalah anemia, trombositosis,
leukositosis, dan leukopenia.
 Risiko terjadi trombosis vena pada penderita IBD sebesar tiga kali
dibandingkan orang normal.
 Pankreatitis pada penderita IBD berhubungan dengan pengobatan seperti 5-
aminosalisilat atau 6-mercaptopurin.
 Penderita IBD dengan kelainan ileum yang luas atau setelah reseksi ileum
berisiko menderita batu kalsium oksalat dan asam urat.
 Manifestasi pada paru meliputi bronkitis, bronkiektasis, obstruksi trakea,
penyakit paru granulomatosa, pneumonitis interstitial, dan bronkiolitis
obliteran.
 Kelainan saraf tepi, miopati, multipel sklerosis, neuritis optik, dan epilepsy.
 Kadang-kadang terjadi mioperikarditis dan pleuroperikarditis.

G. Pengobatan
 Antibiotik
Misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari dikatakan
cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC.
Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik diberikan
dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinfl amasi disebabkan oleh
bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal
dan tidak menginduksi reaksi infl amasi namun mereka masih mampu
memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk
menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinfl amasi dan
meningkatkan produksi interleukin. Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal
dengan istilah disbiosis. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan
dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien
pasca kolektom.
PC: Metronidazol.Dosis: 10-20 mg/kg/ hari.
KU: Antibiotika digunakan sangat terbatas karena meningkatnya risiko
kejadian kolitis pseudomembran yang berhubungan dengan antibiotika.
 Pengobatan Radang Aktif
Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD
bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan
asam amino salisilat.
 Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih disukai
dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski
efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam
bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria
500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari meski
ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram
per hari. Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24. 5-Aminosalisilat. Dosis:
50-100 mg/kgBB/ hari.
 Kortikosteroid
Golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD derajat
sedang dan berat dalam fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid
konvensional, seperti prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema,
masih menjadi primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang
luas. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison. Namun, jangan
dilupakan efek sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang
tinggi pada dinding usus namun dengan efek sistemik yang rendah. Umumnya,
preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi biasanya
tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan
dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga golongan
imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.
PC: Metilprednisolon dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 12 jam atau
Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam. PC: Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari
peroral dan diturunkan secara bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala
terkontrol.
 Immune modifiers
Immune modifiers yang dipakai adalah 6-MP dan Azathioprine. Dosis 6-MP
atau Azathioprin adalah 1-2 mg/kg/hari.
 Anti TNF-alpha
Anti-TNF-alpha monoclonal antibody yang diberikan adalah Infliximab yang
diberikan melalui infus dengan dosis 5 mg/kg/kali, diberikan tiga kali yakni
pada awal pengobatan, minggu ke-2, dan minggu ke-6. Dosis pemeliharaan
diberikan setiap 8 minggu.
 Obat-obatan simptomatik
Obat-obatan simptomatik yang diberikan adalah antagonis histamine 2
reseptor, anti diare, dan antispasmodik.
 Obat-obat dalam tahap percobaan
PC: Metotreksat dengan dosis 12,5-25 mg/minggu peroral atau intramuskuler,
Thalidomid dengan dosis 50-300 mg/hari peroral, dan interleukin 11 dengan
dosis 1 mg/minggu secara subkutan.
KU: Siklosporin dengan dosis 2-4 mg/kg/hari secara intravena (untuk dosis
oral diberikan 2-3 kali dosis intravena), nicotine patch dengan dosis 14-21
mg/hari melalui topical patch, enema butirat dengan dosis 100 ml per rektum
dua kali sehari, dan heparin dengan dosis 10.000 μ secara subkutan dua kali
sehari.
 Terapi nutrisi
Intervensi nutrisi harus dimulai sebelum pubertas, baik pada penyakit aktif
atau saat remisi untuk mengoreksi defisit energi dan memaksimalkan
pertumbuhan.
 Terapi probiotik
Pemberian probiotik biasanya dikombinasikan dengan obat lain yang berguna
untuk meningkatkan stabilisasi dan regenerasi mukosa usus akibat inflamasi.

H. Komplikasi
Banyak komplikasi yang berhubungan dengan IBD yang dapat terjadi baik
pada UC maupun pada CD. Komplikasi ekstraintestinal dapat terjadi kira-kira 20%
dari pasien dengan IBD. Pada beberapa kasus, komplikasi tersebut dapat lebih
menjadi masalah dibandingkan penyakitnya sendiri. Komplikasi intestinal yang
terjadi adalah striktur, fistula, abses, perforasi, megakolon toksik, dan keganasan.
Komplikasi ekstraintestinalnya yaitu crippling osteoporosis, hiperkoagulasi, anemia,
batu empedu, cholangitis sklerotik primer, aphtous ulcer, iritis (uveitis), episkleritis,
dan komplikasi pada kulit seperti pyoderma gangrenosum dan eritema nodosum.
Faktor resiko mengalami komplikasi adalah riwayat keluarga dan fase aktif dari
penyakit CD saja.
I. Kesimpulan
IBD adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran cerna yang tidak diketahui
penyebabnya, IBD disebabkan oleh aktivasi abnormal sistem imun pada usus yang
menyebabkan inflamasi pada usus tanpa adanya penyebab yang jelas. Sistem imun
pada penderita IBD terjadi secara abnormal dan kronis yang menyebabkan inflamasi
dan ulserasi saluran cerna.
Beberapa faktor lain yang diduga berpengaruh yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Diagnosis IBD ditegakkan melalui anamnesis riwayat penyakit, termasuk
riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, Manifestasi ekstraintestinal bisa menjadi sumber
morbiditas yang dominan pada penderita. Penatalaksanaan penderita dengan IBD
dapat dilakukan secara medikamentosa dengan obat-obatan seperti 5-aminosalisilat,
antibiotika, kortikosteroid, immune modifiers, metotreksat, terapi nutrisi, terapi
probiotik.
DAFTAR PUSTAKA

Tamboli CP. Current medical therapy for chronic inflammatory bowel disease. Surg Clin N
Am 2007; 87: 697 – 725.
Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of infl ammatory bowel
disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 – 55.
Abraham C. Mechanism of Disease: Inflammatory Bowel Disease. N Engl J Med 2009;
361:2066-78.
Talley NJ, Abreu MT, Achkar JP, Bernstein CN, Dubinsky MC, Hanauer SB, Kane SV,
Sandborn WJ, Ullman TA, Moayyedi P. An Evidence-Based Systemic Review on Medical
Therapies for Inflammatory Bowel Disease. Am J Gastroenterol 2011; 106:S2 – S25
Hanauer SB, Sandborn W. Management of Crohn’s disease in Adults. Am J Gastroenterol
2001; 96:635-643.
Sartor RB. Mechanism of Disease: pathogenesis of Crohn’s disease and ulcerative colitis.
NCP Gast Hep 2006; 3(7):390-407.

Anda mungkin juga menyukai