Anda di halaman 1dari 4

Bab Cinta

Hari ini sama seperti kemarin, tak berbeda dari kemarin lusa, dan berhari-hari
sebelumnya. Kekosongan itu selalu ada. Sepi di dalam ramai, sunyi di dalam riuh.
Tiap hari selalu sama, tidak ada gelombang bahagia, tidak ada hidup. Sesak. Air
matanya sudah terlalu banyak tercurah. Siang murung, malam termenung. Tiap hari
pikirannya melayang pada kenangan yang sama, di hari yang sama, orang yang sama.

*2 tahun yang lalu*

“2 tahun.”, ujar perempuan itu pada laki-laki di sampingnya. “2 tahun aja, aku
pasti pulang.”,tambahnya. Tanpa sadar dalam kata-kata, terselip sehelai ragu. Ia
berusaha tersenyum, berat. Laki-laki di sebelahnya tidak menjawab. Sejenak hening,
hanya suara mesin mobil yang mendengung halus. Dalam keheningan itu semua rasa
dapat dideteksi. Degup jantung mereka mendetakkan kebimbangan. Jujur, keduanya
takut. Lama, akhirnya laki-laki itu berujar, “Berangkat kapan?”, diucapnya, ragu.
“bulan depan.”, jawab perempuan itu singkat, disambut hening kembali. “Udah
malam, aku antar kamu pulang.”, laki-laki itu memecah keheningan. Sepanjang
perjalanan pulang mereka tetap membisu. Keduanya sama-sama bimbang. Sama-sama
enggan. Ada hal yang selalu berat untuk disampaikan pada setiap perpisahan. Ini
bukan perpisahan pertama mereka. Perbedaan 12 jam sudah mereka jalani berbulan-
bulan sebelumnya. Tapi entah kali ini, resah. Semesta seakan memberi isyarat, tapi
tidak bisa dicerna oleh indera manusia. Mereka tahu, ada sesuatu yang akan terjadi,
entah baik atau buruk. Tahu ada yang mengganjal, pun tak ada yang bisa
mengungkapkan. Ada yang tersangkut di tenggorokan setiap mereka ingin berucap.
Dan dalam malam itu berlalu dengan tidak tenang.

Satu bulan rasanya tidak cukup lama bagi mereka menjalani hari-hari terakhir
bersama. Tidak lama sampai waktu mengejar hingga tiba pada hari keberangkatan.

Bandara, 20 Maret 2016


Keduanya kembali terdiam. Laki-laki itu memaksakan bibirnya melengkungkan
senyum. Pesawat yang akan berangkat itu akan membawa kekasihnya pergi dalam
sekejap, tiba-tiba ia merasa tidak berdaya. Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat.
“Hati-hati.”, ujarnya singkat, dengan perasaan meledak-ledak. Perempuan itu
mengangguk, lalu memeluknya, erat. Didekapnya badan mungil itu. Dihirupnya
dalam-dalam aroma yang menguar dari tubuh itu, aroma rumah. Ia berusaha
menghafal setiap detil yang ada pada gadis itu, tidak ingin kehilangannya. “I’ll be
back, love.”, kalimat terakhir perempuan itu sebelum didengarnya panggilan terakhir
nomor pesawatnya. Dilepasnya pelukan itu, keduannnya merasa hampa. Perempuan
itu berbalik tanpa berani menatap wajah kekasihnya lagi, diseretnya koper dan berlari
tanpa menengok ke belakang, air matanya berjatuhan. Ia tahu jika ia melihatnya sekali
lagi saja ia tidak akan bisa berangkat. Lelaki itu memandangnya pergi, tak bisa lagi ia
melengkungkan senyum palsunya, rapuh, ia menangis dalam diam.

Mereka sudah bersama selama 4 tahun. Tiga setengah tahun mereka habiskan
dengan penuh perjuangan melawan perbedaan waktu tepat 12 jam, Indonesia-Kanada.
Keduanya dikenal sebagai ‘Nat and Will, the unbreakable couple’ karena berhasil
melewatinya. Baru kurang lebih 6 bulan mereka menikmati waktu bersama, dan
sekarang mereka harus kembali melawan perbedaan waktu 5 jam, Jerman-Indonesia.
Karena untuk 2 tahun berikutnya Nat akan pergi belajar di sana.

1 tahun berlalu, melawan semua kehilangan yang menyiksa, mereka sudah bisa
beradaptasi. Mereka kembali menyelipkan rutinitas untuk saling mengabari, mencari
celah waktu untuk berbincang singkat, waktu yang menjadi sangat berharga. Mereka
kembali menjalani hidup yang memaksa mereka untuk kuat, untuk lebih mengerti,
untuk percaya dengan kepercayaan. Kehidupan terus berjalan seperti semua akan
baik-baik saja, setidaknya itu yang mereka doakan. Hanya satu yang tidak pernah bisa
tertutupi, rindu. Rindu tidak pernah beristirahat. Keduanya kembali sibuk menjalani
hidup masing-masing, dicapainya apa yang mereka inginkan dari dunia, belajar,
berkarir, tapi keinginan terbesar mereka tidak lagi pada capaian mereka, tapi untuk
bersua.

Hari itu menjadi titik balik dari semuanya. Semesta akhirnya memberi tanda,
sangat nyata adanya. Berhasil dibuktikannya semua keresahan yang ada. Nat tidak
pulang, dan tidak akan pernah pulang. Ketika Will mengetahuinya, terbukti sudah
ketakutannya. Sesuatu dalam dirinya sudah tahu sejak pertama kali, bahwa takdir
sedang mengajaknya bermain lempar koin. Takdir kepala, dan dirinya ekor. Ketika
semua kelihatan baik-baik saja, koin itu dilemparkan sembunyi-sembunyi, terjatuh
pada sisi kepala. Takdir menang, dan memilih caranya sendiri. Hari itu sebuah truk,
dikemudikan 2 orang pemabuk melaju dengan kecepatan di atas waras, menabrak Nat,
tragis, ia meninggal di tempat.

