Anda di halaman 1dari 6

GEOGRAFI PEMBANGUNAN

Nama : Astika
Nim : 1815141017
Prodi : Geografi Sains

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
Judul :
Dampak Covid-19 Kesempatan Wisata Alam Bantimurung ‘Bernapas’
Abstrak

Akhir tahun 2019 umat manusia diseluruh dunia digoncang dengan pandemi Virus Corona
(Covid-19) yang membuat kepanikan dimana-mana. Ratusan ribu manusia terinfeksi dan
ribuan lainnya meninggal dunia. Untuk di Indonesia sendiri virus ini menyebar pada awal
tahun 2020 ,pemerintah telah memberikan himbauan-himbauan kepada masyarakat dalam
mengatasi wabah ini agar berjalan efektif dan efisien, seperti halnya penutupan kawasan
pariwisata , Sehingga di tengah wabah ini pun membuat para pariwisata tertutup. Penutupan
sementara kawasan-kawasan konservasi yang sebagian besar jadi destinasi wisata alam
maupun obyek wisata lainnya,seperti yang terjadi pada wisata alam Bantimurung Sulawesi
Selatan, selain mencegah penularan COVID-19, juga dinilai kesempatan bagi kawasan-
kawasan ini untuk ‘bernapas’ atau memulihkan diri setelah di hari-hari biasa penuh
pengunjung.
Pemdahuluan
Pada akhir tahun 2019 dunia dikejutkan dengan wabah virus corona (Covid-19) yang
menginfeksi hampir seluruh negara di dunia. WHO Semenjak Januari 2020 telah menyatakan
dunia masuk kedalam darurat global terkait virus ini2 Ini merupakan fenomena luar biasa
yang terjadi di bumi pada abad ke 21, yang skalanya mungkin dapat disamakan dengan
Perang Dunia II, karena event-event skala besar (pertandingan-pertandingan olahraga
internasional contohnya) hampir seluruhnya ditunda bahkan dibatalkan. Kondisi ini pernah
terjadi hanya pada saat terjadi perang dunia saja, tidak pernah ada situasi lainnya yang dapat
membatalkan acara-acara tersebut. Terhitung mulai tanggal 19 Maret 2020 sebanyak 214.894
orang terinfeksi virus corona, 8.732 orang meninggal dunia dan pasien yang telah sembuh
sebanyak 83.313 orang Khusus di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan status
darurat bencana terhitung mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 terkait
pandemi virus ini dengan jumlah waktu 91 hari Langkah-langkah telah dilakukan oleh
pemerintah untuk dapat menyelesaikan kasus luar biasa ini, salah satunya adalah dengan
mensosialisasikan gerakan Social Distancing. Konsep ini menjelaskan bahwa untuk dapat
mengurangi bahkan memutus mata rantai infeksi Covid-19 seseorang harus menjaga jarak
aman dengan manusia lainnya minimal 2 meter, dan tidak melakukan kontak langsung
dengan orang lain, menghindari pertemuan massa. banyak masyarakat yang menyikapi hal ini
dengan baik seperti seperti contohnya pemerintah sudah memerintahkan untuk lebih efisien
dalam hal kebersihan, lebih sering mencuci tangan Dengan handsanitizer ataupun dengan air
bersih, menggunakan masker saat sedang di luar rumah, menghindari keramaian dan masih
banyak hal yang dilakukan untuk menghindari penyebaran covid 19 ini
Pembahasan

Pemerintah telah menutup sekitar 56 kawasan konservasi di berbagai daerah di Indonesia


guna meminimalisir penularan Virus Corona (COVID-19) yang mewabah di negeri ini juga
dunia. Ekowisata lainnya pun ada yang ikutan tutup.

Penutupan sementara kawasan-kawasan konservasi yang sebagian besar jadi destinasi wisata
alam maupun obyek wisata lainnya,  selain mencegah penularan COVID-19, juga dinilai
kesempatan bagi kawasan-kawasan ini untuk ‘bernapas’ atau memulihkan diri setelah di hari-
hari biasa penuh pengunjung.

Pandemi Corona, seharusnya menjadi pelajaran bagi pengelolaan wisata berbasis biodiversiti
agar memberi ruang obyek wisata untuk ‘bernapas’ sebagai upaya menjamin keberlanjutan.

masa penutupan ini, hendaknya para pengelola bisa memanfaatkan untuk pembersihan,
perbaikan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Kegiatan non wisata, seperti patrol,
pengamanan kawasan, pembinaan habitat, dan pemulihan ekosistem masih tetap dilakukan
petugas bersama masyarakat peduli konservasi.
kawasan wisata alam Bantimurung, di Maros itu, benar-benar lengang. Berjalan di pinggiran
tebing dan menyaksikan percikan air terjun sungguh pemandangan langka. Tempat wisata ini
tutup sejak 19 Maret 2020, ketika pandemi virus Corona (COVID-19) menghantam 188
negara dan menewaskan ratusan ribu manusia di seluruh dunia.

Indonesia masuk dalam pendemi ini. Hingga 27 Maret 2020, tercatat 1.046 kasus, 87 orang
meninggal dan 46 dinyatakan sembuh.

Virus ini menyebar seperti kilat dari mulai Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, lalu
Februari melompat ke Eropa, dan Maret mencapai hampir semua belahan bumi. Virus ini
menyebar dengan cepat, karena dapat berpindah dari sentuhan, hingga udara pada orang yang
memiliki virus.

Apa hubungan kawasan wisata alam dengan virus ini? Pengelola wisata dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Maros, menutup tempat rekreasi itu guna menekan angka
penularan. Di Bantimurung, pada Januari hingga awal Maret, setiap pekan rata-rata
pengunjung mencapai 10.000 orang.

Orang-orang ini mendatangi loket, membeli tiket, memegang tiket dan mengantri, serta
sebagian besar merabah besi pengaman untuk masuk gerbang Bantimurung. Semua media
ini, jadi sarana penularan virus Corona. 

Penutupan Bantimurung adalah pertama kali sejak tempat itu dikelola pemerintah daerah.
Dalam hitungan pendapatan, menutup sementara, adalah menutup pendapatan asli daerah dari
wisata dengan nilai cukup besar.
Dalam hitungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, penutupan sepekan itu akan
menghilangkan pendapatan hingga Rp250 juta – dengan catatan setiap pengunjung membayar
tiket Rp25.000.

Pandemi Corona, seharusnya menjadi pelajaran bagi pengelolaan wisata berbasis biodiversiti
agar memberi ruang obyek wisata untuk ‘bernapas’ sebagai upaya menjamin keberlanjutan.

Secara ekologi, kerusakan Bantimurung sudah sangat parah. Untuk mengembalikan


fungsinya, dengan julukan The Kingdom of Butterfly, sebaiknya pembongkaran besar-
besaran.

Kenapa? “Karena dirusaknya secara biofisik maka pemulihan juga gerakan biofisik.

Obyek wisata skala besar seperti Bantimmurung, yang hanya mementingkan target PAD akan
membuat ekologi kawasan makin buruk. Tak ada pembatasan pengunjung.

“Di Bantimurung, pengunjung menginjak, dan menyentuh apapun. Pengelola bahkan


membuat tembok semen hingga pinggir sungai dari mulai bibir tebing. Tidak ada lagi
rembesan mineral tempat kupu-kupu berkumpul. Padahal obyek utamanya, kupu-kupu.”

Bahkan, katanya, tak ada juga pengaturan pengunjung saat memasuki goa di wilayah itu.
“Semua bebas memegang stalaktit.”

Sebelum penutupan sementara kawasan ini karena pandemi Corona, saya berkali-kali melihat
antusiasme pengunjung. Rata-rata wisatawan adalah liburan keluarga, menghabiskan waktu
mandi di sejuknya air. Orang-orang lebih menikmati bermain ban dan makan bersama, dan
berfoto di depan tugu kupu-kupu.
Kesimpulan

Lingkungan alam merupakan faktor yang sangat penting peranannya pada kegiatan ekowisata
di taman nasional.Jika lingkungan alam tidak dijaga, maka kelangsungan ekowisata akan
terancam akibat terjadinya kerusakan pada objek wisata yang diminati wisatawan, Pandemi
Corona, seharusnya menjadi pelajaran bagi pengelolaan wisata berbasis biodiversiti agar
memberi ruang obyek wisata untuk ‘bernapas’ sebagai upaya menjamin keberlanjutan

Saran

Mari jadikan musibah meluasnya pandemi virus corona sebagai momentum untuk memberi
ruang obyek wisata untuk ‘bernapas’ sebagai upaya menjamin keberlanjutannya.

Anda mungkin juga menyukai