Setitik penyesalan muncul dalam hati. Membengkak dan memenuhi sekujur


tubuhnya. Disesalinya semua keputusannya untuk membiarkan perempuan itu pergi,
disesalinya kepercayaannya pada kalimat “aku pasti pulang.”. Ia menyesal karena
tidak dipeluknya perempuan itu 5 detik lebih lama kala itu, menyesal karena tidak
menghirup aromanya lebih dalam, menyesal tidak menatap matanya lebih lekat. Ia
menyesal karena tidak 1 sel pun dalam tubuhnya bertindak untuk menghentikan
perempuan itu, dan menyesal karena tidak sempat dibalasnya kalimat terakhir dari
kekasihnya, “I love you too.”, diucapkannya di atas makam yang masih basah,
bertuliskan nama kekasihnya di atas batu nisan. Air matanya berjatuhan, ia merasa
gagal.

Sejak hari itu, hidupnya kacau. Ia kehilangan segalanya. Karir yang telah ia kejar
dan bangun selama bertahun-tahun runtuh, ia tak tahu lagi akan kemana. Ia bukan
orang yang mudah menganggap serius banyak hal, dan dalam hidupnya hanya 2 hal
yang selalu ia pertahankan, cinta, dan karir, keduanya hancur. Ia sudah tidak bisa
menangis lagi. Akal sehatnya hilang entah kemana. Hatinya sakit, pikirannya kacau,
jiwanya kosong. Sepanjang hari dihabiskannya dengan menarik diri. Disalahkannya
dirinya sendiri setiap kali. Rindu terus menggerus dan kini tak ada lagi obatnya.
Ingatannya terus melayang pada perempuan itu, kekasihnya yang pertama, dan satu-
satunya. Ia tak pernah paham bahasa cinta, dan bagaimana ia bekerja, tapi ia paham
Nat, dan baginya itu lebih dari cukup.

Ia sungguh berantakan. Ia hampir tidak pernah makan tepat waktu, atau kadang
tidak makan sama sekali. Rokok yang sudah 6 tahun ditinggalkannya dengan susah
payah kini kembali mengepulkan asap setidaknya setengah hari setiap hari . Tak ada
lagi bedanya siang dan malam, tidur dan bangun layaknya zombie. Ia depresi.
Psikiater dikunjunginya hanya demi mendapat obat tidur untuk melupakan kenyataan
sesaat. Siapapun yang melihat penampilannya akan setuju bahwa ia sudah tidak
waras, dan mungkin itu tidak sepenuhnya salah. Kehilangan Nat sama dengan
kehilangan alasan untuknya untuk tetap waras.

Hatinya selalu sakit setiap ia mengingat Nat. Sayangnya satu-satunya hal yang
masih ia ingat dan pedulikan adalah Nat. Dadanya sesak oleh rasa bersalah dan
kehilangan. Kantung matanya semakin menghitam, semua otot badannya melemas,
menyisakan tubuh kurus dan loyo adanya. Sebagian dari dirinya ingin lepas dari
situasi ini, bangkit kembali, dan mengejar apa yang sudah ia tinggalkan. Ia juga tidak
mengerti mengapa ia tidak bisa merelakan, mengapa dirinya sendiri yang membuat
situasi ini semakin sulit. Tapi depresi yang terlanjur mencengkeramnya, sebagian lain
dari dirinya mengacaukan akal sehatnya sendiri.

Ia lelah. Lelah dengan semua ini. Badannya kian mengurus. Setiap hembus
nafasnya diiringi asap rokok, diselingi batuk-batuk, pertanda paru-parunya juga mulai
menyerah menampung asap, hingga suatu hari, “ini kanker paru-paru, stadium 4, ini
bisa dibilang sudah parah sekali, dan maaf, tapi sampai taraf ini, tanpa pengobatan
harapan hidup yang mungkin ada kurang lebih hanya 6 bulan. Saya punya beberapa
saran pengobatan, yang ini ter…” dirinya sudah tidak bisa lagi mendengar apa yang
diucapkan dokter itu. Sebuah informasi terus terngiang dalam kepalanya, “…tanpa
pengobatan harapan hidup yang ada kurang lebih hanya 6 bulan.”

Mungkin benar, ia sudah tidak waras. Tidak diambilnya satu pun pengobatan
yang ditawarkan, bahkan tidak sebutir obat pun dipedulikannya. Kini hari-harinya
diiringi senyum kesakitan. “tinggal sebentar lagi, tunggu aku pasti pulang”, ujarnya
senang sambil menatap langit-langit kamarnya. “ahh”, dirasakannya darah mengalir
dari hidungnya lagi, sudah kesekian kalinya dalam satu hari, pertanda bahwa
kankernya sudah merambat ke otak. Ia sekarat, tapi paling tidak untuk pertama
kalinya sejak kematian Nat ia bisa merasa tenang. Harapan yang tersisa dan satu-
satunya adalah untuk bisa bertemu lagi dengannya, segera. Kini ia paham bagaimana
cara takdir bekerja. Ia merangkai cerita, dan punya cara sendiri untuk menentukan
alurnya. Bab ini tentang cinta, dan digantinya ‘hingga maut memisahkan’, menjadi
‘hingga maut menyatukan’.

Anda mungkin juga menyukai